BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. memanifestasikan perbenturan antara kepentingan yang berbeda dan sering

BAB I PENDAHULUAN. memanifestasikan perbenturan antar kepentingan yang berbeda dan sering

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan nilai ekonomis aset dan potensi harta kekayaan. Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Oleh: Deliana Vita Sari Djakaria PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016

Journal of Governance And Public Policy 254 A. Latar Belakang Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penat

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi.

BAB III TINJAUAN KAWASAN

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan. Youdastyo / Kompleks Wisata Perikanan Kalitirto I- 1

BAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai kota pendidikan dan kota pariwisata dengan jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

KEADAAN UMUM WILAYAH. Sleman merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Daerah Istimewa

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi pajak yang sangat

Berdasarkan pernyataan Visi yang diinginkan sebagai tersebut diatas selanjutnya misi Polres Sleman adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan penataan ruang meliputi aspek-aspek pengaturan,

BUPATI SLEMAN PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGEMBANGAN PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

KEADAAN UMUM WILAYAH. ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi.

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB IV. A. Pelaksanaan Pasal 24 huruf a, b, dan c Undang-undang Nomor 20 Tahun tentang Rumah Susun Oleh Pemerintah Kabupaten Sleman.

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH. Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang memiliki luas areal sebesar

I. KARAKTERISTIK WILAYAH

BAB III TINJAUAN KAWASAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: indikator yang diteliti yaitu komunikasi. Komunikasi masih banyak

I. PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau lebih populer dengan sebutan

SAMBUTAN BUPATI SLEMAN PADA ACARA LEPAS SAMBUT KEPALA LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KELAS II A YOGYAKARTA TANGGAL : 3 JUNI 2016

A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN

Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun Anggaran 2011

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang. strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan mendayagunakan sumber daya yang. sumber daya yang lain untuk mencapai tujuan organisasi.

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PRIORITAS DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. IV.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG

BAB III Tinjauan Lokasi dan Rumah Sakit Hewan di Yogyakarta 3.1 Tinjauan Kondisi Umum Kabupaten Sleman

BAB I. PENDAHULUAN A.

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1

Tabel 3.1. Anggaran, Realisasi, dan Pelaksanaan Urusan Wajib

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi tanah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB III. TINJAUAN KHUSUS WISMA UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Kondisi Wilayah Kaliurang Sleman Yogyakarta Gambaran Umum Wilayah Sleman

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TK II SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. Penataan Ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang,

Tabel 3.1. Anggaran, Realisasi, dan Pelaksanaan Urusan Wajib

*terdiri dari kolam/empang/tebat, tanah kuburan, jalan, dan lapangan.

TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat dan sangat pesat. Masyarakat berbondong-bondong datang ke kota

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Kemiskinan merupakan

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 12/PJ/2010 TENTANG : NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP

PENDAHULUAN Latar Belakang

Cadangan Airtanah Berdasarkan Geometri dan Konfigurasi Sistem Akuifer Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

PENGARUH PENYEDIAAN PRASARANA LISTRIK TERHADAP PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kawasan yang pesat di perkotaan memberikan tantangan dan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan. Hal ini karena beberapa jenis sampah memiliki kandungan material

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

Tabel 7.3 CAPAIAN KINERJA PROGRAM INDIKATOR

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PRIORITAS DAERAH

BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun Anggaran 2014

TINGKAT KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TURI DAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

WALIKOTA BANDAR LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 08 TAHUN 2015 TENTANG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PRIORITAS DAERAH

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dunia bisnis kini berkembang sangat pesat di jaman yang maju dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. waktu. Kota tidak bersifat statis, akan tetapi selalu bergerak, berkembang dan

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang

BAB II PROFIL DAERAH KABUPATEN SLEMAN & BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN SLEMAN

IV. KEDAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN. Wilayah Kabupaten Sleman terbentang mulai 110 o sampai dengan

KLASIFIKASI LAHAN UNTUK PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 14 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG

