10 BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka merupakan kerangka acuan yang disusun berdasarkan kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang mendasari penelitian ini. Kajian pustaka memberikan gambaran tentang kaitan antara teori dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan para peneliti terdahulu untuk mendekati permasalahan. Pembahasan kajian pustaka akan menjelaskan berbagai acuan komprehensif mengenai konsep, prinsip, atau teori yang digunakan sebagai landasan dalam memecahkan masalah. Berikut ini akan dibahas kajian pustaka yang berkaitan dengan budaya patient safety, kepuasan kerja, dan kepemimpinan transformasional. 2.1 Budaya Patient Safety 2.1.1 Pengertian Budaya Patient Safety Industri kesehatan merupakan industri yang memiliki banyak risiko, baik itu risiko pada pasien maupun tenaga kesehatan sehingga pandangan bahwa pelayanan kesehatan sebagai industri yang bebas dari kesalahan adalah pandangan yang perlu dikoreksi (Leape, 2012). Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Depkes RI- PERSI, 2006). Sistem tersebut meliputi pengenalan risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
11 insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan resiko yang meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko ( Carroll, 2009). Budaya patient safety adalah kepercayaan, sikap dan nilai sebuah organisasi kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan struktur, praktek, peraturan dan kontrol keselamatan pasien (Sammer et al., 2010). Menurut Nieva dan Sorra (2003), Budaya patient safety adalah produk dari nilai, sikap dan persepsi, kompetensi, dan pola perilaku dari individu dan kelompok dalam sebuah organisasi (pelayanan kesehatan) yang menentukan komitmen, gaya, dan kemahiran dalam manajemen patient safety. Budaya patient safety terfokus pada nilai, kepercayaan dan asumsi terhadap iklim organisasi (pelayanan kesehatan) dalam peningkatan program keselamatan pasien (Deilkas dan Hofoss, 2008). Budaya patient safety merupakan bagian yang penting dalam keseluruhan budaya organisasi yang diperlukan dalam institusi kesehatan sehingga budaya patient safety dapat diartikan sebagai seperangkat keyakinan, norma, perilaku, peran, dan praktek sosial maupun teknis dalam meminimalkan pajanan yang membahayakan atau mencelakakan karyawan, manajemen, pasien, atau anggota masyarakat lainnya (Hamdani, 2007). Menurut Blegen (2006), persepsi yang meliputi kumpulan norma, standar profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung jawab dalam patient safety yang dibagikan di antara anggota organisasi ditujukan
12 untuk melindungi pasien dari kesalahan tata laksana maupun cedera akibat intervensi, sehingga akan mempengaruhi keyakinan dan tindakan individu dalam memberikan pelayanan. Kohn (2006) mengemukakan bila tenaga kesehatan dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi pasien, berarti tercipta juga lingkungan yang aman bagi pekerja, karena keduanya terikat satu sama lain. 2.1.2 Dimensi Budaya Patient Safety Beragam pengertian terkait budaya patient safety mencakup beberapa dimensi umum dalam pelayanan kesehatan yang mengacu pada peningkatan kepercayaan dan perilaku dari staf dalam mengidentifikasi dan belajar dari kesalahan (Hellings et al, 2007). Dalam National Healthcare Quality Report, budaya patient safety dinilai dalam 12 aspek (AHRQ, 2013): 1) Supervisor/ manager action promoting safety pelaksanaan dari pimpinan 2) Organizational learning perbaikan yang berkelanjutan 3) Kerja sama dalam unit di pelayanan kesehatan 4) Komunikasi yang terbuka 5) Umpan balik dalam komunikasi mengenai kesalahan 6) Respon tidak saling menyalahkan terhadap kesalahan 7) Staffing/ Staf 8) Dukungan manajemen terhadap budaya patient safety 9) Kerja sama antar unit 10) Perpindahan dan transisi pasien 11) Persepsi keseluruhan staf terkait budaya patient safety 12) Frekuensi pelaporan kejadian
