EKSTRAK ANTOCYANIN BUNGA SEPATU (Hibiscus rosa sinensis L) SEBAGAI FOTOSENSITIZER PADA SEL SURYA BERBASIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 )

dokumen-dokumen yang mirip
Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Henni Eka Wulandari Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN EKSTRAKSI DAUN BAYAM SEBAGAI DYE SENSITIZER DENGAN VARIASI JARAK SUMBER CAHAYA PADA DSSC

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang yang kaya akan radiasi matahari yang tinggi,

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Ana Thoyyibatun Nasukhah Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Listrik merupakan kebutuhan esensial yang sangat dominan kegunaannya

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PERFORMA SEL SURYA TERSENSITASI ZAT PEWARNA (DSSC) BERBASIS ZnO DENGAN VARIASI TINGKAT PENGISIAN DAN BESAR KRISTALIT TiO 2 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi saat ini yang melanda dunia masih dapat dirasakan terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar sumber energi yang dieksploitasi di Indonesia berasal dari energi fosil berupa

F- 1. PENGARUH PENYISIPAN LOGAM Fe PADA LAPISAN TiO 2 TERHADAP PERFORMANSI SEL SURYA BERBASIS TITANIA

DYE - SENSITIZED SOLAR CELLS (DSSC) MENGGUNAKAN PEWARNA ALAMI DARI EKSTRAK KOL MERAH DAN COUNTER ELECTRODE BERBASIS KOMPOSIT TiO2-GRAFIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

VARIASI RASIO TiO 2 ANATASE DAN RUTILE TERHADAP KINERJA DYE-SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC)

PENGARUH FILTER WARNA KUNING TERHADAP EFESIENSI SEL SURYA ABSTRAK

SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS

PERBEDAAN EFISIENSI DAYA SEL SURYA ANTARA FILTER WARNA MERAH, KUNING DAN BIRU DENGAN TANPA FILTER

SINTESIS DAN KARAKTERISASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN SENSITIZER ANTOSIANIN DARI BUNGA ROSELLA (HIBISCUS SABDARIFFA)

JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No.2, (2013) X 1

Karakterisasi XRD. Pengukuran

BAB I PENDAHULUAN. energi cahaya (foton) menjadi energi listrik tanpa proses yang menyebabkan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Mariya Al Qibriya, 2013

Tenaga Surya sebagai Sumber Energi. Oleh: DR. Hartono Siswono

BAB II DASAR TEORI 2.1 PHOTOVOLTAIC Efek Photovoltaic

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER)

PEMANFAATAN EKSTRAK ANTOSIANIN KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus Sabdariffa) SEBAGAI SENSITIZER DALAM PEMBUATAN DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SINTESIS LAPISAN TIPIS SEMIKONDUKTOR DENGAN BAHAN DASAR TEMBAGA (Cu) MENGGUNAKAN CHEMICAL BATH DEPOSITION

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERKEMBANGAN SEL SURYA

SEL SURYA BERBASIS TITANIA SEBAGAI SUMBER ENERGI LISTRIK ALTERNATIF

Sintesa Titanium dioxide (TiO 2 ) untuk Dye-Sensitized Solar Cell dengan Antosianin Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa)

EKSTRAK BETA KAROTEN WORTEL (DAUCUS CAROTA) SEBAGAI DYE SENSITIZER PADA DSSC

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pengaruh Konsentrasi Ruthenium (N719) sebagai Fotosensitizer dalam Dye-Sensitized Solar Cells (DSSC) Transparan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

BAB III METODE PENELITIAN

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID ZnO-KLOROFIL

SEL SURYA FOTOELEKTROKIMIA DENGAN MENGGUNAKAN NANOPARTIKEL PLATINUM SEBAGAI ELEKTRODA COUNTER GROWTH

BAB III METODE PENELITIAN

Gravitasi Vol. 15 No. 1 ISSN:

Sintesis dan Karakterisasi Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) dengan Sensitizer Antosianin dari Bunga Rosella

STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

VARIASI TEKNIK DEPOSISI LAPISAN TiO 2 UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DYE-SENSITIZED SOLAR CELL

Disusun oleh : ARI WISNUGROHO NIM. M

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 11. Rangkaian pengukuran karakterisasi I-V.

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

Fabriksi Dye Sensitized Solar Cells(DSSC)Mengunakan Ekstraksi Bahan-bahan Organik Alam Celosia Argentums dan Lagerstromia sp

KAJIAN PENGARUH VARIASI JUMLAH LAPISAN TRANSPARAN TiO 2 TERHADAP PERFORMA KERJA SEL SURYA YANG DISENSITISASI DENGAN DYE (DSSC)

SKRIPSI DELOVITA GINTING

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4 Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

HASIL KELUARAN SEL SURYA DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER CAHAYA LIGHT EMITTING DIODE

Preparasi Lapisan Tipis ZnO Dengan Metode Elektrodeposisi Untuk Aplikasi Solar Cell

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Studi Eksperimental Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Performa DSSC (Dye Sensitized Solar Cell) dengan Ekstrak Buah dan Sayur sebagai Dye Sensitizer

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SONOKIMIA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sel surya generasi pertama berbahan semikonduktor slikon (Si) yang

JOBSHEET SENSOR CAHAYA (SOLAR CELL)

Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis

III. METODE PENELITIAN

SIMULASI PENGARUH PANJANG GELOMBANG FOTON DATANG TERHADAP KARAKTERISTIK I-V DIODA SEL SURYA MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang dialami hampir oleh seluruh negara di dunia

I. PENDAHULUAN. kimia yang dibantu oleh cahaya dan katalis. Beberapa langkah-langkah fotokatalis

METODE X-RAY. Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi peradaban

EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SEBAGAI DYE SENSITISER ALAMI PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL

PENGARUH TIPE SCREEN PRINTING PADA LAPISAN TiO2 SEBAGAI ELEKTRODA KERJA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VARIASI KECEPATAN PUTAR DAN WAKTU PEMUTARAN SPIN COATING

DEGRADASI FOTOELEKTROKATALITIK RHODAMINE B DENGAN FOTOANODA Ti/TiO 2 -NiO PADA SISTEM FLOW. Disusun Oleh : SETYO PRAMONO M

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Ketebalan Elektroda Kerja TiO 2 Transparan terhadap Kinerja Dye sensitized Solar Cell (DSSC) sebagai Aplikasi Solar Window

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN GELAS TRANSPARAN FTO SEBAGAI BAHAN BAKU SEL SURYA

Bab II Tinjauan Pustaka

KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI JURUSAN FISIKA

MODIFIKASI RANGKAIAN MODUL DYE-SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC)

Distribusi Celah Pita Energi Titania Kotor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Pengaruh tingkat kekristalan..., Arif Rahman, FT UI, 2009

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di

DAFTAR ISI. PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. HALAMAN TUGAS... iv. HALAMAN PERSEMBAHAN... v. HALAMAN MOTO...

PREPARASI KOMPOSIT TiO 2 -SiO 2 DENGAN METODE SOL-GEL DAN APLIKASINYA UNTUK FOTODEGRADASI METHYL ORANGE

DAFTAR ISI. Persetujuan Pernyataan Penghargaan Abstrak Abstract Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran

SINTESIS TiO 2 NANORODS DAN KOMPOSIT TiO 2 NANORODS - ZnO UNTUK BAHAN FOTOANODA DSSC

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING

Pengaruh Temperatur dan Waktu Putar Terhadap Sifat Optik Lapisan Tipis ZnO yang Dibuat dengan Metode Sol-Gel Spin Coating

Transkripsi:

digilib.uns.ac.id EKSTRAK ANTOCYANIN BUNGA SEPATU (Hibiscus rosa sinensis L) SEBAGAI FOTOSENSITIZER PADA SEL SURYA BERBASIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) Disusun oleh: NOOR ASHFIA ROSYIDA M 0207007 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Fisika FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Januari, 2012 i

digilib.uns.ac.id HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan judul : Ekstrak Antocyanin Bunga Sepatu (Hibiscus Rosa Sinensis L) Sebagai Fotosensitizer Pada Sel Surya Berbasis Titanium Dioksida (TiO 2 ) Yang ditulis oleh : Nama : Noor Ashfia Rosyida Nim : M0207007 Telah diuji dan dinyatakan lulus oleh dewan penguji pada Hari : Senin Tanggal : 16 Januari 2012 Dewan Penguji : 1. Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D... NIP. 19680508 199702 1 001 2. Sorja Koesuma, S.Si, M.Si... NIP. 19720801 200003 1 001 3. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc, Ph.D... NIP. 19610223 198601 1 001 4. Drs. Harjana, M.Si, Ph.D... NIP. 19590725 198601 1 001 Disahkan oleh: Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta Ketua Jurusan Fisika ii

digilib.uns.ac.id Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D NIP. 19680508 199702 1 001 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa isi intelektual saya yang berjudul EKSTRAK ANTOCYANIN BUNGA SEPATU (Hibiscus rosa sinensis L) SEBAGAI FOTOSENSITIZER PADA SEL SURYA BERBASIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) adalah hasil kerja saya atas arahan pembimbing dan sepengetahuan saya hingga saat ini, isi skripsi tidak berisi materi yang telah dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain atau materi yang telah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan di Universitas Sebelas Maret atau di Perguruan Tinggi lainnya, jika ada maka telah dituliskan di daftar pustaka skripsi ini dan segala bentuk bantuan dari semua pihak telah ditulis di bagian ucapan terimakasih. Isi skripsi ini boleh dirujuk atau difotokopi secara bebas tanpa harus memberitahu penulis. Surakarta, 3 Januari 2012 NOOR ASHFIA ROSYIDA iii

digilib.uns.ac.id iv

digilib.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id EKSTRAK ANTOCYANIN BUNGA SEPATU (Hibiscus rosa sinensis L) SEBAGAI FOTOSENSITIZER PADA SEL SURYA BERBASIS TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) Noor Ashfia Rosyida Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Ekstrak antocyanin bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) sebagai fotosensitizer pada sampel sel surya berbasis TiO 2 telah dibuat. Pengujian UV VIS menunjukkan ekstrak antocyanin yang dihasilkan memiliki kemampuan serapan di daerah cahaya tampak. Bubuk TiO 2 pada penelitian ini dibuat dengan metode sol-gel dengan suhu kalsinasi 600 C dan dikarakterisasi menggunakan XRD dan XRF. Hasil XRD menunjukkan fase kristal bubuk TiO 2 yang dihasilkan adalah anatase-rutile dengan ukuran partikel kristal 9,58 nm. Hasil XRF menunjukan kandungan bubuk TiO 2 yang dibuat 98,67 wt%. Lapisan TiO 2 dibuat dengan metode slip casting dengan ketebalan yang berbeda. Hasil SEM dari lapisan TiO 2 menunjukkan ukuran dari rerata rongga (0,62 ± 0,04) μm. Sampel sel surya yang dibuat memiliki luas 2 cm 2 direndam dengan dye antocyanin selama 24 jam. Sel sel ini diuji dengan 2 pengujian, yaitu menggunakan rangkaian dan menggunakan Keithley. Dimana pengujian menggunakan rangkaian pada ketebalan lapisan TiO 2 (4,8 ± 0,3) μm sel surya memiliki efisiensi paling tinggi yaitu 2,5 x 10-4 %. Sementara pengujian pada efisiensi paling tinggi dengan menggunakan Keithley system source 2602A dihasilkan oleh sel surya dengan lapisan TiO 2 pada ketebalan (4,7 ± 0,3) μm, yaitu sebesar 3,0 x 10-3 %. Kata kunci : sel surya TiO 2 tersensitisasi dye, dye alami, lapisan TiO 2 iv

