BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit alergi merupakan penyakit kronis terbanyak di negara-negara berkembang. Beberapa studi prevalensi menunjukkan terjadi peningkatan proporsi populasi masyarakat yang menderita alergi. Suatu survei yang dilakukan oleh World Allergy Organization Specialty and Training Council, mendapatkan angka prevalensi kejadian alergi di dunia berkisar antara 7,5 % sampai 40 %, dengan rata-rata 22 % dari populasi survei. Negara-negara yang angka prevalensi alerginya tertinggi adalah Jepang, Ukraina, dan Bulgaria (Warner, 2006). Allergic march merupakan perjalanan alamiah (natural history) penyakit alergi berupa alergi makanan, dermatitis atopi, asma bronkial dan rhinitis alergi. Dermatitis atopi merupakan manifestasi dini dari penyakit alergi yang dapat berkembang menjadi asma di kemudian hari (Sugiyama et al, 2007; Wahn, 2004). Penyakit alergi memiliki pola perjalanan penyakit tersendiri, yang muncul sebagai dermatitis atopi pada masa bayi dan akan berlanjut menjadi rhinitis alergi, alergi makanan dan asma. Sebesar 50 % penderita dermatitis atopi akan menjadi asma dan 75 % menjadi rhinitis alergi (Spergel dan Schneider, 1999). Selama beberapa dekade terakhir angka insiden penyakit atopi seperti asma, dermatitis atopi, dan alergi makanan cenderung meningkat secara dramatis. Di antara anak-anak yang berumur 0-4 tahun, angka insiden asma meningkat 160 % dan insiden 1
2 dermatitis atopi meningkat 2-3 kali, sehingga peningkatan insiden penyakit atopi merupakan salah satu masalah bagi para klinisi yang memberikan pelayanan kesehatan pada anak-anak (Eichenfield et al., 2003). Menurut Sinagra et al. (2007), dermatitis atopi diderita oleh sekitar 10-12 % anak. Hill et al. (2007) menyebutkan bahwa dermatitis atopi pada bayi telah mencapai angka 28 % di Australia, Inggris dan negara-negara di Eropa. Sedang Cantani (2008) menemukan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi dermatitis atopi selama 25 tahun ini di berbagai belahan dunia. Peningkatan kejadian dermatitis atopi menimbulkan dampak beragam diantaranya biaya pengobatan yang tinggi. Dampak penyakit alergi berupa peningkatan biaya pengeluaran untuk berobat, stress pada anak dan orangtua, terjadinya kekambuhan berulang dan menahun, serta dapat menimbulkan kematian, oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan (Sicherer dan Leung, 2004). Penyakit alergi yang timbul pada masa anak-anak terutama saat bayi, harus sedini mungkin dicegah karena anak memerlukan proses tumbuh kembang optimal. Pencegahan tersebut terdiri dari pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier (Host et al., 2004). Dermatitis atopi ini lebih sering terjadi pada masa-masa awal kehidupan, sehingga sering menimbulkan stress terutama pada orang tua, gangguan makan dan tidur pada bayi, lebih sering mengunjungi dokter dan lebih banyak biaya yang dihabiskan untuk pelayanan kesehatan (Moore et al., 2004). Manifestasi penyakit alergi dapat dicegah dengan melakukan deteksi dan intervensi dini, salah satunya dengan identifikasi kelompok risiko tinggi atopi melalui riwayat atopi keluarga (Harsono, 2005).
3 Untuk melakukan pencegahan perlu diketahui apakah seorang anak berisiko terkena alergi atau tidak. Untuk itu dilakukan deteksi dini. Menurut Shafi dan Bapat (2009), deteksi dini terdiri dari: 1) marker genetik, 2) kadar total Ig E tali pusat, 3) riwayat atopi keluarga. Riwayat atopi pada keluarga dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan bayi atau anak terkena alergi. Risiko alergi pada bayi jika kedua orangtua tidak memiliki alergi adalah 5 % - 15 %. Risiko alergi akan meningkat bila kedua orang tua memiliki riwayat atopi dan semakin meningkat menjadi 60 % - 80 % jika memiliki manifestasi yang sama. Penelitian menunjukkan riwayat keluarga yang positif alergi, signifikan sebagai faktor risiko terjadinya dermatitis atopi pada anak (Harsono, 2005). Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah melakukan sosialisasi Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi sejak tahun 2005, yang kemudian divalidasi pada Juli 2009 di workshop Alergi Imunologi di Bali (IDAI, 2009). Kartu tersebut dapat digunakan untuk menilai apakah ada riwayat alergi pada ayah, ibu atau saudara kandung sebagai prediksi untuk menilai kemungkinan kejadian peyakit alergi termasuk dermatitis atopi pada seorang anak dengan sensitifitas 86% dan spesitifitas 85%. Kelebihan kartu ini adalah praktis, murah dan dapat dikerjakan oleh tenaga kesehatan atau orangtua anak dan belum banyak dilakukan penelitian (Endaryanto, 2009). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut : 1. Kejadian penyakit alergi dan dermatitis atopi pada anak makin meningkat dan menimbulkan dampak sosial, ekonomi maupun psikis.
