BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal)
|
|
- Glenna Hartono
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori Teori keagenan Menurut Jensen dan Meckling (1976), hubungan keagenan dalam teori keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal) dengan orang lain (agen). Prinsipal dalam hal ini menyewa agen untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Adanya hubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan yaitu: 1) terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dalam hal ini secara umum agen memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarnya dari prinsipal. Asimetri informasi berkaitan dengan efektivitas arus informasi dan interaksi antara prinsipal dan agen dalam melakukan tugas tertentu (Ahmad et al., 2012 dalam Wertianti, 2013). 2) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) yang diakibatkan oleh adanya ketidaksamaan tujuan antara agen dan prinsipal, dimana agen tidak selalu bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal. Teori keagenan mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Adanya perbedaan kepentingan ini membuat masing-masing pihak berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri. Usulan yang diajukan oleh eksekutif (agen) memiliki muatan mengutamakan
2 kepentingan eksekutif. Eksekutif atau agency yang menjadi pengusul anggaran dan juga pelaksana atau pengguna dari anggaran tersebut berupaya untuk memaksimalkan jumlah anggaran (Smith & Bertozzi, 1998 dalam Suryarini, 2012). Sementara itu, prinsipal sulit untuk mengawasi dan mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh agen karena sedikitnya jumlah informasi yang dimiliki pihak prinsipal. Sadar atau tidak, praktik teori keagenan telah dilaksanakan di organisasi publik khususnya di pemerintahan daerah. Pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten/kota sering mempraktikkan agency theory dalam penyusunan rancangan APBD (Adiwiyana, 2011). Dalam sektor publik, masyarakat yang diproksikan oleh DPRD berperan sebagai prinsipal, sedangkan pemerintah daerah berperan sebagai agen. Semestinya pemerintah daerah sebagai pihak agen bertindak sesuai dengan kehendak prinsipalnya (masyarakat), namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Pemerintah daerah (agen) terkadang berperilaku opportunis dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Hal ini sesuai dengan teori keagenan yang menyatakan bahwa antara agen dan prinsipalnya tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dan agen cenderung melakukan suatu tindakan untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest). Kaitan agency theory dalam penelitian ini dapat dilihat hubungan antara masyarakat yang diproksikan oleh DPRD (prinsipal) dengan pemerintah daerah (agen). Pemberian sumber daya berupa pembayaran pajak, retribusi dan sebagainya guna meningkatkan pendapatan asli daerah telah diberikan oleh masyarakat (prinsipal) kepada daerah. Selaku agen, pemerintah daerah sudah
3 selayaknya memberikan timbal balik kepada masyarakat dalam bentuk pengalokasian belanja daerah dalam upaya pemenuhan kebutuhan publik yang memadai. Dimana pemenuhan kebutuhan publik tersebut didanai oleh pendapatan daerah itu sendiri sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai Teori fiscal federalism Teori Fiscal Federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat tercapai melalui pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan kepada pemerintah tingkat rendah (Akai & Sakata, 2002). Bodman et al. (2009) menyatakan secara teoritis desentralisasi fiskal merupakan devolusi tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dapat meningkatkan atau mengurangi pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi fiskal memiliki fungsi yang utama yakni meningkatkan efisiensi sektor publik dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Faridi, 2011). Teori fiscal federalism dibagi menjadi dua perspektif yakni teori tradisional dan teori perspektif baru. Hayek (1945) mengemukakan bahwa teori tradisional menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi. Pandangan ini memiliki dua pendapat yang menekankan keuntungan alokatif desentralisasi. Pertama, tentang penggunaan knowledge in society yang menyiratkan proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya. Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik
4 dibandingkan pemerintah pusat terkait kondisi daerah masing-masing. Kedua, Tiebout (1956) memperkenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah dan kompetisi antar daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Teori yang kedua dikenal sebagai teori perspektif baru, dikemukakan oleh Musgrave (1959) dan Oates (1972). Teori ini lebih menekankan bagaimana desentralisasi fiskal berpengaruh pada perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat peraturan tentang ekonomi lokal, maka campur tangan pemerintah pusat dalam perekonomian daerah dibatasi. Menurut Mardiasmo (2002), desentralisasi fiskal menuntut tiap-tiap daerah memiliki kemandirian fiskal yang tinggi dengan mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal dikatakan menawarkan sejumlah manfaat bagi tata kelola sektor publik, termasuk pertumbuhan, akuntabilitas dan responsivitas para pejabat pemerintah terhadap tuntutan lokal dan kebutuhan (Amagoh & Amin, 2012). Penerapan sistem pemerintahan terdesentralisasi, akan membuat pemerintah daerah dikejar untuk meningkatkan usahanya dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik di wilayahnya (Suhardjanto,dkk., 2009). Tirtosuharto (2010) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal memberikan struktur insentif yang lebih besar bagi pemerintah untuk lebih efisien dalam
