2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 2.2 Penginderaan Jauh Sistem penginderaan jauh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 2.2 Penginderaan Jauh Sistem penginderaan jauh"

Transkripsi

1 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Berdasarkan letak geografis perairan Utara Aceh merupakan bagian dari Kota Banda yang berada pada provinsi Pemerintah Aceh. Perairan Kota Banda Aceh dipengaruhi oleh persimpangan dan gerakan arus dari Samudera Hindia yang berada di sebelah Barat, Selat Malaka yang berada di sebelah Utara dan Kepulauan Andaman dan Nicobar yang berada di sebelah Utara. Provinsi Pemerintah Aceh sendiri terletak antara 2 o -6 o Lintang Utara dan 95 o -98 o Lintang Selatan dengan ketinggian rata - rata 125 meter di atas permukaan laut (DKP Aceh 2010). Kota Banda Aceh memiliki Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang terletak di jalan Sisingamangaraja Ujung, Komplek TPI No. 16 Desa Lampulo. PPP Lampulo terletak di pinggir Kota Banda Aceh, tepatnya berdiri membentang sekitar 258 meter memanjang di sisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh pada koordinat Lintang Utara dan Bujur Timur (UPTD PPP Lampulo 2010). Secara keseluruhan perairan Utara Aceh terletak di antara Sabang, Pulo Nasi, dan Pulo Beras. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka. Arah pergerakan angin di perairan Utara Aceh dipengaruhi oleh 2 siklus angin muson, yaitu muson Timur pada bulan Juni Agustus dan muson Barat bulan Desember Februari. Pada perairan Utara Aceh terjadi 2 siklus pancaroba, yaitu pancaroba awal tahun pada bulan April-Mei dan pancaroba akhir tahun bulan Oktober Desember. Suhu permukaan laut (SPL) di perairan Utara Aceh berkisar antara 28,00 o C-30,00 o C. Sebaran suhu hampir merata di seluruh perairan Aceh, hanya pada daerah-daerah yang memiliki muara sungai yang besar sebaran suhunya bervariasi (BRR NAD-Nias, 2007). 2.2 Penginderaan Jauh Sistem penginderaan jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena dengan jalan menganalisis data yang

2 8 diperoleh melalui alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Kemudian, Susanto (1992) menambahkan bahwa informasi dari penginderaan jauh berbentuk radiasi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh matahari, lalu dipantulkan oleh permukaan bumi. Spektrum gelombang elektromagnetik yang digunakan dalam penginderaan jauh disajikan pada Tabel 1. Menurut Susanto (1992) ada empat komponen penting dalam sistem penginderaan jauh, yaitu (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2) atmosfer, (3) interaksi antara tenaga dan objek, dan (4) sensor. Secara skematik sistem penginderaan jauh dapat dilihat pada Gambar 2. Sumber: Susanto 1992 Gambar 2 Sistem penginderaan jauh. Tabel 1 Spektrum gelombang dalam penginderaan jauh No Gelombang Elektromagnetik Panjang Gelombang 1 Photografhic ultraviolet 0,3 0,4 µm 2 Visible 0,4 0,7 µm 3 Near infrared 0,7 3,0 µm 4 Middle infrared 3,0 8,0 µm 5 Far infrared 8, µm 6 Microwave 1,0 mm 100 cm Sumber: Butler et al (1988)

3 9 Menurut Butler et al. (1988) sensor adalah alat untuk mendeteksi radiasi elektromagnetik yang dipantulkan oleh objek, lalu mengubahnya menjadi nilai nyata yang dapat direkam dan diproses. Susanto (1992), membedakan sensor berdasarkan proses perekamannya, yaitu sensor fotografik dan sensor elektronik. Proses perekaman sensor fotografik adalah secara kimiawi, yaitu radiasi elektromagnetik yang diterima sensor direkam secara langsung pada lapangan emulsi film yang bila diproses, akan menghasilkan foto dan hasilnya biasanya disebut foto udara. Proses perekaman sensor elektromagnetik menggunakan sinyal elektrik yang direkam dengan pita magnetic atau detector lainnya. Hasil akhir dari sensor ini disebut citra Satelit Aqua MODIS Aqua yang dalam bahasa latin berarti air, adalah suatu satelit ilmu pengetahuan tentang bumi dan MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing Sistem (EOS) Terra Satellite, yang merupakan rangkaian dari program antariksa Amerika Serikat. Program ini dilaksanakan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini adalah rangkaian program jangka panjang dengan tujuan untuk mengamati, meneliti dan menganalisis lahan, lautan, atmosfir bumi, dan interaksi di antara faktor-faktor ini. MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dibawa oleh satelit Terra yang spesifikasinya lebih ke daratan. 15 Lalu, pada tanggal 4 mei 2002 diluncurkan MODIS yang dibawa oleh satelit Aqua dan spesifikasinya lebih ke lautan. Satelit Terra melintasi bumi dari utara ke selatan pada pukul pagi (melintas garis ekuator), sedangkan satelit Aqua melintasi bumi dari arah selatan ke arah utara dan melintasi ekuator pada pukul siang. Instrumen Modis memiliki lebar sapuan sebesar 2330 km dan dapat meliput seluruh permukaan bumi dalam waktu satu sampai dua hari (Maccherone 2005). Graham (2005) mengatakan bahwa satelit Aqua MODIS juga mempunyai kemampuan mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di laut, dan juga es yang ada di darat, serta salju yang menutupi daratan. Selain itu satelit Aqua MODIS juga dapat digunakan untuk mengukur