digilib.uns.ac.id ANTOCYANIN EXTRACT OF HIBISCUS (Hibiscus rosa sinensis L) AS A PHOTOSENSITIZER ON SOLAR CELLS BASED ON TITANIUM DIOXIDE (TiO 2 ) Noor Ashfia Rosyida Department of Physics, Faculty of Science Sebelas Maret University ABSTRACT Antocyanin extract of hibiscus (Hibiscus rosa sinensis L) as a photosensitizer in TiO 2 dye sensitized solar cells based on TiO 2 sample have been made. Testing by UV - VIS showed that antocyanin extract has the absorption ability in the visible region. TiO 2 powder in this reasearch was prepared by sol-gel method with calcination temperature of 600 C and characterized using XRD and XRF. XRD results showed that TiO2 powder crystal phase is anatase-rutile with the particle size of crystal of 9,58 nm. The characterization of TiO 2 powder using XRF showed the number of TiO 2 content of 98,67 wt%. TiO 2 layer prepared by slip casting method with different thickness. SEM results of TiO 2 layers showed the average cavity size of (0,62 ± 0,04) μm. Samples of solar cells made a 2 cm 2 area with dye antocyanin soaked for 24 hours. These samples were tested with two test, circuit test and Keithley test. Where testing using the circuit, in TiO 2 layer thickness of (4,8 ± 0,3) μm solar cells have the highest efficiency of 2,5 x 10-4 %. While testing using Keithley system source 2602A at a thickness of TiO 2 layer (4,7 ± 0,3) μm, produces solar cells with a efficiency of 3,0 x 10-3 %. Key words : TiO 2 dye sensitized solar sel, organic dye, TiO 2 layer v

digilib.uns.ac.id MOTTO Allah-lah yang menundukkan laut untukmu agar kapal kapal dapat berlayar di atasnya dengan perintah-nya, dan agar kamu dapat mencari sebagian karunia-nya, dan agar kamu bersyukur. (QS. Al-Jasiyah:12) Tidak semua yang kita perhitungkan itu dapat dihitung, dan tidak semua yang kita hitung itu tidak dapat diperhitungkan. (Albert Einstein) PERSEMBAHAN Dengan rahmat Allah SWT, karya bersampul biru ini kupersembahkan kepada: 1. Mami dan bapakku, yang senantiasa mendoakanku, atas kepercayaan serta cinta kasih yang tiada surut untuk ananda. 2. Suamiku, Hafidz Arif Purwanto yang setahun ini menemaniku mengeja warna pelangi, antara langit JAWA PAPUA. 3. Adikku tercinta, Vathoni Zida Ulhax yang dengan unik selalu memberiku semangat. 4. Almamater yang kubanggakan, UNS, izinkan aku memeluk pelangi dengan namamu. vi

digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta ala atas karunia dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Sains dari Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Sebelas Maret surakarta. Dalam penyusunan laporan ini, penulis tidak lepas dari bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc., Ph.D selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing I yang telah banyak memberikan hal hal yang tidak terduga. Semoga Allah membalas kebaikan beliau. 2. Drs. Harjana, M.Sc., Ph.D selaku Pembimbing II yang telah memberikan kemudahan dan motivasi serta saran dalam penyelesaian skripsi. 3. Latifa dan Khoiruddin, terimakasih atas diskusi dan motivasinya. Merry Yuliani, Peny Rizky Riandini dan Sheptya Pritta Murni semoga persahabatan ini kekal abadi. 4. Keluarga baru di Solo, terimakasih atas segala kasih sayang, dan do anya. 5. Angkatan 2007 atas kebersamaanya, serta seluruh rakyat Fisika FMIPA UNS mari terus berkarya untuk Indonesia tercinta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun demi hasil yang lebih baik lagi. Penulis juga berharap semoga laporan in dapat bermanfaat dan memberi tambahan ilmu bagi pembaca. Surakarta, 3 Januari 2012 Noor Ashfia Rosyida vii

digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN ABSTRAK... iv HALAMAN ABSTRACT... v HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Masalah... 1 1.2. Perumusan Masalah... 4 1.3. Batasan Masalah... 4 1.4. Tujuan Penelitian... 5 1.5. Manfaat Penelitian... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6 2.1. Energi Surya... 6 2.2. Sel Surya... 7 2.2.1. Umum... 7 2.2.2. Prinsip Kerja Sel Surya... 8 2.2.3. Performa Sel Surya... 10 2.3. DSSC (Dye Sesitized Solar Cell)... 11 2.3.1. Umum... 11 2.3.2. Perkembangan DSSC... 11 2.3.3. Prinsip Kerja DSSC... 13 2.3.4. Material DSSC... 15 viii

digilib.uns.ac.id 2.3.4.1. Substrat... 15 2.3.4.2. Titanium Dioxide (TiO 2 )... 15 2.3.4.3. Dye... 18 2.3.4. 3.1. Antocyanin... 18 2.3.4.4 Elektrolit... 19 2.3.5. Fabrikasi DSSC... 19 2.4. X-Ray Difraction (XRD)... 20 2.5. X-Ray Fluorescense (XRF)... 23 2.6. Scanning Electron Microschopy (SEM)... 23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 24 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 24 3.2. Alat dan Bahan... 24 3.2.1. Alat penelitian... 24 3.2.2. Bahan Penelitian... 25 3.3. Diagram Penelitian... 26 3.3.1. Persiapan... 26 3.3.2.Pembuatan Bubuk TiO 2 dengan Metode Sol Gel... 27 3.3.2.1. Karakterisasi Kandungan Bubuk TiO 2... 28 3.3.2.2. Karakterisasi Struktur Kristal Bubuk TiO 2... 29 3.3.3. Ekstraksi Dye Antocyanin Bunga Sepatu... 29 3.3.3.1.Karakterisasi Absorbansi Ekstrak Bunga Sepatu 30 3.3.4. Pembuatan Lapisan TiO 2... 31 3.3.4.1. Pembuatan Pasta TiO 2... 31 3.3.4.2. Pembuatan Lapisan TiO 2... 31 3.3.4.3. Karakterisasi Morfologi Lapisan TiO 2... 33 3.3.4.4. Perhitungan Ketebalan Lapisan TiO 2... 33 3.3.4.5. Karakterisasi Absorbansi Lapisan TiO 2 dan Dye 34 3.3.5. Pembuatan Counter Elektroda... 34 3.3.6. Fabrikasi DSSC... 35 3.3.7.Pengujian Karakteristik I-V dan Efisiensi DSSC... 36 3.3.7.1. Pengujian commit dengan to user Rangkaian... 37 ix

digilib.uns.ac.id 3.3.7.2. Pengujian dengan Keithley... 38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 39 4.1. Analisis Bubuk TiO 2 dengan XRF... 39 4.2. Analisis Bubuk TiO 2 dengan XRD... 40 4.3. Analisis Lapisan TiO 2 dengan SEM... 44 4.4. Karakterisasi Absorbansi Ekstrak Bunga Sepatu... 40 4.5. Karakterisasi Absorbansi Lapisan TiO 2 dan Dye... 45 4.7. Karakterisasi I-V Pada Sistem Sel Surya... 46 4.6.1. Karakterisasi I-V dengan Rangkaian... 46 4.6.2. Karakterisasi I-V dengan Keithley... 49 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 55 5.1. Kesimpulan... 55 5.2. Saran... 55 DAFTAR PUSTAKA... 57 LAMPIRAN-LAMPIRAN... 60 x

digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan...1 Tabel 4.1. Kandungan Bubuk TiO 2 Dengan Suhu Kalsinasi 600 C...40 Tabel 4.2. Hasil Pengukuran Arus-Tegangan Sistem Sel Surya Berbasis...48 Sensitizer Ekstrak Antocynin Bunga Sepatu dengan Rangkaian. Tabel 4.3. Hasil Pengukuran Arus-Tegangan Sistem Sel Surya Berbasis...53 Sensitizer Ekstrak Antocynin Bunga Sepatu dengan Keithley. xi

digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Perbandingan Spektra Energi Radiasi Sebagai Fungsi Panjang Gelombang dari Matahari untuk Kondisi Tepat di Atas Atmosfer Bumi, BlackBody, dan Pada Permukaan Bumi...7 Gambar 2.2. Struktur Sel Surya Silikon Sambungan p-n... 8 Gambar 2.3. Cara Kerja Sel Surya Silikon... 9 Gambar 2.4. Bentuk Khusus dari Kurva I-V Solar Cell... 10 Gambar 2.5. Struktur dan Komponen DSSC... 13 Gambar 2.6. Skema Kerja dari DSSC... 14 Gambar 2.7. Struktur Kristal TiO 2 Anatase... 16 Gambar 2.8. Struktur Kristal TiO 2 Rutile... 16 Gambar 2.9. Posisi Pita Energi Semikonduktor... 17 Gambar 2.10. Struktur Kimia Antocyanin... 19 Gambar 2.11. Struktur DSSC Menggunakan TCO... 20 Gambar 2.12. Struktur Sandwich DSSC... 20 Gambar 2.13. Difraksi Sinar-X Pada Kristal... 21 Gambar 2.14. Prinsip Pengukuran dengan XRF... 22 Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian... 26 Gambar 3.2. Alat dan Bahan Pembuatan TiO 2 dengan Metode Sol-Gel... 28 Gambar 3.3. Bunga Sepatu... 29 Gambar 3.4. Serbuk Bunga Sepatu Kering... 30 Gambar 3.5. Hasil Ekstraksi Dye Antocyanin Bunga Sepatu... 30 Gambar 3.6. UV-Vis Spektrometer Lambda 25... 31 Gambar 3.7. Ilustrasi Ukuran Scoth Tape...32 Gambar 3.8. Proses Pemanasan Lapisan Tipis TiO 2.... 33 Gambar 3.9. Lapisan TiO 2 Setelah Melalui Perendaman... 34 Gambar 3.10. Pembuatan Counter Elektroda dengan Jelaga Lilin... 35 Gambar 3.11. Penentuan Screen Area Counter Elektroda... 35 Gambar 3.12. Counter Elektroda... 35 xii

digilib.uns.ac.id Gambar 3.13. Pemasangan Keyboard Protector untuk Mencegah Short... 36 Gambar 3.14. Struktur DSSC Pada Penelitian Ini... 36 Gambar 3.15. Kontak Pada DSSC yang Dibuat... 37 Gambar 3.16. DSSC yang Telah Difabrikasi dengan Antocyanin Bunga Sepatu sebagai Sensitizer... 37 Gambar 3.17. Rangkaian untuk Pengujian I-V DSSC... 38 Gambar 3.18. Pengujian I-V pada DSSC Menggunakan Keithley 2602A system source... 39 Gambar 4.1. Grafik Hasil Uji XRF untuk TiO 2 dengan Suhu 600 C... 40 Gambar 4.2. Pola XRD Bubuk TiO 2... 43 Gambar 4.3. Morfologi Permukaan Lapisan TiO 2 (A) pada Perbesaran 1000x, (B) pada Perbesaran 5000x... 44 Gambar 4.4. Spektra Absorbansi Dye Antocyanin Bunga Sepatu... 45 Gambar 4.5. Spektrum absorbans (a) dye antocyanin bunga sepatu; elektroda TiO 2 setelah perendaman dengan ketebalan lapisan TiO 2 (b) sampel A 1,3 ± 0,6 μm, (c) sampel B 2,7 ± 0,4 μm, (d) sampel C 3,8 ± 0,4 μm, (e) sampel D 4,8 ± 0,3μm... 47 Gambar 4.6. Kurva Karakterstik Arus (I) dan Tegangan (V) hasil pengujian dengan rangkaian pada sel surya berbasis sensitizer ekstra antocyanin bunga sepatu variasi ketebalan lapisan TiO 2... 48 Gambar 4.7. Kurva karakterstik arus (I) dan tegangan (V) melalui pengujian dengan Keithley pada sel surya berbasis sensitizer ekstrak antocyanin bunga sepatu variasi ketebalan lapisan TiO 2... 53 Gambar 4.8. Kurva karakteristik arus tegangan saat gelap dan terang... 54 xiii

digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan Ketebalan Lapisan...61 Lampiran 2. Data JCPDF Kristal TiO 2 Fase Anatase dan Rutile...64 Lampiran 3. Perhitungan Ukuran Partikel Dengan Rumus Schereer...65 Lampiran 4. Perhitungan Ukuran Rongga Hasil SEM...66 xiv

digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Energi fosil khususnya minyak bumi, merupakan sumber energi utama dan devisa negara. Namun konsumsi energi listrik yang terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk menyebabkan berkurangnya cadangan energi fosil (khususnya minyak bumi) di Indonesia. Oleh karena itu penyediaan energi di masa depan merupakan permasalahan yang senantiasa menjadi perhatian, sebab bagaimanapun juga kesejahteraan manusia dalam kehidupan modern sangat terkait dengan jumlah dan mutu energi yang dimanfaatkan. Bertolak dari hal tersebut dan juga kesadaran untuk melestarikan lingkungan menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari alternatif penyedia energi listrik yang dapat mengurangi ketergantungan dari penggunaan energi fosil (khususnya minyak bumi) dengan memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat yang tentunya ramah lingkungan. Indonesia memiliki kekayaan alam melimpah yang diantaranya bisa digunakan sebagai sumber energi terbarukan, seperti yang tersaji dalam tabel 1.1. Tabel 1.1. Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan di Indonesia (Kemenristek, 2006) Energi Non Fosil Potensi Kapasitas Terpasang Tenaga Air 75,67 GW 4,2 GW Panas Bumi 27,14 GW 0,852 GW Micro Hydro 0,46 GW 0,084 GW Biomassa 49,81 GW 0,302 GW Tenaga Surya 4,80 kwh/m 2 /hari 0,008 GW Tenaga Angin 9,29 GW 0,0005 GW 1

digilib.uns.ac.id 2 Dari beberapa sumber energi terbarukan yang tersaji pada tabel 1.1, tenaga surya merupakan sumber energi yang potensial bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa yaitu 6 LU - 11 LS dan 95 BT - 141 BT sehingga tingkat radiasi matahari di Indonesia sangat tinggi yaitu sebesar 4,80 5,10 kwh/m 2 /hari dengan variasi bulanan ± 9% (Heriyanti, 2006). Selain itu energi matahari tidak bersifat polutif dan tidak dapat habis, yang mendukung untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan pengganti energi fosil. Dengan menggunakan efek fotovoltaik, cahaya matahari dapat diubah secara langsung menjadi energi listrik. Pirantinya dikenal dengan nama solar cell atau sel surya. Sel surya dapat dikategorikan menjadi dua macam menurut bahan penyusunnya, yaitu sel surya organik dan anorganik. Sel surya anorganik tersusun atas bahan anorganik tipe n dan tipe p, seperti silikon dan senyawa semikonduktor dimana strukturnya disusun oleh p-n junction. Generasi pertama sel surya, lapis tunggal dioda p-n junction dan generasi kedua sel surya yang menggunakan lapis ganda dioda p-n junction termasuk dalam kategori sel surya anorganik. Sel-sel tersebut biasanya terbuat dari silikon (Si). Sel surya berbasis silikon tersebut telah berhasil mendominasi pasar dengan mangsa pasar sekitar 82% dan efisiensi lab dan komersil berturut-turut yaitu 24,7% dan 15%. Meskipun demikian, keterbatasan suplai bahan baku silikon serta biaya produksi dan proses fabrikasi yang tinggi telah membatasi penggunaan piranti fotovoltaik konvensional ini. Hingga akhirnya, sel surya organik, sel surya generasi ketiga yang berbasis nanoteknologi mulai dikembangkan. Sistem ini pertama kali dikenalkan oleh Gratzel pada tahun 1991 yang dinamakan sel surya tersensitisasi dye atau dyesensitized solar cell (DSSC) (Halme, 2002). Sel-sel ini lebih sederhana dan lebih mudah dibuat dari material organik yang tidak mahal dan tidak sulit diperoleh di pasaran serta tidak memerlukan bahan dengan kemurnian tinggi, sehingga dapat menekan biaya produksi yang kemudian menjadi solusi dari kelemahan sel surya berbasis silikon. Berbeda dengan sel surya anorganik yang semua proses melibatkan bahan silikon itu sendiri, pada DSSC absorpsi commit cahaya to user dan separasi muatan listrik tidak

digilib.uns.ac.id 3 terjadi pada bahan yang sama. Absorpsi cahaya dilakukan oleh molekul zat warna atau dye dan separasi muatan oleh semikonduktor anorganik nanokristal yang memiliki celah pita besar. Salah satu semikonduktor yang sering digunakan adalah TiO 2 (Titanium Oksida) yang memiliki struktur mesopori. Semikonduktor titania memiliki energi gap sebesar 3,2 ev dan menyerap sinar pada daerah ultraviolet. Material ini dipilih karena memiliki banyak keuntungan diantaranya murah, pemakaian luas, tidak beracun, serta banyak pula digunakan sebagai bahan dasar pembuatan produk-produk kesehatan serta sebagai pigmen cat (Gratzel, 2003). Gratzel pada tahun 1991 menemukan bahwa TiO 2 yang disensitasi oleh zat warna atau dye dalam larutan elektrolit dapat menghasilkan arus listrik dengan efisiensi 7,1 %. Ketebalan lapisan TiO 2 berpengaruh terhadap banyaknya dye yang dapat teradsorpsi. Semakin tebal lapisan TiO 2 maka akan semakin banyak dye yang teradsorbsi karena seiring bertambahnya partikel TiO 2 maka akan semakin banyak dye yang terikat pada partikel TiO 2. Sehingga hal ini akan mempengaruhi kinerja dari sel DSSC yang dibuat. Penyerapan dye dilakukan dengan melakukan perendaman terhadap lapisan tipis TiO 2 selama beberapa waktu tertentu (Meen et.al., 2009). Sejauh ini dye yang digunakan sebagai sensitizer dapat berupa dye sintesis maupun dye alami. Dye sintesis umumnya menggunakan organik logam berbasis ruthenium complex. Walaupun dengan menggunakan dye tersebut telah mencapai efisiensi 10%, namun ketersediaan dan harganya sangat mahal. Sedangkan dye alami dapat diekstrak dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, atau buah. Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosentizer pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Dye-sensitizer alami yang pernah digunakan dalam sistem DSSC diantaranya yaitu buah buni (Pangestuti, 2009), bunga rosella (Wongcharee et.al., 2006), kol merah (Maddu dkk, 2007) dan lain-lain. Zat warna alami tersebut telah terbukti mampu memberikan efek fotovoltaik walaupun efisiensi yang dihasilkan masih jauh lebih kecil dibandingkan zat warna sintetis. Meskipun demikian, zat warna organik sangat kompetitif untuk dijadikan sensitizer commit karena to user biaya produksinya yang murah dan

digilib.uns.ac.id 4 proses isolasinya juga lebih mudah, selain itu dye organik tidak mengandung logam-logam mulia seperti halnya dye Ruthenium. Karakteristik penting dari bahan dye yang digunakan yaitu mampu menyerap spektrum cahaya yang lebar dan cocok dengan pita energi titania. Senyawa antocyanin yang terdapat pada tumbuhan ternyata mampu dijadikan sebagai sensitizer (Wongcharee et.al., 2006). Bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) merupakan salah satu tumbuhan yang mengandung antocyanin yang terdapat pada bagian kelopak (Permana, 2010). Sehingga bisa dimanfaatkan sebagai dye-sensitizer pada sel surya jenis DSSC. Dalam penelitian ini akan dilakukan fabrikasi DSSC dengan pengujian karakteristik optik dan I-V dari dye antocyanin bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L), serta pengaruh variasi ketebalan lapisan tipis TiO 2 terhadap efisiensi DSSC tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik absorbansi dari ekstrak bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) yang akan digunakan sebagai dye? 2. Bagaimana pengaruh variasi ketebalan lapisan tipis TiO 2 terhadap efisiensi DSSC? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Membuat prototipe DSSC yang dapat mengkonversi energi surya menjadi energi listrik. 2. Menentukan karakteristik absorbansi (serapan) dye dari ekstrak bunga sepatu ( Hibiscus rosa sinensis L). 3. Menentukan efisiensi DSSC yang telah dibuat dengan variasi ketebalan lapisan tipis TiO 2.

digilib.uns.ac.id 5 1.4 Batasan Masalah Penelitian ini diberi batasan sebagai berikut: 1. Dye pada penelitian ini merupakan hasil ekstraksi bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L). 2. Karakterisasi absorbansi pada dye ekstrak bunga sepatu menggunakan Spektrometer UV-Vis. 3. Pasta TiO 2 dilapiskan pada FTO menggunakan metode slip casting pada fabrikasi DSSC, selanjutnya dilakukan penentuan ketebalan lapisan tipis TiO 2 dengan metode by weight, pengujian karakteristik I- V serta penentuan efisiensi DSSC yang melibatkan tiga faktor hasil kurva karakteristik I-V. 1.5 Manfaat Penelitian Teknologi pembuatan DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell) yang dikembangkan pada penelitian ini bisa menjadi kajian untuk penelitian lebih lanjut terutama mengenai ketebalan optimal dari lapis tipis TiO 2 sehingga menghasilkan sel surya yang mempunyai performansi lebih baik.

digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Energi Surya Energi surya adalah radiasi yang diproduksi oleh reaksi fusi nuklir pada inti matahari. Matahari mensuplai hampir semua panas dan cahaya matahari yang diterima bumi. Energi surya terpancar hingga ke bumi berupa paket-paket energi yang disebut foton. Dalam kaitannya dengan sel surya, terdapat dua parameter penting dalam energi surya: pertama intensitas radiasi, yaitu jumlah daya matahari yang datang kepada permukaan per luas area, dan karakteristik spektrum cahaya matahari (Smestad,et.al., 1998). Jumlah rata-rata sinar matahari di luar atmosfir bumi disebut sebagai solar constant. Pengukurannya dilakukan oleh beberapa satelit yang menunjukkan bahwa solar constant bernilai 1365 W/m 2. Namun setelah disaring oleh atmosfir bumi beberapa spektrum cahaya hilang dan intensitas puncak radiasi menjadi 1000 W/m 2. Intensitas sinar matahari ke bumi bervariasi karena orbit bumi mengitari matahari adalah elips. Data energi surya untuk kepentingan ekonomis umumnya direpresentasikan dalam insolation yang memiliki satuan kwh/hari/m 2. Sedangkan hubungan antara insolation dengan intensitas radiasi ditunjukkan oleh persamaan 2.1. 1 insolation = 1 24 103 W m 2 (2.1) Sebagai contoh untuk nilai insolation 6 kwh/hari/m 2, maka nilai intensitas radiasi adalah 250W/m 2. Radiasi surya yang dipancarkan dari fotoshpere matahari pada temperatur 6000K, yang memberikan distribusi spektrumnya mirip dengan distribusi spektrum black body. Dengan melalui atmoshpere bumi, radiasi surya mengalami 6

digilib.uns.ac.id 7 pelemahan oleh berbagai partikel diantaranya molekul udara, debu dan lain-lain sehingga menghasilkan spektrum gambar 2.1. Gambar 2.1. Perbandingan spektra energi radiasi sebagai fungsi panjang gelombang dari matahari untuk kondisi tepat di atas atmosfer bumi, black body, dan pada permukaan bumi.( Septina, 2010). 2.2. Sel Surya 2.2.1. Umum Sel surya atau Photovoltaic (PV) cell adalah sebuah peralatan yang mengubah energi matahari menjadi listrik oleh efek fotovoltaik. Photovoltaic merupakan kajian bidang teknologi dan riset yang berhubungan dengan aplikasi energi surya sebagai sel surya. Photovoltaic berasal dari Bahasa Yunani yang merupakan kombinasi kata light, photo, dan voltaic dari nama Alessandro Volta (Pagliaro dalam Wijayanti, 2010). Sebagaimana telah diketahui bahwa cahaya tampak maupun yang tidak tampak memiliki dua buah sifat yaitu berperilaku sebagai gelombang dan dapat sebagai partikel yang disebut sebagai foton. Penemuan ini pertama kali diungkapkan oleh Einstein pada tahun 1905. Energi yang dipancarkan oleh sebuah cahaya dengan panjang dan frekuensi foton satu gelombang λ dirumuskan dengan persamaan :

