2. TINJAUAN PUSTAKA. seperti konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut.

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh: Risna Julisca Agnes Panjaitan C

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Gambar 1. Diagram TS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok

HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DI PERAIRAN SELAT BALI DENGAN PRODUKSI IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) YANG DIDARATKAN DI TPI MUNCAR, BANYUWANGI

PENDAHULUAN Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

2. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan oseanik dimana pada bagian timur berhubungan dengan perairan Selat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

VARIABILITAS KONSENTRASI KLOROFIL-A DARI CITRA SATELIT SeaWiFS DI PERAIRAN PULAU MOYO, KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA. (

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Fisik Selat Bali Perikanan Selat Bali

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 2.2 Penginderaan Jauh Sistem penginderaan jauh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. terpanjang di dunia) memiliki potensi perairan yang sangat besar (KKP, 2011;

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

APLIKASI DATA INDERAJA MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali

J. Sains & Teknologi, Agustus 2008, Vol. 8 No. 2: ISSN

Aplikasi-aplikasi ICV untuk sumber daya air: - Pengukuran luas perairan, - Identifikasi konsentrasi sedimen/tingkat kekeruhan, - Pemetaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL. clan di mulut utara Selat Bali berkisar

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

I. INFORMASI METEOROLOGI

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

Transkripsi:

3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Bali Perairan Selat Bali di sebelah barat dibatasi oleh daratan pulau Jawa, sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh daratan Pulau Bali. Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di utara dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Berdasarkan topografinya, perairan Selat Bali cenderung dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Hindia dibandingkan dengan massa air Laut Flores atau Laut Jawa (Burhanuddin dan Praseno, 1982). Perubahan yang dialami Selat Bali akan sama dengan perubahan yang terjadi di Samudera Hindia, terutama dalam hal variabilitas parameter oseanografinya seperti konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut. Perairan Selat Bali memiliki kesuburan yang tinggi, dimana produktivitas tertinggi terjadi saat musim timur yang disebabkan oleh fenomena upwelling di perairan Samudera Hindia. Saat terjadinya upwelling, zat hara di perairan tinggi. Zat hara seperti nitrat dan fosfat sangat penting bagi perkembangan fitoplankton. Pada saat musim timur dimana terjadi upwelling mengakibatkan terjadinya peningkatan kandungan fitoplankton (Arinardi, 1989). Pada musim barat terjadi pergerakan arus ke arah timur sepanjang pantai Selatan Jawa. Sebagian massa air ini memasuki perairan Selatan Bali yang ditandai dengan salinitas 32,5 dan suhu tinggi sekitar 30 C (Soeriatmadja, 1957). Pada musim timur terjadi penaikan air di sepanjang pantai Selatan Jawa sampai Sumbawa, bersamaan dengan ini poros aliran Arus Khatulistiwa Selatan yang mengalir dari timur ke barat sehingga mendesak Arus Pantai Jawa yang

4 mengalir ke timur (Wyrtki, 1962). Menurut Ilahude (1975), terjadinya suhu rendah (26 C) dan salinitas tinggi (34 ) pada musim timur di perairan Selat Bali disebabkan oleh aliran massa air yang berasal dari Samudera Hindia pada saat terjadinya penaikan massa air yaitu pada musim timur. Adanya penaikkan massa air yang cukup kuat di perairan Selatan Bali pada saat musim timur terjadi akibat bertiupnya angin muson tenggara yang menyusuri pantai selatan Jawa-Bali. Kemudian akibat adanya pengaruh gaya Coriolis, transport air di lapisan permukaan dibelokkan ke tengah laut sehingga kekosongan air di perairan pesisir Jawa-Bali ini diisi oleh massa air dari lapisan di bawahnya. Kondisi oseanografi di perairan Selat Bali juga mendapat pengaruh fenomena global seperti fenomena El-Nino/Southern Oscillation (ENSO) yang terjadi di Samudera Pasifik dan Indian Ocean Dipole Mode (IODM) yang terjadi di Samudera Hindia. Menurut Gaol (2003), pada peristiwa El-Nino pada tahun 1997/1998, suhu permukaan laut di Samudera Hindia Bagian Timur cenderung lebih tinggi karena melemahnya kecepatan angin dalam periode yang lama sehingga terjadi pemanasan permukaan laut dari radiasi matahari. Suhu permukaan laut yang tinggi ini mengakibatkan proses upwelling yang biasanya terjadi pada musim timur, intensitasnya menjadi lebih rendah, sehingga mengakibatkan perairan menjadi tidak subur. Pada fenomena IODM, terjadi anomali positif kecepatan angin, dimana kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan peristiwa El Nino. Selama IODM berlangsung kecepatan angin yang tinggi mengakibatkan proses upwelling cukup intensif di Sepanjang Selatan Jawa

