TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PEMBERDAYAAN STRUKTURAL

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PENGARUH PEMBERDAYAAN STRUKTURAL DAN PEMBERDAYAAN PSIKOLOGIS TERHADAP KEPUASAN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASI (STUDI KASUS DI PT.

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan tertentu yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB 2 KAJIAN TEORETIS

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Terdapat beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai pengaruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Penelitian Uraian 1. Judul Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB I PENDAHULUAN. dinamis, sehingga semua organisasi atau perusahaan yang bergerak di

BAB I PENDAHULUAN. meliputi segala bidang, diantaranya politik, sosial, ekonomi, teknologi dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ketidakpuasannya akan pekerjaannya saat ini. Keinginanan keluar atau turnover

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. pembagian karyawan menjadi karyawan tetap dan karyawan kontrak, baik perusahaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, RANCANGAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada dasarnya hubungan antara perusahaan dengan karyawan adalah

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB I PENDAHULUAN. bagi pegawai dimana perusahaan atau organisasi sekarang berusaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernah dilakukan sebelumnya untuk semakin memperkuat kebenaran empiris

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat. Globalisasi, liberalisasi perdagangan, deregulasi dan. organisasi dihadapkan pada lingkungan yang serba tidak pasti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Teoritis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Komitmen organisasional menjadi hal penting pada sebuah organisasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada jalur formal di Indonesia terbagi menjadi empat jenjang, yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. modal dasar pembangunan nasional. Dengan kata lain manusia adalah unsur kerja

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi perusahaan dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pencapaian tujuan tersebut, perusahaan membutuhkan tenaga-tenaga

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Quality Of Work Life

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Wibowo (2011:501) kepuasan adalah sikap umum terhadap pekerjaan

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

KUESIONER PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Perusahaan terdiri atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. selalu berubah sehingga menuntut perusahaan untuk mampu beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan UU No. 3 tahun 1982, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang

BAB II URAIAN TEORITIS. a. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah sakit merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan di

Kuesioner (Job Insecurity) A. Arti Penting Aspek Kerja 1. Sangat Tidak Penting (STP) 2. Tidak Penting (TP) 3. Tidak Tahu, Apakah penting atau tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori motivasi Vroom (1964) tentang cognitive of motivation menjelaskan mengapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

PENTINGNYA MEMPELAJARI KEPUASAN KERJA Kepuasan kerja sangat berhubungan dengan kualitas hidup. Hal ini dikarenakan kehidupan individu dihabiskan dilin

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. penting yang dibutuhkan dalam menjaga kepercayaan individu dan organisasi.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Goal Setting Theory ini mula-mula dikemukakan oleh Locke (1968). Teori

II. LANDASAN TEORI. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan judul Pengaruh Kepuasan Kerja

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Studi Deskriptif Mengenai Komitmen Organisasi pada Karyawan Unit Usaha Industri Hilir Teh Bagian Produksi di PT. Perkebunan Nusantara VIII Bandung

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bekerja merasa kebutuhannya sudah terpenuhi,maka akan timbul kepuasan bekerja dalam diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. PEMBERDAYAAN ( EMPOWERMENT

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

PENDAHULUAN. mampu untuk bekerja sama dan membantu rekan kerja serta melakukan. Orgnizational Citizenship Behavior (OCB) (Steve dan Thomas, 2014)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh. pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan.

menjelaskan bahwa variasi definisi dan ukuran komitmen organisasi sangat luas. keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

HUBUNGAN KOMITMEN ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP INTENSI KELUAR KARYAWAN PADA PT. PURNA GRAHA ABADI TASIKMALAYA. Oleh: Reza Rizky Aditya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teori itu dipakai adalah karena teori tersebut relevan dengan variabel yang dipakai serta

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individu yang telah lama bekerja. Mereka yang telah lama bekerja akan

BAB 2. Tinjauan Pustaka. Setiap orang pada dasarnya orang yang bekerja mempunyai tujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. organisasi/korporat (corporate social responsibilities ), workforce diversities,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi maupun industri. Dengan adanya globalisasi maka dunia usaha mau

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia dipandang sebagai salah satu aset perusahaan yang penting,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kekuatan untuk menghadapi persaingan (Cusway, 2002). terus menerus untuk mencapai tujuan (Robbins, 2006).

