IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TALAS

KARAKTERISASI DAN PENGARUH NaCl TERHADAP KANDUNGAN OKSALAT DALAM PEMBUATAN TEPUNG TALAS BANTEN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Talas (Colocasia esculenta (L) Schot), termasuk genus Colocasia monokotiledon

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa Indonesia adalah beras, karena beras merupakan. makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah gizi merupakan masalah global yang terjadi di sebagian besar belahan

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN ASAM DAN GARAM SEBAGAI UPAYA REDUKSI OKSALAT PADA TEPUNG TALAS (Colocasia esculenta (L.) Schott)

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

BAB I PENDAHULUAN. Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain

KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN GULA, GARAM DAN ASAM. Disiapkan oleh: Siti Aminah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Konsumsi beras di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Bio-slurry dan tahap aplikasi Bio-slurry pada tanaman Caisim. Pada tahap

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia. Salah satu genus umbi-umbian yaitu genus Dioscorea atau

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na 2 S 2 O 5 ) DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili

TELUR ASIN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. a b c. Pada proses pembentukan magnetit, urea terurai menjadi N-organik (HNCO), NH + 4,

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan adalah pilar dasar pembangunan perekonomian dan

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daratan Malaya. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) banyak ditemui

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

BAB II DATA DAN ANALISA

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Dari sekian

INOVASI PEMBUATAN ANEKA PRODUK OLAHAN DARI BENGKUANG. OLEH : Gusti Setiavani, STP. MP

II. TINJAUAN PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

TINJAUAN PUSTAKA. Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat),

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Telur adalah salah satu sumber protein yang dikonsumsi oleh sebagian besar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang,

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Asam Sianida (HCN) Kulit Ubi Kayu Sebagai Pakan Alternatif. Oleh : Sri Purwanti *)

BAB I PENDAHULUAN. kelompok dari Familia Palmae dan disebut juga Cocos nucifera L dan banyak

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan lokal umbi-umbian, namun sampai saat ini pemanfaatan. Tanaman talas merupakan tumbuhan asli daerah tropis.

CONTOH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN PADA KELOMPOK BAHAN PANGAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

DAFTAR ISI JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

RACUN ALAMI PADA TANAMAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang mudah dimasak

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TALAS Penelitian ini diawali dengan karakterisasi talas Banten yang meliputi penampakan fisik tanaman talas. Talas yang diamati adalah talas yang telah dikelompokkan berdasarkan umur panen. Umur panen talas yang diamati adalah 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Talas Banten ini berasal dari daerah Gunung Karang, Desa Juhut, Kabupaten Pandeglang. Habitat penanaman talas Banten ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 7. Habitat talas Banten di daerah Juhut, Pandeglang Talas Banten mempunyai keunikan yaitu mempunyai batang yang terdapat di dalam tanah. Batang yang tertanam di bawah tanah merupakan cormus yang berpati dan besar (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Cormus yang terdapat pada talas Banten bentuknya memanjang dan mempunyai kecenderungan bertambah panjang setiap pertambahan umur tanaman. Cormus talas Banten mempunyai bentuk yang bercabang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Cabang dari cormus diduga merupakan umbi talas Banten. Umbi talas Banten berukuran kecil bila dibandingkan dengan batang (cormus) talas tersebut. Bentuknya seperti tandan yang menempel pada cormus. Penampakan cormus talas Banten ditunjukkan pada Gambar 9 sedangkan penampakan umbi talas Banten pada Gambar 10. Gambar 8. Penampakan talas Banten 16

Batang (cormus) talas Banten Umbi talas Banten Gambar 9. Penampakan cormus talas Banten Gambar 10. Penampakan umbi talas Banten Talas Banten yang tumbuh di daerah Juhut belum mempunyai kepastian umur panen yang tepat sehingga warga Juhut memanen talas apabila tanaman talas sudah terlihat besar dan tingginya sudah melebihi tinggi manusia. Penelitian ini berupaya untuk mengkarakteristik talas Banten berdasarkan umur panen sehingga diharapkan mampu mengetahui kepastian umur panen yang tepat. Karakterisasi penampakan fisik talas Banten dapat dilihat pada Tabel 2. Karakteristik talas Tabel 2. Hasil karakteristik talas Banten berdasarkan umur panen Umur Panen (bulan) 6 8 10 12 Talas Bogor (Nurafriani, 2010) Bentuk batang memanjang memanjang memanjang memanjang membulat Warna kulit batang coklat coklat coklat coklat merah Warna daging batang kuning kuning kuning kuning putih Panjang batang (cm) 34.81 40.56 54.13 66.95 10.3 Diameter batang (cm) 8.49 9.21 10.65 10.8 19 Bobot kotor batang (kg) 1.7 2.46 4.04 5.98 1.38 Bobot bersih batang (kg) 1.43 2.02 3.73 5.56 0.98 Batang (cormus) talas Banten mempunyai bentuk memanjang dengan setiap pertambahan umur tanaman akan bertambah panjang. Dengan bentuk yang memanjang maka mempermudah dalam pengupasan kulit batang sebelum dimasak. Selain itu, batang talas Banten permukaan kulit luarnya rata sehingga mudah dikupas. Hal tersebut merupakan keuntungan yang dimiliki oleh talas Banten. Namun bagian pangkal batang (batang yang letaknya paling dalam saat ditanam) memiliki sedikit kesulitan saat dikupas karena banyaknya akar yang menempel pada batang dan adanya umbi yang tumbuh disekitar pangkal batang. Bentuk batang talas Banten berbeda dengan batang talas Bogor yang diteliti oleh Nurafriani (2010) yang bentuknya membulat. Bila merujuk pada Minantyorini dan Hanarida (2002) yang telah mengklasifikasikan bentuk batang ke dalam 8 kategori maka talas Banten masuk pada 17