LP3A SEKOLAH TINGGI TEKNIK ARSITEKTUR DI YOGYAKARTA BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB I PENDAHULUAN. permukiman, perdagangan, industri dan lain-lainnya tidak terkendali/tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. bangsa di dunia. Kemiskinan pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

Rencana Umum Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan;

BAB III PUSAT SENI KERJANINAN BAMBU DI DESA WISATA BRAJAN Kondisi Administratif Kabupaten Sleman

HUBUNGAN FAKTOR- FAKTOR PENGHAMBAT DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN DALAM MEMBERIKAN KONSELING PADA PELAYANAN KEBIDANAN DI PUSKESMAS WILAYAH SLEMAN

BAB III TINJAUAN KOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan system pemerintahan. Dimana para calon pemimpin. PP NO 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan

KAJIAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA GORONTALO. Lydia Surijani Tatura Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- 12 /PJ/2010 TENTANG NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BERITA DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015 NOMOR 10 PERATURAN BUPATI MAGELANG NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERIZINAN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penataan ruang. Pemanfaatan ruang dibanyak daerah di Indonesia, dalam pelaksanaan sering atau tidak selalu sejalan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian atau pelanggaran tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, tekanan perkembangan pasar terhadap ruang, belum jelasnya mekanisme pengendalian dan lemahnya penegakan hukum (Law enforcement), (Taufik: 2005). Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek-aspek pelaksanaan (pemanfaatan ruang) atau sebaliknya bahwa pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang. Syahid (2003) menyebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang pada saat ini tidak efesien dan efektif, karena instrumen perizinan yang merupakan langkah awal dalam pengendalian pemanfaatan ruang sering saling bertentangan dan bahkan melanggar rencana tata ruang yang ada, contohnya di daerah Kecamatan Gamping banyak 1

2 sekali pembangunan perumahan. Disisi lain, meningkatnya kegiatan pembangunan berakibat pada kebutuhan akan lahan bertambah. Hal ini berakibat alokasi peruntukan lahan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang tidak lagi mampu mengakomodasi perkembangan yang terjadi sehingga terjadi pelanggaran tersebut (Taufik: 2005). Pemanfaatan tanah sangat dipengaruhi oleh tuntutan pelaku pasar, berkembang pesat dan sebagian besar menerobos ke dalam fungsi lahan kegiatan lain. Akibatnya muncul fenomena perubahan pemanfaatan lahan yang sering kali menimbulkan dampak negara terhadap lingkungan dan transportasi. Oleh karena itu diperlukan upaya pengendalian pemanfaatan lahan yang dirumuskan berdasarkan pola perkembangan pemanfaaan lahan dan kesesuaiannya dengan tata ruang (Taufik: 2005). Pemanfaatan ruang sudah diatur dengan kebijakan dalam penyusunan RTRW (rencana tata ruang wilayah) melalui mekanisme pengendalian, dimana dalam mekanisme tersebut terdapat kegiatan pengawasan dan penertiban. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengawal berjalannya RTRW secara konsisten. Instrumen yang digunakan adalah melalui mekanisme perizinan pemanfaatan ruang seperti izin prinsip, izin lokasi dan perizinan lain yang berhubungan

3 dengan pemanfaatan ruang, termasuk di dalam izin mendirikan bangunan (Taufik: 2005). Izin Peruntukan Penggunaan Tanah atau disingkat IPPT menjadi tolak ukur bagi keberhasilan sebuah produk tata ruang ditinjau dari kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana pemanfaatan ruang yang ada dalam rencana tata ruang tersebut sebagai sebuah instrumen pengendalian pemanfaatan ruang (Wicaksono: 2015). IPPT baru dilaksanankan sejak ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 19 Tahun 2001. Peraturan Daerah ini mengakomodasikan dan mengintegrasikan berbagai jenis izin pemanfaatan lahan atau penggunaan lahan yang ada seperti izin lokasi, dan izin prinsip yang sebelumnya dilaksanakan oleh berbagai instansi di daerah, seperti BPN dan bagian Tata Pemerintahan di Sekretarian Daerah. Lebih terintegrasi lagi pelaksanannya setelah dibentuk Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) pada tahun 2004 yang mempunyai kewenangan melaksanakan urusan daerah dibidang pertanahan termasuk pengendaliannya (Wicaksono: 2015). Guna meningkatkan efektivitas pemanfaatan ruang dilakukan upaya pengendalian tata ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT), site plan dan izin mendirikan banguan (IMB). Izin