4 2. Dermatitis atopi merupakan bentuk atopi pertama yang merupakan faktor risiko timbulnya asma bronkial atau rinitis alergi di kemudian hari dan sudah ada usaha - usaha untuk pencegahan. 3. Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi dikembangkan untuk menilai riwayat alergi pada keluarga 4. Bagaimana hubungan antara skor deteksi dini risiko alergi dengan kejadian dermatitis atopi pada anak? C. Pertanyaan Penelitian Apakah skor deteksi dini risiko alergi berhubungan dengan kejadian dermatitis atopi pada anak? D. Tujuan Penelitian Mengetahui hubungan antara skor deteksi dini risiko alergi dengan kejadian dermatitis atopi pada anak. E. Manfaat Penelitian 1. Dalam bidang akademik dan ilmiah: manfaat penelitian ini adalah untuk meninjau kembali skor deteksi dini risiko alergi sebagai faktor risiko dermatitis atopi pada anak. 2. Dalam bidang pelayanan masyarakat: hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan informasi tentang skor deteksi dini risiko alergi sebagai faktor risiko pada dermatitis atopi anak.
5 3. Dalam bidang pengembangan penelitian: manfaat penelitian ini adalah sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan penelitian tentang deteksi dini risiko alergi pada keluarga dan hubungannya dengan kejadian dermatitis atopi pada anak. F. Keaslian Penelitian Dari penelusuran secara manual di perpustakaan pusat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tidak ditemukan artikel mengenai skor deteksi dini sebagai faktor risiko dermatitis atopi. Dari penelusuran kepustakaan tahun 1990 2013 melalui elektronik (internet) melalui Medline (Pubmed) dengan kata kunci atopic dermatitis, allergy history of family, risk factor, didapatkan 5 artikel berupa penelitian yang kesemuanya dilakukan di luar Indonesia, yang meneliti tentang riwayat atopi keluarga sebagai faktor risiko dermatitis atopi.
No Peneliti, tahun 1 Peroni dkk, 2007 2 Lee dkk, 2004 Prevalence and Risk Factors for Atopic Dermatitis in Preschool Children Tabel 1.1 Penelitian tentang riwayat atopi keluarga sebagai faktor risiko Judul Desain Besar sampel Cross sectional Familial Risk of Allergic Rhinitis and Atopic Dermatitis among Chinese Families in singapore Cross sectional 1402 Anak usia 3-5 tahun. Hasil penelitian Prevalensi dermatitis atopi pada populasi adalah 18,1% (254 kasus). Sensitisasi paling sering pada anak dengan dermatitis atopi adalah mites dan grass pollen. Gejala rinitis dan wheezing tampak pada 32,2% dan 24,2% anak dengan dermatitis atopi. Faktor risiko untuk dermatitis atopi adalah sensitisasi terhadap telur{or 9,53(95% CI; 2,40-37,82)}, kucing{or 4.48(95% CI;1.83-10,93)}, grass pollen{or 2,50(95% CI; 1,35-4,61)}, mites{or 2,13(95% CI; 1,16-3,91)} dan juga riwayat atopi keluarga yang positif {OR 2,08(95% CI; 1,57-2,76)}. 257 keluarga Ditemukan kecenderungan peningkatan dermatitis atopi pada anak dengan{prr 1,9 (95% CI; 0,3-11,8)} dan {1,5 (95% CI; 0,4-5,5)} untuk ayah saja atau ibu saja dengan riwayat atopi positif dan {PRR 2,3 (95% CI; 0,4-3,7)} untuk kedua orangtua dengan riwayat atopi positif. 6
7 Tabel 1.1 Lanjutan 3 Purvis dkk, 2005 Risk Factors for Atopic Dermatitis in New Zealand Children at 3,5 years age Cohort study 550 anak usia 0sampai usia 3,5 tahun Dermatitis atopi terdiagnosis pada 87 (15,8%) anak pada usia 3,5 tahun yang berhubungan dengan peningkatan serum Ig E>200 ku. Dermatitis atopi berhubungan dengan penyakit atopi orangtua: hanya atopi ibu, OR 3,83 (95% CI;1,2-12,23), hanya atopi ayah, OR 3,59 (95% CI;1,09-11,75), kedua orangtua atopi, OR 6,12 (95% CI; 2,02-18,50). Dermatitis atopi pada usia 3,5 tahun tidak berhubungan dengan jenis kelamin, status sosioekonomi, ibu yang merokok, paritas, kelembaban, jamur, atau penggunaan antibiotik pada usia 1 tahun kehidupan. 4 Moore dkk, 2004 5 Ngamph aiboon et al, 2009 Perinatal Predictors of Atopic Dermatitis Occuring in the First Six Months of Life Atopic Risk Score for allergy prevention Cohort Study Retrospe ktif 1005 Ibu dan Anak Insiden kumulatif dermatitif atopi pada usia 6 bulan pertama kehidupan adalah 17,1 %. Faktor prediktor perinatal untuk dermatitis atopi pada penelitian ini: - ibu kulit hitam OR 2,41 (95% CI; 1,47-3,04) - ibu ras Asia OR 2,58 (95% CI; 1,02-1,27) - tiap peningkatan usia kehamilan 1 minggu OR 1,14 (95% CI; 1,02-1,27) - riwayat eksema pada ibu OR 2,67 (95% CI; 1,74-4,1) Faktor-faktor sosial, makanan dan variabel lingkungan tidak berhubungan dengan risiko terjadinya dermatitis atopi. 3502 anak Ada hubungan yang bermakna antara skor risiko atopi dengan perkembangan penyakit alergi pada skor 1 atau lebih(or 2,64, p< 0,001, 95 % CI; 1,30-1,72 ) skor untuk mendeteksi bayi risiko tinggi adalah >2.