4 10 variabel seperti aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton, bahan organik terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air. Satelit MODIS membawa sensor multispektral yang terdiri dari 36 kanal/band spektral. Kanal 1-19 dan 26 berada pada kisaran gelombang visible dan inframerah dekat dan kanal-kanal selebihnya berada pada kisaran gelombang termal dengan panjang gelombang tengah dari 0,412 µm sampai dengan 14,423 µm (Lillesand dan Kiefer 1990). Adapun satelit Aqua Modis dapat dilihat pada Gambar 3. Sumber: Box JE 2006 Gambar 3 Satelit Aqua MODIS. Rustadi (2011) menjelaskan bahwa MODIS mengorbit bumi bersifat polar (arah utara-selatan) yang ketinggiannya mencapai 705 km. MODIS akan melewati garis khatulistiwa pada jam waktu lokal. Lebar areal cakupan lahan (swatch width) yang terliput pada permukaan bumi pada setiap putarannya sekitar 2330 km. Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (interval panjang gelombang) mulai dari 0,405 µm sampai 14,385 µm dengan kecepatan 11 megabytes setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bits. Resolusi spasial yang terdapat pada satelit MODIS meliputi dua kanal pada resolusi spasial 250 m (kanal 1-2), 5 kanal pada 500 m (kanal 3-7) dan sisanya 29 kanal pada 1000 m (kanal 8-36). Karakteristik sensor dan spesifikasi dari satelit MODIS dapat dilihat pada (Tabel 2 dan Tabel 3).

5 11 Tabel 2 Karakteristik sensor satelit MODIS Kegunaan Pokok Band Bandwidth (µm) Land/Cloud/Aerosols Boundaries Land/Cloud/Aerosols Properties Ocean Color/ Phytoplankton/ Biogeochemistry Atmospheric Water Vapor Surface/Cloud Temperature Atmospheric Temperature Cirrus Clouds Water Vapor Cloud Properties Ozone Surface/Cloud Temperature Cloud Top Altitude Sumber: Maccherone 2005 Resolution Spasial 250 m 500 m 1000 m

6 12 Tabel 3 Spesifikasi teknis dari satelit MODIS Spesifikasi Keterangan Ketinggian 705km Lama Rekaman 20,3rpm, sepanjang jalur Lebar Sapuan 2330km dengan 10km (sepanjang jalur pada nadir Teleskop 17,78cm (diameternya) Ukuran 1,0m x 1,6m x 1,0m Berat 228,7kg Daya 162,5watt Data 10,6Mbps (peak per hari); 6,1Mbps (per orbit) Kuantitas 12 bits Resolusi Spasial 250m (kanal 1-2) 500m (kanal 3-7) 1000m (kanal 8-36) Waktu 6 tahun Sumber: Maccherone Pemanfaatan satelit Aqua MODIS dalam penentuan DPI Data satelit MODIS mampu memberikan informasi tentang fenomena di permukaan laut, seperti konsentrasi klorofil-a dalam permukaan air laut. Algoritma penentuan klorofil-a dilaksanakan sesuai dengan rasio radiansi atau reflektansi yang diukur dalam spektral kanal biru dan hijau data MODIS yang diperoleh dari beberapa radiansi untuk reflektansi, di antaranya, dengan panjang gelombang/spektral band (kanal 8 hingga 14, pada panjang gelombang 412 hingga 618 µm) (Suwargana et al. 2002). Sensor pada satelit menerima pantulan radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Pada sistem penginderaan jauh warna air laut terjadi transper radiasi dalam sistem sinar matahari-perairan-sensor satelit. Radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh atmosfer, yang sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, melekul udara, dan aerosol. Kemudian, sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti fitoplankton, sedimen tersuspensi (suspended sediment), dan substansi kuning (yellow substances). Pada perairan yang dangkal, pantulan

