Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

dokumen-dokumen yang mirip
Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN

PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

PARTISIPASI KASAR ( APK ) MENURUT JENJANG PENDIDIKAN, JENIS KELAMIN DAN KECAMATAN DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

STATISTIK DAN ANALISIS: GENDER, ANAK, DAN PEREMPUAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 56 TAHUN 2011

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER

LAMPUNG LAMPIRAN : PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

KESETARAAN GENDER PADA STRUKTUR APARAT PEMDA DAN PENDUDUK KABUPATEN SLEMAN

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penulisan Sumber Data... 3

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

LATAR BELAKANG DAN KONDISI UMUM

STATISTIK GENDER 2011

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI DIY PADA AGUSTUS 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,97 PERSEN

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut :

MDGs. Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan. dalam. Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

Press Release Rapat Koordinasi Nasional Pembangunan Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Tahun 2010

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2014, bangsa Indonesia telah melaksanakan Pemilihan Umum

CAPAIAN MDGs. provinsi KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

BAB IV P E N U T U P

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah

KATA PENGANTAR. Padang, 01 November 2016 Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Provinsi Sumatera Barat Kepala

SERIAL PEDOMAN TEKNIS

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator kemajuan suatu negara tercermin pada kemajuan bidang

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah

BAB IV PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN , , ,793

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA

PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DI INDONESIA 2013

BAB I PENDAHULUAN. penanganan yang tepat agar dapat segera teratasi. Indonesia merupakan salah

Teknik-teknik Pemetaan Swadaya (PS) Kajian Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Profil Gender dan Anak Sumbar 2016 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah

BAB V RELEVANSI DAN EFEKTIVITAS APBD

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67

Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara, Kabupaten Klaten di bagian timur laut,

terdapat di tingkat SD/Sederajat. lebih tinggi di luar Temanggung. 1) Angka Kematian Bayi waktu satu tahun per kelahiran hidup.

PERAN DAN FUNGSI LEGISLATIF DALAM MENDORONG PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN ABAD MILENIUN/MDGs. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan

Position Paper Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan gizi. Kelompok

Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

Latar Belakang. Tujuan setiap warga negara terhadap kehidupannya adalah

KATA PENGANTAR. Surakarta, Desember KEPALA BAPPEDA KOTA SURAKARTA Selaku SEKRETARIS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KOTA SURAKARTA

LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 2010

STUDI EMPIRIS CAPAIAN MDGS DI PROVINSI RIAU

MENGGAPAI TARGET MDGs DALAM PROGRAM KB NASIONAL. Oleh : Drs. Andang Muryanta

KONDISI PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA, 2010

KONTRIBUSI KB DALAM PENINGKATAN HDI PROVINSI DIY. Oleh ASISTEN PEMERINTAHAN DAN KESRA

EKSPOSE PENGENDALIAN PEMBANGUNAN TRIWULAN III TAHUN Yogyakarta, 29 Oktober 2015

Ketenagakerjaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar

Paparan Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah

BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G /

MATRIKS 2.2.A TARGET KINERJA PEMBANGUNAN LINTAS BIDANG PERLINDUNGAN ANAK TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB V PENUTUP Kesimpulan

DISPARITAS SPASIAL INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN Gita Arfiani

PELAKSANAAN SPF DI PROVINSI MALUKU. Bappeda Provinsi Maluku

Berbincang Kesehatan Reproduksi PKBI DIY

BAB VI P E N U T U P

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK

Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global

Transkripsi:

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Sejak tahun 2000, Indonesia telah meratifikasi Millenium Development Goals (MDGs) di bawah naungan Persatuan Bangsa- Bangsa. Kesepakatan ini merupakan merupakan sebuah rencana untuk mencapai tujuan pembangunan bersama bangsa- bangsa dunia menuju kehidupan yang lebih baik bagi semua. MDGs terdiri dari 8 (tujuh) tujuan, yaitu (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) mengendalikan HIV dan AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; (7) menjamin kelestarian lingkungan hidup; (8) mengembangkan kemitraan global. Dalam kertas posisi ini, MDGs secara khusus berfokus pada tujuan 1 (satu) hingga tujuan 5 (lima), tujuannya agar dapat lebih terfokus pada masalah kemiskinan, pendidikan, pemberdayaan perempuan dan pengurangan kematian ibu dan anak serta inisiatif dan kebijakan yang telah diambil pemerintah lokal. Setelah 10 tahun berjalan, bagaimana pencapaian MDGs di Provinsi DIY? Kajian ini sangat penting untuk melihat potret di tingkat lokal, serta menakar pengaruh dari kebijakan tingkat lokal dan nasional yang memiliki dampak besar pada pencapain MDGs. Tinjauan dan evaluasi semacam itu sangatlah penting agar tahun 2011 ini dapat menjadi titik pijak bagi upaya percepatan pencapaian tujuan MDGs dalam lima tahun kedepan. I. Pendapatan dan Kemiskinan Kemiskinan masih menjadi masalah utama di DIY. Beberapa kabupaten mengalami kemiskinan lebih buruk daripada kabupaten lain. Pada tahun 2009, kedalaman kemiskinan di DIY bertambah (baik di perkotaan maupun di perdesaan). Perlu menjadi perhatian bahwa sementara terjadi kenaikan garis kemiskinan, persentase penduduk miskin pada tahun 2008-2009 mengalami penurunan. Ini berarti indeks kedalaman kemiskinan belum stabil, terkait dengan target MDGs. Masih terdapat kesenjangan distribusi pendapatan penduduk di kota dan di desa.

Tabel 3.1 Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2008 2009 Garis Kemiskinan (Rp) Penduduk Miskin Jumlah (000) % Garis Kemiskinan (Rp) Penduduk Miskin Jumlah (000) Kulonprogo 197,507 98 27 205,585 90 25 Bantul 196,509 164 19 224,373 159 18 Gunungkidul 157,071 17,352 26 186,232 164 24 Sleman 212,031 125 12 226,256 118 11 Yogyakarta 263,996 48 11 265,168 45 10 DIY 202,362 609 18 220,830 575 17 Sumber: DIY dalam angka % Indikator garis kemiskinan yang digunakan di setiap kabupaten/kota berbeda- beda namun nilainya lebih dari US$1/orang/hari. Jika target MDGs ditingkatkan menjadi US$2/orang/hari maka dapat dipastikan angka kemiskinan akan membengkak. Artinya, kemiskinan masih menjadi masalah serius di Provinsi DIY (setidaknya 18% penduduknya masih tergolong sebagai penduduk miskin). Angka ini masih jauh dari target nasional 2015 yang hendak menekan jumlah penduduk miskin hingga 10,3% saja. Merujuk data tersebut, kabupaten paling miskin adalah Gunung Kidul. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain, kondisi kemiskinan di Gunung Kidul memang sangat mencolok. Kelompok penduduk yang mempunyai pendapatan terkecil ada 24,7% dari keseluruhan total penduduk. Presentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional ada 21,15% atau sekitar 15.783 dari jumlah rumah tangga sebesar 74.632. Kemiskinan ini disebabkan antara lain oleh faktor geografis yang cukup sulit jika dibandingkan dengan kabupaten lain. Sehingga pertanian, notabene pekerjaan utama masyarakat Gunung Kidul, tidak berjalan dengan baik. Kabupaten yang juga mengalami kemiskinan cukup parah adalah kabupaten Kulon Progo. Berdasarkan data tahun 2008, di Kulon Progo terdapat 12.293 warga yang masuk kategori sangat miskin, 19.069 dinyatakan hampir miskin, sedangkan 7.619 warga dinyatakan miskin. Sederhananya, dari statistik tersebut terdapat 42.078 penduduk yang hidup di bawah dan tepat pada garis kemiskinan dari total 374.783 penduduk.