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan hasil atau dampak dari kegiatan individu selama periode waktu

BAB II KAJIAN PUSTAKA Organizational Citizenship Behavior (OCB) individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan dihargai dengan

Contoh Komitmen Karyawan terhadap Perusahaan / Organisasi di PT. Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Stephen P. (2002:135) Dalam suatu organisasi kepemimpinan

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peningkatan daya saing di era perdagangan bebas menjadi salah satu kunci ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. untuk memproduksi barang-barang yang berkualitas demi meningkatkan daya

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS PENELITIAN. melakukan balas budi terhadap organisasi dengan bersikap dan berprilaku lebih

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi dibentuk sebagai wadah bagi sekumpulan individu untuk

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PEMBERDAYAAN STRUKTURAL Pemakaian istilah pemberdayaan berawal dari lingkungan politik yang bertujuan untuk memperkuat pengaruh politik, umumnya di antara orang-orang yang tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Lalu, penggunaan istilah ini kemudian berkembang ke dalam lingkungan organisasi, di mana pengertian pemberdayaan tidak mengarah pada aspek kepribadian namun lebih menggambarkan keyakinan individu mengenai hubungannya dengan lingkungan (Spreitzer, 1997). Secara garis besar, ada dua perbedaan cara untuk memandang pemberdayaan, yaitu pemberdayaan dari aspek relasional/struktural dan aspek psikologis. Konsep pemberdayaan berdasarkan aspek relasional/struktural menegaskan kepada masalah pembagian kekuasaan antara manajer/pimpinan dan bawahan. Selain itu aspek relasional ini memiliki fokus pada pembagian otoritas pengambilan keputusan. Sedangkan pemberdayaan dari aspek psikologis memandang pemberdayaan sebagai proses yang berpengaruhi terhadap inisiasi dan ketekunan bekerja. (Conger dan Kanungo dalam Baker, 2000). Dalam studi organisasi, pemberdayaan didefinisikan sebagai aspek relasional yang membahas hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam hal pendistribusian kekuasaan. Hal ini lebih difokuskan kepada pemindahan kekuasaan dari pimpinan ke bawahan. Di dalam pembelajaran mengenai pemberdayaan, sering menganjurkan bahwa para karyawan seharusnya diijinkan atau bahkan mempengaruhi lingkungan kerja mereka. (Hollander dan Offermann dalam Baker, 2000). Menurut Conger dan Kanungo dalam Barker (2000), kekuasan dalam hal ini diartikan memiliki kekuasan formal atau kontrol/ pengaturan atas seluruh sumberdaya dalam organisasi. Pfeffer dalam Barker (2000) menyatakan bahwa kekuasan adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku, merubah suatu kejadian, mengatasi kendala, dan memampukan orang untuk melakukan sesuatu hal yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan. Menurut Lawyer dalam Barker (2000), pemindahan kekuasan dari pimpinan ke bawahan sangat dianjurkan dalam pekerjaan. Hal ini dapat meningkatkan kinerja karyawan. Suatu lingkungan kerja yang memberdayakan karyawan, mendorong adanya hubungan antara pimpinan-bawahan sehingga akan terpupuk/ terjalin suatu kepercayaan dan kredibilitas yang baik. Hollander dan Offermann dalam Barker (2000) juga menambahkan bahwa, dampak yang baik antara pimpinanbawahan dapat meningkatkan tanggung jawab atas pekerjaan, kontribusi, dan komitmen. Begitu juga kepuasan kerja dan motivasi akan meningkat ketika para karyawan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam organisasi. Strategi pemberdayaan pegawai (struktural) dapat dilaksanakan jika pimpinan dapat mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada karyawan/bawahan yang mampu membuat dan melaksanakan keputusan dengan baik. Pendelegasian kewenangan dapat dilaksanakan bila pimpinan dan bawahan memiliki jalur komunikasi dan pengawasan yang baik sehingga kewenangan yang diturunkan dapat dikendalikan dengan baik. Menurut Cook dan Macaulay (1996), proses pemberdayaan dilakukan dengan : 1. Memperlakukan karyawan dengan jujur, peduli, rasa hormat, kesamaan, dan kerjasama yang baik. 2. Mengetahui pegawai yang sedang melakukan pekerjaan adalah karyawan yang lebih baik dibandingkan karyawan lainnya. 3. Merekrut orang-orang terbaik yang berkualitas. Pemberdayaan karyawan ini dapat terwujud jika karyawan tersebut memiliki kompetensi berupa pengetahuan, kemampuan, dan perilaku mandiri yang didukung oleh kepercayaan dari pimpinan/manajer dan memiliki motivasi yang tinggi. Teori Kanter dalam Laschinger et al (2001), kekuasaan organisasi berasal dari kondisi yang terstruktur dari suatu lingkungan pekerjaan bukan berasal dari karakteristik setiap individu atau dampak sosial. Kekuasan merupakan kemampuan individu untuk melakukan sesuatu yang berasal dari posisinya dalam suatu organisasi. Teori kekuasan ini berasal dari etnografi dalam lingkungan kerja di perusahaan besar di Amerika. Kekuasan dapat bersumber dari formal dan informal. Kekuasan formal terdapat pada pekerjaan yg nyata dan berdasarkan tujuan organisasi dan memungkinkan adanya suatu yang mengarah kepada kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan kekuasan informal