4 Peruntukan Penggunaan Tanah merupakan izin awal dalam pemanfaatan lahan, sehingga site plan dan IMB bisa diberikan apabila seseorang atau badan telah mendapatkan IPPT terlebih dahulu. Izin ini harus didapatkan oleh masyarakat sebelum menggunakan lahan untuk berbagai kepentingan yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial budaya, lingkungan dan sesuai dengan tata ruang (Taufik: 2005). Dalam pelaksanaannya IPPT pertama kali masih ditangani oleh beberapa instansi yang mempunyai bidang urusan pertanahan. Instansi tersebut antara lain Kantor Pertanahan, bagian Tata Pertanahan Sekda, bagian Pemerintahan Sekda, Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah dan Perhubungan (Kimpraswilgub). Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat memberikan sebagian urusan pemerintahan dibidang pertanahan kepada daerah, dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2003 Tentang membentuk instansi atau lembaga pemerintahan daerah yang secara khusus menangani urusan Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2003 tentang perubahan pertama atas Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2000 tentang organisasi perangkat daerah (Wicaksono: 2015).

5 Penelitian ini berangkat dari adanya teori penataan ruang yang seharusnya dengan perencanaan yang ada maka pemanfaatan ruang di daerah berjalan sesuai dengan rencana atau tidak terjadi pelaksanaan rencana tata ruang. Namun pada kenyataannya pelanggaran terhadap rencana tata ruang masih banyak terjadi. Hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan ruang sebagian dari proses penataan ruang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pelanggaran banyak dilakukan oleh masyarakat dan badan pemerintah sendiri yang berkewajiban mengendalikan pemanfaatan ruang tersebut. Dengan kondisi tersebut maka diperlukan adanya mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang, agar rencana tata ruang ditaati. Pemanfaatan ruang harus senantiasa memperlihatkan daya dukung lingkungan sehingga kesinambungan keberadaan ruang akan terjaga bagi generasi yang akan datang. Sebagai instrumen pengendalian pemanfaaatan tata ruang salah satunya adalah izin pemanfaatan ruang. Di Kabupaten Sleman salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang adalah melalui mekanisme izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT), sebagai syarat awal bagi seluruh penggunaan lahan. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang izin penggunaan tanah. IPPT ini terdiri dari lima jenis izin yang berkaitan dengan penggunaan lahan (Wicaksono: 2015), yaitu :

6 1. Izin lokasi 2. Izin pemanfaatan lahan 3. Izin perubahan penggunaan tanah atau yang lebih dikenal dengan izin peringatan 4. Izin konsolidasi tanah 5. Izin penetapan pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan perizinan tersebut tidak ada perubahan penggunanan lahan yang tidak seizin pemerintah dengan keluasan berapapun sehingga diharapkan pemanfaatan ruang benar-benar terkendali. Berangkat dari ditetapkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang yang berimplikasi pada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan penata ruang daerah. Proses perencanaan penataan ruang daerah menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang menjadi dasar bagi pelaksanan pembangunan secara keruangan atau bersifat spasial. Rencana tata ruang menjadi dasar bagi perencanan pembangunan pemerintahan melalui program dan kegiatan yang dilaksanakan setiap tahun. Demikian juga menjadi pijakan semua unsur daerah untuk mentaati, termasuk pihak swasta dan masyarakat (Taufik: 2005).