5 dan Bali. Suhu permukaaan laut mengalami penurunan yang cukup rendah dan konsentrasi klorofil meningkat cukup tajam karena kondisi perairan yang subur. 2.2. Sumberdaya Ikan Lemuru 2.2.1. Jenis, Ciri-ciri, dan Kebiasaan Makan Ikan Lemuru Ikan lemuru yang terdapat di perairan Indonesia terdiri dari beberapa jenis yaitu Sardinella longiceps (yang kemudian direvisi menjadi Sardinella lemuru), Sardinella aurita, Sardinella leoigaster, dan Sardinella clupeoides (Merta, 1992). Ikan lemuru yang terkenal di Indonesia adalah Sardinella lemuru yang terkonsentrasi di perairan Selat Bali dan sekitarnya. Ciri-ciri umum ikan lemuru yang terdapat di perairan Selat Bali menurut Dwiponggo (1982) adalah: 1. Bentuk badan bulat memanjang, perut agak menipis dengan sisik-sisik duri yang menonjol dan tajam. 2. Sirip dapat mencapai panjang 23 cm. 3. Sirip ekor bercabang, warna badan bagian atas biru kehijauan, bagian bawah putih keperakan, terdapat noda samar-samar di bawah pangkal sirip punggung bagian depan, sirip-sirip lainnya tembus cahaya dan moncong agak kehitam-hitaman. Ikan lemuru oleh nelayan setempat diberi nama berbeda sesuai dengan ukuran panjangnya. Secara umum ikan lemuru dikelompokkan dalam empat nama lokal berdasarkan ukuran yang diberikan oleh nelayan setempat.

6 Tabel 1. Nama-nama lokal ikan lemuru di Selat Bali Panjang Total (cm) Nama Lokal Lokasi < 11 Sempenit Penpen Muncar Kedonganan dan Bali 11 15 Protolan Muncar dan Bali 15 18 Lemuru Muncar dan Bali >18 Lemuru kucing Muncar dan Bali Sumber: Dwiponggo (1982) dan Merta (1992) Lemuru adalah jenis ikan pemakan zooplankton dan fitoplankton. Zooplankton merupakan makanan utama dengan persentase 90.52% - 95.54%, sedang fitoplankton 4.46% - 9.48%. Berdasarkan hasil pemeriksaan lambung ikan lemuru di Selat Bali diperoleh zooplankton copepoda mendominasi 85 95% dari jumlah makanannya, dan sisa makanan 5 15% terdiri dari crustacea, moluska, dan fitoplankton (Ritterbush, 1975 in Burhanuddin et al., 1984). 2.2.2. Penyebaran Ikan Lemuru Menurut Whitehead (1985) dalam Muntoha (1998), ikan lemuru tersebar di Lautan India bagian timur yaitu Phuket, Thailand, pantai timur Jawa Timur dan Bali, serta sebelah barat Australia. Sedangkan sebaran ikan lemuru di lautan Pasifik sebelah barat dapat dijumpai dari Laut Jawa ke utara sampai Filipina, Hongkong, Pulau Taiwan sampai Jepang bagian Selatan. Di Selat Bali, penyebaran ikan lemuru mempunyai batasan wilayah tertentu. Menurut Dwiponggo (1982), daerah persebaran saat musim lemuru adalah di sekitar paparan Jawa Timur yaitu dari Bromo sampai ke Grajakan, sedangkan di paparan Bali ikan lemuru tersebar mulai dari Candi Kesuma ke tenggara sampai Jimbaran. Persebaran maupun pergerakan ikan lemuru di Selat Bali belum dapat