Kabupaten Bantul nampaknya paling progresif dalam mengatasi kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan angka kemiskinan yang terus bergerak turun. Salah satu program pemerintah daerah adalah mengharuskan semua pejabat publik di Bantul mengangkat anak asuh di wilayahnya masing- masing. Program lintas sektor yang diinisiasi oleh dinas kesehatan terkait dengan isu kemiskinan mendapatkan MDGs award. Selain kemiskinan secara absolut tinggi, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga cukup tinggi. Berdasarkan data berikut, dapat diketahui bahwa terjadi ketimpangan antara kota dan desa. Penduduk desa mengalami kemiskinan yang lebih buruk dibandingkan penduduk kota. Tabel 2 Garis Kemiskinan Indonesia, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Provinsi DIY Garis Kemiskinan Indonesia P1 (%) P2 (%) P2(%) Desa + Desa Kota Kota Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa 2008 204,896 161,831 182,636 2.72 4.49 3.35 0.71 1.29 0.92 2009 222,123 179,835 200,262 2.84 4.74 3.52 0.81 1.46 1.04 2010 232,988 192,354 211,726 2.27 3.89 2.85 0.56 1.02 0.73 Sumber: Statistik Indonesia Dari seluruh data yang terkumpul mengenai kemiskinan, hanya kabupaten Sleman yang melaporkan data pilah kemiskinan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 yaitu sebesar 57.979 (19,13%). Jumlah KK perempuan miskin ada 19.263 (29.65%). KK perempuan tersebut umumnya berstatus tidak memiliki suami atau janda, sehingga kemiskinan yang diderita lebih berat karena ditanggung sendiri. Diduga kabupaten lain juga mengalami persoalan yang sama. Salah satu penyebab kemiskinan adalah para perempuan kepala rumah tangga tidak mampu mendapatkan penghasilan yang memadai untuk keluarganya. Indikator kemiskinan lain adalah gizi buruk, secara umum kasus gizi buruk di DIY tidak menonjol. Namun perlu diketahui, catatan mengenai kasus gizi buruk hanya berdasarkan kasus yang dilaporkan di Puskesmas. Sehingga angka sebenarnya bisa jadi lebih besar daripada angka yang dilaporkan. Data yang tidak cukup akurat ini ditunjukan oleh anomali. Tingkat kemiskinan di kabupaten Sleman rendah namun ternyata kasus gizi buruknya lebih tinggi dari kabupaten lain.