7 Di Kabupaten Sleman terjadi perubahan fungsi lahan dengan mudah dilakukan, padahal Kabupaten Sleman telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah. Menurut Nurmandi (2006:250): Pembangunan perumahan Merapi View merupakan salah satu contoh kesulitan Pemda untuk konsekuen dengan melaksanakan tata ruang wilayah. Proyek ini ditulangpungggungi oleh orang berpengaruh di Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga terpaksa izin prinsip dan izin lokasi dikeluarkan. Disisi lain dengan semakin meningkatnya pembangunan, baik diskala kota atau daerah membutuhkan lahan yang terus meningkat. Ketersediaan lahan sebagai sumber daya alam terbatas dan tidak akan pernah bertambah. Oleh karena itu, sering terjadi konflik dalam penggunaan lahan, baik konflik dalam hal kepemilikan, penguasaan maupun konflik peruntukannya dikaitkan dengan arahan fungsi lahan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Konflik ini juga terjadi sebagai konflik horizontal antar masyarakat, maupun vertikal antara pemerintah dengan masyarakat. Konflik antara pemerintah dan masyarakat bisa terjadi karena kebutuhan penggunaan lahan, artinya ketika pemerintah memerlukan lahan maka akan melakukan pengadaan tanah dengan jalan membebaskan lahan masyarakat dengan cara menyewa, membeli

8 atau mencabut hak atas tanah. Hal ini seringkali menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan menghambat pembangunan. Konflik lain yang terjadi adalah kepentingan pemerintah untuk rencana tata ruang dengan kebutuhan masyarakat untuk melakukan aktifitas diatas lahan yang di miliki atau di kuasai sering sekali tidak sesuai dengan rencana tata ruang (Wicaksono: 2015). Sejak tahun 1988-2002 di Kabupaten Sleman atau selama 14 tahun terdapat peningkatan lahan terbangun yang sebelumnya sawah, tegalan dan peruntukan lain disemua wilayah kecamatan. Wilayah kecamatan yang perubahan penggunaan lahannya tertinggi tiga besar dari 17 (tujuh belas) adalah masing-masing Kecamatan Gamping, Kecamatan Ngaglik dan Kecamatan Depok. Dalam kurun waktu tersebut peningkatan peruntukan pekarangan (build up area) sebesar 867 ha (1,5% dari total wilayah Kabupaten Sleman), yang terutama berasal dari lahan sawah (697 ha; 2,7% dari total lahan sawah), sebagian besar lainnya dari kategori lain-lain yang meliputi lahan tandus, belukar dan hutan (143,6 ha) dan sebagian kecil tegalan (26 ha). Bila diperhatikan secara keruangan, pergeseran penggunaan lahan terjadi pada kawasan-kawasan yang tumbuh menjadi perkotaan di sepanjang jalan-jalan utama dan di sekitar kawasan perguruan tinggi. Jalan-jalan yang pesat pertumbuhannya

9 seperti Jalan Ringroad Utara dan Ringroad Barat, Jalan Yogya- Prambanan, Jalan Godean, Jalan Kaliurang, Jalan Yogya-Magelang dan Jalan Yogya-Wates (Alhalik: 2006). Berikut gambaran perubahan lahan persawahan dan tegalan di Kabupaten Sleman yang menjadi tempat usaha dan permukiman tahun 1995 dan tahun 2003. Tabel I.1 Perubahan sawah/tegalan ke permukiman/tempat usaha di Kabupaten Sleman tahun 1995 dan 2003 No Kecamatan Luas (Ha) 1995 Luas (Ha) 2003 Persen (%) 1995 Persen (%) 2003 1 Godean 1,983 0,5076 7.91 2.51 2 Gamping 3,6255 4,9065 14.47 24.26 3 Depok 2,2800 3,0456 9.10 15.26 4 Berbah 0.8464 0,7976 3.38 3.94 5 Mlati 1,8156 1,1392 7.25 5.63 6 Ngaglik 5,6981 3,1591 22.74 15.62 7 Cangkringan 0,3222 0,0500 1.29 0.25 8 Ngemplak 2,5037 0,0907 9.99 0.45 9 Pakem 1,4030 0,4799 5.60 2.37 10 Sleman 1,5076 1,8480 6.02 9.14 11 Moyodan 0,2370 0,0579 0.95 0.29 12 Seyegan 0,2780 0,2442 1.11 1.21 13 Turi 0,3475 0,1869 1.39 0.92 14 Minggir 0,0780-0.31 0.00 15 Kalasan 1,1840 0,4996 4.72 2.47 16 Tempel 0,8075 3,1660 3.22 15.65 17 Pranbanan 0,1414 0,0500 0.56 0.25 Total 25,0639 19,2285 100 100 Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman (Taufik: 2005)