7 diungkapkan secara pasti, apakah bergerak ke utara melalui mulut selat, atau kembali lagi ke arah selatan pada saat musim lemuru berakhir. Adanya variasi parameter oseanografi seperti kelimpahan fitoplankton, suhu, dan salinitas di perairan Selat Bali diduga mempunyai pengaruh terhadap kelimpahan dan penyebaran ikan pelagis yang hidup di perairan tersebut, khususnya ikan lemuru yang merupakan hasil tangkapan utama dari pukat cincin. Terjadinya upwelling di perairan Samudera Hindia dan Selat Bali memberikan dampak bagi perikanan lemuru. Menurut Wudianto (2001) meningkatnya populasi ikan lemuru mulai terjadi pada saat musim timur tiba (bulan Agustus), dimana saat itu diduga terjadi penaikan massa air di wilayah perairan selatan Jawa dan Bali. Pada musim timur terjadi tiupan angin muson tenggara yang cukup kencang menyusuri pantai selatan Bali dan Jawa ke arah barat dengan menyeret sebagian massa air di permukaan. Adanya gaya Coriolis menyebabkan sebagian massa air di lapisan permukaan dibelokkan ke tengah laut, dan kekosongan air diisi oleh air dari lapisan bawah yang bersuhu lebih rendah (Knauss, 1978). 2.2.3. Musim dan Penangkapan Ikan Lemuru Menurut Subani (1971) dalam Indrawati (2001) ikan lemuru di perairan Selat Bali dikenal sebagai ikan musiman karena ikan ini muncul pada musimmusim tertentu saja. Ikan lemuru mulai muncul pada saat musim timur, mulamula dalam jumlah kecil kemudian dalam jumlah besar dan semakin banyak serta mencapai puncaknya pada bulan Desember. Ikan lemuru mempunyai sifat lain yang senang beruaya secara musiman, dimana pada saat tertentu menghilang dari

8 jangkauan penangkapan, keadaan ini terjadi pada bulan Februari dan Maret (Subani, 1971). 2.2.4. Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Tingkah Laku Ikan Lemuru Ikan lemuru termasuk jenis ikan permukaan (pelagic fish), mudah tertarik oleh cahaya lampu (forotaksis positif) sehingga dapat berkumpul ke tempat dimana terdapat cahaya lampu. Gerombolan ikan ini jelas terlihat pada kedalaman 14 40 m dengan menggunakan fish finder. Penelitian dengan menggunakan teknik akustik menurut Merta (1992) menunjukkan adanya gerombolan (schooling) lemuru yang cukup besar pada kedalaman 40 80 m, 20 70 m, dan 50 m di perairan Selat Bali. Berdasarkan data tersebut, ikan lemuru cenderung bergerombol di lapisan eufotik yang kaya akan zat hara pada musim tertentu. Keberadaan ikan lemuru diduga berhubungan erat dengan adanya upwelling serta arus ekuator selatan (Merta, 1992). Selain itu berdasarkan penelitian oleh Hanggoro (1995) dan Indrawati (2000), diketahui bahwa ikan lemuru lebih menyukai daerah perairan dengan suhu rendah yaitu 23 26 ºC. Terjadinya penaikan massa air ternyata sangat berpengaruh terhadap sumberdaya perikanan pelagis. Perairan yang mengalami penaikan massa air umumnya menjadi subur akan unsur hara sehingga sumber makanan bagi ikan pelagis akan melimpah. Laju pertumbuhan ikan lemuru menjadi lebih cepat saat terjadi penaikan massa air, tetapi sebaliknya menjadi lambat saat tidak terjadi penaikan massa air (Edwards dan Shaher, 1987). Bagi wilayah perairan tropis, kelimpahan plankton yang tinggi umumnya terjadi pada perairan yang mengalami penaikan massa air (Nontji dan Ilahude, 1975).

9 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wudianto (2001) diketahui bahwa pada musim timur terjadi peristiwa upwelling di perairan Selat Bali. Pada penelitian yang sama juga ditemukan bahwa rata-rata densitas ikan lemuru yang tertinggi terjadi pada musim timur yaitu di lapisan permukaan antara 4-29 m dengan kelimpahan sebesar 12,62 ton/nmil 2. Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa saat terjadi upwelling pada musim timur, perairan Selat Bali sangat subur dengan densitas ikan lemuru yang melimpah. Fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting dalam upaya menentukan pengkonsentrasian gerombolan ikan. Dengan demikian suhu memegang peranan dalam menentukan daerah penangkapan (Gunarso, 1985). Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh selama masa pemijahan adalah suhu. Sardinops melanosticta di perairan Laut Jepang memijah pada suhu sekitar 13 ºC 17 ºC dengan suhu optimum berkisar 14 ºC 15.5 ºC, sedangkan ikan sardin di perairan Pasifik (Sardinella caerulea) memijah di luar California pada kisaran suhu 15 ºC 16 ºC (Laevastu dan Hela, 1970). Ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang terdapat di perairan Selat Bali dapat hidup pada suhu sekitar 26 ºC 29 ºC (Mahrus, 1996). 2.3. Suhu Permukaan Laut Salah satu parameter oseanografi yang mencirikan massa air di lautan adalah suhu perairan. Suhu permukaan laut mempunyai hubungan erat dengan keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya, sehingga data suhu permukaan laut dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena-fenomena yang terjadi di laut seperti front (pertemuan dua massa air yang berbeda), arus,