digilib.uns.ac.id 8 E = h. c/λ (2.2) Dengan h adalah tetapan Plancks (6.62 10-34 J.s) dan c adalah kecepatan cahaya vakum (3,00 10 8 m/s). Persamaan di atas juga menunjukkan bahwa foton dapat dilihat sebagai partikel energi atau sebagai gelombang dengan panjang gelombang dan frekuensi tertentu. 2.2.2. Prinsip kerja sel surya Prinsip kerja sel surya adalah berdasarkan konsep semikonduktor p-n junction. Sel terdiri dari lapisan semikonduktor doping-n dan doping-p yang membentuk sambungan (junction) p-n, lapisan antirefleksi, dan substrat logam sebagai tempat mengalirnya arus dari lapisan tipe-n (elektron) dan tipe-p (hole). Hal ini dapat dilihat pada struktur sel surya Gambar 2.2. Gambar 2.2. Struktur sel surya silikon sambungan p-n (Halme, 2002). Material semikonduktor dapat dibedakan atas dua jenis yaitu yang memiliki celah pita energi langsung (direct bandgap) dan celah pita energi tidak langsung (indirect bandgap). Silikon adalah material semikonduktor dengan indirect bandgap, dimana energi minimum pada pita konduksi dan energi maksimum pada pita valensi terjadi pada harga momentum kristal yang berbeda. Sehingga diperlukan adanya energi foton yang lebih besar dari enegi gap agar terjadi transisi langsung dari pita valensi ke pita konduksi. Namun demikian transisi dapat terjadi pada harga energi commit yang to user lebih rendah, yaitu dengan memberi

digilib.uns.ac.id 9 pengotor pada silikon. Pengotor akan menciptakan sebuah tingkatan energi diantara pita konduksi dan pita valensi. Proses pemberian pengotor tersebut dinamakan doping. Silikon didoping dengan unsur golongan V sehingga terdapat kelebihan elektron valensi, sebagai semikonduktor tipe n. Pada sisi lain semikonduktor tipe-p diperoleh dengan doping unsur golongan III sehingga elektron valensinya defisit satu dibanding atom sekitar. Ketika dua tipe material tersebut mengalami kontak maka kelebihan elektron tipe-n berdifusi ke tipe-p sehingga area doping-n akan bermuatan positif sedangkan area doping-p akan bermuatan negatif. Medan elektrik yang terjadi antara keduanya mendorong elektron kembali ke daerah-n dan hole ke daerah-p. Pada proses ini telah terbentuk sambungan p-n. Dengan menambahkan kontak logam pada area p dan n maka telah terbentuk dioda. Gambar 2.3. Cara kerja sel surya silikon (Halme, 2002). Ketika sambungan disinari foton dengan energi yang sama atau lebih besar dari lebar pita energi material tersebut akan menyebabkan eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi dan akan meninggalkan hole pada pita valensi. Elektron dan hole ini dapat bergerak dalam materi sehingga menghasilkan pasangan elektron-hole. Apabila ditempatkan hambatan pada terminal sel surya, maka elektron dari area-n akan kembali ke area-p sehingga menyebabkan perbedaan potensial dan arus akan mengalir. Skema kerja sel surya silikon ditunjukkan pada Gambar 2.3.

digilib.uns.ac.id 10 2.2.3. Performa Sel Surya Performa pada sel surya dapat dilihat berdasarkan efisiensi konversi energi cahaya ke energi listrik. Efisiensi konversi energi secara keseluruhan diperoleh dari kurva arus - tegangan (I-V) yang melibatkan 3 parameter sel surya : 1. Arus hubung pendek (short circuit current, Isc) yang secara ideal sama dengan arus yang dihasilkan cahaya dan dapat juga disebut short circuit current density, Jsc yang melibatkan daerah aktif sel. 2. Tegangan (open circuit voltage, Voc) dan 3. Fill factor (FF) Tiga parameter tesebut dihitung dari kurva karakteristik arus - tegangan (I-V) dari sel surya. Pada kurva I-V sumbu vertikal menunjukkan arus dan sumbu horizontal menunjukkan tegangan (voltase). Kurva karakteristik I-V ditunjukkan pada gambar 2.4. Gambar 2.4. Bentuk kurva I-V solar cell (Kartini dalam Heriyanti, 2006) Kurva I-V melewati 2 titik penting yaitu ketika sel dalam kondisi short circuit, arus maksimum atau arus short circuit (I sc ) dihasilkan, sedangkan pada kondisi open circuit tidak ada arus yang dapat mengalir sehingga tergangannya maksimum, disebut tegangan open-circuit (Voc). Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik daya maksimum atau Maximum Power Point (MPP). I max dan V max adalah arus dan tegangan untuk energi maksimum yang terjadi ketika hasil kali arus dan tegangan bernilai maksimum. Tidak ada energi yang dihasilkan ketika terjadi V oc ataupun I sc. Energi maksimum terjadi di daerah antara kedua titik tersebut. Titik saat terjadi energi

digilib.uns.ac.id 11 maksimum menunjukkan efisiensi maksimum dalam sistem sel surya yang mengubah cahaya menjadi listrik. Sedangkan fill factor (FF) merupakan ukuran perbandingan luas persegi kurva I-V, yaitu ukuran kuantitatif kualitas sistem sel surya yang dinyatakan dengan persamaan 2.3 : FF = V max. I max V oc. I sc (2.3) Dengan menggunakan fill factor maka maksimum daya dari sel surya didapat dari persamaan (Halme, 2002) : P max = V OC. I SC. FF (2.4) Sehingga efisiensi sel surya yang didefinisikan sebagai daya yang dihasilkan dari sel (P max ) dibagi dengan daya dari cahaya yang datang (P cahaya ) : η = P max P Ca haya (2.5) 2.3. DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell) 2.3.1. Umum Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) terdiri dari sebuah working electroda (elektrode kerja), sebuah counter electrode (elektroda lawan) dan elektrolit. Zat warna dari kompleks ruthenium melekat pada pori nanokristal dari film semikonduktor, misalnya TiO 2 yang merupakan elektroda kerja. Sebuah kaca konduktif platina sebagai counter electrode dan larutan I - 3 /I - sebagai elektrolit (Halme, 2002). DSSC atau Sel Gratzel ini sangat menjanjikan karena dibuat dengan material dengan biaya murah dan pembuatannya tidak membutuhkan peralatan yang rumit. Efisiensi DSSC dengan bahan organik terdiri dari ruthenium (II) polypyridyl complex seperti N3 dye mencapai 10% (Gratzel, 2003). 2.3.2. Perkembangan DSSC DSSC pertama kali ditemukan oleh Gratzel pada tahun 1991. DSSC merupakan terobosan pertama penerapan commit to material user organik dalam teknologi sel

digilib.uns.ac.id 12 surya sejak sel surya silikon. Penemuan Gratzel tersebut berhubungan dengan penerapan prinsip efisiensi kompleks ruthenium untuk mengaktifkan film semikonduktor, yang sangat sensitif di daerah cahaya tampak (visible region). Semikonduktor yang digunakan oleh Gratzel adalah titania (TiO 2 ) yang dilapiskan pada substrat. Efisiensi sel surya Gratzel mencapai 7,1 %. Sejak penemuan Gratzel tersebut, DSSC menjadi salah satu topik penelitian yang intensif dilakukan oleh peneliti di seluruh dunia untuk meningkatkan performa dari DSSC. Selain dye sintesis, dye alami dari carotenoid (Gao, 2000), klorofil (Amao dalam Noor, et.al., 2011) dan antocyanin (Wongcharee, et.al., 2006) juga berpotensi menjadi dye alami pada DSSC. Hao dkk (2006) membandingkan DSSC yang menggunakan dye sintesis dan dye alami. Dye alami yang digunakannya adalah dye dari antocyanin, carotenoid, dan juga clorophyl. DSSC dengan dye dari ekstrak Rosa xanthina dan black rice yang mengandung antocyanin, menghasilkan daya maksimum dan fill factor berturut turut sebesar 163 μw dan 0,52 serta 327 μw dan 0,52. DSSC dengan dye dari ekstrak Erythrina dan Capsicum yang mengandung carotenoid, menghasilkan daya maksimum dan fill factor berturut turut sebesar 207 μw dan 0,55 serta 58 μw dan 0,63. Sementara DSSC dengan dye dari ekstrak Kelp yang mengandung eksrak klorofil menghasilkan daya maksimum 118 μw dan fill factor 0,62. Pada akhirnya dye sintesis dari Ruthenium pyridin ring menghasilkan daya maksimum 2787 μw dan fill factor 0,67 jauh lebih besar dibandingkan dye alami. Walaupun dye sintesis menghasilkan daya output yang lebih baik, ketersediaan dan harganya yang sangat mahal menjadikan dye alami tetap kompetitif sebagai sensitizer pada DSSC. Penelitian Maddu dkk (2007) yang menjadikan ekstrak kol merah sebagai sensitizer karena mengandung antocyanin, melakukan variasi lama perendaman elektroda kerja pada dye dalam upaya mengetahui pengaruh lama rendaman terhadap efisiensi DSSC. Ternyata sampel dengan perendaman 24 jam memiliki efisiensi 0,055 % lebih besar dibandingkan sampel dengan perendaman 1jam yang efisiensinya 0,0023%. Nilai efisiensi tersebut diperoleh dengan pengukuran DSSC menggunakan rangkaian berbeda commit dengan to user penelitian Noor dkk (2011) yang

digilib.uns.ac.id 13 menggunakan Keithley 2400 electro meter. Noor dkk (2011) melalukan penelitian dengan mencampur dye dari ekstrak antocyanin black rice dan ekstrak klorofil dari daun pandan. Dye hasil campuran antocyanin dan klorofil yang ternyata mampu meningkatkan efisiensi DSSC, yang diperoleh sebesar 0,42 % lebih baik daripada DSSC dengan dye ekstrak antocyanin black rice sebesar 0,37 % dan dengan DSSC dengan dye ekstrak klorofil daun pandan sebesar 0,24 %. Sementara Sari dkk (2011) menyimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi dan nilai absorbansi ekstrak Sansevieria trifasciata yang mengandung antocyanin, klorofil maupun carotenoid, dan juga semakin besar ketebalan lapisan TiO 2 akan menaikkan nilai efisiensi DSSC. Sampai saat ini, masih terus dilakukan penelitian terkait dengan peningkatan efisiensi DSSC dengan melakukan variasi pada material DSSC. 2.3.3. Prinsip Kerja DSSC Pada susunan paling sederhana, DSSC terdiri dari kaca konduktif transparan dilapisi dengan nanocristalline TiO 2 (nc-tio 2 ), molekul dye berkait dengan permukaan nc-tio 2, sebuah elektrolit seperti I - /I - 3, dengan illuminasi pada sel mampu menghasilkan tegangan dan arus (Halme, 2002). Dimana struktur dan komponen dari DSSC disajikan pada gambar 2.5. Gambar 2.5. Struktur dan komponen DSSC (Halme, 2002)