Berdasarkan data resmi, jumlah penderita gizi buruk di DIY sebenarnya sudah di bawah rata- rata nasional. Bahkan sudah melampaui target nasional 2015 yang ingin menekan kasus gizi buruk menjadi 3,6% dan gizi kurang 11,9%. Tabel 3 Persentase Balita yang Mengalami Gizi Buruk Provinsi DIY % Gizi Buruk 2008 0,8 2009 0,81 Sumber: Dinas Kesehatan Hingga saat ini pemerintah daerah belum membuat program khusus untuk mengatasi masalah kemiskinan. Program- program yang dijalankan mengikuti program nasional, seperti: Program KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dan Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin (PEKM). II. Pendidikan Dasar Sejumlah indikator dasar menunjukkan bahwa layanan pendidikan dasar di kota Yogyakarta cukup memadai. Nampaknya predikat sebagai kota pendidikan dibuktikan dengan ketersediaan layanan pendidikan yang memadai dari tingkat SD- Universitas. Angka Partisipasi Murni (APM) DIY sangat tinggi meski belum sampai 100% seperti yang ditargetkan MDGs. Jika ketersediaan dan partisipasi pendidikan dasar tinggi, dapat dipastikan tingkat melek huruf usia produktif (15-44 tahun) juga tinggi. Namun masih ada ketimpangan antara laki- laki dan perempuan, seperti ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4 Angka Melek Huruf Usia 15-44 Menurut Jenis Kelamin Provinsi DIY L P L + P 2008 94.92 85.71 90.26 2009 95.67 86.58 90.98 Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS Angka melek huruf untuk usia di atas 45 tahun cukup rendah. Hal ini disebabkan oleh banyak lansia yang sudah tidak mungkin lagi dituntut untuk belajar baca tulis. Pemerintah juga tidak dapat berharap banyak dari kelompok ini. Sebagian besar penduduk yang buta huruf merupakan kelompok penduduk usia tua (55 tahun ke atas), yang memang banyak yang belum pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Secara alamiah jumlahnya akan semakin menurun sedikit demi sedikit akibat proses kematian. Upaya pemerintah untuk meningkatkan angka melek huruf penduduk diutamakan dengan meningkatkan angka partisipasi anak usia sekolah. Upaya pemerintah daerah untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan mengoptimalkan program pemerintah pusat, seperti: Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pemerintah daerah belum merancang program yang komprehensif untuk mencapai tingkat partisipasi sekolah 100% seperti yang ditargetkan pemerintah pada tahun 2015. Tabel 5 Angka Partisipasi Murni SD/MI dan SMP/MTs Provinsi DIY SD/MI SMP/MTs Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2008 2009 2010 Bantul 90,56 77,58 91,71 82,43 82,66 71,71 Sleman 99,54 95,35 100,87 82,10 82,66 81,77 Gunungkidul 88,79 89,00 88,72 80,64 78,66 78,22 Kulon Progo 79,53 89,01 91,46 90,70 81,69 87,93 Yogyakarta 122,42 112,84 121,59 92,25 108,58 95,70 Rata- rata 94,73 88,75 97,15 84,37 84,70 81,05 Sumber: Dinas Pendidikan Keterangan: Data tersebut sudah termasuk Kejar Paket A dan B

III. Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Ada beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Di Provinsi DIY, tidak ditemukan data yang akurat mengenai kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan dan tingkat daya beli pada kelompok perempuan. Pada indikator pertama, definisi yang digunakan beberapa kabupaten berbeda- beda. Sehingga data yang tersedia tidak dapat digunakan. Sedangkan indikator kedua tidak pernah diukur oleh pemerintah. Target angka partisipasi murni yang ditetapkan pemerintah mencapai 100% pada tahun 2015. Saat ini APM tingkat SD 97,15% dan SMP 81,05%. Pemerintah DIY dapat mencapai target tersebut jika program yang telah ada dipertahankan dan sedikit ditingkatkan. Bila itu dilakukan, maka bukan tidak mungkin APM yang ditargetkan dapat dicapai. a. Perbandingan Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan dan laki- laki Dilihat secara rasio anak laki- laki dan perempuan, laki- laki masih memiliki APM yang lebih tinggi dari perempuan. Kecenderungan ini terjadi terutama di Bantul dan Gunung Kidul. Selain itu, semakin tinggi jenjang pendidikan maka partisipasi perempuan semakin rendah. Angka yang sangat ekstrim ditunjukkan oleh kabupaten Gunung Kidul, dimana partisipasi perempuan di tingkat universitas sangat rendah. Kegagalan berpartisipasi dalam tingkat pendidikan yang lebih tinggi (baik menengah, lanjutan, maupun tinggi) membuat perempuan memiliki kemampuan yang lemah mencari nafkah. Hal ini ditunjukan dengan tingkat partisipasi kerja perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki- laki. b. Indeks paritas melek huruf gender Rasio angka melek huruf usia 15-44 tahun antara laki- laki dan perempuan menunjukkan bahwa buta huruf pada perempuan lebih besar daripada laki- laki. c. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan Berdasarkan data tahun 2010, terdapat kesenjangan yang cukup besar pada rasio laki- laki dan perempuan yang bekerja (jumlah perempuan yang bekerja jauh lebih