kategori 6 yaitu bentuk memanjang sedangkan talas Bogor masuk ke dalam kategori 2 yaitu membulat yang ditampilkan pada Gambar 2. Warna kulit batang talas Banten yang diamati memiliki warna coklat untuk semua talas Banten berbagai umur panen. Bila dibandingkan dengan talas Bogor yang memiliki warna kulit merah, talas Banten memiliki penampakan kulit yang lebih gelap sehingga penampakannya adalah warna coklat. Warna daging batang talas Bogor yang diamati memiliki warna kuning berbeda dengan talas Bogor yang warna dagingnya adalah putih. Talas Bogor mempunyai warna kulit dan daging buah yang sesuai dengan penjelasan Muchtadi dan Sugiyono (1992) bahwa talas memiliki kulit berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh. Warna daging talas dapat mempengaruhi selera konsumen. Seorang konsumen akan memilih talas dengan warna daging yang segar dan cerah warnanya. Karena daging talas yang menarik (segar dan cerah warnanya) tidak memerlukan bahan pewarna sehingga aman untuk dikonsumsi. Daging talas yang banyak dipasarkan adalah yang berwarna putih dan kuning sehingga talas Banten memiliki potensi untuk dipasarkan karena memiliki warna kuning pada dagingnya. Penampakan warna kuning pada talas Banten merupakan daya tarik karena pada talas yang segar, warna kuningnya terlihat cerah. Panjang batang pada talas Banten menunjukkan peningkatan setiap kenaikan umur panen. Pada umur panen 6 bulan panjang batang adalah 34.81 cm, kemudian pada umur panen 8 bulan panjang batangnya mencapai 40.56 cm. Panjang batang talas umur panen 10 bulan adalah 54.13 cm dan talas Banten umur panen 12 bulan mencapai 66.95 cm. Selisih paling besar dijumpai pada saat talas mencapai usia 10 bulan karena perbedaan panjangnya mencapai 13.57 cm bila dihitung dari usia sebelumnya yaitu 8 bulan. Hal ini dimungkinkan karena talas Banten sedang mengalami fase pemanjangan sel yang optimum. Dikatakan pemanjangan sel yang optimum karena saat mencapai usia 12 bulan peningkatan panjang batang hanya sebesar 12.82 cm. Pertumbuhan panjang batang disebabkan oleh adanya kerja hormon pertumbuhan di dalam tanaman. Pada kasus ini hormon pertumbuhan yang berperan adalah sitokinin. Sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan memacu pembesaran sel. Batang talas Banten memiliki panjang batang yang lebih besar daripada talas Bogor yang hanya memiliki 10.3 cm seperti yang diteliti oleh Nurafriani (2010). Talas Bogor yang diteliti oleh Nurafriani (2010) hanya ⅓ panjang batang talas Banten umur panen 6 bulan. Bila merujuk pada klasifikasi yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) terhadap panjang batang talas maka talas Banten masuk kedalam kategori 9 karena panjang batang mencapai lebih dari 18 cm. Klasifikasi panjang batang yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi panjang batang menjadi empat kategori yaitu : 3 (<8 cm), 5 (8-12 cm), 7 (12-18 cm), dan 9 (>18 cm). Bobot kotor (daging dan kulit) batang talas Banten umur 6 12 bulan berkisar dari 1.7 5.98 kg. Bobot batang mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan usia tanaman talas. Pada umur panen 6 bulan bobot batangnya 1.7 kg dan pada usia 8 bulan bobotnya mencapai 2.46 kg. Bobot batang semakin bertambah pada umur panen 10 bulan yaitu sebesar 4.04 kg dan kemudian bertambah lagi pada umur panen 12 bulan yaitu mencapai 5.98 kg. Berdasarkan data tersebut maka dapat ditunjukkan bahwa semakin besar ukuran batang maka semakin berat bobotnya. Hal ini pun menunjukkan keterkaitan dengan panjang batang yaitu semakin panjang batang maka semakin besar bobot batang talas Banten. Pertambahan bobot batang talas Banten dapat disebabkan oleh dua faktor pertumbuhan pada tanaman yaitu faktor dalam seperti hormon tumbuh dan faktor lingkungan seperti air, kelembaban, suhu, dan cahaya. 18

Selain itu menurut Hidajat (1980), ukuran batang yang bertambah seiring dengan bertambahnya umur juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah sel-sel parenkima korteks akibat pembelahan sel secara periklinal di sekitar berkas pembuluh yang selanjutnya melebar ke arah radial dan tangensial, serta terjadinya pembelahan sel yang tersebar pada batang. Bobot batang pada talas Banten memiliki bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan talas Bogor. Talas Bogor hanya memiliki bobot sebesar 1.38 kg (Nurafriani, 2010) padahal talas Bogor tersebut dipanen pada usia tanaman 8 bulan. Dengan adanya informasi tersebut, maka menanam talas Banten mempunyai kelebihan dari segi bobot karena pada umur panen 6 bulan saja sudah didapat bobot batang sebesar 1.7 kg berbeda dengan talas Bogor yang harus menunggu sampai 8 bulan untuk mendapatkan bobot batang sebesar 1.38 kg. Klasifikasi bobot batang talas Banten bila merujuk pada Minantyorini dan Hanarida (2002), maka talas Banten umur panen 6 bulan masuk pada kategori 2, talas Banten umur panen 8 bulan masuk pada kategori 3, dan talas Banten umur panen 10 bulan dan 12 bulan masuk pada kategori 99. Klasifikasi Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi kategori bobot talas menjadi 4 yaitu kategori 1 (<0.5 kg), 2 (0.5 2.0 kg), 3 (2.0 4.0), dan 99 (>4.0). Hasil yang didapat dari karakterisasi fisik batang talas Banten menunjukkan adanya peningkatan untuk setiap parameter seperti panjang batang, bobot batang, dan diameter batang. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan umur panen. Hasil karakteristik fisik tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan umur panen yang terbaik pada talas Banten. Karakterisasi yang dilakukan tidak terbatas pada karakterisasi berdasarkan umur panen, melainkan dilakukan juga karakterisasi per bagian batang. Bagian batang yang diamati adalah ujung batang, tengah batang, dan pangkal batang. Ujung batang dilihat dari batang yang paling dekat dengan pelepah daun talas. Bagian pangkal batang adalah bagian batang yang paling dalam ditanam di tanah atau bagian yang paling dekat akar. Sedangkan bagian tengah batang adalah batang yang menghubungkan ujung batang dengan pangkal batang. Pembagian batang menjadi tiga potongan diawali dari pengukuran panjang batang secara keseluruhan kemudian hasil pengukuran dibagi menjadi tiga bagian yang sama panjang. Pembagian batang menjadi tiga potongan dapat dilihat pada Gambar 11. Ujung batang Tengah batang Pangkal batang Gambar 11. Pembagian bagian batang pada talas Banten Karakterisasi penampakan fisik batang per bagian juga diamati agar dapat diketahui sebaran bagian batang yang memiliki kapasitas bobot dan diameter terbesar serta melihat pola pertumbuhan yang terjadi pada batang talas Banten. Pada potongan per bagian batang, sebaran terbesar untuk bobot kotor, bobot bersih, dan diameter batang ditemukan pada bagian tengah batang untuk setiap umur panen. Karakterisasi fisik per bagian batang dapat dilihat pada Tabel 3. 19