digilib.uns.ac.id 14 Absorbsi cahaya dari DSSC dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan dilakukan pada semikonduktor TiO 2. Dengan struktur pori yang nano maka permukaan dari TiO 2 menjadi luas sehingga memperbanyak dye yang terabsorbsi dan akan meningkatkan efisiensi. Meskipun hanya selapis dye, dapat mengabsorbsi kurang dari 1% dari cahaya yang datang (Gratzel, 1991). Saat penyusunannya, molekul dye menjadi sebuah lapisan dye yang tebal. Lapisan tersebut mampu meningkatkan kemampuan optis DSSC. Kontak langsung antara molekul dye dengan permukaan elektrode semikondutor dapat memisahkan muatan dan berkontribusi pada pembangkit arus. Prinsip kerja DSSC digambarkan dengan gambar 2.6, pada dasarnya prinsip kerja dari DSSC merupakan reaksi dari transfer elektron. Proses pertama dimulai dengan terjadinya eksitasi elektron pada molekul dye akibat absorbsi foton. Elektron tereksitasi dari ground state (D) ke excited state (D*). D + e D (2.6) Elektron dari exited state kemudian langsung terinjeksi menuju pita konduksi (E CB ) TiO 2 sehingga molekul dye teroksidasi (D + ). Dengan adanya donor elektron oleh elektrolit (I ) maka molekul dye kembali ke keadaan awalnya (ground state) dan mencegah penangkapan kembali elektron dye yang teroksidasi. 2D + + 3e I 3 + 2D (2.7) Gambar 2.6. Skema Kerja dari commit DSSC to (Sastrawan user dalam Wijayanti, 2010)

digilib.uns.ac.id 15 Setelah mencapai elektroda TCO, elektron mengalir menuju counterelektroda melalui rangkaian eksternal. Counter elektroda yang biasa digunakan berupa kaca konduktif (TCO) yang dilapisi oleh lapisan karbon atau platina. - Elektron yang sampai di elektroda lawan akan mereduksi senyawa elektrolit (I 3 menjadi I - ), seperti persamaan 2.8. I 3 + 2e 3I (2.8) Iodin ini digunakan untuk mendonor elektron kepada dye yang teroksidasi, sehingga terbentuk suatu siklus transport elektron. Dengan siklus ini terjadi konversi langsung dari cahaya matahari menjadi listrik. 2.3.4. Material DSSC 2.3.4.1. Substrat Substrat yang digunakan pada DSSC yaitu jenis TCO (Transparent Conductive Oxide). TCO merupakan substrat yang tidak mengubah sifat suatu material, bekerja sebagai kolektor arus dan juga material atau badan dari sel surya. Resistansi TCO akan meningkat, ketika dipanaskan pada suhu tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama. Jenis TCO mempengaruhi kestabilan saat kenaikan temperatur diatas suhu pendeposisian optimum. Fluorine-doped tin oxide (Sn:F atau FTO) sangat stabil, sehingga pengurangan substrat kaca lebih terbatas daripada dekomposisi panas pada lapisan konduktif, sedangkan Indium Tin Oxide (ITO) menunjukkan adanya sifat konduktif yang hilang pada pemanasan suhu yang lebih dari 200 o C (Kruger dalam Sila, 2011). 2.3.4.2. Titanium Dioxide (TiO 2) TiO 2 merupakan bahan semikonduktor yang bersifat inert, stabil terhadap fotokorosi dan korosi oleh bahan kimia (Hoffmann, et.al., 1995). Mempunyai energi celah pita lebar yaitu 3,2 ev (yang merupakan selisih absolut dari posisi tingkat energi pita konduksi 4,5 ev dengan posisi tingkat energi pita valensi -7,7 ev), sehingga bersifat transparan di daerah cahaya tampak. Aplikasi TiO 2 sebagai semikonduktor telah banyak dilaporkan, diantaranya untuk manufaktur elemen

digilib.uns.ac.id 16 optik. Selain itu TiO 2 berpotensial pada aplikasi divais elektronik seperti DSSC, sensor gas, dan lain-lainnya (Marchand, 2004). TiO 2 dengan struktur nanopori yaitu ukuran pori dalam skala nano akan meningkatkan kinerja sistem karena struktur nanopori mempunyai karakteristik luas permukaan yang tinggi sehingga akan memperbanyak jumlah dye yang terabsorb yang implikasinya jumlah cahaya yang terabsorb juga meningkat. TiO 2 memiliki tiga fase kristal yaitu anatase, rutile dan brookite. Namun hanya anatase dan rutile yang memegang peranan penting dalam aktivitas fotokatalitik. Anatase diketahui sebagai fase kristal titania yang paling bersifat fotoaktif. Anatase secara termodinamik kurang stabil dibanding rutile, tetapi pembentukannya terjadi pada temperatur yang lebih rendah. Aktivitas fotokatalitik TiO 2 tergantung pada sifat fase anatase, yang dipengaruhi oleh morfologi, luas permukaan, kristalinitas dan ukuran partikel. Struktur rutile dan anatase dapat digambarkan sebagai rantai oktahedral TiO 6. Kedua struktur kristal dibedakan oleh distorsi oktahedral dan pola susunan rantai oktahedralnya. Anatase bersifat metastabil dan akan berubah menjadi rutile pada suhu diatas 915 C. Anatase mempunyai struktur kristal tetragonal dimana Ti-O oktahedral sharing 4 sudut, adapun struktur kristal dari anatase maupun rutile ditunjukkan pada gambar 2.7 dan 2.8. Gambar 2.7 Struktur kristal TiO 2 anatase (Heriyanti, 2006) Gambar 2.8. Struktur kristal TiO 2 rutile (Heriyanti, 2006)

digilib.uns.ac.id 17 Bentuk titania yang stabil adalah rutile, dimana bentuk lain titania berubah pada suhu tinggi. Rutile mempunyai struktur kristal mirip dengan anatase, dengan pengecualian bahwa Ti-O oktahedral sharing 4 sisi bukan 4 sudut. Penataan tersebut menghasilkan terbentuknya rantai yang tersusun dalam four fold symetri. Tiap atom Ti 4+ dikelilingi secara oktahedral oleh 6 atom O 2-. Pada struktur rutile setiap oktahedral dikelilingi oleh 10 oktahedral tetangga, sedangkan pada struktur anatase setiap oktahedral dikelilingi oleh 8 oktahedral lainnya. Oktahedral pada rutile mengalami sedikit distorsi orthorombik, sedangkan distorsi orthorombik pada anatase cukup besar sehingga relatif tidak simetri. Jarak antara atom Ti-Ti pada anatase lebih besar dari rutile (3,79 Å pada anatase dan 2,96 Å pada rutile). Struktur anatase memiliki band gap sebesar 3.2 ev, nilai tersebut setara dengan energi gelombang cahaya tampak dengan panjang gelombang 413 nm. Dibandingkan dengan pita energi beberapa jenis semikonduktor lainnya, pada gambar 2.9 terlihat bahwa fermi level TiO 2 jauh lebih dekat ke level pita konduksi jika dibandingkan dengan pita valensi. Sehingga TiO 2 merupakan semikonduktor tipe-n dan cenderung bermuatan negatif. Hal inilah yang mendasari TiO 2 cocok digunakan sebagai media penghantar elektron dari dye ke elektroda. (ev) Gambar 2.9. Posisi pita commit energi semikonduktor user (Gratzel, 2001)

digilib.uns.ac.id 18 2.3.4.3. Dye Fungsi absorbsi cahaya dilakukan oleh molekul dye yang terabsorbsi pada permukaan TiO 2. Dye yang umumnya digunakan dan mencapai efisiensi paling tinggi yaitu jenis ruthenium complex. Walaupun DSSC menggunakan ruthenium complex telah mencapai efisiensi yang cukup tinggi, namun dye jenis ini cukup sulit untuk disintesa dan ruthenium complex komersil berharga mahal sehingga para peneliti berlomba-lomba membuat adanya alternatif lain pengganti dye jenis ini yaitu dye alami yang dapat diekstrak dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, atau buah (Maddu dkk, 2007). Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosentizer pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Dyesensitizer alami yang pernah digunakan dalam sistem DSSC diantaranya yaitu bunga rosella (Wongcharee et.al.,2006), buah bunni (Pangestuti, 2009) dan kol merah (Maddu dkk, 2009). Zat warna alami tersebut telah terbukti mampu memberikan efek photovoltaic walaupun efisiensi yang dihasilkan masih jauh lebih kecil dibandingkan zat warna sintetis. Meskipun demikian, zat warna organik sangat kompetitif untuk dijadikan sensitizer karena biaya produksinya yang murah dan proses isolasinya juga lebih mudah. Karakteristik penting dari bahan dye yang digunakan yaitu mampu menyerap spektrum cahaya yang lebar dan cocok dengan pita energi titania. Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitizer berupa ekstrak klorofil (Amao dalam Noor dkk, 2011), carotenoid (Gao, 2000) atau antocyanin (Wongcharee et.al., 2006). 2.3.4.3.1. Antocyanin Antocyanin merupakan salah satu pigmen yang bisa digunakan sebagai dye selain klorofil dan β-carotene, yang mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam bunga, buah dan sayuran yang berwarna biru, ungu, violet, magenta dan kuning. Antocyanin adalah komponen yang bisa digunakan sebagai fotosensitizer pada daerah sinar tampak. Serapan maksimum dari ekstrak antosianin berkisar didaerah antara 510-548 nm bergantung pada buah atau pelarut commit yang digunakan to user (Heriyanti, 2006). Pigmen ini

digilib.uns.ac.id 19 terdapat salah satunya pada bunga sepatu (Permana, 2010). Adapun rangka struktur kimia dari antocyanin ditunjukkan pada gambar 2.10. Gambar 2.10. Struktur molekul antocyanin dan ikatan antara molekul antocyanin dan TiO 2 partikel (Hao, 2011) 2.3.4.4. Elektrolit Elektrolit merupakan salah satu bagian terpenting dari sel surya. Fungsi elektrolit dalam sistem DSSC adalah untuk menggantikan kehilangan elektron pada ground state dari dye akibat eksitasi elektron dari ground state ke excited state karena penyerapan cahaya tampak oleh dye. Elektrolit juga berfungsi sebagai pembawa elektron antara fotoelektroda dan electroda counter pada DSSC. Pada umumnya pembuatan sel DSSC menggunakan pasangan redoks I - (iodine) dan I 3- (triiodine) sebagai elektrolit, karena sifatnya yang stabil dan mempunyai reversibility yang baik. 2.3.5. Fabrikasi DSSC Cara paling umum dalam fabrikasi DSSC di laboratorium yaitu menggabungkan dua kaca dengan lapisan yang berbeda dengan struktur sandwich, sebagai substrat dan superstrat, yang salah satunya yaitu lapisan TiO 2 dimana cahaya masuk dan yang lainnya yaitu counter electroda yang dilapisi katalis misalnya lapisan karbon atau platina (gambar 2.11). Untuk meminimalisasi biaya produksi pada skala massal, satu sel bisa dideposisikan secara langsung antara kaca dengan luas permukaan yang commit tinggi. to user

digilib.uns.ac.id 20 Gambar 2.11. Struktur DSSC menggunakan TCO (Wang et.al., 2007) Selain itu Kay dan Gratzel pada tahun 1996 mengembangkan tiga lapisan struktur sel monolithic (Gambar 2.12), untuk mengadaptasi proses produksi sel surya lapisan tipis sehingga lebih mudah mencapai tahap komersialisasi. Pada struktur monolithic, semua lapisan dari sel dapat dideposisikan masing-masing diatas yang lainnya pada satu kaca yang dilapisi ITO, sedangkan satu kaca lain yang berlawanan hanya berfungsi sebagai pelindung dan enkapsulasi. Gambar 2.12. Struktur Sandwich DSSC (Halme, 2002) 2.4. X-Ray Diffraction (XRD) XRD merupakan alat karakterisasi yang dapat menghasilkan sinar X dan digunakan untuk mengidentifikasi commit struktur to user kristal, sistem kristal (kubik,

digilib.uns.ac.id 21 tetragonal, ortorombik, rombohedral, heksagonal, monoklinik, triklinik), menentukan kualitas kristal (single crystal, polycrystal, amorphous), menentukan simetri kristal, menentukan cacat kristal (dislokasi), mencari parameter kristal (parameter kisi, jarak antar atom, jumlah atom per unit sel), dan analisis kimia. Sinar X dihasilkan dari sepasang elektroda yang terdapat didalam tabung sinar X. Elektron dihasilkan dari pemanasan elektroda bertegangan rendah (katoda) yang terbuat dari filamen tungsten. Elektron dipercepat dengan kecepatan yang sangat tinggi ke arah anoda. Elektron-elektron kehilangan energi karena terjadi tumbukan dengan anoda dan menghasilkan sinar-x dalam jumlah kecil (kurang dari 1%) dan yang lainnya terhambur menjadi panas (Suryanarayana dalam Setyowati, 2006). Penggambaran proses difraksi meliputi tiga hal yaitu hamburan (scattering), interferensi dan difraksi. Sinar X yang mengenai bidang kristal akan dihamburkan ke segala arah (gambar 2.13). Sinar-sinar pantul yang sefase yang berbeda lintasan sebesar kelipatan bulat dari panjang gelombang akan menimbulkan interferensi saling menguatkan. Pemantulan dan interferensi bergabung menjadi difraksi. Difraksi akan saling menguatkan jika terpenuhi persamaan Bragg sebagai berikut: 2d sin θ = n λ (2.9) adalah panjang gelombang, d adalah jarak antar atom dalam bidang kristal, adalah sudut difraksi dan n adalah bilangan bulat. Sinar Datang 1 E nλ = 2d sinθ Sinar Pantul 2 d θ A θ C D 3 B Gambar 2.13. Difraksi Sinar X Pada Kristal.