5 mengalokasikan sumber daya keuangannya, namun itu tidak selalu mengarah pada pertumbuhan yang kuat karena meningkatnya kesenjangan antar daerah terutama di tingkat kapasitas pembangunan dan sumber daya Belanja rutin Belanja rutin merupakan pengeluaran anggaran untuk kegiatan seharihari pemerintah daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Pengeluaran ini tidak menambah aset kekayaan bagi daerah (Baswir, 2000). Belanja rutin meliputi: 1) Belanja Pegawai 2) Belanja Barang 3) Belanja Bunga 4) Belanja Subsidi 5) Belanja Hibah 6) Belanja Bantuan Sosial 7) Belanja Bantuan Keuangan Belanja modal Belanja modal merupakan salah satu komponen dari belanja langsung yang berfungsi untuk membiayai kebutuhan investasi. Belanja modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya (Mardiasmo, 2009:67). Belanja Modal dapat dikelompokkan menjadi lima kategori antara lain:
6 1) Belanja Modal Tanah 2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin 3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan 4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan 5) Belanja Modal Fisik Lainnya Sedangkan menurut Halim (2002:73), Belanja modal dibagi menjadi: 1) Belanja Publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contoh belanja publik yaitu pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans. 2) Belanja Aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Contoh belanja aparatur : pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, dan pembangunan rumah dinas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dewasa ini persoalan mengenai capaian pembangunan manusia telah menjadi perhatian para penyelenggara pemerintahan (Artaningtyas, dkk., 2011). Berbagai ukuran pembangunan manusia dibuat namun tidak semuanya dapat digunakan sebagai ukuran standar yang dapat dibandingkan antar wilayah atau antar negara. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah suatu indikator pembangunan manusia yang diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub Ul Haq seorang ekonom dari pakistan yang dibantu oleh Gustav
7 Ranis. Lebih lanjut, Artaningtyas, dkk. menyatakan bahwa IPM lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan per kapita untuk melihat kemajuan pembangunan yang selama ini digunakan. IPM dapat mengetahui kondisi pembangunan di daerah dengan alasan: 1) IPM merupakan indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas manusia. 2) IPM menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari proses pembangunan, sebagai bagian dari haknya seperti dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. 3) IPM digunakan sebagai salah satu ukuran kinerja daerah, khususnya dalam hal evaluasi terhadap pembangunan kualitas hidup masyarakat/penduduk. 4) Meskipun menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas hidup manusia, IPM belum tentu mencerminkan kondisi sesungguhnya namun untuk saat ini IPM merupakan satu-satunya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan kualitas hidup manusia Konsep IPM menurut UNDP dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengacu pada pengukuran capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup, yaitu: 1) Capaian di bidang kesehatan yang diukur dalam indeks harapan hidup 2) Capaian di bidang pendidikan dengan mengukur rata-rata lama sekolah (ratarata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di
8 seluruh jenjang pendidikan formal yang dijalani) dan angka melek huruf Latin atau lainnya terhadap jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih. 3) Indeks standar kehidupan yang layak, yang diindikasikan dengan logaritma normal dari produk domestik bruto perkapita penduduk dalam paritas daya beli. Dengan demikian terdapat tiga indeks yang menjadi komponen dalam perhitungan Indeks Pembangunan Manusia yaitu Indeks Usia Harapan Hidup (Life Expectancy Index), Indeks Pendidikan (Education Index), dan Indeks Pendapatan (Income Index). Rumus penghitungan IPM dapat disajikan sebagai berikut : IPM = 1/3 (X1 + X2 + X3)...(1) Dimana : X1 = indeks konsumsi perkapita yang disesuaikan X2 = indeks angka harapan hidup X3 = indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata lama bersekolah) Penetapan kategori IPM didasarkan pada skala 0,0-1,0 (Mudrajad, 2003 dalam Artaningtyas, 2011) terdiri dari : Kategori rendah : nilai IPM 0-0,5 Kategori menengah : nilai IPM antara 0,51-0,79 Kategori tinggi : nilai IPM 0,8-1
9 2.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan landasan teori, maka kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dari hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yang disajikan pada Gambar 2.1 berikut ini. Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Belanja Rutin Belanja Modal H 1 H 2 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Pengaruh alokasi belanja rutin pada indeks pembangunan manusia Belanja rutin merupakan pengeluaran pemerintah yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah aset kekayaan bagi daerah. Belanja rutin meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana umum (Setiawan, 2010). Menurut Badrudin dalam Zebua (2014), belanja daerah yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk belanja rutin diharapkan akan meningkatkan aktivitas yang memicu pertumbuhan ekonomi sehingga kesejahteraan masyarakat pun akan tercapai. Salah satu jenis belanja rutin yaitu belanja barang dan jasa berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM (Zebua, 2014). Sasana (2012) menyatakan bahwa belanja daerah yang mencakup belanja tidak langsung, dimana sebagian besarnya merupakan komponen belanja rutin