10 Pada tabel I.1 diatas nampaknya bahwa pada tahun 1995 di Kecamatan Gamping terdapat perubahan fungsi lahan dari sawah/tegalan ke lahan non pertanian sebesar 14.47%, sementara di tahun 2003 meningkat menjadi 24.26% dan merupakan perubahan terbesar dari kecamatan-kecamatan yang berbatasan langsung dengan wilayah administrasi Kota Yogyakarta. Perkembangan perumahan di Yogyakarta sangatlah tinggi, dimana sejak tahun 1973 hingga tahun 2001 telah dibangun 35.356 unit rumah yang tersebar di 269 lokasi di seluruh DIY. Dari data yang ada, Kabupaten Sleman mengalami perkembangan pembangunan perumahan yang cukup besar dari tahun 2004 hingga tahun 2009, yaitu 700 kompleks perumahan dengan skala kecil, menengah maupun skala yang besar. Pada tahun 2010, tercatat ada sebanyak 51 izin pemanfaatan tanah untuk perumahan di beberapa lokasi. Pada tahun 2011 dikeluarkan sebanyak 33 izin pemanfaatan tanah untuk perumahan, sebanyak 25 buah merupakan lokasi perumahan baru (Nugroho: 2012). Jenis izin pemanfaatan tanah yang paling banyak peruntukannya adalah untuk perumahan, baik skala kecil terdiri 4-10 rumah per setiap unitnya, atau perumahan skala besar. Demikian juga perumahan yang bertaraf sedang maupun perumahan mewah.

11 Sebagaiman diketahui wilayah Kabupaten Sleman menjadi tujuan para pengembang untuk menanamkan modalnya membangun perumahan. Dari jumlah 391 izin pemanfaatan tanah yang diberikan lebih 150 buah izin merupakan izin untuk pembangunan perumahan/rumah, belum lagi izin yang diberikan untuk pembangunan rumah pondokan atau rumah pertokoan (ruko). Jadi saat ini perumahan di Kabupaten Sleman jumlahnya mencapai ratusan lokasi dari berbagai pengembang yang ada. Pada saat pameran properti perumahan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Sleman pada tahun 2005, tercatat ada 59 pengembang yang mengikuti dan memiliki properti perumahan di Kabupaten Sleman (Wicaksono: 2015). Tabel I.2 Daftar perumahan di Kabupaten Sleman periode tahun 1990-1996 dan periode tahun 2002-2012 No Kecamatan Tahun 1990-1996 Tahun 2002-2012 1 Depok 19 13 2 Gamping 4 10 3 Mlati - 17 4 Ngaglik 18 21 5 Ngemplak 12 4 Jumlah 53 65 Sumber: KPPD Kabupaten Sleman 2012

12 Dari tabel I.2 diatas bisa dilihat pertambahan perumahan dari tahun ke tahun di Kabupaten Sleman meningkat pesat, pertumbuhan yang paling pesat terjadi di Kecamatan Ngaglik yaitu pada tahun 1990-1996 terdapat 18 perumahan, kemudian di tahun 2002-2012 bertambah 21 perumahan baru yang dibangun oleh pembangun. Sedangkan di Kecamatan depok juga mengalami peningkatan yang begitu besar yaitu di tahun 1990-1996 berjumlah 19, kemudian di tahun 2002-2012 bertambah 13 perumahan. Di kecamatan gamping cukup terjadi peningkatan dari tahun 1990-1996 hanya 4 perumahan tapi terjadi peningkatan perumahan pada tahun 2001-2012 yaitu sebanyak 10 perumahan yang dibangun. Jenis izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) yang paling banyak adalah izin perubahan penggunaan tanah atau pengeringan sebanyak 236 buah, yang diberikan untuk pembangunan rumah tinggal pribadi/perseorangan. Selanjutnya ada;ah izin PT, yang diberikan untuk kegiatan usaha, sebanyak 64 buah izin. Izin yang lain relatif sedikit dan tidak ada izin konsolidasi tanah yang diurus warga (Wicaksono: 2015). Kecamatan Gamping yang paling terlihat pertumbuhan yang sangat pesat, itu bisa dilihat perkembangan di daerah Banyunogo (Desa Banyuraden dan Desa Nogotirto) yang merupakan pintu