digilib.uns.ac.id 22 Berdasarkan gambar 2.13 selisih lintasan sinar pantul 1 dan 2 adalah : = AB + BD AE (2.10) Dengan AB = BD = d sin θ dan AE = AD. cosθ = 2 d cos 2 θ sin θ (2.11) Dengan d merupakan jarak antara 2 bidang pantul yang berdekatan dan θ sudut antara sinar datang dan bidang pantul. Subtitusi persamaan (2.11) dalam persamaan (2.10) di dapatkan : = 2d (1 cos 2 θ) sin θ = 2 d sin θ (2.12) 2.5. X- Ray Fluorescence (XRF) XRF (X-ray fluorescence) spectrometry merupakan teknik analisa nondestruktif yang digunakan untuk identifikasi serta penentuan konsentrasi elemen yang ada pada padatan, bubuk ataupun sample cair. Metode XRF secara luas digunakan untuk menentukan komposisi unsur suatu material. Karena metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk kontrol material. Prinsip pengukuran dengan XRF dapat digambarkan seperti Gambar 2.14. Gambar 2.14. Prinsip pengukuran dengan XRF (Gosseau, 2009)

digilib.uns.ac.id 23 Apabila sinar-x primer yang berasal dari tabung X ray atau sumber radioaktif mengenai sampel, sinar-x dapat diabsorpsi atau dihamburkan oleh material. Proses dimana sinar-x diabsorpsi oleh atom dengan mentransfer energinya pada elektron yang terdapat pada kulit yang lebih dalam disebut efek fotolistrik. Selama proses ini, bila sinar-x primer memiliki cukup energi, elektron akan terpental atau pindah dari kulit yang di dalam dan menimbulkan kekosongan. Kekosongan ini menghasilkan keadaan atom yang tidak stabil. Apabila atom kembali pada keadaan stabil, elektron dari kulit luar pindah ke kulit yang lebih dalam dan proses ini menghasilkan energi sinar-x tertentu dan berbeda antara dua energi ikatan pada kulit tersebut. Emisi sinar-x dihasilkan dari proses yang disebut X Ray Fluorescence (XRF). Proses deteksi dan analisa emisi sinar-x disebut analisa XRF. Pada umumnya kulit K dan L terlibat pada deteksi XRF. Sehingga sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan Lβ pada XRF. Jenis spektrum X ray dari sampel yang diradiasi akan menggambarkan puncak-puncak pada intensitas yang berbeda (Viklund, 2008). 2.6. Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang dianalisis. SEM memiliki perbesaran dari 10 x 3000000 x, dengan resolusi antara 1 10 nm. Prinsip kerja dari SEM ini adalah dengan menggambarkan permukaan benda atau material dengan berkas elektron yang dipantulkan. Sebuah pistol elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan anoda, lensa magnetis akan memfokuskan elektron menuju sampel, sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pemindai (scanning coil). Ketika elektron mengenai sampel maka sampel akan memantulkan elektron (elektron sekunder ke segala arah) yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor/crt.

digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Material Jurusan Fisika dan Laboratorium Pusat Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret- Desember 2011. Pembuatan bubuk TiO 2 dilakukan di Laboratorium Pusat Sub Lab Biologi dan Sub Lab Fisika. Karakterisasi absorbansi larutan dye bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) dan lapisan TiO 2 yang telah direndam dye, serta pengujian karakteristik I-V baik dengan rangkaian maupun Keithley dilaksanakan di Laboratorium Material Jurusan Fisika. Sementara karakterisasi kandungan bubuk TiO 2, struktur kristal, dan morfologi lapisan TiO 2 dilaksanakan di Laboratorium Terpadu FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat sintesa dan karakterisasi. Alat-alat sintesa yang digunakan meliputi : 1. Timbangan Digital METLER TOLEDO AL204 2. Hot Plate IKA C-MAG HS-7 3. Spatula Kaca 4. Gelas Beker 50 ml 5. Pengaduk Magnetik 6. Gelas Ukur 10 ml 7. Kertas Saring whatman no.42 8. Corong 9. Aluminium Foil 10. Pipet Tetes Kaca 11. Botol Kaca 5 ml 12. Ultrasonic cleaner 24

digilib.uns.ac.id 25 13. Hair Dryer 14. Illuminator 15. Furnace 16. Oven 17. Solar Power Meter Tes 1333R 18. Kaca Preparat 19. Kaca konduktif jenis FTO(Flourin- doped Tin Oxide) 20. Multimeter 21. Resistor 22. Cawan krus 75 ml Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk karakterisasi yaitu: 1. UV-Vis Spektrometer Lambda-25 2. Diffractometer D8 Advance (XRD) 3. XRF Bruker AXS S2 Ranger 4. SEM Quanta 250 FEG 5. Keithley 2602A system source 3.2.2. Bahan Penelitian Semua bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai derajat kemurnian pro analisis (pa). Bahan-bahan yang digunakan meliputi : 1. Bunga sepatu ( Hibiscus rosa sinensis L) 2. Aquades 3. Asam sitrat 4. Ethanol dari MERCK 5. Block copolymer Pluronic PE 6200 (PE08-PPO30-PEO8, massa molar = 2450 g/mol) dari BASF 6. Methanol dari MERCK 7. Larutan Elektrolit dengan PEG 8. Keyboard Protector ( sebagai gasket) 9. Karbon 10. TiCl 4 (Titanium tetrachloride) commit dari MERK to user

digilib.uns.ac.id 26 3.3. Diagram Penelitian Secara umum alur penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.1. Persiapan Pembuatan bubuk TiO 2 dengan metode sol gel Dihasilkan bubuk TiO 2 Karakterisasi XRD XRF Ekstraksi dye antocyanin Didapatkan larutan dye antocyanin Karakterisasi Absorbansi Pembuatan lapisan tipis TiO 2 dengan metode slip casting SEM Karakterisasi UV VIS Pembuatan Counter Elektroda Fabrikasi DSSC Pengujian Karakteristik I-V Analisa dan kesimpulan Pengujian Efisiensi Gambar 3.1. Diagram alir penelitian. 3.3.1. Persiapan Persiapan yang dilakukan adalah persiapan alat dan bahan yang akan digunakan untuk membuat bubuk TiO 2. Selain itu, dalam proses persiapan juga dilakukan pembersihan alat-alat yang akan digunakan penelitian, terutama untuk membuat bubuk TiO 2. Alat-alat tersebut dibersihkan dengan menggunakan methanol, kemudian dikeringkan dengan hair dryer. Selain proses persiapan pembuatan bubuk TiO 2, dilakukan pula pembersihan kaca konduktif jenis FTO untuk pengujian sampel dengan commit methanol to user menggunakan ultrasonic cleaner.

digilib.uns.ac.id 27 Pembersihan kaca konduktif menggunakan ultrasonic cleaner bertujuan agar kaca terbebas dari material-material yang tidak mampu dibersihkan dengan air saja. Kaca konduktif yang bersih mempengaruhi hasil pengujian dari sampel yang akan dilapiskan pada kaca konduktif tersebut. 3.3.2. Pembuatan Bubuk TiO 2 dengan Metode Sol-Gel. Nanopori TiO2 disintesis dengan menggunakan metoda sol-gel dengan bantuan block copolymer/pluronic P2243-250G sebagai template untuk membentuk struktur nanopori. Proses sol-gel adalah teknik pengendapan larutan kimia (sol) yang bertindak sebagai prekusor untuk suatu jaringan terpadu (gel) sehingga mengandung fase cair dan padat. Kelebihan proses ini adalah tahap pembentukan jaringan polimer anorganik dapat terjadi pada temperatur relatif rendah atau pada temperatur kamar (Schmidt dalam Wibowo, 2006). Beberapa alat dan bahan untuk pembuatan TiO 2 dengan metode sol-gel ditunjukkan oleh gambar 3.2 dengan angkah-langkah eksperimennya dijelaskan sebagai berikut : 1. Block copolymer Pluronic PE 6200 sebanyak 3 gram dilarutkan pada ethanol sebanyak 30 gram kemudian diaduk selama 30 menit oleh pengaduk magnetik. 2. Pada larutan tersebut ditambahkan secara perlahan-lahan prekursor TiCl4 sebanyak 5.7 gram kemudian diaduk selama 30 menit, sehingga rasio molar TiCl4:ethanol:block copolymer adalah 1:21,7:0,0408. 3. Larutan kemudian dilakukan proses aging pada temperatur 40 C selama 7 hari pada cawan petri sampai terbentuk dry-gel. 4. Dry-gel yang terbentuk kemudian dikalsinasi ( proses pemanasan dengan suhu tinggi namun masih di bawah titik lebur) pada temperatur 600 C selama 4 jam dengan kecepatan pembakaran 5-6 C/menit untuk mendapatkan bubuk TiO 2.

digilib.uns.ac.id 28 Gambar 3.2. Alat dan bahan pembuatan TiO 2 dengan menggunakan metode sol gel. 3.3.2.1. Karakterisasi Kandungan Bubuk TiO 2 Nanopori TiO 2 diuji jumlah kandungan unsur TiO 2 menggunakan XRF (X- Ray Fluorecence) Bruker AXS S2 Ranger. Spektroskopi XRF adalah teknik analisis unsur yang membentuk suatu material dengan dasar interaksi sinar-x dengan material analit. Metode fluoresensi sinar-x merupakan peristiwa atomatom pada permukaan sampel akan ditumbuk dengan sinar-x yang berasal dari sumber sinar-x, interaksi ini menyebabkan terjadinya efek fotolistrik pada atom-atom di permukaan bahan tersebut, dimana pada interaksi ini elektron dalam orbital kulit K akan terlempar dan terjadi kekosongan elektron pada kulit tersebut. Kekosongan elektron ini akan diisi oleh elektron dari orbital diatasnya. Perpindahan elektron tersebut diikuti dengan melepaskan sinar-x karakteristik sesuai dengan atom yang mengalami proses tersebut. Analisis kandungan unsur dalam bahan ditentukan atas dasar sinar-x karakteristik yang terdeteksi. Teknik ini banyak digunakan dalam analisa unsur karena membutuhkan jumlah sample yang relative kecil (sekitar 1 gram). Sampel yang digunakan biasanya berupa serbuk hasil penggilingan atau pengepresan menjadi bentuk film. Karakterisasi dengan XRF digunakan karena mempunyai akurasi yang tinggi yang dapat mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam bubuk TiO 2 beserta komposisinya. Sehingga, dari hasil karakterisasi XRF dapat ditentukan kelayakan bubuk TiO 2 yang telah dibuat.

