BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Dalam manajemen keuangan daerah, reformasi ditandai dengan pelaksanaan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. Adanya reformasi pada tahun 1998, mengakibatkan terjadinya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Indonesia. Teknik sampling pada penelitian ini adalah menggunakan purposive

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. yang mana dinyatakan oleh Jansen dan Meckling (1976), bahwa hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Scott (2000) dalam Bangun (2009)

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belanja modal termasuk jenis belanja langsung dan digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah teori agensi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan. perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan dalam dunia bisnis dapat dideskripsikan sebagai hubungan antara pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu, pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaan kepada pemegang saham. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenen sebagai kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Teori keagenan merupakan teori yang berakar dari sinergi antara teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi dan teori organisasi (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Pada prinsipnya dalam teori ini terdapat hubungan kerja antara dua belah pihak, yaitu pihak pemberi wewenang (prinsipal) dan pihak penerima wewenang (agen). Organisasi sektor publik sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perusahaan pada umumnya dimana di dalamya terdapat dua pihak yang memiliki hubungan. Akan tetapi, dalam proses penyusunan dan

perubahan anggaran daerah terdapat dua perspektif yaitu hubungan antara eksekutif dengan legislatif, dan legislatif dengan pemilih atau rakyat. Hubungan antara eksekutif dan legislatif dapat dijelaskan ketika eksekutif yang bertindak sebagai agen mempunyai masalah keagenan yang cenderung ingin memaksimalkan kepentingan pribadinya dalam pembuatan atau penyusunan anggaran APBD. Hal ini terjadi karena eksekutif merasa mempunyai keunggulan informasi yang tidak dimiliki oleh pihak lain. Legislatif yang bertindak sebagai prinsipal akan cenderung melakukan kontrak-kontrak yang abstrak atau kurang jelas dengan pihak eksekutif, hal ini terjadi karena legislatif mempunyai discretionary power (keunggulan kekuasaan) bila dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga dalam penyusunan anggaran, pihak legislatif ini dapat menitipkan proyek-proyek maupun kegiatan yang semata-mata untuk kepentingan pribadinya. Hubungan yang kedua yaitu antara legislatif dengan pemilih atau rakyat. Legislatif sebagai agen mempunyai kewajiban untuk membela kepentingan rakyat atau pemilihnya. Akan tetapi, pada kenyataannya dalam proses penyusunan anggaran sering kali hal tersebut justru kebalikannya dimana legislatif mengabaikan kepentingan rakyatnya dan mereka lebih fokus untuk kepentingan pribadi atau golongannya, maka disinilah masalah keagenan ini muncul.

2.1.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD) Menurut Permendagri No 13 tahun 2006 anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) diartikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD serta ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD ini menjadi dasar pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik dalam waktu satu tahun anggaran. Melalui APBD inilah suatu anggaran sektor publik dapat dilihat bagaimana dalam satu tahun anggaran tersebut pemerintah daerah dapat menggambarkan sumber pendapatan, belanja dan pembiayaan yang terjadi serta kegiatan atau program kerja apa saja yang akan dikerjakan. Jadi dalam suatu pemerintah darah, APBD dapat menjadi salah satu instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik, hal ini dapat terjadi karena anggaran sektor publik dapat dipresentasikan dalam bentuk APBN maupun APBD (Mardiasmo, 2002). 2.1.3. Pendapatan Asli Daerah(PAD) Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. PAD dapat menjadi salah satu indikator tingkat kemandirian suatu daerah dalam mengelola keuangan daerahnya, dimana semakin tinggi rasio PAD dalam suatu pemerintah daerah

terhadap total pendapatannya maka akan semakin tinggi pula tingkat kemandirian daerah tersebut (Kusnandar dan Siswantoro, 2012). PAD dapat menjadi salah satu indikator kemandirian suatu daerah, hal ini dikarenakan masing-masing daerah mempunyai PAD yang berbeda-beda disetiap daerahnya tergantung pada potensi sumber daya alam yang ada, serta kemampuan untuk menggali dan mengelolanya (Maryadi, 2014). Jadi dengan PAD yang dimiliki semakin tinggi, maka hal ini dapat mempengaruhi besarnya anggaran belanja modal daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada publik. Pelayanan kepada publik semakin baik serta infrastruktur yang lebih merata dan lebih baik pula, maka hal ini juga akan kembali lagi bisa menaikan PAD daerah tersebut. 2.1.4. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Menurut Permendagri No 13 Tahun 2006 Pasal 1, sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA dapat menjadi salah satu sumber penerimaan internal pemerintah daerah yang dapat digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan pada tahun berjalan, akan tetapi jumlah dari sisa anggaran ini belum pasti karena dalam penetapan anggaran untuk tahun sekarang belum ada pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran tahun sebelumnya, sehingga penetapan jumlah SiLPA ini masih dalam bentuk taksiran atau belum sesuai dengan berapa yang sesungguhnya dicantumkan (Abdullah dan Rona, 2015). Jadi perubahan atas besarnya