sedikit daripada laki- laki). Kecenderungan ini terutama terjadi di kabupaten Kulon Progo dan Sleman (Data Sakernas Agustus 2010). Tabel 6 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Provinsi DIY (2009-2010) No Kabupaten/Kota 2009 2010 L P Jumlah L P Jumlah 1 Kulonprogo 84.43 62.9 147.33 818.58 65.41 883.99 2 Bantul 81.8 59.4 141.2 81.52 59.1 140.63 3 Gunung Kidul 88.29 60.86 149.15 83.08 64.66 147.75 4 Sleman 75.05 58.62 133.67 73.84 60.53 134.37 5 Kota 73.64 61.88 135.52 74.54 58.89 133.43 Jumlah 403.21 303.66 706.87 1.131.56 308.59 1.440.17 Sumber: BPS Provinsi DIY (Sakernas Agustus 2010) Tabel 7 Pekerja Menurut Lapangan Usaha Provinsi DIY ( 2010) No. Kab/Kota JK Pertanian Industri Perdagangan Jasa Kemasyarakatan Lainnya Jumlah L 827.00 14,563.00 39,249.00 10,601.00 36,324.00 89,575.00 1 P 0.00 8,039.00 46,492.00 10,053.00 24,991.00 191,139.00 2 3 4 5 6 Kota Yogyakarta Kab. Bantul Kab. Kulon Progo L+P 827.00 22,602.00 85,741.00 20,654.00 61,315.00 212,951.95 L 53.95 52,637.00 47,892.00 14,289.00 98,080.00 166,085.93 P 35.93 50,028.00 76,550.00 7,605.00 31,867.00 379,037.87 L+P 89.87 102,665.00 124,442.00 21,894.00 129,947.00 63,385.62 L 50.62 11,814.00 20,860.00 3,103.00 27,558.00 56,901.25 P 40.25 16,510.00 23,905.00 2,467.00 13,979.00 120,286.87 L+P 90.87 28,324.00 44,765.00 5,570.00 41,537.00 90,310.79 L 108.79 10,952.00 25,382.00 7,320.00 46,548.00 42,269.06 P 131.06 4,956.00 22,678.00 1,405.00 13,099.00 372,189.00 Kab. Gunung Kidul L+P 239,849.00 15,908.00 48,060.00 8,725.00 59,647.00 288,177.00 Kab. Sleman Provinsi DIY L 63,234.00 41,465.00 56,170.00 21,048.00 106,260.00 243,752.00 P 55,046.00 36,129.00 79,104.00 13,835.00 59,638.00 531,929.00 L+P 118,280.00 77,594.00 135,274.00 34,883.00 165,898.00 969,530.00 L 277,415.00 131,431.00 189,553.00 56,361.00 314,770.00 805,618.00 P 262,288.00 115,662.00 248,729.00 35,365.00 143,574.00 1,775,148.00 L+P 539,703.00 247,093.00 438,282.00 91,726.00 458,344.00 0.00 Sumber : BPS Provinsi DIY (Sakernas Agustus 2010 )

Data mengenai partisipasi angkatan kerja ini hanya mencatat pekerjaan formal. Berdasarkan data dari Kodya dan Kabupaten, perempuan banyak berpartisipasi dalam sektor pertanian dan perdagangan. Sedangkan angka terrendah partisipasi perempuan di sektor industri. Perempuan banyak berpartisipasi dalam pekerjaan informal. Hal ini sejalan dengan angka partisipasi murni pendidikan yang lebih rendah dibandingkan laki- laki. Sektor formal memerlukan prasyarat pendidikan formal sedangkan sektor informal tidak. Padahal secara hukum, sektor informal lebih rentan mendapat tekanan dan ketidakpastian kerja. d. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Perempuan Pengangguran, sejalan dengan persoalan kemiskinan, menjadi masalah yang penting. Secara keseluruhan TPT ini masih tinggi. Namun, bila dicermati, TPT pada perempuan lebih rendah daripada laki- laki yang menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja perempuan lebih banyak. Data ini mendukung fakta bahwa meski tidak tercatat dalam pekerjaan formal, perempuan tidak menganggur, akan tetapi mereka mengisi sektor informal. Tabel 8 Tingkat pengangguran terbuka Provinsi DIY (%) No Kabupaten/Kota 2009 2010 L P Jumlah L P Jumlah 1 Kulonprogo 5.439 4.149 9.588 0.420593 4.158813 4.579406 2 Bantul 21.097 9.916 31.013 5.828275 4.458331 10.28661 3 Gunung Kidul 11.273 5.765 17.038 4.375448 3.641785 8.017233 4 Sleman 27.786 14.823 42.609 7.702138 6.524265 14.2264 5 Kota 11.823 8.975 20.798 8.442337 6.208117 14.65045 Jumlah 77.418 43.628 121.046 26.768791 24.991311 51.760099 Sumber : BPS Provinsi DIY (Sakernas Agustus 2010) e. Proporsi perempuan dalam lembaga- lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) Dalam lembaga legislatif (DPD, DPR, DPRD), keterwakilan perempuan yang seharusnya 30 % (sesuai UU), masih sangat jauh dari angka tersebut. Namun begitu, keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif mengalami peningkatan di 4