digilib.uns.ac.id 29 3.3.2.2. Karakteristik Struktur Kristal Bubuk TiO 2 Namun karena karakterisasi dengan metode XRF belum mampu digunakan untuk menentukan struktur kristal dari atom yang membentuk material tersebut, yang dalam hal ini adalah bubuk TiO 2, maka dibutuhkan karakterisasi lain yang mampu melengkapi parameter karakteristik dari bubuk TiO 2 yang telah dibuat. Difraktometer merupakan suatu peralatan yang digunakan untuk mempelajari struktur bahan. Identifikasi mineral yang terkandung dalam suatu bahan dan lain-lainya dengan mengamati pola difraksi yang dihasilkan oleh bahan tersebut. Dalam penelitian ini, penentuan struktur kristal nanopori TiO 2 yang telah dibuat menggunakan metode difraksi sinar X dengan alat XRD Bruker D8 Advance. XRD Bruker menggunakan radiasi Cu Kα (1,5406 A) pada tegangan 40 kv, dan arus sebesar 40 ma. Hasil difraktometer dibandingkan dengan data JCPDF (Joint Committee Powder Difraction File) TiO 2. 3.3.3. Ekstraksi Dye Antocyanin Bunga Sepatu (Hibiscus rosa sinensis L) Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain. Gambar 3.3. Bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L).

digilib.uns.ac.id 30 Gambar 3.4. Serbuk bunga sepatu kering. Dye yang akan digunakan kali ini menggunakan pewarna alami dari bunga sepatu (gambar 3.3), yang diekstraksi menggunakan dengan pemanasan. Pertama kali bunga sepatu dicuci kemudian diambil bagian mahkotanya, dijemur dibawah sinar matahari selama 7 hari. Setelah itu bunga sepatu dihaluskan dengan blender, hasilnya seperti yang terlihat pada gambar 3.4. Setelah itu diekstraksi dengan campuran ethanol, asam sitrat dan aquades yang perbandingannya 10 : 5% : 10 untuk 1 gram bubuk bunga sepatu, dan diaduk dengan magnetic stirrer selama 30 menit pada suhu 60 o C. Kemudian dilakukan penyaringan larutan sehingga didapatkan dye alami yang dibutuhkan (gambar 3.5). Hasil ekstraksi kemudian dijaga dalam botol gelap untuk mencegah penguapan dan degradasi dye. Gambar 3.5. Hasil ekstraksi dye antocyanin bunga sepatu. 3.3.3.1. Karakterisasi Absorbansi Ekstrak Bunga Sepatu Hasil ekstraksi dye dalam bentuk larutan diuji absorbansinya dengan Spektrometer UV-Vis. Spektrometer UV-Vis ditunjukkan pada gambar 3.6. Pengujian larutan antocyanin dilakukan untuk mengetahui kemampuan absorbansi sampel yang dihasilkan dari proses ekstraksi antocyanin. Sampel diuji pada

digilib.uns.ac.id 31 panjang gelombang 350 nm sampai 800 nm. Pelarut dimasukkan pada kuvet hingga kuvet terisi pada batas kuvet, dan dilakukan baseline correction untuk menghilangkan background noise yang muncul saat uji sampel. Sebagai larutan pembandingnya digunakan salah satu dari zat pelarut ekstraksi antocyanin. Gambar 3.6. UV-Vis Spektrometer Lambda-25 3.3.4. Pembuatan Lapisan TiO 2 3.3.4.1. Pembuatan Pasta TiO 2 Langkah awal dalam pembuatan lapisan tipis TiO 2 adalah membuat pasta TiO 2. Dalam pembuatan pasta ini meliputi: 1. Menimbang bubuk TiO 2 sebanyak 1 gram. 2. Malarutkan bubuk TiO 2 ke dalam ethanol sebanyak 2,5 ml di gelas beker. 3. Mengaduk campuran tadi selama 30 menit dengan hot plate stirrer untuk mendapatkan homogenisasi pasta TiO 2. 4. Pasta siap digunakan untuk pembuatan lapisan tipis TiO 2. Pasta yang dihasilkan dari proses ini tidak dapat disimpan lama, karena akan mengeras dan menjadi agregat. 3.3.4.2. Pembuatan Lapisan TiO 2 Setelah pasta TiO 2 berhasil dibuat, langkah selanjutnya adalah mendeposisikannya pada kaca konduktif FTO. Deposisi pasta TiO 2 dilakukan dengan metode slip casting. Metode slip casting adalah metode penumbuhan lapisan tipis dengan meratakan pasta pada screen area ukuran tertentu. Pada

digilib.uns.ac.id 32 penelitian ini ukuran screen area yang digunakan adalah 2 cm x 1 cm. Setelah TiO 2 dan kaca konduktif siap, kemudian dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:. 1. Metakkan kaca FTO pada permukaan yang bersih dan rata ( misal : kertas) dengan sisi konduktif berada di atas. Untuk mengecek sisi yang konduktif menggunakan ohmmeter dengan menempelkan probe-nya pada permukaan kaca. 2. Menimbang dan mencatat massa kaca konduktif FTO sebagai m 1 3. Tutup tiga sisi kaca FTO menggunakan scotch tape seperti yang diperlihatkan pada gambar 3.7. 2 cm 1 cm Gambar 3.7. Ilustrasi ukuran scotch tape. 4. Kemudian mendeposisikan pasta TiO 2 di atas FTO secukupnya, dan dengan cepat ratakan pasta TiO 2 dengan menggunakan spatula kaca yang bersih ke seluruh permukaan FTO dengan ketebalan yang merata. 5. Setelah pendeposisian, sample didiamkan sesaat agar lapisan TiO 2 kering. 6. Melepaskan scotch tape secara perlahan supaya tidak ada lapisan yang terkelupas. 7. Mengulangi langkah no.1 sampai dengan no.6 sebanyak 4 kali variasi ketebalan, yang mana dapat dikontrol dengan adanya scotch tape. 8. Lapisan tipis dipanaskan pada suhu 450 o C masing-masing sebanyak empat buah selama 10 menit dengan menggunakan hot plate seperti gambar 3.8. 9. Menimbang massa lapisan tipis yang sudah jadi dan mencatatnya sebagai m 2.

digilib.uns.ac.id 33 Gambar 3.8. Proses pemanasan lapisan tipis TiO 2. 3.3.4.3 Karakterisasi Morfologi Lapisan Tipis TiO 2. Karakterisasi morfologi dari lapisan tipis TiO 2 dapat diketahui dengan menggunakan metode Scanning Electron Microscopy (SEM) Quanta 250 FEG dengan resolusi 1,2 nm dan pembesaran hingga 400000 kali. SEM bekerja berdasarkan prinsip scan sinar elektron pada permukaan sampel, yang selanjutnya informasi yang didapatkan diubah menjadi bentuk gambar. Pada proses operasinya SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi. Metode ini digunakan untuk mengkarakterisasi morfologi (analisa bentuk dan ukuran) lapisan tipis. Dari hasil SEM dapat dianalisa untuk menentukan tekstur dari lapisan yang dihasilkan. 3.3.4.4. Perhitungan Ketebalan Lapisan Tipis TiO 2. Metode penimbangan atau by weight atau gravimetri ini digunakan untuk menghitung ketebalan dari lapisan tipis yang telah dibuat dengan memperhatikan luas screen area dan masssa. Dengan mengasumsikan homogenitas kerataan permukaan lapisan dipenuhi, ketebalan lapisan dapat dihitung dengan rumus berikut : 1. Menghitung massa lapisan tipis. m = m 2 m 1 (3.1) 2. Dengan mengetahui massa jenis TiO 2 dari referensi, yaitu 3,84 gr/cm 3 (Weast dalam Tjahjanto, 2001), maka didapatkan volume. commit to ρ = m user (3.2) V

digilib.uns.ac.id 34 3. Dari volume, dapat ditentukan tebal lapisan tipis tersebut. V = A t (3.3) dengan A = luas screen area lapisan tipis. 3.3.4.5. Pengujian Absorbansi Lapisan TiO 2 dan Dye Lapisan tipis yang telah terbentuk, kemudian direndam dalam larutan dye selama 24 jam. Setelah sebelumnya dipanaskan 60 C untuk membuka pori sehingga lebih efektif dalam proses penyerapan larutan dye. Lapisan yang sudah melalui proses perendaman 24 jam (gambar 3.9), selanjutnya diuji absorbansinya dengan menggunakan spektrometer UV- VIS. Hal ini bertujuan untuk mengetahui terikat tidaknya kromofor larutan dye dengan lapisan TiO 2. Selain itu juga dimaksudkan agar mengetahui pengaruh variasi ketebalan lapisan terhadap tingkat absorbansi dye. Gambar 3.9. Lapisan TiO 2 setelah melalui proses perendaman. 3.3.5. Pembuatan Counter Elektroda Counter elektroda berfungsi sebagai elektroda lawan yang mempercepat kinetika reaksi proses reduksi pada FTO. Langkah-langkah pendeposisian counter elektroda adalah sebagai berikut: 1. Kaca konduktif FTO dipersiapkan sebanyak 4 buah. 2. Kemudian dilakukan pengecekan untuk menentukan bagian yang konduktif. 3. Dengan luas screen area yang sama dengan elektroda kerja yaitu 2 x 1 cm 2 pada bagian konduktif diberi jelaga lilin (gambar 3.10).

digilib.uns.ac.id 35 4. Tepi kaca dibersihkan menggunakan cotton bud dan pasikan terbentuk lapisan carbon dengan ukuran 2cm x 1 cm (gambar 3.11). 5. Terakhir, counter elektroda yang sudah jadi (gambar 3.12) dipanaskan pada suhu 250 C selama 10 menit agar karbon dan kaca TCO membentuk kontak yang baik. Gambar 3.10. Pembuatan counter elektroda dengan jelaga lilin. Gambar 3.11. Penentuan screen area counter elektroda. Gambar 3.12. Counter elektroda. 3.3.6. Fabrikasi DSSC Setelah seluruh komponen DSSC siap, maka dilakukan pembuatan DSSC dengan langkah sebagai berikut: 1. Lapisan tipis TiO 2 yang telah dibuat direndam dalam dye selama 24 jam.

digilib.uns.ac.id 36 2. Sampel yang sudah selesai direndam dibersihkan dengan aquades kemudian dkeringkan. 3. Pasang keyboard protector seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.13. Pemasangan keyboard protector ini dimaksudkan agar larutan elektrolit tidak sampai keluar area aktif lapisan TiO 2. Selain itu pemasangan ini dimaksudkan juga untuk mencegah adanya short oleh larutan elektrolit pada DSSC. Gambar 3.13. Pemasangan keyboard protector untuk mencegah short. 4. Teteskan larutan elektrolit ± 2 tetes diatas lapisan tipis TiO 2 yang telah direndam dalam dye selama 24 jam tersebut. 5. Kaca FTO dengan elektroda kerja dan counter elektroda carbon disusun seperti gambar 3.14. Kaca FTO Conter elektroda carbon Antocyanin dye Kaca FTO Lapisan tipis TiO 2 Gambar 3.14. Struktur DSSC pada penelitian ini. 6. Jepit susunan di atas, untuk kontak pada DSSC dibuat dengan menggunakan penjepit kertas pada tepi elektroda lawan dan elektroda kerja seperti pada gambar 3.15. Sedangkan gambar 3.16 merupakan sistem DSSC pada penelitian ini.