10 upwelling, sebaran suhu permukaan laut secara horizontal, dan aktifitas biologi (Robinson, 1985). Suhu lapisan permukaan di perairan Indonesia umumnya berkisar pada 28 C 31 C menurut Nontji (1987). Tingginya suhu permukaan laut disebabkan oleh posisi geografis Indonesia yang terletak di wilayah ekuator yang merupakan daerah penerima panas matahari yang terbanyak. Suhu tertinggi 30 C umumnya terjadi pada bulan April Mei, sedangkan suhu terendah 27 C terjadi pada bulan Desember Januari. Suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh angin musiman dan pola curah hujan (Wyrtki, 1961). Laevastu dan Hayes (1981) mengatakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil (± 0.02 C) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di suatu perairan (terutama di daerah subtropis). Ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi, atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Lebih lanjut dikatakan bahwa kelimpahan suatu jenis ikan pada suatu daerah penangkapan dipengaruhi oleh perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya. Amri (2002) menyatakan bahwa suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan; aktifitas dan mobilitas gerakan; ruaya, penyebaran, dan kelimpahan; penggerombolan, maturasi, fekunditas (jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina dalam setahun) dan pemijahan; masa inkubasi dan penetasan telur serta kemampuan larva ikan untuk bertahan hidup. Selanjutnya dijelaskan bahwa perubahan suhu perairan di bawah suhu optimal menyebabkan penurunan aktifitas gerakan dan aktifitas makan serta menghambat proses berlangsungnya pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar ukuran ikan dan semakin tua ikan, ada

11 kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu yang lebih rendah di perairan yang lebih dalam. Menurut Gunarso (1985), fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting dalam upaya menentukan pengkonsentrasian gerombolan ikan. Sehingga suhu memegang peranan penting dalam penentuan daerah penangkapan ikan. Menurut Laevastu dan Hela (1970), untuk meramalkan berhasil tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan: a) suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan; b) pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan mengenai isotermal permukaan; c) peramalan perubahan keadaan hidrografi. Analisis suhu pemukaan laut bukan hanya penting untuk mengetahui keberadaan dan tingkah laku ikan tetapi juga secara tidak langsung mengindikasikan beberapa proses lain di lautan seperti percampuran massa air, upwelling, arus, perbatasan arus, dan lain sebagainya yang keseluruhannya dapat mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan (Laevastu dan Hela, 1970). 2.3.1. Upwelling Upwelling adalah gerakan naiknya massa air dari lapisan yang lebih dalam dimana massa air tersebut mempunyai suhu yang rendah dan salinitas yang tinggi serta membawa unsur-unsur hara yang kaya akan fosfat dan nitrat yang tinggi ke permukaan. Menurut Ilahude (1998), massa air yang naik ke permukaan ini berasal dari lapisan 100 200 m. Oleh karena itu daerah-daerah upwelling selalu memberikan indikasi produktivitas plankton yang tinggi pada perairan tersebut (Nontji, 1987).

12 Dari nilai suhu dan salinitas yang diukur pada tempat yang sama (posisi dan kedalaman yang sama) pada saat terjadi upwelling, diketahui bahwa suhu akan lebih rendah dan salinitas akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Pada lokasi dimana terjadi upwelling, suhu air permukaan dapat turun sampai sekitar 25 C, dan ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke permukaan (Nontji, 1993). Proses upwelling menyebabkan terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan unsur hara dibandingkan daerah sekitarnya. Melimpahnya unsur hara di perairan saat upwelling akan merangsang perkembangan fitoplankton di lapisan permukaan yang erat hubungannya dengan tingkat kesuburan perairan. Oleh karena itu proses upwelling selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut (Birowo dan Arief, 1983; Pariwono et al., 1988). 2.3.2. Front Front di lautan menunjukkan suatu batas antara dua tipe massa air yang berbeda dalam hal suhu dan/atau salinitas, bahkan kerapatan yang mempunyai gradien suhu yang kuat (Robinson, 1985). Front akan berperanan penting dalam hal produktivitas perairan laut jika cenderung membawa bersama-sama air yang bersuhu dingin dan kaya nutrien dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat tapi miskin unsur hara. Kombinasi dari temperatur dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari percampuran ini akan meningkatkan produktivitas plankton. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya stok ikan disekitar perairan tersebut