adalah setiap individu memperoleh kekuasaan dari aliansi yang mereka bentuk di dalam organisasi dimana dengan atasan, teman sebaya, maupun dengan bawahan. Aliansi ini dapat memberikan kekuasan informal yang memampukan individu untuk bekerja sama dalam melakukan suatu hal. Kanter menambahkan bahwa seseorang yang memiliki akses yang tinggi terhadap kekuasan formal dan informal juga meningkatkan aksesnya terhadap kesempatan dan kekuasaan selama berada di struktur organisasi. Terdapat tiga teori struktural atas kekuasan dalam organisasi yaitu : memiliki akses pada informasi, menerima dukungan, dan akses terhadap sumberdaya. Menurut teori Kanter, agar dapat diberdayakan maka seseorang membutuhkan akses pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan dalam mengerjakan pekerjaan mereka. Hal ini termasuk informasi (seperti alur kerja, produktifitas, lingkungan eksternal, kompetisi, dan strategi organisasi), merupakan hal penting bagi pemberdayaan karyawan (struktural), sehingga organisasi harus menyediakan informasi yang terbuka pada berbagai level karyawan melalui berbagai media. Tanpa informasi yang cukup, karyawan dapat dipastikan tidak akan mengambil tanggung jawab atau membuka diri terhadap kreatifitas. Tindakan ini diperlukan untuk memungkinkan karyawan melihat gambaran umum dan mengembangkan sudut pandang alternatif dalam memahami perannya dalam menjalankan organisasi. Menurut Spreitzer (1995), informasi dapat dispesifikasikan menjadi dua tipe terhadap pembentukan pemberdayaan karyawan, yaitu informasi mengenai misi dan kinerja organisasi. Informasi mengenai misi organisasi merupakan hal penting karena member arah organisasi secara keseluruhan, sehingga memudahkan individu dalam mengambil inisiatif. Informasi mengenai misi selain menciptakan arti dan tujuan individu, juga meningkatkan kemampuan untuk membuat dan mempengaruhi keputusan yang sesuai dengan tujuan dan misi organisasi. Secara khusus, karyawan yang diberdayakan harus memahami tujuan dan unit kerjanya serta mengerti bagaimana ia dapat memberikan kontribusi melalui pekerjaannya. Informasi mengenai visi organisasi juga merupakan hal penting karena menciptakan tujuan dan arti bagi karyawan. Berbagai informasi tersebut penting, terutama dalam kondisi ketidakpastian yang muncul dalam organisasi. Adapun aspek dukungan dapat berasal dari umpan balik dan bimbingan yang diterima dari atasan, rekan kerja, dan bawahan. Menurut Spreitzer (1996), kurangnya dukungan akan mengurangi rasa kompetensi karyawan. Selain itu, Akses sumberdaya diperlukan terutama dalam kondisi dimana organisasi besar dipecah ke dalam beberapa bisnis unit, dimana terdapat kegiatan-kegiatan yang memerlukan sumberdaya secara terpisah sesuai kebutuhan bisnis tersebut. Akses ini akan memudahkan karyawan tersebut untuk memecahkan persoalan sendiri tanpa harus bergantung pada pihak lain. Dengan demikian, dalam diri karyawan akan muncul perasaan bahwa ia mampu dan dapat mengendalikan pekerjaanya. (Kanter dalam Laschinger et al, 2001). Kondisi seperti ini juga akan menumbuhkan semangat karyawan dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Secara lebih spesifik, bentuk konkrit akses terhadap sumberdaya ini dapat berupa kebebasan karyawan untuk menentukan hal-hal yang terkait secara langsung dengan pekerjaannya, seperti persoalan time frame, pemakaian atau persetujuan biaya, dan lain-lain. Menurut Kanter dalam Laschinger et al (2001), ketika seseorang tidak memiliki akses terhadap informasi, dukungan, sumberdaya, dan kesempatan, maka mereka kurang sekali merasa berkuasa. 2.2 PEMBERDAYAAN PSIKOLOGIS Konteks mengenai pemberdayaan sangat luas karena itu dalam konteks bisnis Spreitzer (1997) menyatakan bahwa perspeksif psikologis fokus pada persepsi pemberdayaan yang dimiliki karyawan. Pemberdayaan psikologis merupakan variabel yang merefleksikan atau mencerminkan tingkatan pemberdayaan yang dirasakan karyawan. Menurut Thomas dan Velthouse (1990) membagi pemberdayaan psikologis menjadi empat faktor : 1. Makna (meaning) Nilai dari sebuah tujuan pekerjaan yang dicapai oleh seorang individu sehubungan dengan idealism atau standar individu tersebut. (Thomas dan Velthouse, 1990). Menurut Spreitzer (1997), keberartian akan tercipta ketika karyawan merasakan bahwa pekerjaannya berarti dan penting baginya. Pekerjaan dirasakan berarti oleh karyawan ketika tujuan dari aktivitas pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan sistem nilai ideal atau standar orang tersebut. 2. Berkompetensi/yakin pada kemampuan sendiri (competence/self-efficacy) Keyakinan yang dimiliki karyawan terhadap kemampuannya untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan sesuai atau berdasarkan keahlian yang dimilikinya (Thomas dan Velthouse, 1990).