7 13 dari dasar perairan juga berpengaruh pada pantulan permukaan perairan (Hendiarti 2005). Suwargana et al (2002) menjelaskan bahwa SPL dan konsentrasi klorofil-a perairan merupakan salah satu indikator dalam menentukan daerah penangkapan ikan. Lebih lanjut, Hasyim dan Salma dalam Hariyadi (2009) menjelaskan bahwa pengamatan kondisi lingkungan perikanan merupakan pengamatan kondisi oseanografi. Pengamatan yang dilakukan umumnya membutuhkan berbagai informasi, seperti suhu perairan, arah dan kecepatan arus, serta beberapa parameter lainnya (salinitas, kandungan oksigen terlarut, tingkat transparansi). Informasi lain yang sangat dibutuhkan adalah produktivitas perairan dan ketersediaan makanan. Penelitian mengenai klorofil-a dan SPL telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti dengan menggunakan data satelit. Menurut Prasasti et al. (2003), untuk menentukan nilai konsentrasi klorofil-a dari satelit MODIS harus diekstraksi dari rasio kanal 9 dengan kanal 12. Kanal 9 (443 nm) bekerja pada daerah sinar biru, sedangkan kanal 12 (551 nm) bekerja pada sinar hijau. Penyerapan energi oleh klorofil-a pada kanal 9 cukup tinggi yang mengakibatkan pantulan pada kanal ini rendah. Oleh karena itu, jika rasio antara reflektansi panjang gelombang 443 nm dengan 551 nm rendah, konsentrasi klorofilnya tinggi. Namun, SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, kondisi arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan indikator daerah potensi penangkapan ikan. Daerah yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan yang subur tersebut, daerah penangkapan ikan dapat diketahui. Penentuan SPL dari pengukuran satelit dilakukan dengan radiasi inframerah pada panjang gelombang 3 μm 14 μm. Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut sampai kedalaman 0,1 mm (Hasyim dan Salma 1999 dalam Hariyadi 2009). Suwargana et al. (2002) menjelaskan kelebihan dari pemanfaatan teknologi penginderaan jarak jauh adalah tingginya frekuensi pengatan (empat lintasan sehari) dan biaya operasional yang jauh lebih murah jika dibandingkan

8 14 dengan cara lainnya. Observasi melalui satelit ini juga sangat berguna dalam pengamatan fenomena oseanografi, terutama berkaitan dengan fenomena penaikan massa air dan thermal front yang merupakan indikator dari daerah potensi ikan yang tinggi. Oleh karenanya, diharapkan dengan tersedianya informasi ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisien proses penangkapan ikan di laut. Berdasarkan kemampuan seperti ini, penginderaan jarak jauh dapat memberikan gambaran sederhana tentang terjadinya suatu dinamika perubahan suatu objek, juga dapat memberikan informasi yang akurat tentang kondisi lingkungan perairan (daerah penangkapan ikan), dan sebagainya. Menurut Aboet (1985), keberhasilan dari teknologi penginderaan jauh dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama adalah kecanggihan dan ketelitian sensor, dalam hal ini dipengaruhi oleh rancangan sensor yang tepat dan kalibrasi instrumen yang benar. Kedua adalah kemampuan pengguna dalam menginterpretasikan citra, karena hasil observasi alat bukanlah pengukuran secara langsung akan tetapi merupakan hasil perekaman satelit sesuai dengan karakter reflektansi objek yang berbeda-beda. Hal ini berarti seorang pengguna data satelit harus mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh dan proses interpretasi citra untuk mendeteksi suatu fenomena alam pada suatu wilayah. 2.3 Aspek Biologi dan Tingkah Laku Ikan Layang (Decapterus spp.) Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut: Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidea Divisi : Carangi Family : Carangidae Genus : Decapterus Spesies : D. russelli D. macrosoma D. curroides D. maruadsi

9 15 Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma (Gambar 4 dan 5). Decapterus russelli mempunyai nama umum ikan layang atau round scad, sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles atau layang scad (Nurhakim et al. 1987). Di Aceh ikan layang sering disebut dengan nama ikan reugak. Dalam statistik perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang (Decapterus spp.) (Widodo 1988). Sumber: Gambar 4 Ikan layang biasa (Decapterus russelli). Sumber: Gambar 5 Ikan layang deles (Decapterus macrosoma). Ikan layang secara umum memiliki ciri-ciri yang membedakan kelompoknya dari ikan-ikan pelagis kecil lainnya. Menurut Asikin (1971), Saanin (1984), dan Nurhakim et al. (1987), ciri-ciri umum ikan layang adalah: (1) Bentuk badan bulat memanjang berbentuk cerutu ataupun agak gepeng; (2) Memiliki sisik yang sangat halus; (3) Mempunyai dua buah finlet (sirip tambahan) yang terletak pada belakang sirip punggung dan sirip dubur; (4) Mempunyai totol hitam pada tepian penutup insang;