13 (Robinson, 1985). Front yang terbentuk mempunyai produktivitas yang tinggi karena merupakan perangkap zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan feeding ground bagi jenis ikan pelagis (Wyrtki, 1961; Laevastu dan Hela, 1970). 2.4. Klorofil dan Produksi Primer Klorofil-a memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton. Fitoplankton merupakan tumbuhan mikroskopis yang pergerakannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitanya, dimana dalam trofik level disebut sebagai produsen utama perairan. Menurut Barnes dan Hughes (1988), pada fitoplankton terdapat pigmen klorofil-a yang merupakan zat hijau daun yang terdapat dalam tumbuhan yang mampu melakukan fotosintesis. Klorofil-a sangat mempengaruhi jumlah dan laju fotosintesis karena pigmen ini mendominasi konversi radiasi menjadi energi kimia. Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju tenggelam fitoplankton. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi maksimum klorofil-a adalah pada bagian di atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen.

14 Laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air bisa diperoleh. Menurut Amri (2002), dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson tenggara (musim timur), dimana pada saat itu terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di prairan Indonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada saat muson barat laut, dimana pada saat ini di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Perairan Selat Bali dapat dikatakan subur saat terjadi upwelling pada musim timur. Ilahude (1975) menyatakan bahwa konsentrasi nutrien tinggi terjadi pada paparan Bali saat musim timur. Tingginya konsentrasi nutrien di perairan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah fitoplankton (Arinardi, 1898). Hal ini disebabkan karena nutrien yang mengandung nitrat dan fosfat sangat dibutuhkan bagi perkembangan fitoplankton. Daerah dimana terjadi upwelling umumnya memiliki zat hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Tingginya kandungan zat hara akan merangsang pertumbuhan fitoplankton di lapisan permukaan. Perkembangan fitoplankton sangat erat hubungannya dengan tingkat kesuburan perairan, sehingga proses naiknya air (upwelling) selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer suatu perairan. Menurut Wyrtki (1961), meningkatnya produktivitas primer di perairan akan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut.

15 2.5. Penginderaan Jarak Jauh Penginderaan jarak jauh adalah ilmu untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1987). Teknik penginderaan jauh memiliki kemampuan yang tinggi dalam menganalisa areal yang luas dan sulit ditempuh dengan cara konvensional dalam waktu yang singkat. Kelebihan teknik penginderaan jauh ini sangat berguna untuk kegiatan pengkajian dan pemantauan sumberdaya alam di seluruh dunia baik darat maupun laut. Sistem penginderaan jauh secara skematik ditampilkan pada Gambar 1. Gambar 1. Sistem penginderaan jarak jauh Sumber: sedac.ciesin.columbia.edu Keterangan : A = Sumber energi elektromagnetik (matahari dan satelit) B = Radiasi elektromagnetik dan atmosfer C = Interaksi dengan target/objek D = Penerimaan dan perekaman energi oleh sensor satelit E = Transmisi, penerimaan, dan pemrosesan F = Interpretasi dan analisis data penginderaan jauh G = Aplikasi data penginderaan jauh

16 2.6. Pendeteksian Klorofil-a dan SPL Pendugaan konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan kisaran cahaya tampak (visible) dan inframerah (infrared). Warna air laut (ocean color) menunjukkan spektrum radiasi di bawah permukaan laut. Penginderaan warna air laut digunakan untuk menduga konsentrasi klorofila. Robinson (1985) menyatakan bahwa perairan dibagi berdasarkan sifat optisnya menjadi dua tipe yaitu tipe perairan 1 yang merupakan perairan dimana komponen optiknya didominasi oleh fitoplankton dan produk degradasinya, dan tipe perairan 2 yang didominasi oleh sedimen tersuspensi (suspended sediment) non organik atau yellow substance. Pendugaan konsentrasi klorofil termasuk dalam tipe perairan 1, dimana pantulan minimum terjadi pada panjang gelombang 0,44 µm (biru) dan 0,66 µm (merah). Warna perairan yang terlihat melalui teknologi penginderaan jarak jauh merupakan hasil pembauran cahaya oleh permukaan perairan. Perairan yang produktif berwarna hijau-biru (turquoise) atau merah, sedangkan perairan yang berwarna biru gelap merupakan perairan dengan kesuburan rendah (Stewart, 1985 dalam Fitriah, 2008). Pengukuran suhu permukaan laut dari satelit dilakukan dengan radiasi inframerah pada panjang gelombang 3-14 µm. Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan (Robinson, 1985). Penelitian tentang suhu permukaan laut pada awalnya menggunakan kanal inframerah jauh dari satelit National Oceanic Athmosphere and Administration Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA-AVHRR)yang terdiri dari 5 kanal. Namun dengan diluncurkannya satelit baru, yakni satelit Aqua yang membawa sensor multi