Menurut Conger dan Kanungo (1998), tanpa rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri, karyawan akan merasa tidak mampu dan kurang diberdayakan. 3. Penentuan sendiri/pilihan (self- determination) Mengacu pada persepsi karyawan terhadap otonomi yang dimilikinya dalam memprakarsai dan mengatur tindakannya dalam pekerjaan. Jika karyawan berkeyakinan bahwa karyawan hanya mengikuti perintah yang diberikan dari orang yang tingkat hirarkinya lebih tinggi dalam suatu perusahaan maka mereka akan merasa tidak diberdayakan. Penentuan sendiri melibatkan tanggung jawab perorangan karyawan terhadap tindakan yang telah diambil. 4. Dampak (impact) Seberapa besar pengaruh hasil pekerjaan yang dilakukan seorang karyawan di dalam sebuah lingkungan kerja. Karyawan akan merasa diberdayakan ketika individu keyakinan bahwa pekerjaan atau tindakan yang individu lakukan mempengaruhi dan berdampak pada sistem organisasi. Keempat komponen diatas jika digabungkan membentuk konstruk pemberdayaan secara psikologis. Jadi, pemberdayaan secara psikologis dapat didefinisikan suatu konstruk motivasi yang termanifestasi dalam empat kognisi yaitu makna, kompetensi, pilihan, dan dampak. Menurut Spreitzer (1995), pemberdayaan merupakan perluasan dari job enrichment. Hal ini dapat meningkatkan harga diri dan menimbulkan perasaan bahwa dirinya kompeten dalam melakukan tugas. Pada model pemberdayaan yang dibentuk oleh Spreitzer ini ditandai dimana pada akhirnya pelaksanaan tugas yang dilakukan karyawan akan menghasilkan motivasi dan kepuasan dan mengarah pada tingkah laku yang selaras. Menurut Spreitzer (1995), pemberdayaan karyawan menimbulkan beberapa konsekuensi yang signifikan yakni berupa efektifitas dan tingkah laku inovatif. Pada level manajerial, pemberdayaan karyawan mampu memberikan kontribusi yang signifikan. Manajer yang diberdayakan akan melihat dirinya kompeten dan mampu mempengaruhi pekerjaan dan lingkungan kerjanya dengan cara yang berarti. Mereka juga lebih proaktif dalam melaksanakan tanggung jawab pekerjaannya, misalnya dalam mengantisipasi persoalan dan bertindak secara independen, sehingga pekerjaannya dapat dijalankan secara efektif. Selain itu, pemberdayaan akan mampu meningkatkan konsentrasi, inisiatif dan fleksibel, sehingga mendorong efektifitas kerja seorang manajer. Sedangkan pada level karyawan, jika karyawan diberdayakan, maka akan memiliki keyakinan bahwa mereka mampu melakukan sendiri dan mempunyai pengaruh, sehingga mereka cenderung lebih kreatif. Mereka tidak merasa terikat oleh peraturan atau aspek teknis pekerjaan. Keyakinan akan kemampuannya melakukan tugas akan mendorong karyawan untuk lebih inovatif dan mengharapkan dirinya berhasil. Secara garis besar, ada dua perbedaan cara untuk memandang pemberdayaan, yaitu pemberdayaan dari aspek relasional/struktural dan aspek psikologis. Konsep pemberdayaan berdasarkan aspek relasional/struktural menegaskan kepada masalah pembagian kekuasaan antara manajer/pimpinan dan bawahan. Selain itu aspek relasional ini memiliki fokus pada pembagian otoritas pengambilan keputusan. Sedangkan pemberdayaan dari aspek psikologis memandang pemberdayaan sebagai proses yang berpengaruhi terhadap inisiasi dan ketekunan bekerja. (Conger dan Kanungo dalam Baker, 2000). 2.3 KEPUASAN KERJA Kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu. (Robbins, 2001). Menurut Blum dan Naylor (1986), kepuasan kerja adalah hasil daripada beberapa sikap yang dimiliki oleh seorang pekerja terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan bidang penelitian yang memfokuskan antara dua pengaruh yaitu pengaruh pekerjaan organisasi terhadap pekerja dan pengaruh pekerja terhadap pekerjaan organisasi. Luthans (1998), menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi. Pertama, kepuasan kerja adalah tanggapan emosional seseorang terhadap situasi kerjanya. Kepuasan ini bersifat abstrak, tidak dapat dilihat hanya dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja hanya dapat ditentukan oleh sejauh mana hasil kerja memenuhi atau melebihi harapan seseorang. Jika mereka bekerja lebih berat dibandingkan orang lain pada organisasi yang sama, tetapi penghargaan yang diterima lebih rendah, maka mereka akan bersikap negatif terhadap pekerjaannya. Sebaliknya, jika mereka diperlakukan