10 16 (5) Panjang tubuh ikan dewasa berkisar antara cm, tetapi dapat juga mencapai 30 cm. Menurut Asikin (1971), Saanin (1984), dan Lussinap et al. (1970) ikan layang memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) Sangat menyukai kadar salinitas yang tetap (stenohaline organism) dan menyukai perairan yang jernih; (2) Tergolong kedalam jenis pemakan plankton dan memiliki kebiasaan makan pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam; (3) Merupakan perenang cepat dan aktif, namun pada daerah yang sempit atau di sekitar benda-benda terapung seperti rumpon, aktivitas akan berkurang saat membentuk gerombolan; (4) Adakalanya sifat bergerombol bergabung dengan jenis lain seperti bawal (Stromateus spp.), kembung (Rastrelliger spp.), selar (Caranx spp.) dan tembang (Sardinella spp.); (5) Pada siang hari gerombolan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan pada malam hari kembali ke lapisan atas perairan; (6) Hidup membentuk gerombolan besar (schooling), pada jarak sekitar mil dari perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan berkedalaman kurang dari 100 m. Definisi gerombolan ikan adalah sekelompok ikan yang biasanya sejenis dan mempunyai ukuran relatif sama yang aktif bergerak bersama dan memiliki bentuk gerombolan tertentu. Bentuk gerombolan ini akan sering berubah terutama apabila terdapat rangsangan atau stimuli dari luar (Lintin et al. 1994). Alasan yang menyebabkan ikan membentuk gerombolan adalah karena adanya konsentrasi makanan, menghindari predator, dan mencari habitat atau lingkungan yang sesuai (Merta 2003). Penelitian yang membahas tentang gerombolan ikan baik yang berkaitan dengan bentuk, ukuran, pergerakan atau pola dari gerombolan tersebut sudah banyak dilakukan dewasa ini. Pengamatan terhadap gerombolan ikan dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain: (1) mengamati secara langsung di dalam laut dengan melakukan penyelaman dan pemotretan, (2) mengamati melalui foto udara dengan menggunakan pesawat dan (3) pengamatan dengan

11 17 metode akustik, baik melalui sonar maupun echosounder (Widodo dan Burhanuddin 2003). Jenis ikan yang sering melakukan ruaya atau bermigrasi dalam bentuk gerombolan di dalam siklus hidupnya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan (Lavestu dan Hayes 1982). Besarnya ukuran gerombolan ternyata berpengaruh terhadap densitas, biomassa dan kecepatan renang ikan. Gerombolan ikan yang volumenya besar umumnya memiliki biomassa yang lebih tinggi (Vasconcellos 2003). Semakin besar ukuran gerombolan ikan maka semakin lambat pergerakan gerombolan ikan tersebut (Hendiarti et al. 2005). Laevastu dan Hayes (1970) meyatakan ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum yaitu sebesar 17 o C. Suhu distribusi ikan layang berkisar antara o C, sedangkan suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar o C. Asikin (1971) mengatakan ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan per tahunnya dengan puncak pemijahan pada bulan Maret-April (musim peralihan Barat-Timur) dan Agustus-September (musim Timur menuju ke musim peralihan Timur-Barat). Penyebaran ikan layang secara vertikal dapat dipengaruhi oleh persediaan makanan. Putlitbangkan (1994) diacu dalam Simbolon (2011) mengemukakan bahwa makanan ikan layang terdiri dari copepoda, crustacean, dan organisme lain. Sedangkan Nontji (1993) mengatakan bahwa makanan utama ikan layang adalah zooplankton, meskipun terkadang memakan ikan kecil seperti teri. 2.4 Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran Ikan Layang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. Gunarso (1985) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan akan mempengaruhi pola kehidupan ikan, baik yang menyangkut periode migrasi musiman, pertumbuhan, maupun keberadaannya Suhu permukaan laut (SPL) Suhu merupakan salah satu parameter penting yang dapat mempengaruhi penyebaran sumber daya hayati laut (ikan). Setiap jenis spesies ikan mempunyai suhu optimum dan mempunyai keterbatasan toleransi terhadap perubahan suhu

12 18 yang ada (Laevestu dan Hela 1970). Selanjutnya, dikatakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil (±0,02 o C) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di suatu perairan. Lavestu dan Hayes (1981) juga mengatakan bahwa ikan-ikan pelagis tertentu akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Sverdrup et al. (1961) menyatakan bahwa pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut berakibat dalam hal laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya aktivitas metabolisme dan siklus reproduksi. Menurut Laevastu (1993), pengaruh suhu terhadap ikan dapat mempengaruhi proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Suhu air laut di lapisan permukaan sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya yang diterima dari sinar matahari. Menurut Laevastu dan Hela (1970) perubahan SPL, selain disebabkan oleh jumlah cahaya yang diterima dari matahari, juga dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan sekitar di daerah perairan tersebut. Pengaruh arus, keadaan awan, penaikan massa air dan pencairan es di kutub juga mempengaruhi suhu di permukaan laut. Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan (aktivitas, mobilitas), gerakan (ruaya, penyebaran), kelimpahan (penggerombolan, maturasi, fekunditas), dan pemijahan (masa inkubasi, penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan (Gastellu dan Mardio 1983). Suhu perairan sangat berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan sumberdaya hayati laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi (Amri 2002). Menurut Nontji (1993), data suhu perairan dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam wilayah perairan tersebut, melainkan dapat juga digunakan untuk mempelajari kehidupan hewan dan tumbuhan yang menempatinya. Suhu dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan. Tinggi rendahnya SPL pada suatu perairan, terutama, dipengaruhi oleh radiasi matahari. Perubahan intensitas cahaya