17 spektral Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), pengamatan tersebut dicoba dengan mengunakan citra MODIS. Salah satu cara untuk mendeteksi konsentrasi klorofil-a dan SPL di suatu perairan adalah dengan menggunakan MODIS. MODIS adalah instrumen kunci pada satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). MODIS pertama diluncurkan bersama satelit Terra pada tanggal 18 Desember 1999, dengan spesifikasi lebih ke daratan. Pada tanggal 4 mei 2002 diluncurkan satelit Aqua yang membawa instrumen MODIS dengan spesifikasi daerah laut (Maccherone, 2005). Satelit Aqua MODIS adalah satelit ilmu pengetahuan tentang bumi yang dimiliki oleh NASA yang mempunyai misi mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di laut dan di daratan, serta salju yang menutupi daratan. Variabel yang juga diukur oleh satelit Aqua MODIS adalah aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton, dan bahan organik terlarut di lautan, serta suhu di udara, laut, dan daratan (Graham, 2005). Data citra yang merupakan produk MODIS untuk perairan mencakup tiga hal yaitu warna perairan, suhu permukaan laut dan produksi primer perairan melalui pendeteksian kandungan klorofil. Kisaran panjang gelombang yang umum digunakan untuk mengukur kandungan klorofil-a dalam perairan disajikan dalam Tabel 2.

18 Tabel 2. Panjang gelombang kanal pada satelit Aqua MODIS Panjang Gelombang Kegunaan Utama Kanal (nm) 1 620 670 Darat/ Awan/ Aerosols Boundaries 2 841 876 3 459 479 4 545 565 Darat/ Awan/ Aerosols Properties 5 1230 1250 6 1628 1652 7 2105 2155 8 405 420 9 438 448 10 483 493 11 526 536 Ocean Color/ Fitoplankton/ Biogeokimia 12 546 556 13 662 672 14 673 683 15 743 753 16 862 877 17 890 920 Atmospheric Water Vapor 18 931 941 19 915 965 20 3660 3480 Surface/ Cloud Temperature 23 4020 4080 Atmospheric Temperature 26 1360 1390 Cirrus Clouds Water Vapor 27 6536 6895 28 7175 7475 Clouds Properties 29 8400 8700 Ozone 30 9580 9880 Surface/ Cloud Temperature 33 13185 13485 Clous Top Altitude 36 14085 14385 Sumber: oceancolor.nasa.gsfc.gov 21 24 31 34 3929 3989 4433 4498 10780 11280 13485 13785 22 25 32 35 3929 3989 4482 4549 11770 12270 13785 14085

19 Ada beberapa produk Aqua MODIS dengan berbagai sumber. Salah satu produk Aqua MODIS adalah citra level 3. Citra MODIS level 3 terdiri dari data suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a dan data parameter lainnya yang dapat digunakan oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, termasuk oseanografi dan biologi. Citra MODIS level 3 merupakan produk data yang sudah diproses. Citra tersebut sudah dikoreksi atmosferik, yang dilakukan untuk menghilangkan hamburan cahaya yang sangat tinggi yang disebabkan oleh komponen atmosfer. Komponen yang dikoreksi yaitu hamburan Rayleigh dan hamburan aerosol. Selain itu, citra MODIS level 3 digunakan untuk data klimatologi dan data ozon yang merupakan data lingkungan untuk mempertajam hasil keluaran citra (Meliani, 2006). Menurut McClain dan Feldman (2004) dalam Meliani (2006), algoritma yang digunakan sebagai standar dalam pengolahan citra Aqua MODIS untuk mendapatkan data klorofil-a di perairan secara global adalah algoritma Ocean Chlorophyll 3-band algorithm MODIS (OC3M). Algoritma ini menggunakan nilai tertinggi dari rasio kanal 443 nm dan 488 nm terhadap 551 nm dengan persamaan sebagai berikut (O Reilly et al., 2000): (1). (2) dimana: Ca = Konsentrasi klorofil-a (mg/m 3 ) R = Rasio reflektansi Rrs = Remote sensing reflectance