13 masuk dan langsung berbatasan dengan kota Yogyakarta bagian barat. Secara administrasi, sebagian wilayah kawasan Banyunogo yang masuk dalam kawasan perencanaan hanya pencangkup 7 dusun dari 16 dusun yang ada di kedua desa tersebut, luas bagian wilayah yang masuk dalam kawasn perencanaan sebesar kurang lebih 365.35 ha (12.2 %) dari luas wilayah Kecamatan Gamping (Taufik: 2005). Beberapa hal yang mempengaruhi perkembangan kawasan Banyunogo itu antara lain karena predikat fungsional kawasan Banyunogo dalam perannya antara pertumbuhan dan perkembangan kota-kota, arahan perkembangan dari kepentingan perencanaan yang lebih luas kawasan Banyunogo hadir sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem perkembangan kota-kota. Secara fungsional, kawasan Banyunogo memiliki dua peranan penting. Pertama, kawasan Banyunogo mengembang fungsi sebagai wadah kegiatan bagi warga masyrakatnya sendiri dalam memenuhi kebutuhan. Kedua, peran kawasan Banyunogo dalam fungsi eksternal merupakan kawasan yang memiliki hubungan yang saling berkaitan dengan kota Yogyakarta dalam jajaran tertentu yang membentuk suatu komunitas kota yang saling mendukung dalam memenuhi kebutuhannya untuk aktifitas kehidupan manusia secara lebih luas (Taufik: 2005).

14 Di Kecamatan Gamping terdapat ancaman pada lahan persawahan untuk pembangunan perumahan baik yang dibangun oleh developer maupun perorangan, kondisi ini akan semakin mempersempit lahan pertanahan dan tidak menutup kemungkinan akan merambah ke daerah cagar budaya yang terdapat di sekitar lahan persawahan di kawasan Banyunogo Kecamatan Gamping. Berdasarkan gambaran tersebut, kemungkinan terjadinya konflik penggunaan dan pemanfaatan serta pengaturan ruang menjadi lebih besar (Taufik:2005), oleh karena itu perencanaan pemanfaatan ruang di kawasan Banyunogo dapat dipandang suatu kegiatan yang perlu segera ditangani oleh Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah Kabupaten Sleman dengan menggunakan salah satu instrumen yaitu dengan izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT). I.2 Rumusan Masalah Izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) digunakan sebagai salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang di daerah Kabupaten Sleman. Maka rumusan permasalahannya adalah Efektivitas Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) menjalankan dan menerapkan prosedur proses pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman?

15 I.3 Tujuan Penelitan Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tentang Efektivitas Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) menjalankan dan menerapkan prosedur proses pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) di Kecamatan Gamping Kecamatan Sleman. I.4 Kegunaan Penelitian a. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan bahan pertimbangan untuk meningkatkan langkah-langkah untuk mengetahui sejauh mana strategi Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) melakukan pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah agar mengikuti rencana tata ruang yang sudah ditetapkan. b. Manfaat teoritis Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana strategi KPPD melakukan pengendalian pemanfaatan ruang melalui perizinan peruntukan penggunaan tanah (IPPT) mengatasi pemasalahan pemanfaatan lahan yang semestinya berdasarkan rencana tata ruang tata wilayah yang telah ditetapkan.