kabupaten, sementara terjadi penurunan di kota Yogyakarta. Jumlah tersebut belum tentu mencerminkan kontribusi perempuan untuk mengatasi masalah perempuan di DIY. Berdasarkan hasil Pilkada, terpilih 3 pemimpin perempuan. Dua orang bupati (di kabupaten Bantul dan Gunung Kidul) dan satu orang wakil bupati (di kabupaten Sleman). Tabel 9 Keterwakilan Perempuan Dalam Lembaga Legislatif Provinsi DIY (Hasil PEMILU 2009) No Anggota Laki- laki Perempuan Jumlah % 1 DPR DAPIL DIY 7 1 8 12,5 2 DPD DAPIL DIY 3 1 4 25 3 DPRD PROVINSI DIY 43 12 55 21,82 4 DPRD KOTA YOGYAKARTA 35 5 40 12,5 5 DPRD KABUPATEN BANTUL 39 6 45 13,33 6 DPRD KABUPATEN KULON PROGO 35 5 40 12,5 7 DPRD KABUPATEN SLEMAN 42 8 50 16 8 DPRD KABUPATEN GUNUNGKIDUL 38 7 45 15,56 Sumber: KPU Provinsi DIY Perkembangan yang menggembirakan terjadi pada keterwakilan perempuan dalam lembaga eksekutif. Semakin banyak perempuan berpartisipasi di lembaga itu. Namun tidak ada catatan yang memadai untuk menjelaskan posisi mereka di lembaga- lembaga tersebut. Satu- satunya catatan didapatkan dari kabupaten Gunung Kidul. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang menempati posisi manajerial hanya 25% saja. Dengan proporsi terbesar menduduki eselon IV.

Tabel 10 Jumlah PNS Provinsi DIY ( 2008-2009) Daerah Penempatan Laki- laki Perempuan Jumlah % Kulonprogo 6.058 54.12 % 5.135 45.88 % 11.193 100 Bantul 8.695 52.94 % 7.729 47.06 % 16.424 100 2008 Gunung Kidul 8.813 60.8 % 5.682 39.2 % 14.495 100 Sleman 15.97 57.14 % 11.977 42.86 % 27.947 100 Yogyakarta 14.638 59.21 % 10.085 40.78 % 24.723 100 Kulonprogo 5836 52.85 % 5207 47.15 % 11043 100 Bantul 7916 50.96 % 7619 49.04 % 15535 100 2009 Gunung Kidul 8497 59.54 % 5773 40.46 % 14270 100 Sleman 14202 55.77 % 11264 44.23 % 25466 100 Yogyakarta 10252 56.29 % 7961 43.71 % 18213 100 Sumber: DIY dalam Angka Dibandingkan dengan dua masalah sebelumnya, yaitu kemiskinan dan pendidikan dasar, pemerintah nampaknya tidak terlalu memberikan perhatian khusus untuk peningkatan partisipasi perempuan. Hal ini dibuktikan dengan ketiadaan program pemerintah pusat dan daerah yang dikerjakan untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif. IV. Menurunkan Angka Kematian Anak Angka kematian bayi (AKB) dan balita (AKBA) di provinsi DIY sangat rendah. Pada tahun 2015, pemerintah menargetkan angka kematian balita 32 dari 1.000 kelahiran bayi. Data di DIY menunjukkan bahwa pada tahun 2008 dan 2009 AKB hanya 17, sedangkan AKBA (tahun 2008) yaitu 19 per 1.000 kelahiran. Namun, AKBA pada tahun 2009 melonjak menjadi 36 per 1.000 kelahiran. Berdasarkan data tersebut, meski tergolong rendah namun pemerintah harus melakukan upaya untuk mempertahankan kondisi saat ini. Secara absolut jumlah kematian bayi di kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul cukup besar. V. Meningkatkan Kesehatan Ibu Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI) per 100.000 kelahiran hidup di provinsi DIY pada tahun 2008 dan 2009 masing- masing sebesar 105 dan 104. Angka tersebut sangat kecil jika