dengan baik, dan diberi penghargaan yang layak, maka mereka akan bersikap positif terhadap pekerjaannya. Ketiga, kepuasan kerja menunjukkan beberapa sikap seseorang yang saling terkait. Smith, Kendall, dan Hulin dalam Lok (1997) mengembangkan pengukuran kepuasan yang terdiri dari kepuasan terhadap pengawasan, hubungan pekerja, pekerjaan, penggajian, dan promosi. Pengukuran lain yang biasa digunakan yaitu dengan Job Diagnosic Index yang dikembangkan oleh Hackman dan Oldham (1975) yang mengukur kepuasan kerja dari lima dimensi pekerjaan yang terdiri dari skill variety, task identify, task significance, autonomy, dan job feedback. Luthans (1998) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu: 1. Pekerjaan yang dilakukan Jenis pekerjaan yang dilakukan dapat merupakan sumber kepuasan. Pekerjaan yang dapat memberikan kepuasan kerja adalah pekerjaan yang menarik dan menantang, tidak membosankan dan pekerjaan itu dapat memberikan status. 2. Gaji Gaji dan upah yang diterima karyawan dianggap sebagai refleksi cara pandang manajer mengenai kontribusi karyawan terhadap organisasi. Uang tidak hanya membantu orang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga dapat memberikan kepuasan pada tingkat berikutnya. 3. Promosi Kesempatan untuk lebih berkembang di organisasi dapat menjadi sumber kepuasan kerja. 4. Supervisi Kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan moral dapat meningkatkan kepuasan kerja. Sikap supervisor yang dapat meningkatkan kepuasan kerja adalah karyawan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, supervisor yang memberi pengarahan dan bantuan pada karyawan, dan berkomunikasi dengan karyawan. 5. Lingkungan kerja dan rekan sekerja. Rekan kerja dapat memberikan bantuan secara teknis dan dapat mendukung secara sosial akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Luthans (1998) menjelaskan kepuasan kerja akan mempengaruhi faktor-faktor : 1. Produktivitas Karyawan yang tingkat kepuasan kerjanya tinggi, produktivitasnya akan meningkat, walaupun hasilnya tidak langsung. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada beberapa variabel moderating yang menghubungkan antara produktivitas dengan kepuasan kerja, terutama penghargaan. Jika karyawan menerima penghargaan yang mereka anggap layak, maka mereka akan merasa puas sehingga usaha untuk mencapai kinerja semakin tinggi. 2. Keinginan untuk berpindah kerja (turnover). Jika karyawan tidak merasa puas terhadap pekerjaannya, maka besar keinginan mereka untuk pindah kerja. Walaupun demikian, hasil penelitian sebelumnya tidak mendukung pernyataan sebaliknya. Tingkat kepuasan kerja yang tinggi bukan berarti karyawan yang bekerja di organisasi tersebut tidak ingin pindah (turnover rendah). 3. Tingkat kehadiran Hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa ketika tingkat kepuasan kerja tinggi maka tingkat ketidakhadiran (absen) rendah. Sebaliknya, ketika tingkat kepuasan rendah maka tingkat ketidakhadiran tinggi. 4. Faktor lain-lain Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karyawan yang tingkat kepuasannya tinggi akan mempunyai kesehatan fisik dan mental yang lebih baik, lebih cepat untuk mempelajari tugastugas, tidak banyak kesalahan yang dibuat, tidak banyak keluhan. Selain itu, karyawan akan menunjukkan perilaku dan aktivitas yang lebih baik, misal membantu rekan sejawat, membantu pelanggan, dan lebih mudah bekerja sama. Terdapat banyak cara untuk mengukur kepuasan kerja karyawan dalam suatu organisasi/perusahaan baik besar maupun kecil. Menurut Luthans (1989) terdapat empat cara yang dapat dipakai untuk mengukur kepusan kerja, yaitu: 1. Rating Scale (Skala Rentang) Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan Rating Scale antara lain: (1) Minnessota Satisfaction Questionnaire, (2) Job Descriptive Index, dan (3) Porter Need Satisfaction Questionnaire.

Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) adalah suatu instrumen atau alat pengukur kepuasan kerja yang dirancang demikian rupa yang di dalamnya memuat secara rinci unsurunsur yang terkategorikan dalam unsur kepuasan dan unsur ketidakpuasan. Skala MSQ mengukur berbagai aspek pekerjaan yang dirasakan sangat memuaskan, memuaskan, tidak dapat memutuskan, tidak memuaskan dan sangat tidak memuaskan. Karyawan diminta memilih satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya. Job descriptive index adalah suatu instrumen pengukur kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Kendall dan Hulin. Dengan instrumen ini dapat diketahui secara luas bagaimana sikap karyawan terhadap komponen-komponen dari pekerjaan itu. Variabel yang diukur adalah pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, supervisi dan mitra kerja. Porter Need Satisfaction Questionnaire adalah suatu intrumen pengukur kepuasan kerja yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja para manajer. Pertanyaan yang diajukan lebih mempokuskan diri pada permasalahan tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh para manajer. 2. Critical Incidents (Kejadian Kritis) Critical Incidents dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Dia menggu-nakan teknik ini dalam penelitiannya tentang teori motivasi dua faktor. Dalam penelitiannya tersebut dia mengajukan pertanyaan kepada para karyawan tentang faktor-faktor apa yang saja yang membuat mereka puas dan tidak puas. 3. Interview (Wawancara) Untuk mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan wawancara yang dilakukan terhadap para karyawan secara individu. Dengan metode ini dapat diketahui secara mendalam mengenai bagaimana sikap karyawan terhadap berbagai aspek pekrjaan. 4. Action Tendencies (Kencendrungan Tindakan) Action Tendencies dimaksudkan sebagai suatu kecenderungan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kepuasan kerja karyawan dapat dilihat berdasarkan action tendencies. Dalam penelitian ini kepuasan kerja diukur dengan menggunakan model fixed response scale yang dikembangkan dalam instrumen Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Becker (1992) mengemukakan bahwa komitmen pada manajemen puncak, supervisor dan pekerja level bawah merupakan faktor penting yang mempengaruhi kepuasan kerja, keinginan pindah, dan perilaku organisasi lainnya. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa komitmen untuk fokus pada pekerja organisasi, khususnya pada manajemen puncak, supervisor, dan pekerja level bawah berhubungan negatif terhadap keinginan pindah dan berhubungan positif terhadap kepuasan kerja dan perilaku organisasi serta menunjukkan perbedaan yang signifikan. 2.4 KOMITMEN ORGANISASI Pada penelitian ini, model yang digunakan dalam menganalisa komitmen karyawan terhadap organisasi adalah model tiga komponen dari Allen dan Meyer. Model ini merupakan model terbaru yang telah dikembangkan melalui penelitian empiris yang mendalam. Selain itu, model ini telah dikembangkan melalui proses identifikasi terhadap persoalan yang serupa dalam menggambarkan konsep komitmen organisasi dimana konsepsi yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya sudah tercakup pada kompnenen yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer. Komitmen organisasi adalah kuatnya pengenalan dan keterlibatan seseorang dalam suatu organisasi tertentu. (Mowday, Porter, dan Steers dalam Panggabean, 2002). Menurut Salancik (1977), definisi komitmen organisasi dipengaruhi oleh dua pendekatan yaitu komitmen organisasi berdasarkan perilaku organisasi dan pendekatan psikologi sosial. Berdasarkan pendekatan perilaku organisasi komitmen organisasi merupakan identifikasi pekerja dan keterlibatannya dalam tujuan dan nilai organisasi (Halaby, 1986). Komitmen organisasi merupakan keinginan dan loyalitas pekerja berpikir kearah organisasi. Menurut Marrow dalam Lim (2003), terdapat 3 bentuk dari komitmen organisasi yaitu calculative, affective, dan normative berdasarkan pengaruh kesetiaan karyawan terhadap organisasi dengan komitmen organisasi. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai hubungan psikologi antara pekerja dan organisasi yang membuat pekerja enggan untuk meninggalkan organisasi (Allen dan Mayer, 1990). Allen dan Meyer memasukkan komponen komitmen affective (afektif), continuance (kontinuan), dan normative (normatif)

Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Allen dan Meyer menyatakan bahwa continuance commitment tidak berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasuskasus di mana job retention jelas sekali mempengaruhi hasil pekerjaan. Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi dibandingkan yang rendah. Continuance commitment tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran kerja. Berdasarkan beberapa penelitian continuance commitment tidak memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi. Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan. Continuance commitment tidak berhubungan dengan kecenderungan seorang anggota organisasi untuk mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya. Hal menarik lainnya, semakin besar continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik. Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer dan Allen menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk bertingkah laku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya normative commitment diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan organizational citizenship. Normative commitment akan berdampak kuat pada suasana pekerjaan. Hubungan antara normative commitment dengan ketidakhadiran seseorang jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment dianggap memiliki hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian. Namun suatu penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Sedikit sekali penelitian yang mengukur normative commitment dan role-job performance. Berdasarkan hasil penelitian normative commitment berhubungan positif dengan pengukuran hasil kerja dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara komitmen terhadap organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan actual turnover. Meskipun hubungan terbesar terdapat pada affective commitment, terdapat pula hubungan yang signifikan antara komitmen dan turnover variable diantara ketiga dimensi komitmen. Sebagian besar organisasi menginginkan anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi saja. Komitmen Organisasi dalam setiap dimensinya memiliki konsekuensi secara umum yang mengarah pada bertahannya karyawan di dalam organisasi. Menurut Allen dan Meyer, dikemukakan bahwa setiap dimensi komitmen organisasi memiliki konsekuensi yang cukup berbeda dibandingkan pandangan awam yang hanya melihat tingkah laku di tempat sebatas absensi dan kinerja. Sifat psikologis dari setiap dimensi komitmen organisasi merupakan dasar konsekuensi dari komitmen tersebut. Affective Commitment yang tinggi mengindikasikan bahwa ada kedekatan emosional karyawan terhadap organisasinya akan memberikan motivasi atau keinginan yang besar dalam diri karyawan tersebut untuk memberikan kontribusi yang dianggap memiliki arti penting pada organisasinya. Konsekuensi logis lainnya adalah timbulnya motivasi kehadiran yang lebih besar setiap harinya di kantor sehingga mengurangi jumlah absensi. Selain itu, karyawan juga akan memiliki motivasi untuk menampilkan unjuk kerja yang baik di tempat kerjanya. Demikian pula sebaliknya untuk karyawan yang memiliki komitmen yang rendah. Berbeda dengan dimensi afektif, dimensi komitmen kontinuan, karyawan dengan tingkat dimensi komitmen kontinuan yang tinggi akan bertahan di dalam organisasi karena mengakui bahwa biaya yang diasosiasikan dengan melakukan hal lain di luar organisasi dianggap terlalu besar. Apabila biaya dianggap sebanding, maka sulit bagi organisasi untuk mengharapkan kontribusi lebih dari karyawan tersebut. Kalau pun karyawan tersebut hanya bertahan di dalam organisasi, maka hal ini dapat menimbulkan perasaan marah, tidak suka, atau frustasi yang mengarah pada tingkah laku di tempat kerja yang kurang baik. Dengan demikian, komitmen kontinuan berkaitan dengan persoalan kehadiran dan indikator unjuk kerja.

