BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika
|
|
- Bambang Susman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menganalisis hubungan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika prinsipal mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen (Zimmerman, 1977). Hal tersebut terjadi karena adanya asimetri informasi dimana salah satu pihak (agen) memiliki informasi yang lebih banyak. Ada dua bentuk asimetri informasi yaitu adverse selection dan moral hazard (Scott, 2011). Dalam adverse selection, pada awalnya terdapat indikasi untuk memberikan informasi tetapi karena pihak lain tidak tahu atau dianggap tidak tahu maka informasi tidak jadi diberikan, sedangkan bentuk moral hazard sejak awal sudah terdapat indikasi untuk tidak memberikan informasi tersebut pada pihak lain. Agency problem juga terjadi di dalam organisasi pemerintahan (Zimmerman, 1977). Dalam penelitian ini, masalah keagenan terjadi dalam 2 bentuk hubungan yaitu hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Hubungan antara pemerintah pusat sebagai prinsipal dengan pemerintah daerah sebagai agen dapat dilihat dari tindakan pendelegasian wewenang dari pusat kepada daerah. Pemerintah pusat mentransfer dana perimbangan kepada daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban dari adanya pendelegasian wewenang 16
2 17 tersebut dan dana itu digunakan untuk membiayai seluruh belanja pemerintah daerah. Hubungan keagenan juga terjadi diantara pemerintah daerah sebagai agen dengan masyarakat sebagai prinsipal. Masyarakat selama ini sudah memberikan sumber daya ke daerah dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi, dan lain-lain. Mereka seharusnya mendapatkan imbalan dari pemerintah daerah sebagai pengelola keuangan daerah. Pemerintah daerah bisa memberikan timbal baliknya dalam bentuk penyediaan sarana prasarana dan pelayanan publik yang memadai bagi masyarakat. Berdasarkan kesepakatan diantara prinsipal dengan agen untuk mengelola dan mengendalikan kekayaan daerah dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan publik, akuntansi berkepentingan dalam hal pelaporan keuangan kesatuan usaha (agen). Kesatuan usaha menjadi kesatuan pelapor yang bertanggungjawab kepada pemilik. Kesatuan usaha menjadi pusat pertanggungjawaban dan laporan keuangan menjadi media pertanggungjawabannya. Bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah sebagai agen dari pemerintah pusat dan masyarakat yaitu dengan menyusun Laporan Realisasi Anggaran daerah. Laporan tersebut berisi realisasi pendapatan dan belanja daerah selama satu tahun anggaran. Dalam laporan realisasi anggaran bisa dilihat varian diantara anggaran dan realisasi yang terjadi selama satu tahun anggaran tertentu, mulai dari komponen Pendapatan Asli Daerah sampai belanja modal. Prinsipal membutuhkan pihak ketiga untuk meyakinkan mereka bahwa yang dilaporkan agen adalah benar. Akuntan sektor publik
3 18 diharapkan berperan besar sebagai pihak ketiga, karena sebagian (atau sebagian besar) laporan yang diberikan pemerintah daerah berbentuk informasi keuangan (Santoso dan Pambelum, 2008) Pendapatan Daerah Pendapatan daerah menurut Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 adalah semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah digunakan oleh masing-masing daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan di daerahnya, baik yang berwujud fisik maupun non fisik (sosial ekonomi). Sumber pendapatan daerah menurut UU No. 33 tahun 2004 diantaranya Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah Pendapatan Asli Daerah Menurut Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh suatu daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan Peraturan Perundang- Undangan tertentu. PAD dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada semua pemerintah daerah dalam menjalankan kegiatan otonomi daerahnya dengan memanfaatkan potensi kekayaan daerah yang dimilikinya sebagai perwujudan sistem pemerintahan desentralisasi. Ardiansyah et al (2014) menjelaskan bahwa PAD merupakan tulang punggung pembiayaan daerah,
4 19 sehingga kemampuan keuangan suatu daerah bisa diukur dari besarnya kontribusi PAD di dalam APBD. Semakin besar kontribusi PAD dalam APBD, berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat. Ada bermacam-macam sumber Pendapatan Asli Daerah diantaranya pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumd, perusahaan milik pemerintah/bumn, serta penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat, dan lain-lain PAD yang sah seperti jasa giro, pendapatan bunga, komisi, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan lain-lain (UU No. 33 tahun 2004) Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 33 tahun 2004). Dana perimbangan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dana perimbangan dibagi menjadi 3 yaitu: Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum merupakan salah satu bentuk transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersumber dari APBN. UU