13 Copper (2000) menyebutkan ada tiga dimensi yang mempengaruhi budaya patient safety, yaitu: 1) Personal, dimensi yang cenderung dari orang/ manusia yang bekerja dalam suatu organisasi kesehatan. Dimensi personal biasanya mencakup pengetahuan, sikap, motivasi, kompetensi dan kepribadian. 2) Perilaku organisasi, dimensi yang mengukur kondisi lingkungan kerja dari segi organisasi pelayanan kesehatan secara umum. Dimensi ini mencakup kepemimpinan, kewaspadaan situasi, komunikasi, kerja tim, stress, kelelahan, kepemimpinan tim dan pengambilan keputusan. 3) Lingkungan, dimensi pendukung proses pelayanan dalam organisasi kesehatan yang meliputi perlengkapan, peralatan, mesin, kebersihan, teknik dan standar prosedural operasional. 2.1.3 Variabel yang Mempengaruhi Budaya Patient Safety Rathert dan May (2007) mengungkapkan dalam hasil penelitiannya bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi budaya patient safety dari perspektif komperehensif adalah lingkungan kerja (work environments) dan kepuasan kerja tenaga kesehatan. McFadden et al. (2009) dalam studinya pada tenaga kesehatan rumah sakit mengatakan bahwa beberapa faktor yang berpengaruh secara langsung pada budaya patient safety adalah kepemimpinan transformasional dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kepuasan kerja tenaga kesehatan melalui adanya penghargaan (rewards). Tarcan et al. (2013) yang melakukan studi pada para tenaga kesehatan di beberapa rumah sakit swasta di Turki, menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen mereka
14 dalam melaksanakan budaya patient safety sangat dipengaruhi oleh bagaimana pelaksanaan kepemimpinan transformasional di rumah sakit masing-masing. Gershon et al. (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan durasi waktu kerja dan tingkat stress yang tinggi di pelayanan kesehatan, tentunya tenaga kesehatan memerlukan sistem kepemimpinan yang efektif serta efisien dan motivasi kerja yang sesuai, sehingga tercapai kepuasan optimal dan pekerjaan dapat terlaksana dengan sempurna. Kunzle et al. (2012) menyatakan bahwa suatu sistem kepemimpinan yang efektif sangatlah diperlukan dalam mewujudkan budaya patient safety yang optimal, sehingga kepemimpinan transformasional adalah sistem yang paling sesuai dengan para tenaga kesehatan karena paling adaptif dan fleksibel. 2.2 Kepuasan Kerja 2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja Hasibuan (2006) menyatakan bahwa kerja adalah sejumlah aktivitas fisik dan mental yang dilakukan seseorang dalam memenuhi kebutuhan, dimana setiap orang akan melakukan produktivitas tinggi dengan mengharapkan mencapai status, keadaan yang lebih baik serta mencapai kondisi yang memuaskan. Bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk memuaskan karyawan karena kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual dan setiap individu akan memiliki tingkat kepuasaaan yang berbeda beda dalam dirinya (Aziri, 2011). Studi tentang kepuasan kerja ditemukan menjadi faktor yang penting untuk mengembangkan kemampuan kerja karyawan dan masih sangat dipengaruhi kualitas layanan (Babakus et al, 2003).
15 Luthans (2011:141) menyatakan kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Handoko (2002) menyatakan kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan memandang pekerjaannya. Teori tentang kepuasan kerja yang sering diadopsi dalam studi tentang kepuasan kerja adalah teori dua faktor dari Frederick Herzberg (Robbins et al, 2013:230) yang membagi kebutuhan karyawan menjadi dua, yaitu hygiene dan motivator, dimana faktor faktor hygiene memuaskan karyawan dalam kondisi tertentu seperti pengawasan, hubungan interpersonal, kondisi kerja fisik, gaji, dan tunjangan, sedangkan yang menjadi faktor motivator adalah prestasi karyawan, tanggung jawab serta perkembangan hasil kerja. Kepuasan terhadap kebutuhan hygiene dapat mencegah ketidakpuasan dan kinerja yang buruk, sedangkan kepuasan terhadap faktor faktor motivasi akan meningkatkan produktifitas organisasi. Kepuasan kerja dibentuk oleh faktor kepuasan intrinsik dan ekstrinsik, dimana faktor intrinsik terkait dengan penggunaan kemampuan, aktivitas, prestasi, otoritas, kemerdekaan, nilai nilai moral, tanggung jawab, keamanan, kreativitas, pelayanan sosial dan status sosial anggota organisasi (Furnham et al, 2002). Faktor kepuasan kerja ekstrinsik adalah kemajuan, kebijakan perusahaan, kompensasi, pengakuan, hubungan pengawasan sumber daya manusia dan pengawasan teknis (Robbins et al., 2013).