dibandingkan rata- rata nasional tahun 2009 yaitu 226, namun masih di atas angka yang ditargetkan pemerintah pada tahun 2015 yaitu 105. Dengan intensifikasi program penyuluhan dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil seperti yang dilakukan saat ini nampaknya dapat menekan AKI. Angka kematian ibu yang rendah itu ternyata seiring dengan tingginya proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan. Peran dukun tradisional semakin berkurang. AKI terbesar terjadi di Gunung Kidul karena kabupaten ini tidak memiliki tenaga medis yang mampu melakukan operasi Caesar. Sehingga ketika terjadi masalah kelahiran yang membutuhkan tindakan operasi tidak dapat dilakukan di rumah sakit setempat. Jumlah pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan alat KB dari tahun 2008-2009 untuk kabupaten/kota mengalami kenaikan. Namun, sangat perlu diperhatikan bahwa angka ibu yang tidak menggunakan alat kontrasepsi sangat tinggi. Jumlahnya hampir sama dengan dengan ibu yang menggunakan alat kontrasepsi. REKOMENDASI 1. Untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan pendapatan, perlu dibuat terobosan untuk menanggulangi kemiskinan yang diinisiasi oleh pemerintah daerah. 2. Advokasi perempuan di bidang ekonomi harus diarahkan di sektor informal dan perdagangan. 3. Membuka akses pendidikan bagi perempuan melalui pendidikan informal untuk perempuan dewasa dan mendorong beasiswa untuk anak perempuan khususnya untuk pendidikan menengah dan tinggi. 4. Perlu memberikan upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif baik dari segi jumlah maupun kualitas. 5. Meningkatkan partisipasi KB bagi pasangan usia subur, terlebih peran laki- laki dalam program ini. POSISI PEREMPUAN Berdasarkan data, pembahasan, dan rekomendasi yang telah dipaparkan sebelumnya, konsorsium menyimpulkan ada beberapa hal yang perlu dikerjakan untuk menanggapi persoalan MDGs di DIY.

1. Memfasilitasi pendidikan kepada calon pemimpin perempuan mengenai isu- isu dan pencapaian MDGs di DIY. Melalui pendidikan ini diharapkan para calon pemimpin tersebut memiliki pengetahuan terhadap masalah- masalah yang berkaitan dengan MDGs khususnya bidang- bidang yang terkait langsung dengan perempuan. Pengetahuan tersebut dapat digunakan sebagai modal dasar untuk mengembangkan kebijakan pemerintah untuk mempercepat pencapaian MDGs. Tujuan ini akan diwujudkan melalui kursus pemimpin perempuan. 2. Menjalin kerjasama dengan pemimpin perempuan di tingkat legislatif dan eksekutif untuk segera melaksanakan program- program percepatan dalam rangka mencapai target- target MDGs melalui inisiatif DPRD. Tujuan ini akan dicapai melalui advokasi kebijakan pro MDGs.