5 20 No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 1 angka 21 menyebutkan Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi Dana Alokasi Umum ini bersifat Block Grant yang artinya penggunaan DAU akan diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (DJPK, 2013). Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan menyatakan bahwa besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN. DAU bermanfaat untuk menutup celah fiskal daerah, yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas/potensi fiskal yang dimiliki daerah. Komponen kebutuhan fiskal daerah yang digunakan untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah meliputi: jumlah penduduk, luas wilayah, IPM, indeks kemahalan konstruksi, dan produk domestik regional bruto. Komponen kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan daerah berasal dari dua komponen yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil (DJPK, 2013) Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan oleh pusat kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai prioritas
6 21 nasional (UU No. 33 tahun 2004). Dalam pasal 40 UU No. 33 tahun 2004 pemerintah menetapkan 3 kriteria DAK yaitu kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan mempertimbangkan peraturan Perundang-undangan dan karakteristik daerah, sedangkan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara atau departemen teknis. DAK ini digunakan oleh masing-masing Pemda untuk mendanai kebutuhan sarana prasarana yang menjadi prioritas nasional di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain. Ardiansyah et al (2014) juga menyatakan jika DAK ini bisa juga digunakan untuk mendanai biaya pemeliharaan kebutuhan sarana prasarana tertentu untuk periode terbatas Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 33 tahun 2004). Pemberian DBH ini dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah (vertikal). Dana Bagi Hasil dapat bersumber dari pajak maupun sumber daya alam. Pengelolaan dan penggunaan DBH menjadi wewenang Pemda, tetapi ada beberapa komponen dari DBH yang penggunaannya ditentukan negara berdasarkan peraturan terkait/earmarking. Komponen tersebut diantaranya
7 22 DBH Kehutanan yang berasal dari dana reboisasi untuk rehabilitasi hutan dan lahan, DBH migas untuk tambahan anggaran pendidikan dasar, dan DBH cukai untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberantasan barang kena cukai illegal (Ardiansyah et al, 2014). Porsi DBH yang tidak terlalu besar dalam APBD dan adanya earmarking dari ketiga komponen DBH diatas membuat total Dana Bagi Hasil yang bisa digunakan secara fleksibel oleh pemerintah daerah untuk melakukan belanja modal menjadi sedikit. Selain itu, hal tersebut juga membuat Dana Bagi Hasil menjadi tidak signifikan dalam memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (Ardiansyah et al, 2014). Oleh karena itu, dana perimbangan yang berupa DBH tidak dimasukkan sebagai variabel dalam penelitian ini Belanja Modal Menurut PSAP Nomor 2 pengertian belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk memperoleh asset tetap dan asset lain yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Didalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.02/2011 menjelaskan bahwa belanja modal adalah pengeluaran untuk pembayaran perolehan asset dan/atau menambah nilai aset tetap/asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal kapitalisasi asset tetap/asset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Belanja modal meliputi belanja untuk tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan mesin, serta belanja modal untuk asset tidak berwujud.
8 23 Syaiful (2008) menyatakan bahwa belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka membentuk modal yang sifatnya menambah asset tetap atau inventaris yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalam belanja modal adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya untuk mempertahankan atau menambah umur manfaat, meningkatkan kapasitas, serta kualitas asset tetap tersebut. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.02/2011 tentang klasifikasi anggaran mengelompokkan belanja modal menjadi 6 kategori utama yaitu belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan, belanja modal fisik lainnya, serta belanja modal Badan Layanan Umum (BLU) Kualitas Pembangunan Manusia Pembangunan manusia menurut Human Development Report (1990) yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Pembangunan manusia dapat meningkatkan kesejahteraan manusia secara menyeluruh. Jika pertumbuhan pembangunan lambat dan pendistribusian hasilhasil pembangunan tidak merata maka hal tersebut akan berdampak pada masyarakat sebagai sasaran akhir dan fokus utama dari seluruh kegiatan pembangunan karena pemerintah tidak mampu memberikan pelayanan secara
9 24 maksimal dalam berbagai segi kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi (Santoso dan Pambelum, 2008). Outcome dari kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakatnya dapat tercermin melalui indikator Indeks Pembangunan Manusia. Pencapaian kualitas pembangunan manusia juga bisa diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Dimensi kesehatan diukur dengan menggunakan angka harapan hidup waktu lahir. Dimensi pengetahuan diukur menggunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Dimensi hidup layak menggunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak (BPS, 2015).