jumlah SiLPA ini harus disesuaikan karena dapat berpengaruh terhadap anggaran belanja modal. SiLPA dapat digunakan untuk mendanai kelanjutan kegiatan yang belum selesai dikerjakan pada tahun sebelumnya, dan dapat juga digunakan untuk membiayai kegiatan baru yang sebelumnya belum dianggarkan dalam APBD murni (Abdullah, 2013a). SiLPA pada dasarnya merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. Hal ini dikarenakan SiLPA hanya akan terbentuk jika terjadi surplus pada APBD dan sekaligus menjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan (Balai Litbang NTT, 2008 dalam Kusnandar dan Siswantoro, 2012). 2.1.5. Luas Wilayah Menurut Undang Undang No 33 tahun 2004 luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Luas wilayah pemerintahan dapat diartikan sebagai jumlah ukuran dari besarnya wilayah suatu pemerintahan, baik itu pemerintahan kabupaten, kota atau bahkan provinsi, dan terkadang luas wilayah ini berkaitan erat dengan geografis suatu daerah tersebut (Maryadi, 2014). Suatu daerah yang mempunyai luas wilayah lebih luas maka sudah pasti membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak, hal ini sebagai syarat untuk memberikan pelayanan kepada publik jika dibandingkan dengan daerah

yang kurang begitu luas (Kusnandar dan Siswantoro, 2012). Besarnya luas wilayah akan berbanding lurus dengan kebutuhan infrastruktur untuk pelayanan kepada publik, dimana wilayah yang lebih luas akan membutuhkan sarana prasana yang lebih banyak, begitu juga sebaliknya dengan wilayah yang tidak begitu luas. Hal ini tentunya akan berdampak pada anggaran setiap daerah yang berbeda khususnya berkaitan dengan anggaran belanja modalnya. Jadi semakin luas wilayah suatu daerah maka tentunya akan semakin besar pula anggaran untuk belanja modal daerah tersebut. 2.1.6. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi ialah proses kenaikan output per kapita yang dapat diukur dengan besarnya produk domestik regional bruto (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Pertumbuhan ekonomi ini menjadi salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kesejahteraan atau bagaimana gambaran kegiatan perekonomian suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dengan daerah lain tentunya berbeda, hal ini disebabkan karena ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana publik yang tidak sama pula. Pertumbuhan infrastrukur maupun pelayanan publik yang lain menjadi salah satu hal yang penting dalam pergerakan roda perekonomian. Hal ini dikarenakan dengan infrastrukur yang baik, serta fasilitas yang lengkap akan mempermudah dan mempercepat kegiatan distribusi barang, akses transportasi mudah, maupun aktivitas ekonomi lainnya serta dapat

meningkatkan daya tarik investasi kepada suatu daerah. Sehingga dengan pertumbuhan ekonomi yang baik yang didukung dengan pertumbuhan infrastruktur dan fasilitas fasilitas yang lain maka akan semakin berkurang adanya daerah yang tertinggal, serta kemungkinan besar daerah-daerah yang ada akan mampu mempunyai tingkat kesejahteraan yang tinggi pula. 2.1.7. Belanja Modal Menurut Permendagri No 13 Tahun 2006, belanja modal adalah segala bentuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian atau pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah. Dalam PP No 71 tahun 2010 juga disebutkan bahwa belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal dapat berbentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, serta aset tetap lainnya. Belanja modal pada setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar (Abdullah, 2013c). Besarnya anggaran belanja modal suatu daerah inilah nantinya dapat disalurkan ke dalam berbagai bentuk dari belanja modal yang tujuannya untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan optimal untuk publik. Oleh karena itu, pemerintah mengharapkan anggaran belanja benar-benar dimanfaatkan dengan tepat, jangan sampai anggaran yang ada hanya digunakan untuk belanja-belanja yang kurang produktif. Apalagi