Tabel 3. Hasil karakterisasi penampakan fisik per bagian batang umur panen (bulan) bagian batang bobot kotor (kg) bobot bersih (kg) diameter (cm) ujung 0.51 0.42 7.94 6 tengah 0.63 0.58 8.79 pangkal 0.53 0.44 8.37 ujung 0.81 0.63 9.08 8 tengah 0.93 0.77 9.29 pangkal 0.81 0.62 9.07 ujung 1.34 0.98 9.76 10 tengah 1.71 1.44 10.81 pangkal 1.31 1.05 10.54 ujung 1.52 1.53 10.54 12 tengah 2.04 1.96 11.12 pangkal 1.91 1.70 11.23 Bagian batang talas Banten merupakan bagian yang sering dimanfaatkan oleh warga setempat karena bobot batang lebih besar dari daripada umbi talas tersebut. Masyarakat setempat menyebut umbi sebagai kimpul. Berdasarkan penelitian kali ini, kimpul baru ada saat talas Banten mencapai umur tanaman 10 bulan. Hal ini diduga karena belum berkembangnya sel-sel pertumbuhan kimpul. Oleh karena itu, pemanfaaatan batang pada talas Banten lebih diutamakan daripada kimpul talas Banten. Karakteristik bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil karakterisasi bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten umur panen (bulan) 6 8 10 12 bobot kotor (kg) - - 0.37 1.17 Karakteristik fisik yang dilakukan tidak cukup untuk dijadikan sebagai acuan untuk penentuan umur panen talas Banten terbaik maka itu perlu dilakukan analisis kimia. Analisis kimia yang dilakukan adalah kadar air batang. Pada pengukuran kadar air ini, selain talas dibedakan berdasarkan umur panen, talas juga dibedakan berdasarkan bagian batang. Kadar air talas Banten berdasarkan umur panen ditampilkan pada Gambar 12. kadar air batang (%) 78.5 78.0 77.5 77.0 76.5 76.0 78.30 78.03 77.40 76.23 6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan umur panen Gambar 12. Hubungan antara kadar air batang dengan umur panen talas Banten 20

Berdasarkan sidik ragam didapatkan hasil P value > α (0.05) untuk faktor umur panen (Lampiran 2) sehingga hipotesis H 0 diterima yaitu faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati (kadar air batang). Kadar air batang tertinggi ditemukan pada talas umur panen 8 bulan yaitu 78.3% sedangkan kadar air terendah ditemukan pada talas dengan umur panen 10 bulan yaitu 76.23% namun tidak ada perbedaan yang nyata antara kadar air batang umur panen tersebut. Hasil serupa juga didapatkan pada faktor bagian batang bahwa sidik ragam didapatkan hasil P value > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H 0 diterima yaitu faktor bagian batang tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati (kadar air batang). Berdasarkan grafik pada Gambar 13, kadar air tertinggi ditemukan pada bagian pangkal batang dan terendah ditemukan pada bagian tengah. Tidak adanya perbedaan yang nyata disebabkan karena bagian batang berasal dari batang yang sama. 80 79 79.38 kadar air (%) 78 77 76 75 77.68 75.41 74 ujung tengah pangkal bagian batang talas Gambar 13. Hubungan kadar air dengan bagian batang talas Banten Interaksi antara faktor umur dan bagian batang pun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air batang karena P value > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H 0 diterima. Pengaruh blok pun tidak ada karena P value > α (0.05) (Lampiran 2) dan hipotesis H 0 diterima yaitu blok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu kadar air batang. Kandungan air yang terdapat pada batang talas berpengaruh pada jumlah rendemen tepung yang dihasilkan. Kadar air yang tinggi pada batang akan menghasilkan rendemen tepung yang sedikit namun sebaliknya bila kadar air rendah pada batang maka akan mendapatkan rendemen tepung yang lebih banyak. Kadar air suatu bahan pangan merupakan sesuatu yang sangat penting. Kadar air suatu bahan juga memepengaruhi umur simpan bahan pangan tersebut. Semakin rendah kadar air suatu bahan maka akan semakin awet bahan pangan tersebut. Hal ini karena semakin rendah nilai kadar air maka semakin rendah nilai aktifitas airnya. Nilai aktifitas air ini berkaitan dengan mikroba. Aktifitas air dapat didefinisikan sebagai jumlah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk mendukung pertumbuhannya (Winarno, 1997). Bahan pangan dengan aktifitas air rendah maka air yang terdapat pada bahan tersebut tidak dapat digunakan mikroba untuk melakukan pertumbuhan sehingga bahan pangan akan lebih awet. 21

B. KARAKTERISASI TEPUNG TALAS BERBAGAI UMUR PANEN 1. Kadar Air Tepung Kadar air tepung talas Banten yang didapat menunjukkan hasil bahwa pada umur panen 8 bulan terjadi peningkatan kadar air namun kemudian terjadi penurunan pada umur panen 10 bulan terjadi penurunan begitu juga dengan tepung umur panen 12 bulan. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen ditunjukkan pada Gambar 14. kadar air tepung (%) 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 6.42 5.92 5.89 5.11 6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan umur panen Gambar 14. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen Hasil sidik ragam didapatkan bahwa P value > α (0.05) untuk faktor umur panen (Lampiran 3) sehingga hipotesis H 0 diterima untuk faktor umur panen yang menjelaskan bahwa faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung. Pengaruh bagian batang pun tidak ada karena hasil sidik ragam didapatkan bahwa P value > α (0.05) untuk bagian batang (Lampiran 3) sehingga hipotesis H 0 diterima. Interaksi antara umur panen dan bagian batang yang didapatkan dari sidik ragam menunjukkan bahwa P value > α (0.05) (Lampiran 3) sehingga hipotesis H 0 diterima untuk interaksi antara umur panen dan bagian batang yang menyatakan bahwa interaksi dari faktor umur panen dengan faktor bagian batang tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu kadar air tepung. Hasil serupa juga didapatkan untuk pengelompokkan yaitu P value > α (0.05) (Lampiran 3) untuk hasil sidik ragam. Sehingga blok tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung. Kadar air tepung paling tinggi ditemukan pada tepung talas Banten umur panen 8 bulan yaitu sebesar 6.42% sedangkan kadar air tepung yang terendah ditemukan pada tepung talas umur panen 12 bulan yaitu 5.11%. Namun hal tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar air tepung Banten telah memenuhi syarat kadar air yang aman untuk tepung yaitu dibawah 14%, sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang (Winarno et al., 1980). Kadar air juga berpengaruh terhadap keawetan produk pangan karena bahan yang berkadar air tinggi akan lebih cepat busuk akibat adanya aktivitas mikroorganisme. Richana dan Sunarti (2002), menambahkan bahwa jumlah air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga. Pada Gambar 15, grafik tersebut menunjukkan bahwa batang bagian tengah mempunyai kadar air yang tinggi yaitu 6.25% sedangkan yang terendah ditemukan pada bagian pangkal batang yaitu 5.41%. Hasil yang didapat tidak berpengaruh pada kadar air tepung yang didapat 22