digilib.uns.ac.id 37 Gambar 3.15. Kontak pada DSSC yang dibuat (Heriyanti, 2006) Gambar 3.16. DSSC yang telah difabrikasi dengan dye antocyanin bunga sepatu sebagai sensitizer. 3.3.7. Pengujian Karakteritik I-V dan Efisiensi DSSC 3.3.7.1 Pengujian dengan Rangkaian Pengujian efisiensi DSSC bertujuan untuk mengetahui performa DSSC yang kita buat. Dari uji ini kita dapat melihat seberapa besar energi cahaya yang dapat dikonversikan oleh DSSC menjadi energi listrik. Secara umum pengujian ini adalah sebagai berikut: 1. Hubungkan DSSC yang telah dibuat parallel dengan voltmeter. 2. Hubungkan juga amperemeter dan variabel resistor secara seri, kemudian hubungkan rangkaian antara amperemeter dan resistor tersebut secara parallel dengan DSSC (gambar 3.17). 3. Buat tabel dengan variabel hambatan (R), tegangan (V), dan arus (I). 4. Ukur Voc dengan tanpa memberikan hambatan serta memutus sementara amperemeter dan catat besar tegangannya. 5. Ukur Ioc dengan memutus sementara hubungan ke voltmeter lalu catat arus yang mengalir di amperemeter.

digilib.uns.ac.id 38 6. Hubungkan kembali voltmeter dan ukur nilai tegangan dan arus dengan memvariasi hambatan sebanyak bisa divariasi. Catat setiap arus dan tegangan setiap variasi hambatan dilakukan. 7. Dari data yang diperoleh diplot membentuk kurva I-V dan hitung nilai FF serta efisiensi DSSC dengan persamaan 2.3 dan 2.5. Gambar 3.17.Rangkaian Untuk Pengujian I-V DSSC. 3.3.7.2. Pengujian dengan Keithley Pengujian DSSC dengan Keithley dimaksudkan untuk mendapatkan pengujian efisiensi dari DSSC yang lebih efektif. Terdapat 2 macam kurva karakteristik I-V yang didapat dari pengujian ini, yaitu saat kondisi gelap dan terang. Hal ini akan menunjukkan ada tidaknya sifat fotokonduktivitas DSSC. Pada kondisi terang DSSC disinari dengan lampu dengan intensitas 1746 W/m 2. Pengukuran intensitas cahaya dengan solar power meter TES 1333R. Sedangkan pengukuran I-V dilakukan dengan menggunakan seperangkat Keithley 2602A system source yang ditunjukkan oleh gambar 3.18.

digilib.uns.ac.id 39 Gambar 3.18. Pengujian I-V pada DSSC dengan menggunakan Keithley 2602A system source. Uji I-V pada kondisi gelap ditutup dengan kotak yang dilapisi dengan alumunium foil. Sehingga setelah uji ini didapatkan perbedaan konduktivitas antara uji DSSC pada kondisi terang dan pada kondisi gelap. Dari grafik karakteristik I-V kondisi terang yang didapatkan dapat ditentukan nilai FF maupun efisiensinya dengan persamaan 2.3 dan 2.5.

digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Bubuk TiO 2 dengan XRF Metode XRF digunakan untuk menganalisis unsur logam dalam suatu bahan baik secara kualitatif (identifikasi unsur/senyawa/zat dalam suatu sampel) maupun kuantitatif (penetapan banyaknya jumlah unsur dalam sampel), dimana analisis unsur permukaan dapat mewakili kandungan unsur dalam bahan. Analisis kandungan dan komposisi bubuk TiO 2 menggunakan XRF Bruker AXS S2 Ranger. Alat XRF Bruker AXS S2 Ranger siap digunakan setelah melakukan reset kalibrasi dan quality check. Reset kalibrasi dilakukan untuk mengetahui nilai dari standar copper (Cu) sebesar 8039 ev dan resolusi sebesar 0,49; sedangkan quality check dilakukan untuk mengetahui kondisi detektor sehingga dapat bekerja dengan baik. Pengukuran standar menggunakan tegangan 35 kv dan kuat arus 50 μa. Gambar 4.1. Grafik hasil uji XRF untuk TiO 2 dengan suhu 600 o C. Spectra yang diperlihatkan dari spectrogram XRF yang diperoleh adalah puncak-puncak dari setiap unsur commit yang to terdeteksi user sebagaimana tersaji dalam 40

digilib.uns.ac.id 41 Gambar 4.1, yang merupakan hubungan antara energi unsur (kev) dan intensitas cacahan perdetik (cps/count per second). Bubuk TiO 2 dengan suhu kalsinasi 600 o C hasil sintesa tampak pada line energy sebesar 4,51 kev. Serta memiliki jumlah kandungan TiO 2 sebesar 98,67 wt%, meskipun juga terdapat unsur lain seperti P 2 O 5, SO 3, Cl, K 2 O, CaO, Fe 2 O 3, SnO 2, dan CeO 2 yang besarnya kurang dari 0,5 % (wt) sebagaimana terlihat dalam tabel 4.1. Hal ini disebabkan adanya kandungan debu atau unsur lain yang sampel ketika sampel berada di dalam oven maupun furnace. Tabel 4.1. Kandungan Bubuk TiO 2 Dengan Suhu Kalsinasi 600 C Unsur Komposisi (wt %) P 2 O 5 0,45 SO 3 0,10 Cl 0,20 K 2 O 0,32 CaO 0,09 TiO 2 98,67 Fe 2 O 3 0,01 SnO 2 0,02 CeO 2 0,09 4.2. Analisis Bubuk TiO 2 Dengan XRD Proses aging pada pembuatan bubuk TiO 2, menghasilkan gel yang memiliki bentuk amorf, dimana belum terbentuk struktur kristal, sehingga diperlukan perlakuan panas pada rentang temperatur 400-700 O C untuk membentuk struktur kristal anatase (Menzies, 2005). Bubuk TiO 2 pada suhu kalsinasi 600 o C memiliki jumlah partikel dengan bentuk kristal anatase paling banyak, sehingga bubuk TiO 2 dengan suhu kalsinasi 600 o C baik untuk digunakan dalam pembuatan sel surya (Sila, 2011). Untuk itulah sebelum difabrikasi menjadi sel surya, bubuk TiO 2 hasil sintesis, commit yang to pada user penelitian ini menggunakan suhu

digilib.uns.ac.id 42 kalsinasi 600 C dikarakterisasi dengan metode difraksi sinar-x (XRD) untuk mengamati kristalografinya. Karakterisasi XRD dilakukan dengan menggunakan alat XRD Bruker D8 Advance. XRD Bruker menggunakan radiasi Cu pada tegangan 40 kv, dan arus sebesar 40 ma. Analisis dilakukan dengan membandingkan puncak puncak pada sampel dengan puncak-puncak standar dari JCPDF database. Hasil karakterisasi XRD berupa pola difraksi (difraktogram) yang terdiri dari puncak puncak TiO 2, seperti yang ditunjukan gambar 4.2. Puncak puncak karakteristik TiO 2 yang muncul sangat jelas dan tajam, hal ini menunjukkan bahwa bubuk TiO 2 hasil sintesis memiliki kristalinitas yang cukup baik, dengan orientasi prefer atau puncak tertinggi pada sudut 2θ = 25,2508 yang bersesuaian dengan bidang [101] pada JCPDF no. 21-1272 pada lampiran 2. Puncak karakteristik TiO 2 ini merupakan puncak kristal anatase. Sebagaimana diketahui bahwa fase anatase adalah fase kristal pada TiO 2 yang paling efektif (Septina, 2007). Pola difraktogram yang diperoleh juga dapat digunakan untuk menentukan ukuran partikel kristal TiO 2 berdasarkan FWHM (Full Width at Half Maximum) pada berbagai puncak dengan menggunakan persamaan Scherrer, D= kλ βcosθ (4.1) λ adalah panjang gelombang sinar-x yang digunakan (λcu = 0,15406 nm) ; k adalah konstanta Scherrer = 0,9 ; β adalah puncak dari setengah intensitas/fwhm (Full-Width Half Maximum) ; dan θ adalah sudut difraksi (Cullity,1956). Dari hasil perhitungan diperoleh ukuran partikel dalam kristal TiO 2 sekitar 9,58 nm. Dalam aplikasinya pada sistem sel surya ini, ukuran partikel TiO 2 berukuran nanometer ini dapat menampung jumlah molekul dye lebih banyak karena terdapat pori yang besar. Sebaliknya jika ukuran partikelnya besar (mikrometer), volume pori menjadi lebih kecil sehingga hanya mampu menampung sedikit dye. Berarti dengan jumlah yang besar molekul dye yang teradsorbsi pada permukaan partikel TiO 2 menyebabkan peluang penyerapan foton lebih besar sehingga meningkatkan jumlah elektron terinjeksi ke dalam partikel TiO 2 sehingga dapat meningkatkan commit performa to user dari sel surya.

digilib.uns.ac.id 43 Pada gambar 4.2 juga menunjukkan bubuk TiO 2 hasil sintesis mengandung banyak anatase dan sedikit rutile yang mana keberadaannya ditunjukkan oleh dua puncak yang sangat halus. Dengan fase anatase yang mendominasi, bisa diartikan sistem tidak memiliki derajat keasaman yang tinggi. Derajat keasaman yang tinggi menyebabkan bertambahnya jumlah atom karbon pada pelarut dan mempengaruhi struktur kristal yang cenderung membentuk fase rutile (Luo dalam Septina, 2007). Proses kristalisasi juga dipengaruhi oleh kelembaban terhadap lingkungan selama proses aging, dimana komposisi larutan yang sama namun mengalami proses aging berbeda dapat menghasilkan komposisi fase anatase-rutile yang juga berbeda. Terbentuknya fase bikristal anatase-rutile dikarenakan kelembaban yang relatif rendah sehingga interaksi sistem dengan H 2 O juga rendah, hal tersebut menyebabkan larutan bersifat asam. Intensitas (Counts) A (004) R (101) R (200) A (200) A (105) A (211) A (204) A (116) A (220) A (215) A (101) 20 30 40 50 60 70 80 Sudut 2 Theta (derajat) Gambar 4.2. Pola XRD Bubuk TiO 2. 4.3.Analisis Lapisan TiO 2 dengan SEM Morfologi dan topografi lapis tipis TiO 2 dapat diketahui melalui analisis SEM. Dimana hasil karakterisasi SEM ditunjukkan oleh gambar 4.3. Secara visual lapisan TiO 2 yang dibuat dengan mengunakan metode slip casting sudah homogen

digilib.uns.ac.id 44 namun tidak rata. Hal ini disebabkan proses penghalusan (penggerusan) bubuk TiO 2 hasil sintesa yang kurang maksimal. Penggunaan metode slip casting dalam pendeposisian suspensi TiO 2 pada substrat kaca juga mempengaruhi kurang meratanya hasil yang diperoleh, karena alat yang digunakan untuk meratakan suspensi TiO 2 menggunakan batang pengaduk/spatula kaca berbentuk silinder. Selain itu kekuatan mekanik dari lapisan TiO 2 yang dihasilkan tidak begitu kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan gesekan atau goresan sedikit saja pada kaca FTO maka lapisan akan terlepas dari substrat kaca. Fenomena tersebut dikarenakan karakter pelekatan lapisan TiO 2 yang baru bersifat interaksi fisika pada permukaan kaca. Penyebab lain juga dikemukakan oleh Heriyanti (2006) bahwa viskositas suspensi juga berpengaruh pada kekuatan mekanik lapisan yang dihasilkan. Lapisan dengan viskositas suspensi yang tinggi akan menghasilkan lapisan yang retak retak dan mudah terlepas dari substrat kaca. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk menghasilkan interaksi yang kuat antara lapisan TiO 2 dan kaca TCO. A B 1000 x 5000 x Gambar 4.3. Morfologi permukaan lapisan TiO 2 (A) pada perbesaran 1000 x, (B) pada perbesaran 5000 x. Pada gambar 4.3 (B) dengan perbesaran yang lebih tinggi dapat dilihat bahwa morfologi dari permukaan lapisan TiO 2 berongga rongga. Ukuran dari rerata rongga rongga tersebut adalah 0,62 ± 0,04 μm. Morfologi dari lapisan tipis yang berongga rongga tersebut commit akan to user memperbesar luas permukaan lapisan