10 Review Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menganalisis pengaruh dari pendapatan daerah (PAD, DAU, dan DAK) terhadap kualitas pembangunan manusia. Beberapa penelitan terdahulu menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa hasil penelitian terdahulu diantaranya: Ardiansyah, Ari, dan Widiyaningsih (2014) melakukan penelitian tentang pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap IPM dengan mengambil sampel kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Dana alokasi umum berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat diasumsikan bahwa kemampuan DAU dalam membiayai belanja modal tidak mempengaruhi IPM. Dana alokasi khusus berpengaruh negatif signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Temuan lainnya yaitu pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini berarti hipotesis peneliti sesuai dengan yang diharapkan (H0 ditolak, Ha diterima). Zebua dan Adib (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh alokasi belanja terhadap kualitas pembangunan manusia pada kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Jawa Barat tahun Salah satu temuannya
11 26 menunjukkan bahwa belanja modal berpengaruh signifikan terhadap IPM dengan nilai signifikansi 0,027. Hasil penelitiannya ini sesuai dengan hasil penelitian Christy dan Adi (2009) dan Mirza (2012). Rizak (2015) melakukan studi tentang pengaruh pendapatan dan belanja daerah terhadap IPM di Sulawesi Tengah. Rizak (2015) menggunakan variabel PAD provinsi dan PAD kabupaten/kota serta belanja langsung provinsi dan belanja langsung kabupaten/kota untuk mengetahui pengaruhnya terhadap IPM. Hasil penelitian ini menunjukkan jika pengaruh belanja provinsi langsung, pendapatan daerah provinsi, belanja langsung kabupaten/kota, dan pendapatan daerah kabupaten/kota terhadap IPM semuanya tidak signifikan (signifikansi lebih besar dari 5%). Namun diantara keempat variabel tersebut, pendapatan daerah kabupaten/kota memiliki pengaruh paling tinggi, sedangkan pendapatan daerah provinsi memiliki pengaruh paling rendah terhadap indeks pembangunan manusia Pengembangan Hipotesis Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan Perundang-undangan (UU No. 33 tahun 2014). Darmayasa dan Suandi (2014) mengatakan bahwa penyerahan wewenang untuk mengelola berbagai jenis pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah diharapkan bisa membantu daerah dalam meningkatkan PAD. Dalam era otonomi daerah saat ini, pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan dan mengembangkan
12 27 PAD-nya masing-masing dengan cara meningkatkan sumber daya yang dimiliki untuk membiayai kegiatan-kegiatan penciptaan sarana prasarana atau infrastruktur daerah melalui alokasi belanja modal dalam APBD (Wandira, 2013). Sekecil apapun presentase PAD dari total pendapatan, kontribusi PAD tersebut akan berpengaruh terhadap belanja modal daerah karena PAD merupakan salah satu jenis pendapatan yang digunakan untuk membiayai pelayanan publik. Beberapa penelitian terdahulu memberikan kesimpulan yang sama jika Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal (Darwanto dan Yustikasari, 2007; Kusnandar dan Siswantoro, 2012; Maimunah, 2008). Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa PAD memiliki korelasi positif dan signifikan terhadap belanja modal dengan nilai korelasinya sebesar 61,3 %. Dalam penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012) ditemukan walaupun persentase PAD cukup kecil terhadap total penerimaan daerah (7%), namun jumlah tersebut sangat berpengaruh dalam mengalokasikan belanja modal. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikembangkan hipotesis: H1: Pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal Dana Alokasi Umum dan Belanja Modal Dana Alokasi Umum merupakan salah satu jenis dana perimbangan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah. Dana perimbangan khususnya DAU dapat memberikan kepastian bagi setiap daerah untuk