13 19 akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut, baik secara horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan (Laevestu dan Hela 1970). Harsanugraha dan Parwati (1996) menyatakan ada dua cara untuk menentukan SPL, yaitu pertama metode perkiraan (estimasi) dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh dan kedua metode pengukuran langsung (konvensional) dengan menggunakan alat-alat pengukur temperatur di permukaan laut. Data SPL yang diperoleh dengan metode konvensional disebut data in-situ, sedangkan yang diperoleh dengan metode metode perkiraan (estimasi) disebut pendekatan SPL eks-situ. Dari pola distribusi SPL dengan menggunakan satelit tersebut dapat dilihat fenomena-fenomena yang terjadi di perairan tersebut, seperti upwelling, front, dan pola arus permukaan. Perairan yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Perairan yang subur biasanya merupakan daerah penangkapan ikan karena ikan cenderung bermigrasi ke perairan yang subur. Laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi SPL adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Dengan demikian, SPL biasanya mengikuti pola musiman. Lavestu dan Hela (1970) juga mengatakan bahwa untuk meramalkan berhasil atau tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan (1) suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, (2) pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan mengenai isothermal permukaan, dan (3) perubahan keadaan hidrografi harus dapat diramalkan. Menurut Gunarso (1985) fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting dalam upaya merangsang dan menentukan pengkonsentrasian gerombolan ikan. Oleh karena itu, suhu memegang peranan dalam penentuan daerah penangkapan ikan. Suhu perairan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi. Ikan mempunyai kisaran

14 20 suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang suhu optimum ini bermanfaat dalam peramalan keberadaan kelompok ikan sehingga dapat dengan mudah dilakukan penangkapan (Amri 2002) Klorofil-a Klorofil-a adalah salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Distribusi spasial dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat berhubungan dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Terdapat beberapa parameter fisika-kimia yang dapat mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a. Parameter itu adalah intensitas cahaya, salinitas, suhu dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut akibat adanya perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung ataupun tidak langsung (Sverdrup et al. 1961). Klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Hal ini terjadi karena tingginya suplai nutrien pada perairan pantai yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai. Namun demikian, terdapat beberapa tempat di perairan laut terbuka yang masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi meskipun jauh dari daratan. Kondisi tersebut diakibatkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan naik dan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling (Amri 2002). Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil yang mampu melaksanakan reaksi fotosintesis, yaitu air dan karbon dioksida dengan adanya sinar matahari dan garam hara yang dapat menghasilkan senyawa, seperti karbohidrat. Dengan kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik, fitoplankton disebut sebagai produsen primer (Nontji 1993). Oleh karena itu, kandungan klorofil-a dalam perairan merupakan salah satu indikator tinggi atau rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat kesuburan suatu perairan (Yamaji

15 ). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Menurut Nybakken (1992), plankton memiliki peranan penting dalam ekosistem laut karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Pada ekosistem laut, tipe jejaring makanan yang umum terjadi membentuk limas pakan (food pyramid). Hal ini diakibatkan oleh semakin bergerak ketingkat lebih tinggi, perpindahan senyawa organik yang terjadi berlangsung tidak efisien. Nontji (2005) memperkirakan bahwa tingkat efisiensi perpindahan senyawa organik dari satu tingkat ke tingkat diatasnya hanya sekitar 10% saja dan 90% lainnya hilang sebagai energi panas (Gambar 6). Pada tipe rantai makanan lautan, produsen pertama dimulai dari tumbuhan hijau atau fitoplankton, yang selanjutnya akan dimakan oleh konsumen pertama sampai kepada konsumen tertinggi (Gambar 7). PP Atas : Limas pakan (food pyramid). PP = Produsen primer berupa fitoplankton. H = Herbivora berupa zooplankton. K1 = Karnivora pertama berupa ikan-ikan kecil. H2 = Karnivora kedua berupa ikan-ikan yang lebih besar. K3 = Karnivora ketiga berupa ikan besar. Sumber: Nontji 2005 K3 K2 K1 H Gambar 6 Piramida makanan pada ekosistem laut. Fitoplankton Zooplankton Karnivora I Karnivora II Karnivora III Sumber: Nybakken 1992 Gambar 7 Rantai makanan di lautan.

16 22 Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah pencampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air, dan laju tenggelam fitoplankton (Gabric dan Parslow 1989). Selanjutnya, laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a yang tertinggi dijumpai pada muson tenggara. Pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan, terutama di perairan Indonesia Timur, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil (Amri 2002). Asikin (1971) mengatakan bahwa migrasi ikan layang secara langsung dipengaruhi oleh migrasi missal fitoplankton yang kemudian diikuti oleh zooplankton. Biasanya pada daerah yang kaya fitoplankton dan zooplankton, keberadaan ikan sangat melimpah. Suwargana et al. (2002) menjelaskan bahwa kajian mengenai hubungan antara sebaran klorofil-a dan ikan pelagis dengan beberapa parameter oseanografi (fisika, kimia dan biologi) sangat penting untuk diketahui guna mengidentifikasi parameter fisika-kimia yang memiliki peranan besar terhadap sebaran klorofil-a pada musim tertentu. Selain itu, kajian ini juga penting untuk mengetahui karakteristik massa air di daerah itu. Informasi itu dapat dimanfaatkan dalam upaya pengembangan pengelolaan sumber daya perairan, khususnya, bagi industri penangkapan dan juga dapat digunakan untuk memudahkan dalam menentukan daerah penangkapan pada musim tertentu. 2.5 Alat Tangkap Purse Seine Secara umum kapal-kapal yang mendaratkan hasil tangkapan ikan layang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo adalah dari jenis armada purse seine. Purse seine adalah jenis alat tangkap yang khusus digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang bersifat pelagic schoaling species, yang ikan-ikan tersebut membentuk gerombolan (shoal) serta berada di dekat permukaan air