menurut The Asian Fondation (TAF) rata-rata 65% dana APBD yang ada di seluruh daerah dibelanjakan untuk gaji pegawai (http://keuda.kemendagri.go.id). Sehingga perlu adanya suatu perubahan atau penyesuaian terhadap anggaran yang ada khususnya berkaitan dengan anggaran belanja modal agar APBD yang nantinya dibuat akan lebih baik dan sesuai dengan yang diharapkan oleh pusat, daerah, serta publik. 2.2. Kerangka Pemikiran Sesuai dengan telaah literature yang telah dikemukakan diatas serta dengan melihat hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan pendapatan asli daerah (PAD), sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA), luas wilayah dan pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan anggaran belanja modal, maka penulis mengembangkan kerangka teoritis penelitian tentang pendapatan asli daerah (PAD), sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA), luas wilayah, dan pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan anggaran belanja modal sebagai dasar penentuan hipotesis dalam bentuk diagram sistematik melalui bagan yang digambarkan di bawah ini.

Gambar 2.1 Kerangka Teoritis Hubungan Antar Variabel Variabel Independen Variabel Dependen PAD SiLPA Luas Wilayah Pertumbuhan Ekonomi H1 (+) H2 (+) H3 (+) H4 (+) Perubahan Anggaran Belanja Modal 2.3. Pengembangan Hiptotesis 2.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan asli daerah merupakan salah satu sumber dari pendapatan daerah yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber untuk anggaran belanja modal suatu daerah. Semakin tinggi pendapatan asli suatu daerah maka anggaran belanja modal suatu daerah juga akan tinggi. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007), Kusnandar dan Siswantoro (2012), Arwati dan Hadiati (2013), Sinarwati dan Yuniarta (2014) menyatakan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap anggaran belanja modal. Berdasarkan

uraian tersebut diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut. H 1 : Pendapatan asli daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap perubahan anggaran belanja modal. 2.3.2. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) merupakan sisa lebih dari penerimaan maupun pengeluaran dalam satu tahun anggaran. SiLPA dapat digunakan sebagai sumber pendanaan untuk kegiatan maupun belanja tahun selanjutnya termasuk bisa digunakan untuk anggaran belanja modal. Semakin tinggi SiLPA suatu daerah maka semakin tinggi pula anggaran belanja modal suatu daerah tersebut. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012), Maryadi (2014) menyatakan bahwa sisa lebih perhitungan anggaran berpengaruh positif terhadap anggaran belanja modal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka hipotesis hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut. H 2 : Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) berpengaruh positif terhadap perubahan anggaran belanja modal.

2.3.3. Luas Wilayah Luas wilayah dapat mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Wilayah yang lebih luas sudah barang tentu membutuhkan sarana prasarana yang lebih banyak dan memadai agar semua sudut wilayah dapat merasakan akan pelayanan publik yang lebih baik, serta hal ini dapat mengurangi kesenjangan antar daerah. Melalui sarana dan prasarana yang lebih memadai maka pelayanan kepada publik juga akan meningkat, akan tetapi peningkatan sarana dan prasarana suatu daerah juga harus diimbangi dengan adanya dana atau anggaran yang khusus digunakan untuk belanja modal. Oleh karena itu, semakin luas suatu wilayah maka akan membutuhkan anggaran belanja modal yang lebih besar pula. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) dan Maryadi (2014) menyatakan bahwa luas wilayah berpengaruh positif terhadap anggaran belanja modal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut. H 3 : Luas wilayah berpengaruh positif terhadap perubahan anggaran belanja modal.

2.3.4. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat menjadi salah satu indikator kesejahteraan suatu daerah. Setiap daerah menginginkan pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat disetiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat tercapai tujuannya manakala didukung dengan pertumbuhan infrastruktur maupun fasilitas lain yang dapat membantu kegiatan perekonomian rakyat, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan dari rakyat daerah tersebut. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lin dan Liu (2000) menyatakan bahwa antara desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang positif dan signifikan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dinyatakan seperti berikut. H 4 : Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap perubahan anggaran belanja modal.