13 28 mendapatkan sumber pembiayaan untuk membiayai semua kegiatan dan belanja yang menjadi tanggung jawab daerahnya (Darmayasa dan Suandi, 2014). Dasar pengalokasian DAU yaitu fiscal gap suatu daerah. Daerah yang memiliki fiscal gap kecil, maka akan mendapat distribusi DAU yang kecil juga, demikian sebaliknya. Pengalokasian DAU diserahkan sepenuhnya kepada daerah untuk meningkatkan pelayanan publik di daerahnya agar lebih efisien. Daerah yang memiliki jumlah PAD yang masih rendah tentu akan mengandalkan transfer dari pemerintah pusat ini untuk membiayai belanja modal daerahnya. Beberapa penelitian terdahulu memberikan kesimpulan yang sama jika DAU berpengaruh positif terhadap belanja modal (Darwanto dan Yustikasari, 2007; Maimunah, 2008; Christy dan Adi, 2009). Christy dan Adi (2009) menemukan jika 8,3% belanja modal bisa dijelaskan oleh DAU dengan signifikansi sebesar 0,002 yang mengindikasikan jika ketergantungan daerah sangat tinggi terhadap DAU untuk membiayai belanja daerah. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikembangkan hipotesis: H2: Dana alokasi umum berpengaruh positif terhadap belanja modal Dana Alokasi Khusus dan Belanja Modal Dana alokasi khusus merupakan salah satu jenis dana transfer dari pemerintah pusat kepada daerah yang bersumber dari APBN. Jika dilihat dari pengertian DAK yang memang digunakan untuk mendanai kebutuhan fisik sarana prasarana yang menjadi prioritas nasional seperti di bidang pendidikan,
14 29 kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain, maka penggunaan DAK akan sangat berpengaruh pada peningkatan belanja modal. Pengeluaran DAK yang dialokasikan untuk belanja modal secara efektif dan efisien diharapkan bisa meningkatkan kualitas pembangunan manusia baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun pelayanan umum lainnya. Penelitian terdahulu yang memberikan kesimpulan jika DAK berpengaruh positif terhadap belanja modal yaitu Miharabi (2013) dan Wandira (2013). Wandira (2013) menemukan jika DAK berpengaruh positif terhadap belanja modal untuk seluruh provinsi di Indonesia tahun Berdasarkan uraian diatas, dapat dikembangkan hipotesis: H3: Dana alokasi khusus berpengaruh positif terhadap belanja modal Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia Total penerimaan daerah baik yang bersumber dari PAD atau dana perimbangan diharapkan bisa meningkatkan pelayanan daerah untuk masyarakatnya melalui peningkatan alokasi belanja modal daerah. Belanja modal bisa dialokasikan untuk pembangunan sarana pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum seperti jalan dan jembatan. Daerah yang PAD nya tinggi mungkin bisa merealisasikan anggarannya minimal 20% dari APBD untuk alokasi belanja modal dalam peningkatan asset untuk masyarakat (Christy dan Adi, 2009). Upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia bisa dilakukan dalam berbagai bidang. Di bidang pendidikan, Pemda
15 30 bisa memperbaiki dan meningkatkan fasilitas pendidikan di setiap sekolah serta memperbaiki gedung-gedung sekolah agar lebih baik dan nyaman. Di bidang kesehatan Pemda bisa meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk umum, memperbaiki masalah gizi buruk, mencukupi ketersediaan tenaga medis, serta pemerataan pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Alokasi belanja modal memiliki peran yang penting untuk peningkatan pelayanan ini, yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas pembangunan manusia (Christy dan Adi, 2009). Christy dan Adi (2009) dalam penelitiannya menemukan jika belanja modal berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia dengan nilai adjusted R square sebesar 43,6%. Penelitian mengenai pengaruh belanja modal terhadap kualitas pembangunan manusia masih menunjukkan hasil yang belum konsisten. Belanja modal yang dianggarkan oleh setiap Pemerintah Daerah berbeda-beda tergantung kebutuhan masing-masing daerah. Sulit untuk mengidentifikasi belanja modal yang benar-benar digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka pembangunan manusia. Tidak semua belanja modal berefek pada pelayanan publik. Kebijakan Pemerintah Daerah dan pandangan atau kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda juga memengaruhi keputusan apakah pengelolaan belanja modal sudah tepat guna untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia (Adiputra et al, 2015). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikembangkan hipotesis: H4: Belanja modal berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia
16 Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia Pendapatan Asli Daerah digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian daerah dalam sistem desentralisasi saat ini. Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari dalam daerah sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk merealisasikan potensi-potensi ekonominya menjadi bentuk kegiatan-kegiatan yang bisa menghasilkan perguliran dana untuk pembangunan berkelanjutan (Darwanto dan Yustikasari, 2007). PAD merupakan pendapatan daerah yang bisa mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. PAD harus benar-benar digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat karena pendapatan daerah ini juga berasal dari masyarakat. Jika kualitas pelayanan umum yang diterima masyarakat tidak memuaskan, maka mereka tidak akan mau membayar pajak, retribusi, dan lain-lain Lugastoro (2013) menyatakan bahwa PAD memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dana perimbangan seperti DAK karena kewenangan pengelolaan PAD diserahkan sepenuhnya kepada daerah, tidak membutuhkan koordinasi dengan pihak lain seperti pusat dan swasta. Peningkatan input APBD yang berasal dari PAD akan membuat kemampuan daerah dalam membiayai belanja modalnya menjadi lebih besar sehingga dapat meningkatkan outcome dalam bentuk kenaikan IPM. Seperti yang dinyatakan oleh Lugastoro (2013) dan Ardiansyah et al (2014) bahwa PAD berpengaruh
17 32 positif signifikan terhadap IPM. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5: Pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap kualitas pembangunan manusia H6: Belanja modal memediasi hubungan antara pendapatan asli daerah dengan kualitas pembangunan manusia Dana Alokasi Umum Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia Kemampuan keuangan setiap daerah untuk membiayai kebutuhan dan kegiatan di daerahnya tidak sama, sehingga menimbulkan ketimpangan keuangan antardaerah. Pemerintah pusat telah mendistribusikan dana perimbangan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan ini. Salah satu komponen dana perimbangan adalah Dana Alokasi Umum yang pengalokasiannya menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintah (UU No. 32 tahun 2004). Penggunaan DAU diharapkan digunakan untuk kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tuntutan otonomi daerah. Jadi yang harus dipikirkan setiap daerah saat ini bukan hanya alokasi yang tinggi bagi kemajuan daerah yang dilihat dari kekayaan daerah, tetapi juga pengalokasian dana yang tinggi untuk belanja bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat (Setyowati dan Suparwati, 2012). Hasil penelitian Ardiansyal et al (2014) menyatakan jika variabel DAU merupakan variabel yang berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap IPM dengan nilai signifikansi 0,981. Sementara itu Setyowati dan Suparwati
18 33 (2012) menemukan jika DAU berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H7: Dana alokasi umum berpengaruh positif terhadap kualitas pembangunan manusia H8: Belanja modal memediasi hubungan antara dana alokasi umum dengan kualitas pembangunan manusia Dana Alokasi Khusus Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia Dana alokasi khusus merupakan salah satu jenis dana perimbangan yang berguna sebagai pelengkap dana perimbangan lainnya seperti DAU dan DBH. Namun, seiring berjalannya waktu komponen Dana Alokasi Khusus ini menjadi penting untuk mendanai pembangunan daerah karena proporsi Dana Alokasi Umum hanya cukup untuk mendanai belanja birokrasi saja seperti belanja pegawai. Pemanfaatan DAK oleh pemerintah daerah tetap diatur oleh pemerintah pusat melalui peraturan menteri keuangan dan peraturan lain agar pemanfaatannya sesuai dengan kepentingan nasional dan kepentingan publik. Pada tahun 2007 penggunaan DAK telah meliputi 7 bidang pelayanan pemerintahan yaitu bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, pekerjaan umum (jalan, irigasi, dan air bersih), prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, dan lingkungan hidup (Setyowati dan Suparwati, 2012). Dana Alokasi Khusus diharapkan mampu meningkatkan mutu kualitas pembangunan manusia melalui alokasi belanja modal daerah.