sehingga pemanfaatan batang dapat maksimal tidak tergantung pada bagian batang tertentu saja. kadar air tepung (%) 6.4 6.2 6.0 5.8 5.6 5.4 5.2 6.25 5.85 5.41 ujung tengah pangkal bagian batang Gambar 15. Hubungan antara kadar air tepung dengan bagian batang talas Banten Kadar air tepung talas mempunyai nilai yang berbeda dengan kadar air batang talas. Hal ini dikarenakan pada tepung talas terjadi proses pengeringan sehingga air yang terkandung di dalam batang menguap. Nilai kadar air pada tepung talas menunjukkan pola grafik yang sama dengan kadar air batang talas. Hanya satu umur saja yang mempunyai pola grafik berbeda yaitu pada umur panen 12 bulan. Pada batang, kadar air yang didapat meningkat sedangkan pada tepung hasilnya menurun. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh suhu dan lama pengeringan serta kondisi saat pengeringan berlangsung. Selain itu tidak adanya parameter yang jelas untuk mengetahui kekeringan keripik. Biasanya indikator keripik sudah kering adalah keripik dapat dipatahkan sehingga keripik dapat langsung ditepungkan. Namun kendalanya adalah keripik dipatahkan hanya beberapa sampel saja sehingga tidak semua keripik dapat diketahui keseragaman kekeringannya. Suhu yang kurang merata pada tray merupakan faktor penyebab ketidakseragaman kekeringan keripik. Selain itu juga waktu pengeringan juga berpengaruh terhadap kekeringan keripik. Semakin tinggi suhu dan lama pemanasan maka penguapan air yang terjadi akan lebih banyak sehingga kadar airnya juga lebih rendah. Walaupun demikian, suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kegosongan pada bahan yang dikeringkan. Waktu yang terlalu lama juga akan menyebabkan ketidakefisienan proses pengeringan, karena pada awal pengeringan kecepatan jumlah air yang hilang per satuan waktu adalah tetap, tetapi kemudian terjadi penurunan penghilangan air tidak akan terlalu banyak lagi (Winarno, 1997). 2. Rendemen Tepung Rendemen tepung talas didapatkan dari hasil tepung dibandingkan dengan bobot bersih (daging) batang talas. Rendemen tepung talas yang didapat menunjukkan peningkatan pada umur panen 10 bulan. Rendemen tepung pada umur panen 10 bulan yaitu sebesar 24.39% sedangkan rendemen terendah ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu 20.16%. Hubungan antara rendemen tepung talas ditunjukkan pada Gambar 16. Hasil sidik ragam menunjukkan P value > α (0.05) (Lampiran 4) untuk faktor umur panen sehingga hipotesis H 0 diterima untuk faktor umur panen yaitu faktor umur tidak berpengaruh terhadap rendemen tepung talas Banten. Interaksi yang terjadi juga tidak ada antara umur 23

panen dan bagian batang karena P value > α (0.05) (Lampiran 4). Blok pun tidak berpengaruh untuk rendemen tepung talas karena P value > α (0.05) (Lampiran 4). rendemen tepung (%) 25 24 23 22 21 20 19 24.39 21.50 20.16 20.43 6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan umur panen Gambar 16. Hubungan antara rendemen tepung talas Banten dengan umur panen Rendemen tepung talas umur panen 10 bulan mempunyai nilai rendemen tepung terbesar. Hal ini karena didukung oleh kadar air batang paling kecil yaitu 76.23% dan juga nilai kadar air tepung yang rendah yaitu 5.89%. Hal ini terbukti bahwa nilai kadar air mempengaruhi rendemen tepung yang dihasilkan. Bahwa semakin meningkatnya kadar air maka rendemen yang dihasilkan akan sedikit namun apabila kadar air dalam suatu bahan rendah maka rendemen produk yang dihasilkan akan meningkat. rendemen tepung (%) 23.0 22.5 22.0 21.5 21.0 20.5 22.73 21.05 21.09 ujung tengah pangkal bagian batang Gambar 17. Hubungan rendemen tepung dengan bagian batang talas Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa rendemen tepung talas Banten cenderung meningkat dari ujung ke bagian pangkal batang. Namun, hal ini tidak berpengaruh terhadap rendemen tepung talas karena berdasarkan hasil sidik ragam didapatkan hasil P value > α (0.05) (Lampiran 4). Rendemen tepung talas dipengaruhi oleh proses pembuatan tepung talas seperti pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Proses tersebut dapat mengurangi rendemen tepung talas yang dihasilkan. Pada proses pengeringan, banyak komponen talas yang hilang akibat talas kering (sawut/keripik) tercecer di lantai dan menempel di tray dan sulit untuk diambil. Pada proses penepungan dan pengayakan, ada sebagian tepung yang beterbangan dan 24