17 23 (Ayodhyoa 1981). Layang bersifat suka hidup bergerombol. Cara hidup yang demikian ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap purse seine. Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah alat tangkap purse seine. Menurut Ayodhyoa (1981) prinsip penangkapan ikan dengan purse seine adalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, lalu jaring bagian bawah dikerutkan sehingga ikan-ikan terkumpul pada bagian kantong. Dengan kata lain, diperkecilnya ruang gerak ikan sehingga akhirnya ikan tertangkap. Jadi, mata jaring hanyalah sebagai penghadang ikan dan bukan sebagai penjerat. Pukat cincin (purse seine) di Aceh memiliki panjang antara m, dan lebarnya rata-rata m. Badan purse seine terdiri dari lima bagian, setiap bagian memiliki ukuran mata (mesh size) yang berbeda. Panjang dari setiap bagian purse seine adalah 50 m (Gambar 8). Srampad (selvage) yang dipasang pada bagian atas, samping kiri/kanan dan bawah dari badan purse seine yang bertujuan untuk memperkuat purse seine pada waktu dioperasikan (terutama pada saat hauling). Selvage ini terbuat dari bahan polyethylene ukuran mata 2 inci, di bagian atas 10 mata, samping kiri/kanan 20 mata dan bawah 15 mata. Bentuk tali kang (tali ring) adalah kaki tunggal yang berfungsi untuk mengantungkan cincin pada tali ris bawah. Tali ris ini terbuat dari bahan polyethylene dengan diameter 15 mm dan panjangnya 100 cm. Tali kolor (purse line) digunakan untuk mengerutkan purse seine bagian bawah pada waktu hauling setelah purse seine selesai dilingkarkan. Dengan terkumpulnya ring, maka purse seine bagian bawah akan terkumpul menjadi satu dan purse seine berbentuk seperti mangkuk. Panjang tali kolor ini 1,5 kali lebih panjang daripada purse seine, umumnya tali tersebut terbuat dari bahan polyethylene dan kuralon berwarna putih dengan diameter 35 mm (Gambar 8). Pelampung yang digunakan terbuat dari polyvinil chlorida berwarna putih atau coklat dengan diameter 12 cm, panjangnya ± 20 cm, berbentuk lonjong yang dipasang pada tali ris atas dengan jarak antar pelampung cm. Pemberat yang digunakan terbuat dari timah dan cincin yang digantung dengan tali kang yang berfungsi sebagai tempat lewatnya tali kolor (purse line) sewaktu hauling agar purse seine bagian bawah terkumpul. Cincin ini terbuat dari besi putih atau

18 24 besi kuningan dengan diameter cincin 11,5 cm dan beratnya 450 gram/cincin, jarak antar cincin sangat bervariasi yaitu 10,11,13 dan 15 meter (Gambar 8). Gambar 8 Konstruksi alat tangkap purse seine Aceh. 2.6 Hubungan Sumber Daya Ikan Layang dengan Faktor Oseanografi Pada dasarnya pola dan siklus kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari berbagai kondisi lingkungan dan fluktuasinya. Interaksi antara berbagai faktor lingkungan tersebut dan ikan senantiasa mengalami perubahan. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut meliputi faktor fisik, kimia, dan biologi lingkungan (Gunarso 1985). Pada banyak habitat, spesies berinteraksi dengan lingkungan di beberapa area. Keberadaan mereka tergantung pada kondisi lingkungan. Faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut, antara lain, batas suhu pada struktur panas dan kesuburan perairan. Kondisi suhu merupakan faktor terbaik untuk memilih lokasi dibandingkan kondisi oseanografi lainnya. Selanjutnya, pada banyak spesies dideterminasi melalui struktur panas pada lapisan kedalaman untuk menentukan taktik dan metode penangkapan (Laevastu dan Hayes 1982). Lebih lanjut, Laevastu dan Hayes (1982) menjelaskan bahwa pada dasarnya hubungan yang erat antara faktor lingkungan dan distribusi ikan dapat menjadikan setiap ikan dan ukuran akan berbeda pola penangkapannya. Perbedaan ini juga memperlihatkan bahwa daerah penangkapan ikan akan