19 34 Hasil penelitian Ardiansyal et al (2014) menyatakan jika variabel DAK merupakan variabel yang berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM dengan nilai signifikansi 0,013 dan nilai koefisiennya sebesar -2,554. Penelitian Setyowati dan Suparwati (2012) memberikan hasil yang berbeda dengan hasil penelitian Ardiansyal et al (2014) dimana DAK berpengaruh positif terhadap IPM melalui pengalokasian anggaran belanja modal. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H9: Dana alokasi khusus berpengaruh positif terhadap kualitas pembangunan manusia H10: Belanja modal memediasi hubungan antara dana alokasi khusus dengan kualitas pembangunan manusia
20 Kerangka Pemikiran Penelitian ini menguji pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap kualitas pembangunan manusia dengan belanja modal sebagai variabel mediasi. Studi dilakukan pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun Kerangka pemikiran berdasarkan uraian diatas yang menggambarkan hubungan antar variabel dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 2.1 Diagram Skematik Kerangka Teoritis H5 (+) PAD H1 (+) DAU H2 (+) Belanja Modal H4 KPM DAK H3 (+) H9 (+) H7 (+)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. (a process of enlarging the choice of people). Indeks Pembangunan Manusia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang UNDP (United Nations Development Programme) mendefinisikan Indeks Pembangunan manusia sebagai proses perluasan pilihan bagi penduduk (a process of enlarging the choice
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) dalam Wirawan 2014 menjelaskan bahwa teori keagenan melukiskan hubungan antara kepentingan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism) Federalisme fiskal adalah studi yang membahas mengenai hubungan keuangan antar tingkatan pemerintah dimana pada
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 memberikan dampak besar bagi semua aspek kehidupan, yakni era reformasi. Reformasi yang terjadi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Belanja Modal Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang memanfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beberapa provinsi dan setiap provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing memiliki pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Stewardship Penelitian ini menggunakan teori Stewardship yang menjelaskan tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu melainkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Ekonomi, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kemudian, akan menjabarkan penelitian
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalampelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebutanggaran Pendapatan dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dana Alokasi Umum (DAU) Diera otonomi daerah ini ternyata juga membawa perubahan pada pengelolaan keuangan daerah. Diantaranya dalam hal sumber-sumber penerimaan pemerintahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ekonomi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan dan peranan yang sangat krusial. Berbagai macam teori maupun kebijakan ekonomi di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kota Bengkulu adalah salah satu kota, sekaligus ibu kota Provinsi Bengkulu. Kota Bengkulu berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat mengalami
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka daerah diberi wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri hal ini telah diamanatkan dalam Undang Undang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah dilaksanakan secara efekif. Hal ini merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporan tahunan The Global Competitiveness Report 2012 2013.Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, laporan tahunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan dalam dunia bisnis dapat dideskripsikan sebagai hubungan antara pemegang saham
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Dalam landasan teori ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Bagian ini
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka, akan dibahas lebih lanjut mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa Lebih Perhitungan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. yang mana dinyatakan oleh Jansen dan Meckling (1976), bahwa hubungan
BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Agency Theory Grand Theory dalam penelitian ini menggunakan Agency Theory, yang mana dinyatakan oleh Jansen dan Meckling (1976),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh UNDP (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan tahunan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat menjadi APBD adalah suatu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi.
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya, penelitianpenelitian tersebut adalah : Darwanto dan Yustikasari (2014) yang meneliti
Lebih terperinciPENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR Dwi Wahyu Setyowati Program Studi Pendidikan Akuntansi FPIPS ABSTRAK
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah objek utama dalam perabadan dunia. Dalam skala internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam pembangunan dan peradaban,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah Suparmoko (2002: 18) Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan daerah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen anggaran daerah disebut
Lebih terperinciINUNG ISMI SETYOWATI B
PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA SE JAWA TENGAH PERIODE 2006-2007)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka daerah diberi wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri hal ini telah diamanatkan dalam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori. Dalam Bab ini akan dibahas lebih jauh mengenai Dana Alokasi Umum
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Dalam Bab ini akan dibahas lebih jauh mengenai Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi melalui Belanja Modal
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Reformasi yang bergulir tahun 1998 di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan pendekatan-pendekatan yang menjelaskan pengertian Belanja Modal, Fiscal Stress, Dana Bagi Hasil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan pasca-orde baru, pemerintah pusat tetap memainkan peranan penting dalam mendukung pelaksanaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat mengalami
Lebih terperinciA. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Menurut Bahl (2008), desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai proses pelimpahan wewenang
Lebih terperinci