16 2.2.2 Dimensi Kepuasan Kerja Robbins et al. (2013:260) menyatakan ada tiga dimensi kepuasan kerja, yaitu: 1) kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi dan kondisi kerja, sehingga kepuasan kerja dapat dilihat dan diduga; 2) kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi dan melampaui harapan; 3) kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Berdasarkan hasil penelitian Herzberg (Robbins et al., 2013), ada beberapa faktor yang terkait dengan kepuasan maupun ketidakpuasan kerja. Faktor yang memfasilitasi kepuasan kerja atau faktor intrinsik adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dan kemajuan; sedangkan faktor - faktor yang menjadi penentu ketidakpuasan pekerjaan atau faktor ekstrinsik adalah kebijakan dan administrasi, pengawasan, gaji, hubungan interpersonal dan kondisi kerja. Dimensi kepuasan kerja yang sering digunakan dan dikembangkan dalam berbagai studi kepuasan kerja adalah dimensi intrinsik dan ekstrinsik kepuasan kerja (Furnham et al, 2009; Robbins et al. 2013). Dimensi intrinsik yang merupakan karakter dari faktor motivator yang terdiri dari: (a) pencapaian (achievement), (b) kesempatan berkembang (development), (c) tanggung jawab (responsibility), (d) pengakuan (recognition) dan (e) pekerjaan itu sendiri (work itself). Dimensi ekstrinsik yang merupakan karakteristik dari faktor hygiene. terdiri dari: (a) pengawasan (supervision), (b) kondisi kerja (working condition), (c) kebijakan perusahaan (company policy), (d) gaji (salary) dan (e) hubungan dengan rekan kerja (relations with co-worker).
17 Azeem (2010) dan Robbins et. al. (2013) mengungkapkan lima komponen pengukur kepuasan kerja, yaitu: 1) Pembayaran (pay), yaitu sejumlah upah yang diterima dan dianggap pantas sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Para karyawan juga akan membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, para karyawan tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda dengan karyawan lainnya. 2) Pekerjaan (job), yaitu pekerjaan yang dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk pembelajaran bagi karyawan serta kesempatan untuk menerima tanggung jawab atas pekerjaan. Karyawan akan merasa senang dan tertantang bila diberikan pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan semua kemampuannya. 3) Kesempatan promosi (promotion opportunities), yaitu adanya kesempatan bagi karyawan untuk maju dan berkembang dalam organisasi, misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan pangkat serta pengembangan individu setiap karyawan. 4) Atasan (supervisor), yaitu kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian kepada karyawan, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan dalam memperlakukan karyawan akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam pekerjaannya sehari-hari. 5) Rekan kerja (co-worker), yaitu sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, bersahabat, dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan kerja dalam interaksi yang terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan pegawai.