19 25 terbentuk pada wilayah-wilayah perairan yang kondisi lingkungannya sesuai dengan sumber daya ikan, termasuk ketersediaan makanan. Selain itu, juga ditunjang dengan kondisi lingkungan perairan yang mendukung habitat yang sesuai dengan spesies ikan tersebut. 2.7 Hasil Penelitian Terkait Penelitian yang telah dilakukan mengenai daerah penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dalam menentukan parameter oseanografi (SPL dan klorofil-a) menjadi bahan masukan untuk penelitian yang sedang dilakukan. Andrius (2007) meneliti mengenai model spasial informasi daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) di antara perairan Selat Makasar dan Laut Jawa. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi ikan layang pada bulan Juli terdapat di antara Pulau Lumu-Lumu dan Lari-Larian hingga ke Utara Pulau Bawean. Pola migrasinya dimulai dari Pulau Lumu-Lumu dan Lari-Larian hingga ke Utara Perairan Pulau Bawean dengan informasi oseanografinya o C untuk SPL, 0,01-1,5 mg/l untuk klorofil-a, 1-2 knot untuk kecepatan arus dan untuk salinitas. Pada bulan Agustus ditunjukkan bahwa distribusi ikan layang terdapat pada Timur Pulau Sambergalang hingga mendekati Perairan Lepas Pantai Selatan Kalimantan. Pola migrasinya dimulai dari Pulau Bawean hingga ke Utara Pulau Madura dengan informasi oseanografinya o C untuk SPL, 0,5-2 mg/l untuk klorofil-a, 1,5-2 knot untuk kecepatan arus dan 33,75-34,5 untuk salinitas. Muklis (2008) juga melakukan penelitian tentang pemetaan daerah penangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tongkol (Euthynnus affinis) di Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan parameter SPL dan klorofil-a dengan menggunakan satelit Aqua MODIS. Hasil penelitiannya memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara SPL dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) ikan Cakalang dan Tongkol. Almuthahar (2005) melakukan penelitian dengan judul analisis SPL dan klorofil-a dari data satelit dan hubungannya terhadap hasil tangkapan ikan kembung (Rastrelliger spp.) di perairan Natuna-Laut Cina Selatan. Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa validasi spasial antara daerah potensial

20 26 penangkapan ikan hasil pengolahan data satelit terhadap daerah penangkapan ikan yang dipilih nelayan memperlihatkan kecocokan daerah hingga ±40%. Akan tetapi, musim penangkapan ikan kembung adalah pada musim peralihan I. Pada penelitian ini juga diperlihatkan adanya hubungan yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan kembung terhadap kondisi oseanografi. Amri (2002) melakukan penelitian mengenai hubungan kondisi oseanografi (SPL, klorofil-a dan arus) dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Selat Sunda. Hasil penelitain tersebut memperlihatkan hubungan yang erat antara kondisi oseanografi dan hasil tangkapan ikan pelagis kecil. Dengan kondisi SPL optimum dan kanungan klorofil-a tinggi berarti kesuburan perairan tinggi, hasil tangkapan ikan pelagis kecil juga tinggi. Pada hasil penelitian ini juga diperoleh perbedaan SPL antara hasil pengukuran satelit dan hasil pengukuran insitu pada beberapa tempat, dan juga ada kesamaan di tempat yang lain. Silvia (2009) melakukan penelitian mengenai analisis daerah DPI Cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a di perairan Mentawai, Sumatera Barat. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa suhu permukaan laut dan klorofil-a tidak ada pengaruhnya terhadap hasil tangkapan cakalang, akan tetapi suhu permukaan laut dan klorofil-a berpengaruh terhadap ukuran panjang ikan cakalang. Sinaga (2009) melakukan penelitian mengenai analisis hasil tangkapan pukat ikan kaitannya dengan kandungan klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Tapanuli Tengah. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyebaran ikan di perairan Tapanuli Tengah bervariasi secara temporal dan spasial. hasil penelitian ini juga mengatakan bahwa SPL dan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap penyebaran ikan.

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp)

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp) 2.1.1 Morfologi Ikan layang atau bahasa latinnya Decapterus spp atau bahasa Inggrisnya scads tergolong ke dalam kelompok ikan-ikan

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. Pada tanggal 18 Desember 1999, NASA (National Aeronautica and Space Administration) meluncurkan Earth Observing System (EOS) Terra satellite untuk mengamati,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan oseanik dimana pada bagian timur berhubungan dengan perairan Selat

2. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan oseanik dimana pada bagian timur berhubungan dengan perairan Selat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Jawa Keadaan umum perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh kondisi geografis dan lingkungan oseanik dimana pada bagian timur berhubungan dengan perairan Selat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. seperti konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut.

2. TINJAUAN PUSTAKA. seperti konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Bali Perairan Selat Bali di sebelah barat dibatasi oleh daratan pulau Jawa, sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh daratan Pulau Bali. Selat Bali

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam, secara keseluruhan merupakan bagian dari Selat Malaka yang terletak diantara Sabang,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Ocean Color Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis dan kandungan sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia memberikan pengakuan bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. (http://bisnisinvestasi.acehprov.go.id/profile.php).