Sedangkan dimensi komitmen normatif, berkaitan dengan adanya perasaan harus melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang ditugaskan organisasi. Perasaan tersebut mendorong karyawan untuk memiliki motivasi dalam menampilkan tingkah laku yang dianggap pantas dan baik di mata organisasi. Selanjutnya hal ini berdampak pada tingkah laku di tempat kerja seperti unjuk kerja, kehadiran, dan keanggotaannya sebagai bagian dari organisasi. Dampak tersebut tampak serupa dengan konsekuensi dari komitmen afektif, namun tingkatannya kemungkinan tergolong sedang komponen ini tidak melibatkan unsur keterlibatan dan antusiasme sebagaimana yang terdapat pada komitmen afektif. Namun demikian, mengingat unsur keharusan atau balas budi terhadap organisasi, maka komponen ini dapat mempengaruhi seorang untuk berkeinginan dalam melakukan tugas. 2.5 PENELITIAN TERDAHULU Penelitian yang dilakukan Debora (2006) mengenai pemberdayaan kerja dan psikologis terhadap kepercayaan organisasional dan kepuasan kerja Dosen Tetap Perguruan Tinggi Swasta, diketahui bahwa pemberdayaan kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dan kepercayaan organisasional secara langsung. Selain itu, secara tidak langsung dengan melalui pemberdayaan psikologis juga mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepercayaan organisasional dan kepuasan kerja. Penyusun pemberdayaan kerja pada penelitian ini adalah akses informasi, akses sumberdaya, akses dukungan, dan akses peluang. Keempat penyusun ini merupakan faktor penting sebagai pembentuk pemberdayaan kerja. Virlaili (2007) dalam penelitiannya mengenai pengaruh pemberdayaan karyawan terhadap keterlibatan karyawan melalui kepuasan kerja (studi kasus pada karyawan PT. BRI (Persero) Kanca Malang Martadinata) diketahui bahwa pemberdayaan karyawan mempunyai pengaruh langsung yang cukup signifikan terhadap kepuasan kerja, kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keterlibatan karyawan, sedangkan pemberdayaan karyawan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keterlibatan karyawan. Pengaruh tidak langsung pemberdayaan karyawan terhadap keterlibatan karyawan melalui kepuasan kerja. Dalam penelitian ini, Virlaili menyarankan agar pihak manajemen BRI Kanca Malang Martadinata benar-benar mengimplementasikan program pemberdayaan karyawan, terutama dalam hal pembagian wewenang pada bawahan untuk benar-benar bertanggung jawab penuh pada pekerjaan yang mereka kerjakan. Saran ini diberikan mengingat pemberdayaan karyawan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap keterlibatan karyawan dengan dimediasi kepuasan kerja terlebih dahulu. Penelitian yang dilakukan Sinurat (2004) mengenai hubungan komitmen organisasi dan pemberdayaan karyawan pada organisasi yang mengalami downsizing (studi kasus pada SBU INCO, PT. Sucofindo, Persero). Dimensi penyusun komitmen organisasi pada penelitian ini adalah komitmen afektif, komitmen normatif, dan komitmen kontinuan. Sedangkan pembentuk pemberdayaan karyawan adalah dampak, kompetensi, makna, dan pilihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara komitmen organisasi dan pemberdayaan karyawan. Tinjauan korelasi pada setiap dimensi-dimensinya hanya menunjukkan sedikit hubungan yang tergolong lemah. Hubungan yang signifikan ditemukan pada variabel komitmen organisasi dan dimensi dampak pada variabel pemberdayaan karyawan. Selain itu, juga ditemukan hubungan signifikan pada dimensi komitmen kontinuan terhadap dampak, serta dimensi pilihan. Mengacu pada hasil penelitiannya, Ia menyatakan bahwa karyawan masih memiliki potensi untuk produktif, namun masih membutuhkan arahan dan dukungan.