18 2.3 Kepemimpinan Transformasional 2.3.1 Pengertian Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan memiliki beragam pendekatan serta perspektif sehingga melahirkan pengertian kepemimpinan yang beragam pula. Menurut Hersey et al. (2010), kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi. Stoner (2009) menyatakan kepemimpinan adalah suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh terhadap kegiatan kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya. Menurut Bass (2008), kepemimpinan adalah suatu interaksi antara dua orang atau lebih di dalam suatu kelompok yang mengatur ulang situasi, persepsi dan ekspektasi dari para anggota, sehingga dapat dikatakan pemimpin adalah agen perubahan (agents of change), dimana perilakunya mempengaruhi orang lain. Beberapa pengertian kepemimpinan yang didapat membentuk suatu esensi yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah upaya seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar berperilaku sesuai dengan yang diinginkan olehnya (Sharma dan Jain, 2013). Seorang pemimpin mempunyai banyak pilihan gaya kepemimpinan yang akan digunakannya untuk mempengaruhi orang lain, salah satunya dengan menggunakan gaya kepemimpinan transformasional (Sadeghi dan Pihie, 2012). Luthans (2011:430) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional termasuk dalam teori kepemimpinan modern yang gagasan awalnya dikembangkan oleh James McGroger Burns, yang secara eksplisit mengangkat suatu teori bahwa kepemimpinan transformasional adalah
19 sebuah proses dimana pimpinan dan para bawahannya berusaha mencapai tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi (pimpinan, staf, bawahan, tenaga ahli, guru, dosen, peneliti, dll) dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan (Danim, 2003). Sedangkan menurut O Leary (2004), kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang digunakan oleh seorang manajer bila ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru. Kepemimpinan transformasional merupakan salah satu alat penting yang berpengaruh dalam perubahan organisasi karena dapat perubahan organisasi melalui artikulasi visi, penerimaan visi, dan mengarahkan keinginan karyawan agar sesuai dengan visi yang ingin dicapai (Pawar dan Eastman, 2007). Kepemimpinan transformasional memiliki ciri-ciri seperti, mampu mendorong pengikut untuk menyadari pentingnya hasil pekerjaan, dan mendorong pengikut untuk lebih mendahulukan kepentingan organisasi, dan mendorong untuk mencapai kebutuhan yang lebih tinggi. (Mulyono, 2009). 2.3.2 Dimensi Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan transformasional memiliki karakteristik yang dapat dibedakan dengan gaya kepemimpinan yang lainnya, karena karisma yang timbul lewat kepemimpinan transformasional dapat memberikan visi dan misi yang
20 masuk akal, menimbulkan kebanggaan, menimbulkan rasa hormat dan percaya (Bass, 2008). Luthans (2011:434) menyimpulkan bahwa pemimpin transformasional yang efektif memiliki karakter sebagai berikut: 1) Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai alat perubahan, 2) Mereka berani, 3) Mereka mempercayai orang, 4) Mereka motor penggerak nilai, 5) Mereka pembelajar sepanjang masa, 5) Mereka memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas, ambiguitas dan ketidakpastian, 6) Visioner. Adapun, karakteristik kepemimpinan transformasional menurut Avolio et al. (2004) adalah sebagai berikut: (1) Idealized influence / Karisma Idealized influence mempunyai makna bahwa seorang pemimpin transformasional harus memiliki kharisma yang mampu menyihir bawahan untuk bereaksi mengikuti pimpinan. Karisma ini biasanya ditunjukan melalui perilaku pemahaman terhadap visi dan misi organisasi, mempunyai pendirian yang kukuh, komitmen dan konsisten terhadap setiap keputusan yang telah diambil, dan menghargai bawahan, sehingga pemimpin transformasional dapat menjadi role model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya. (2) Inspirational motivation / Motivasi inspirasional Inspirational motivation berarti karakter seorang pemimpin yang mampu menerapkan standar yang tinggi akan tetapi sekaligus mampu mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut. Karakter seperti ini mampu membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi dari para bawahan, sehingga senantiasa memberikan inspirasi dan memotivasi bawahannya.
21 (3) Intellectual stimulation / Stimulasi Intelektual Intellectual stimulation adalah karakter seorang pemimpin transformasional yang mampu mendorong bawahannya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cermat dan rasional. Karakter ini mendorong para bawahan untuk menemukan cara baru yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah, sehingga mampu mendorong (menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif. (4) Individualized consideration / Perhatian Individual Individualized consideration berarti karakter seorang pemimpin yang mampu memahami perbedaan individual para bawahannya, mau dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, serta melatih bawahan. Seorang pemimpin transformasional juga harus mampu melihat potensi prestasi dan kebutuhan berkembang para bawahan serta memfasilitasinya, sehingga pemimpin transformasional mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan kebutuhan bawahan dan memperhatikan keinginan berprestasi dan berkembang