menempel pada bahan penampung tepung. Hal ini semua dapat mengurangi rendemen tepung talas yang dihasilkan. Namun demikian, hal itu merupakan sesuatu yang lazim yang tidak dapat dihindari, karena setiap proses pengolahan pangan pasti akan mengalami kehilangan. Baik karena tercecer atau karena akumulasi di alat. 3. Kadar Oksalat Metode yang digunakan dalam menghitung kadar oksalat adalah dengan menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatograph) karena memberikan hasil yang sangat akurat (Savage et al., 2000). Dengan metode HPLC, analisis yang dilakukan adalah soluble dan total oksalat sedangkan untuk insoluble oksalat biasanya dilakukan dengan metode by different (Hollowey et al. 1989). Pada penelitian ini dilakukan analisis oksalat terlarut dan total oksalat untuk mengetahui kandungan oksalat yang terdapat pada talas Banten. Hubungan antara kandungan oksalat talas Banten dengan umur panen dapat dilihat pada Gambar 18. kadar oksalat (ppm) 9000 8000 7000 6000 8525.68 7115.37 5903.00 7030.14 5000 6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan umur panen Gambar 18. Hubungan antara kndungan oksalat talas Banten dengan umur panen Hasil sidik ragam (Lampiran 5) didapatkan bahwa P value > α (0.05) untuk faktor umur panen sehingga hipotesis H 0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Berdasarkan grafik pada Gambar 18 terlihat bahwa kandungan oksalat cenderung menurun pada umur tanaman talas 10 bulan namun mengalami kenaikan saat umur tanaman 12 bulan. Namun hal tersebut bukan merupakan acuan karena berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 5) bahwa umur panen tidak mempunyai pengaruh terhadap kandungan oksalat dalam talas. Perkembangan jumlah oksalat berkaitan dengan pola pertumbuhan tanaman talas Banten. Kandungan oksalat berkaitan dengan kebutuhan kalsium untuk pertumbuhan tanaman sehingga diduga mempengaruhi pengendapan kalsium untuk pembentukkan kristal kalsium oksalat. Seperti dijelaskan oleh Ma dan Miyasaka (1998), bahwa peran oksalat pada tumbuhan antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui toksisitas dan/atau rasa yang tidak menyenangkan, dan osmoregulasi sehingga mempunyai arti penting bagi talas dalam melindungi diri. Pertumbuhan vegetatif tanaman talas yang maksimum sehingga menyebabkan penurunan jumlah total kristal kalsium oksalat. Pertumbuhan yang cepat membutuhkan 25

kalsium yang tinggi untuk pertumbuhan tanaman karena fungsi kalsium pada tanaman merupakan kation dari lamela tengah suatu dinding sel, dimana kalsium pektat merupakan penyusun utamanya. Selain itu Ca memiliki andil penting dalam pengaturan membran sel dengan jalan memelihara selektivitas terhadap berbagai jenis ion (Salisbury dan Ross, 1995). 7700 kadar oksalat (ppm) 7500 7300 7100 6900 6700 7491.59 7032.29 6906.76 ujung tengah pangkal bagian batang Gambar 19. Hubungan antara kandungan oksalat dengan bagian batang talas Berdasarkan grafik pada Gambar 19, sebaran kandungan oksalat yang tinggi berada pada batang bagian ujung dengan rata-rata kandungan total oksalat sebesar 7,491.59 ppm. Kandungan oksalat pada batang mempunyai pola kecenderungan menurun dari ujung batang ke bagian pangkal batang. Namun berdasarkan sidik ragam didapatkan bahwa P value > α (0.05) (Lampiran 5) sehingga hipotesis H 0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor bagian batang tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Menurut Salisbury dan Ross (1995), kelebihan kalsium akan berdampak pada defisiensi kalsium. Walaupun semua titik tumbuh peka terhadap defisiensi kalsium tetapi bagian akarlah yang lebih parah. Bagian itu akan berhenti tumbuh, menjadi tidak teratur, terlihat bagai membelit dan pada defisiensi berat akan mati. Sehingga bagian batang yang dekat akar (pangkal) tidak dapat menerima kelebihan kalsium. Interaksi antara umur panen dan bagian batang tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat karena P value > α (0.05) (Lampiran 5). Selain itu, blok pun tidak berpengaruh terhadap oksalat yang ada di dalam talas karena P value > α (0.05) (Lampiran 5). Kandungan oksalat yang tinggi diduga berada di dekat daerah xilem yang terdapat di dalam batang. Pada tumbuhan monokotil, jaringan pengangkut tersebar secara acak di dalam jaringan dasar (biasanya tersusun atas sel-sel parenkim). Setiap jaringan pengangkut dikelilingi oleh pembungkus (bundle sheath) dan memiliki xilem yang mengarah ke dalam serta floem yg mengarah ke luar batang (Campbell et al., 2002). Menurut Horner dan Wagner (1995), kalsium diangkut melalui xilem, kemudian dengan oksalat terlarut membentuk kristal kalsium oksalat. Selain itu Schadel dan Walter (1980) melaporkan bahwa tanaman dapat mengurangi kelebihan kalsium dengan cara pembuangan kalsium melalui proses gutasi dan penyimpanan kelebihan kalsium dalam bentuk kristal kalsium oksalat di sekitar xilem. Oksalat pada talas diduga kuat merupakan penyebab rasa gatal yang ditimbulkan talas. Menurut Bradbury dan Nixon (1998), Rasa yang tajam ini disebabkan oleh kalsium oksalat yang berbentuk raphide (Gambar 3) serta dapat menembus kulit lembut. Lebih lagi Bradbury dan Holloway (1988) melaporkan bahwa kristal kalsium oksalat tipe raphide menyebabkan 26

rasa gatal dengan cara melepaskan diri dari sel idioblas melalui selubung sel yang robek. Kemudian kristal ini menginjeksikan dirinya ke dalam jaringan mulut maupun kulit, dan bersamaan dengan robeknya selubung, senyawa yang bersifat toksik dikeluarkan dari dari sel idioblas. Senyawa yang bersifat toksik ini belum diketahui secara pasti komponennya. 4. Kadar Pati Kadar pati pada tepung talas Banten dengan hasil terbesar ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu sebesar 96.36%. Sedangkan kadar pati terendah ditemukan pada talas Banten umur panen 10 bulan yaitu sebesar 91.09%. Berdasarkan sidik ragam didapatkan P value < α (0.05) (Lampiran 6) sehingga hipotesis H 0 ditolak dan hipotesis H 1 diterima yaitu paling sedikit ada satu umur panen yang mempengaruhi kadar pati pada talas Banten. Pada umur panen 8 bulan, diduga terjadi pembentukan pati pada talas saat berfotosintesis mempunyai kandungan nutrisi yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Leger (1980) yang menyatakan bahwa waktu/umur panen tertentu merupakan titik optimal dimana kandungan nutrisi terutama kandungan pati yang cukup tinggi dan sudah tidak terjadi penambahan yang berarti, pada umumnya umbi yang dipanen pada umur panen yang lebih tua akan memiliki kandungan pati yang lebih tinggi. Namun demikian peningkatan kandungan pati umbi yang ditanam juga dipengaruhi oleh kondisi tanamna, terutama bagian daun yang erat kaitannya dengan proses fotosintesis, dimana semakin tua umur tanaman, daunnya akan menguning sehingga sudah tidak efektif lagi dalam kaitannya untuk peningkatan kandungan pati. Hubungan antara kadar pati talas Banten dengan umur panen disajikan pada Gambar 20. kadar pati (%) 97 96 95 94 93 92 91 90 96.36 a 94.63 b 93.49 c 91.09 d 6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan umur panen Gambar 20. Hubungan antara kadar pati talas Banten dengan umur panen *) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa talas Banten mempunyai perbedaan yang nyata untuk setiap umur panen. Berdasarkan hasil tersebut kandungan pati tertinggi ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu 96.36%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu yang mendapatkan kadar pati umbi talas sebesar 24.5% (Bradbury dan Holloway, 1988), kadar pati umbi talas yang diuji pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh umur talas serta macam kultivar yang digunakan dan lingkungan pembudidayaannya. Karena talas yang diujikan oleh Bradbury dan Holloway (1988) adalah talas yang diambil dari negara Fiji. 27

Berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan talas Banten sebagai sampel ujinya. Selain itu, bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa tepung sedangkan bahan yang dipakai oleh Bradbury dan Holloway (1988) berupa umbi segar. Penentuan kadar pati pun pernah dilakukan oleh Hartati dan Prana (2003), mereka melakukan identifikasi terhadap kandungan pati yang dimiliki oleh 20 kultivar talas. Berdasarkan hasil analisis, kandungan pati yang dimiliki oleh 20 kultivar talas tersebut berkisar antara 68.24 72.61%. Hasil ini menunjukkan perbedaan kadar pati yang didapat pada penelitian yaitu kisaran kandungan pati yalas Banten sebesar 91.09 96.36%. Perbedaan ini didasari perbedaan genus tanaman talas karena talas yang diamati oleh Hartati dan Prana (2003) merupakan talas genus Colocasia. Fotosintesis yang terjadi pada talas Banten tertinggi pada talas umur panen 8 bulan karena terjadi peningkatan kadar pati yang sangat tinggi. Jumlah kandungan pati yang tinggi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tapi di daun yang amat penting adalah tingkat dan lama cahaya seperti yang diungkapkan oleh Salisbury dan Ross (1995). Hal ini dapat diduga karena kondisi lingkungan yang kurang optimal pada saat penanaman. Pati yang sering dijumpai terdiri dari dua jenis yaitu amilosa dan amilopektin yang keduanya terdiri dari D glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α 1,4. Ikatan α 1,4 menyebabkan rantai pati menggulung menjadi kumparan. Amilopektin terdiri dari molekul yang bercabang-cabang; cabang itu terdapat diantara C 6 dari glukosa pada rantai utama dan C 1 dari glukosa pertama pada rantai cabang (ikatan α 1,6) (Salisbury dan Ross, 1995). kadar pati (%) 95.5 95.0 94.5 94.0 93.5 93.0 92.5 93.54 b 94.98 a 93.16 b ujung tengah pangkal bagian batang Gambar 21. Hubungan antara kadar pati dengan bagian batang talas *) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa P value < α (0.05) (Lampiran 6) sehingga hipotesis H 0 ditolak dan hipotesis H 1 diterima yaitu minimal ada satu bagian batang yang berpengaruh terhadap kadar pati. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 7), bagian ujung batang berbeda nyata dengan bagian tengah dan pangkal batang. Bagian ujung batang mempunyai kandungan pati paling tinggi yaitu 94.98%. hal ini diduga bagian ujung merupakan bagian yang paling dekat dengan daun tempat fotosintesis berlangsung. Interaksi antara umur panen dan bagian batang mempengaruhi kadar pati yang ada pada talas. Hal ini didasari oleh hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa P value < α (0.05) (Lampiran 6) sehingga H 0 ditolak dan H 1 diterima yaitu paling sedikit ada sepasang interakasi antara umur dan bagian batang yang mempengaruhi kadar pati. Perbedaan yang nyata untuk 28

interakasi antara umur dan bagian batang terdapat pada Lampiran 7. Sedangkan untuk blok tidak berpengaruh terhadap kadar pati karena P value > α (0.05) (Lampiran 6). C. REDUKSI OKSALAT TALAS Teknik reduksi oksalat yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan cara perendaman talas menggunakan larutan NaCl. Ada dua konsentrasi larutan yang digunakan yaitu larutan NaCl 5% dan larutan NaCl 10%. Waktu perendaman juga diperhitungkan dalam penelitian ini dan taraf waktu yang digunakan sebanyak 5 taraf yaitu 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Hubungan antara waktu perendaman serta konsentrasi larutan NaCl yang digunakan terhadap reduksi oksalat dapat dilihat pada Gambar 22. Konsentrasi yang dipakai mengacu pada perlakuan terbaik yang dipakai oleh Mayasari (2010). Pada penelitian Mayasari (2010) tersebut, konsentrasi yang terbaik dalam mereduksi oksalat adalah perendaman talas dalam larutan NaCl 10%. Konsentrasi yang dipakai mempunyai tingkat tertinggi pada 10%. Hal ini dikarenakan bila konsentrasi NaCl ditambahkan akan berakibat asin pada rasa tepung yang dihasilkan sehingga pemakaian konsentrasi dibatasi. Sedangkan pemilihan waktu didasarkan pada kemampuan yang dimiliki NaCl dalam menyerap oksalat pada talas. Pada penelitian Mayasari (2010), waktu maksimum yang dipakai adalah 60 menit sedangkan pada penelitian kali ini waktu maksimum yang dipakai adalah 150 menit. Hal ini dilakukan untuk membuktikan kemampuan penyerapan oksalat oleh NaCl dapat lebih maksimal bila kondisi waktu ditambahkan lebih dari 60 menit. 7000 kadar oksalat (ppm) 6000 5000 4000 3000 2000 1000 NaCl 5% NaCl 10% 0 30 60 90 120 150 waktu perendaman (menit) Gambar 22. Hubungan antara waktu perendaman dan konsentrasi NaCl terhadap reduksi oksalat Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa P value > α (0.05) (Lampiran 8) untuk konsentrasi NaCl yang digunakan. Sehingga hipotesis H 0 diterima yaitu faktor konsentrasi larutan NaCl (petak utama) tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu penurunan kandungan oksalat. Sedangkan hasil sidik ragam untuk waktu perendaman menunjukkan bahwa P value < α (0.05) (Lampiran 8) sehingga hipotesis H 0 ditolak dan H 1 diterima yaitu minimal ada satu waktu perendaman yang berbeda nyata. Kadar oksalat terendah ditunjukkan pada waktu perendaman 150 menit dan terendah selama perendaman 30 menit. Kandungan oksalat pada talas semakin menurun setiap pertambahan waktu perendaman. 29

Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Lampiran 9 hanya waktu perendaman selama 90 menit dan 120 menit yang tidak berbeda nyata. Sedangkan untuk waktu perendaman lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata. Berdasrkan persentase reduksi oksalat yang ditampilkan pada Tabel 5, pengaruh waktu terbesar ditunjukkan pada 150 menit. kadar oksalat awal (ppm) Tabel 5. Persentase reduksi oksalat talas pada perendaman larutan NaCl waktu (menit) kadar oksalat akhir (ppm) persentase reduksi (%) 5% 10% 5% 10% 5894.40 30 5690.37 5729.07 3.46 3 5894.40 60 3594.08 3680.04 39.03 37.57 5894.40 90 3141.16 2023.68 46.71 65.67 5894.40 120 2739.29 1669.33 53.53 71.68 5894.40 150 1652.65 572.31 71.96 90.29 Interaksi antara konsentrasi larutan dan waktu perendaman tidak berpengaruh terhadap reduksi oksalat. Hal ini berdasarkan sidik ragam yang ditunjukkan pada Lampiran 8 bahwa bahwa P value > α (0.05). Berdasarkan data pada Tabel 5, presentase reduksi oksalat terbesar ditemukan pada larutan NaCl 10% dengan waktu perendaman selama 150 menit. Hal ini didasari oleh semakin banyak partikel Na + dan Cl - yang terdapat dalam larutan maka semakin banyak ikatan yang terjadi dengan partikel Ca 2+ dan C 2 O 4 2- yang menghasilkan natrium oksalat (Na 2 C 2 O 4 ) yang larut dalam air sehingga kadar oksalat dapat tereduksi secara maksimal melalui air perendaman yang terbuang. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mereduksi atau bahkan menghilangkan kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Salah satu metode yang digunakan adalah perendaman dalam air hangat dengan suhu antara 38 48 C yang dilakukan oleh Huang dan Hollyer (1995). Proses pemanasan pun juga telah dilakukan oleh Wahyudi (2010) yang menggunakan suhu 40 C dalam merendam talas. Pada penelitian Wahyudi (2010), kandungan oksalat menurun hingga 81.96%. Untuk mendapatkan hasil reduksi oksalat yang lebih banyak, seharusnya talas dipanaskan dahulu pada suhu 40 C sebelum talas diberi perlakuan perendaman larutan garam. Namun hal itu tidak dilakukan karena pada penelitian ini talas langsung direndam dengan larutan NaCl. Perlakuan terbaik didapatkan pada perendaman talas dengan menggunakan larutan NaCl 10% selama 150 menit mencapai penurunan oksalat sebanyak 90.29%. Walaupun talas Banten tidak diberi perlakuan pemanasan tetapi hasil yang didapat menunjukkan penurunan yang lebih besar dalam mereduksi oksalat daripada hasil yang didapatkan oleh Wahyudi (2010). Hal ini diduga karena perendaman dengan larutan NaCl 10% tidak hanya melarutkan oksalat terlarut namun juga kalsium oksalat yang tidak larut dalam air. Reduksi oksalat dengan menggunakan larutan kimia seperti asam juga sudah pernah dilakukan sebelumnya. Asam yang digunakan dapat bersifat asam kuat atau pun asam lemah. Penggunaan asam kuat dalam mereduksi oksalat pernah dilakukan oleh Kurdi (2002). Kurdi (2002) menggunakan larutan asam klorida 0.25% selama 4 menit. Hasil yang didapat hanya mereduksi oksalat sebanyak 32%. Hasil yang didapat Kurdi mempunyai nilai yang lebih rendah dalam mereduksi oksalat bila dibandingkan dengan penelitian ini yang menggunakan larutan NaCl 10% selama 150 menit. Padahal reaksi antara asam klorida dan kalsium oksalat akan membentuk asam oksalat yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium klorida. Hal ini disebabkan oleh sifat asam klorida yang termasuk jenis asam kuat (pka= -8.0) yang dapat 30

terdisosiasi penuh dalam air, sehingga mampu melarutkan kalsium oksalat menjadi asam oksalat (Schumm, 1978). Perendaman dengan asam sitrat pun pernah dilakukan Onayemi dan Nwigwe (1987) yang menggunakan larutan asam sitrat dengan konsentrasi 0.1% dengan lama perendaman 3 jam. Hasil perendaman dengan asam sitrat dapat menurunkan oksalat hingga 80%. Hasil yang didapat cukup tinggi karena konsentrasi yang digunakan hanya 0.1% namun waktu perendaman sangat lama yaitu 3 jam. Dengan waktu yang terlalu lama maka akan mengurangi tingkat kesukaan konsumen terhadap produk karena rasa masam dari asam sitrat yang menimbulkan penyimpangan cita rasa. Reduksi oksalat dengan perendaman larutan NaCl pernah dilakukan oleh Prabowo (2010) pada umbi porang yang masih satu keluarga dengan talas dalam suku talas-talasan (Araceae). Perendaman irisan umbi porang dilakukan secara berulang hingga lima kali pada larutan NaCl 4.5% dengan nilai efisiensi hampir 40%. Nilai efisiensi tersebut dinilai masih rendah karena tidak mampu mereduksi sebagian besar kalsium oksalat dari irisan umbi. Reduksi oksalat pada talas dengan perendaman larutan NaCl juga dilakukan oleh Mayasari (2010). Mayasari menggunakan larutan NaCl 10% untuk merendam talas dengan lama waktu perendaman 60 menit. Hasil penelitian Mayasari menunjukkan bahwa perendaman dengan larutan NaCl 10% selama 60 menit mampu mereduksi oksalat sebesar 96.83%. Perendaman dengan larutan garam NaCl 10% yang dilakukan mempunyai perbedaan hasil dengan penelitian sebelumnya yaitu Mayasari (2010). Mayasari (2010) menyatakan bahwa dengan perendaman larutan garam NaCl 10% selama 60 menit memiliki kemampuan terbaik untuk mereduksi kandungan oksalat yang ada di talas namun pada penelitian kali ini waktu perendaman terbaik adalah perendaman selama 150 menit dengan konsentrasi larutan yang digunakan sama yaitu sebesar 10%. Perbedaan lama waktu yang didapat disebabkan oleh perbedaan jenis talas yang digunakan. Talas yang dipakai oleh Mayasari adalah talas Bogor (C. esculenta L.Schoot) yang mempunyai penampakan fisik dan kandungan kimia yang berbeda dengan talas Banten (X. undipes K.Koch). Dengan adanya perbedaan jenis talas maka kemampuan untuk mengeluarkan oksalat yang terkandung di dalam talas berbeda juga. Selain itu waktu maksimal yang dipakai Mayasari hanya pada 60 menit berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan waktu maksimal 150 menit. Bila Mayasari (2010) menambahkan taraf waktu lebih lama pada faktor waktu perendaman maka akan didapat kemungkinan waktu terbaik bukan 60 menit melainkan taraf waktu yang lebih panjang karena dengan lamanya waktu perendaman akan terjadi pengikatan ion C 2 O 4 2- oleh ion Na + sehingga membentuk natrium oksalat (Na 2 C 2 O 4 ) yang larut dalam air lebih lama dan pengikatan ion tersebut dapat maksimal dengan lamanya waktu perendaman. Penurunan kandungan oksalat mencapai 96.83% yang dilakukan oleh Mayasari dapat juga disebabkan oleh adanya perlakuan pemanasan sebelum perendaman dengan larutan NaCl. Penelitian Mayasari merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Wahyudi (2010) sehingga tingginya penurunan oksalat yang dicapai oleh Mayasari sangat besar karena memang pada saat pemanasan dengan suhu 40 C saja, kandungan oksalat sudah menurun 81.96%. Dengan adanya proses perendaman dengan air panas, asam oksalat yang ada di dalam talas dapat berkurang karena kandungan oksalat dalam bahan berpindah ke air rendaman yang tidak mengandung oksalat. Perpindahan oksalat dari dalam talas ke air rendaman memungkinkan kandungan oksalat pada talas berkurang. Reduksi oksalat pada talas Banten perlu dilakukan karena asam oksalat dan garamnya dapat memiliki efek merusak terhadap gizi dan kesehatan manusia, terutama dengan mengurangi penyerapan kalsium dan membantu pembentukan batu ginjal seperti yang dijelaskan oleh Noonan dan Savage (1999). Kebanyakan kencing batu terbentuk pada manusia karena adanya kristal 31