10 memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Pengalokasian belanja rutin secara tepat akan menunjang kinerja dari masingmasing unit kerja dalam pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan pembangunan kualitas manusia (Sasana, 2012). Berdasarkan hal tersebut, hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ha. 1 : Belanja Rutin berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi Bali Pengaruh alokasi belanja modal pada indeks pembangunan manusia Belanja modal merupakan salah satu komponen dari belanja langsung yang berfungsi untuk membiayai kebutuhan investasi. Tepatnya pengalokasian belanja modal seperti pembenahan infrastruktur daerah serta fasilitas umum yang memadai akan meningkatkan kualitas dan kuantitas serta meningkatkan produktivitas daerah, pendapatan masyarakat, dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Zebua (2014) menyatakan bahwa Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM. Belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM (Mirza, 2012). Peningkatan alokasi belanja modal semestinya juga meningkatkan kualitas pembangunan manusia yang diukur melalui IPM. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis dalaam penelitian ini adalah: Ha. 2 : Belanja Modal berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi Bali.
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Scott (2000) dalam Bangun (2009)
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Keagenan Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah persetujuan (kontrak) di antara dua
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Menurut Halim dan Abdullah (2006) Teori Keagenan yakni teori yang mengaitkan hubungan prinsipal dengan agen yang berasal
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Fiscal Federalism Teori Fiscal Federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat tercapai melalui pelaksanaan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Teori yang relevan 1. Teori Keagenan (agency theory) Dalam teori keagenan (Jensen dan Meckling, 1976) menyatakan hubungan keagenan merupakan sebuah
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan dalam dunia bisnis dapat dideskripsikan sebagai hubungan antara pemegang saham
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) dalam Wirawan 2014 menjelaskan bahwa teori keagenan melukiskan hubungan antara kepentingan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan
Lebih terperinci3. KERANGKA PEMIKIRAN
3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan
Lebih terperinciBab 1 Pendahuluan. Gambar 1.1 Peta Dunia Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (2004). menengah. tinggi. data ( ) rendah (
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menganalisis hubungan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah
Lebih terperinciBAB II. Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian. mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih
BAB II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan ( Agency Theory ) Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada atau membuat suatu perubahan yaitu membuat sesuatu menjadi lebih baik atau meningkat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem otonomi daerah. Awal dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah sejak diberlakukannya Undang-undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH UNDP (United Nations Development Programme) melalui Human Development Report tahun 1996 tentang Konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pembangunan manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sumber Daya Manusia (SDM) adalah kekayaan suatu negara yang dijadikan sebagai modal dasar pembangunan. Pembangunan bertujuan untuk menciptakan lingkungan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang 22 tahun 1999 (direvisi menjadi UU 32 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah memisahkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi
Lebih terperinciI..PENDAHULUAN. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fisik dan mental. pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan
I..PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah subjek dan objek pembangunan dalam kehidupannya harus mampu meningkatkan kualitas hidupnya sebagai insan pembangunan. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengelola sendiri pengelolaan pemerintahannya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah objek utama dalam perabadan dunia. Dalam skala internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam pembangunan dan peradaban,
Lebih terperinciBAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
BAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Teori Yang Mendasari Penelitian Secara umum, penelitian di sektor publik belum memiliki landasan teori yang kuat dan beragam. Beberapa teori yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa yang telah ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Lebih terperinciM. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri
ANALISIS PENGALOKASIAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) PADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) (Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Kota Kediri) M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perekonomian sangat dibutuhkan peran serta pemerintah untuk melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah memberikan wewenang penuh untuk mengatur dan mengelola daerahnya masing-masing. Hal ini merupakan berkat di satu sisi, namun disisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia merupakan strategi yang bertujuan ganda. Yuwono, dkk (2005) menyatakan strategi tersebut adalah (1) pemberian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995 : 16), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth) merupakan awal proses pembangunan suatu negara. Pembangunan suatu negara diharapkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh UNDP (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan tahunan yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah teori agensi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan adanya
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Agen Teori dalam penelitian ini menjelaskan pengaruh karakteristik pemerintah daerah dan temuan audit BPK terhadap kinerja pemerintah daerah adalah teori
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya bersumber dari prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi
Lebih terperinciBAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap
BAB I PENDHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek yang mendapat perhatian sampai saat ini adalah persoalan kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap hubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah a. Pengertian Belanja Daerah Menurut Halim (2003 : 145), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi. untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini banyak literatur ekonomi pembangunan yang membandingkan antara pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat dengan orang lain (agent) untuk
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Landasan Teori 1. Teori Agensi Jensen et al (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Fiscal Federalism dan Otonomi Daerah Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan bahwa Otonomi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah sering
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah memberikan kesempatan untuk menyelenggarakan otonomi daerah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dampak pelaksanaan otonomi daerah adalah tuntutan terhadap pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan mengedepankan akuntanbilitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk melaksanakan hak dan kewajiban serta untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh rakyat, pemerintah daerah harus mempunyai suatu rencana yang matang untuk mencapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak memasuki era reformasi, perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia dituntut untuk lebih demokratis. Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Otonomi daerah di Indonesia didasarkan pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang sekarang berubah menjadi undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Desentralisasi dan Teori Federalisme Fiskal Secara umum, desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) sejak tahun 1990 dalam seri laporan tahunan yang diberi judul
Lebih terperinciPENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP BELANJA MODAL
PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Kasus Di Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2003-2011) NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengurus daerahnya sendiri, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah adalah wewenang pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus daerahnya sendiri, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Andirfa (2009), menyatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan yang diharapkan oleh setiap daerah tidak terkecuali bagi kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali. Berbagai upaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah sering
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam waktu tujuh tahun sejak tumbangnya rezim orde baru, bangsa Indonesia terus berupaya memperbaiki sistem pemerintahannya. Bahkan upaya-upaya perubahan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kota Bandung merupakan ibu kota Jawa Barat, tentunya Kota Bandung merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat maka sudah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalampelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebutanggaran Pendapatan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ekonomi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan dan peranan yang sangat krusial. Berbagai macam teori maupun kebijakan ekonomi di
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat mengalami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang
BAB I PENDAHULIAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ini dapat dibuktikan dengan jelas dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia pada tahun 1999 menjadi titik tolak tumbuh kembangnya desentralisasi fiskal yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Pelaksanaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA PENDAPATAN BELANJA PEMBIAYAAN. Gambar 3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua
BAB II LANDASAN TEORI A. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan untuk mengalami kemajuan ke arah yang lebih baik. Pembangunan di berbagai negara berkembang dan di Indonesia seringkali diartikan
Lebih terperinci