2. TINJAUAN PUSTAKA. (http://bisnisinvestasi.acehprov.go.id/profile.php). 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara geografis berada di bagian barat Indonesia pada 2 0 LU-6 0 LU dan 95 0 BT-98 0 BT. Wilayah ini terletak

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT. 3. METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Februari hingga Agustus 2011. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai Secara geografis Mentawai adalah suatu gugusan kepulauan yang membujur dari utara ke selatan sepanjang pantai barat Sumatera Barat

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tenggiri (Scomberomorus commerson).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tenggiri (Scomberomorus commerson). 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Tenggiri Menurut Saanin (1984) Kailola dan Gleofelt (1986), taksonomi ikan tenggiri adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA NURUL AENI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fitoplankton adalah tumbuhan laut terluas yang tersebar dan ditemui di hampir seluruh permukaan laut pada kedalaman lapisan eufotik. Organisme ini berperan penting

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

perairan Selat Malaka dan sebagai data dalam mengetahui tingkat kesuburan TINJAUAN PUSTAKA

perairan Selat Malaka dan sebagai data dalam mengetahui tingkat kesuburan TINJAUAN PUSTAKA perairan Selat Malaka dan sebagai data dalam mengetahui tingkat kesuburan perairan Selat Malaka. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Geografis Selat Malaka Selat Malaka berada di antara dua daratan besar yaitu Pulau

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur 106 20 00 BT hingga 107 03 00 BT dan garis lintang 5 10 00 LS hingga 6 10

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya 99 6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Kotamadya Medan merupakan salah satu daerah penghasil ikan di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan penghasil ikan yang produktif di daerah ini ialah Kecamatan Medan Belawan. Kecamatan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat Malaka yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan tingkat eksploitasi yang cukup tinggi. Salah satu komoditi

Lebih terperinci

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil 7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Terdapat 3 komponen utama dalam kegiatan penangkapan ikan, yaitu 1) teknologi (sumberdaya manusia dan armada), 2) sumberdaya ikan, 3)

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110O-120O BT

ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110O-120O BT MODEL SPASIAL INFORMASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110 O -120 O BT 2 O 50-7 O 50 LS) ANDRIUS Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut, 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Optik Perairan Penetrasi cahaya yang sampai ke dalam air dipengaruhi oleh intensitas cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut, dan tersuspensi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metode penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya sudah sejak lama diketahui sebagai perlakuan yang efektif untuk tujuan penangkapan ikan tunggal maupun berkelompok (Ben-Yami,

Lebih terperinci

KAPAL IKAN PURSE SEINE

KAPAL IKAN PURSE SEINE KAPAL IKAN PURSE SEINE Contoh Kapal Purse Seine, Mini Purse Seine, Pengoperasian alat tangkap. DESAIN KAPAL PURSE SEINE Spesifikasi kapal ikan yang perlu di perhatikan : 1. Spesifikasi teknis : khusus

Lebih terperinci

Oleh: Risna Julisca Agnes Panjaitan C

Oleh: Risna Julisca Agnes Panjaitan C VARIABILITAS KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DARI CITRA SATELIT AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN LEMURU DI PERAIRAN SELAT BALI Oleh: Risna Julisca Agnes Panjaitan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Pulau Biawak Pulau Biawak terletak di sebelah utara pantai Indramayu secara geografis berada pada posisi 05 0 56 002 LS dan 108 0 22 015 BT. Luas pulau ± 120 Ha,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 YellowfinTuna. Menurut Saanin (1984) ikan Yellowfin Tuna dapat diklasifikasikan sebagai. berikut: : Percomorphi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 YellowfinTuna. Menurut Saanin (1984) ikan Yellowfin Tuna dapat diklasifikasikan sebagai. berikut: : Percomorphi 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 YellowfinTuna berikut: Menurut Saanin (1984) ikan Yellowfin Tuna dapat diklasifikasikan sebagai Kingdom Sub Kingdom Phylum Sub Phylum Kelas Sub Kelas Ordo Sub Ordo Famili Genus

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ M. IRSYAD DIRAQ P. 3509100033 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai September 2010. Pengambilan data lapangan dilakukan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, sejak 21 Juli

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan 22 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan menggunakan citra MODIS. Lokasi untuk objek penelitian adalah perairan Barat-

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI LAUT BANDA EDDY HAMKA

PEMETAAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI LAUT BANDA EDDY HAMKA PEMETAAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI LAUT BANDA EDDY HAMKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmiah Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang subur dengan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini berhubungan dengan kehadiran

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

Tabel 1 Contoh spesifikasi kapal purse seine Pekalongan No. Spesifikasi Dimensi

Tabel 1 Contoh spesifikasi kapal purse seine Pekalongan No. Spesifikasi Dimensi 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Perikanan purse seine Pekalongan 4.1.1.1 Kapal purse seine Pekalongan Secara umum armada penangkapan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan adalah

Lebih terperinci