kalsium oksalat (Hodgkinson, 1977). Penderita batu ginjal harus membatasi total asupan oksalat tidak melebihi 50 60 mg per hari (Massey et al., 2001). Menurut Holmes dan Kennedy (2000), makanan yang mengandung oksalat (>10 mg/100g) termasuk makanan yang tinggi oksalat sehingga berpeluang dalam menyebabkan batu ginjal. Berdasarkan pernyataan Holmes dan Kennedy (2000) tersebut oksalat dalam makanan tidak boleh melebihi 10 mg/100 g. Dengan kata lain makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak boleh melebihi 100 ppm karena dapat berisiko pada batu ginjal. Bila membandingkan dengan hasil reduksi oksalat yang didapat, maka tepung yang dihasilkan dapat berisiko terhadap pembentukan batu ginjal. Makanan yang mengandung oksalat 100 ppm tidak boleh melebihi 50 60 mg per hari (Massey et al., 2001), sehingga bila dikalibrasikan dengan hasil tepung yang didapat maka asupan makanan tidak boleh melebihi 10.5 mg per hari untuk tepung dengan kandungan oksalat sebesar 572.31 ppm. Namun biasanya penggunaan tepung secara langsung jarang ditemukan. Biasanya pemanfaatan tepung dipakai untuk pengolahan makanan. Sehingga dengan adanya proses pengolahan yang terjadi dapat menurunkan kandungan oksalat yang ada dalam tepung talas Banten. D. PEMANFAATAN TALAS BANTEN (Xanthosoma undipes K.Koch) Talas Banten merupakan sumber pangan lokal yang sedang digalakkan oleh Pemda Banten guna melaksanakan diversifikasi pangan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan instrumen peningkatan produktivitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat. Minimnya informasi mengenai talas Banten oleh warga setempat menjadikan talas Banten hanya dianggap sebagai tanaman liar yang tumbuh subur. Pada awalnya masyarakat setempat menyebut talas Banten sebagai talas Belitung. Namun karena bentuknya yang besar dan warnanya kuning maka talas Banten disebut sebagai beneng atau besar koneng. Selain itu baru setelah adanya pemberitahuan oleh Petugas Pertanian Lapangan (PPL) Pemda Banten bahwa talas Banten mempunyai nilai jual dan konsumsi, talas Banten dibudidayakan dan bahkan telah dipamerkan dalam pameran makanan lokal tingkat provinsi maupun nasional. Talas Banten banyak ditemukan di daerah Gunung Karang di Desa Juhut, kabupaten Pandeglang. Talas jenis ini lebih unggul karena tidak membutuhkan perawatan khusus. Selain itu PPL Juhut Dadi Supriadi menjelaskan bahwa talas Banten lebih unggul karena bentuknya besar, dan ukurannya bisa satu meter lebih. Rasanya pun juga enak dan pulen sehingga dapat diolah menjadi berbagai makanan seperti keripik, bolu, digoreng atau dikukus dan diberi taburan kelapa parut (Radar Banten, 2010). Biasanya makanan yang diolah berasal dari bahan mentah talas (batang) padahal pemanfaatan langsung batang talas dapat menyebabkan batu ginjal karena kandungan oksalat pada batang talas Banten yang tinggi yaitu mencapai 61,783.75 ppm (Mayasari, 2010). Untuk mengurangi risiko batu ginjal, sebaiknya talas Banten dijadikan tepung karena kandungan oksalat dalam bentuk tepung lebih sedikit. Pada penelitian kali ini didapatkan kandungan oksalat tepung talas tanpa perlakuan reduksi oksalat adalah berkisar antara 4,479.65 9,721.90 ppm. Sedangkan apabila dengan perlakuan reduksi oksalat dengan perendaman larutan NaCl 10%, kandungan oksalat pada tepung talas Banten mencapai 572.31 ppm. Sehingga pemanfaatan tepung talas lebih aman dibandingkan dengan pemanfaatan batang talas Banten secara langsung. Selain itu, kandungan oksalat dapat turun kembali saat proses pengolahan pangan berlangsung. Sehingga olahan pangan aman untuk dikonsumsi. 32

Berdasarkan kandungan gizinya, tepung talas Banten mempunyai kandungan karbohidrat sebesar 90.68% dan kandungan protein sebesar 6.74% (Novita, 2011). Dengan melihat kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi maka tepung talas Banten mempunyai keunggulan dari nilai kandungan gizinya. Dengan adanya keunggulan tersebut maka diversifikasi pangan dapat terwujud dengan adanya product development dari talas Banten berupa tepung talas Banten. Saat ini Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor menggunakan tepung talas Banten rendah oksalat untuk membuat produk olahan berupa cookies, brownies, dan bakpau. Dengan adanya product development tersebut maka meningkatkan nilai sosial talas Banten dan dapat bersaing dengan jenis talas lainnya. 33