BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara. Nama lengkap : SYAH MIRSAH WARLI, SpU

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

HUBUNGAN PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN KEJADIAN BATU KANDUNG KEMIH DI RSUP H ADAM MALIK TAHUN Oleh : MUHAMMAD REYHAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif

ANGKA KEJADIAN LUTS YANG DISEBABKAN OLEH BPH DI RSUP PROF. DR. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

LEMBAR PENJELASAN KUESIONER GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membuat protein, dan mengatur sensitivitas tubuh terhadap hormon

TESIS JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan


BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

BAB I PENDAHULUAN. Proporsi penduduk usia lanjut dewasa yang bertambah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah

Perubahan Kualitas Hidup Penderita Pembesaran Prostat Jinak Pasca-prostatektomi Terbuka

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. merupakan jenis kanker yang paling sering terdiagnosis pada wanita (Dizon et al.,

Kejadian Hernia Inguinalis pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia Periode Januari 2008 Desember 2013 di Rumah Sakit PHC Surabaya

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya.

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. banyak pada wanita dan frekuensi paling sering kedua yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan tugas sebagai seorang dokter, satu hal yang rutin dilakukan adalah menegakkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS

KEJADIAN BATU SALURAN KEMIH PADA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2015 DI RSUP Dr.

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

KAJIAN PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TAMSULOSIN, DUTASTERIDE DAN KOMBINASINYA PADA PASIEN BPH DI RSUD GUNUNG JATI CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem perkemihan merupakan salah satu system yang tidak kalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau hipertrofi dan prostat. Kata kata hipertrofi seringkali menimbulkan

HUBUNGAN ANTARA SKOR IPSS DENGAN QUALITY OF LIFE PADA PASIEN BPH DENGAN LUTS YANG BEROBAT DI POLI BEDAH RSUP PROF. DR. R. D.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dunia. Pada tahun 2012 sekitar 8,2 juta kematian diakibatkan oleh kanker. Kanker

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.H DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA POST OPERASI OPEN PROSTATECTOMY DI RUANG ANGGREK RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penuaan (Madjid dan Suharyanto, 2009). tindakan untuk mengatasi BPH yang paling sering yaitu Transurethral

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT

KARAKTERISTIK PENDERITA TUMOR JINAK DAN GANAS PADA PROSTAT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH.

PENGARUH PROSTATEKTOMI TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA PENDERITA PROSTAT HIPERPLASI. Artikel Karya Ilmiah. Diajukan untuk :

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

Gambar 2.l. Anatomi Saluran Kemih

Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UR (

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian. Apendisitis akut adalah penyebab paling sering dari nyeri abdomen akut yang

PENGEMBANGAN PIRANTI MEDIS PEREKAM LAJU ALIRAN URIN DENGAN GRAFIK KOMPUTER SEBAGAI ALAT BANTU DIAGNOSIS GEJALA BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sepsis terbanyak setelah infeksi saluran nafas (Mangatas, 2004). Sedangkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan

Pola Kuman Dan Sensitivitas Pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia Dengan Infeksi Saluran Kemih Di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006

Survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 pen

SKRIPSI HUBUNGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KEJADIAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK TAHUN 2015 OLEH :

Overactive Bladder. Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Apendisitis akut adalah peradangan/inflamasi dari apendiks vermiformis

BAB I PENDAHULUAN. umum adalah 4-8 %, nodul yang ditemukan pada saat palpasi adalah %,

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. umum disebabkan peningkatan enzim liver. Penyebab yang mendasari fatty liver

BAB I PENDAHULUAN. (ureteritis), jaringan ginjal (pyelonefritis). 1. memiliki nilai kejadian yang tinggi di masyarakat, menurut laporan di

BAB I PENDAHULUAN. macam, mulai dari virus, bakteri, jamur, parasit sampai dengan obat-obatan,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Abstrak. Hubungan Antara Skor IPSS Dengan Kualitas Hidup Penderita LUTS di Beberapa Puskesmas Kota Manado

INKONTINENSIA URIN. Dr. Budi Iman Santoso, SpOG (K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Jakarta

Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan

TESIS. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik.

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan submucosal

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

HUBUNGAN ANTARA PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN GAMBARAN ENDAPAN URIN DI KANDUNG KEMIH PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI SKRIPSI

KORELASI ANTARA KEJADIAN LEUKOSITURIA DAN VOLUME PROSTAT PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI SKRIPSI

REFERAT UROLOGI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN BPH. By Heri Satryawan, S.Ked H1A Supervisor dr. Akhada Maulana, Sp.U

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH merupakan kelainanan adenofibromatoushyperplasia paling sering pada pria walaupun tidak mengancam jiwa namun cukup menggangu aktivitas dan menurunkan kualitas hidup (Gerber,2004; Rosette et al, 2004). Kelainan ini pada proses lama dapat menimbulkan perubahan struktur vesika urinaria maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah (Maruschke et al., 2009).BPH sering ditemukan pada pria yang menapak usia lanjut, sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2003) Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapatnya hiperplasi sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Secara anatomi BPH didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar prostat yang bukan disebabkan oleh kanker pada zona transisional prostat dan atau pada spingter periuretral preprostatik (Maruschke et al, 2009) BPH secara klinis dapat menimbulkan beberapa kondisi yang disebut dengan prostatismus yang mempunyai komponen benign prostat enlargement (BPE), bladder outlet obstruction (BOO) dan lower urinary tract symptoms (LUTS). BPEadalah pembesaran prostat yang disebabkan oleh BPH dan tidak terdapat sel

ganas.boo adalah obstruksi pada bladder outlet yang penyebabnya tidak spesifik sedangkan LUTS adalah gejala-gejala yang mengubah fungsi bladder yang sering terjadi dan mengganggu pasien serta menyebabkan pasien konsultasi pada dokter (Maruschke et al, 2009). BPE, BOO dan LUTS dikatakan sebagai Triad of Prostatic Hyperplasia (Perera et al, 2008 ; Cho et al, 2007). Definisi LUTS berdasarkan pada skor gejala yang secara spesifik didesain untuk menghitung gejala-gejala khusus pada pria dengan prostatisme. Ada beberapa skor yang biasa digunakan namun yang paling umum digunakan adalah International Prostate symptom score (IPSS). IPSS terdiri atas tujuh items yang menanyakan tentang gejala-gejala spesifik yang berkaitan dengan berkemih selama 1 bulan terakhir, skor berkisar antara 0 35. Skor 0-7 diklasifikasikan sebagai bergejala ringan, skor 8-20 sebagai bergejala sedang dan skor 21-35 sebagai bergejala berat.gejala-gejala spesifik dapat dibedakan menjadi storage symptoms (gejala iritatif) dan voiding symptom (gejala obstruktif).storage symptom yang terdiri dari urgency, frequency dan nocturia sedang voiding symptom terdiri atas pancaran urin yang lambat, hesitancy dan postvoid dribbling (Maruschke etal, 2009; Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2003) Seperti telah disebutkan sebelumnya BOO merupakan obstruksi pada bladder outlet tanpa penyebab yang spesifik sedangkan istilah BPO digunakan untuk menjelaskan adanya obstruksi pada bladderoutlet akibat penyebab spesifik yaitu BPH. Obstruksi ini akan menyebabkan perubahan struktur khususnya pada vesika urinaria (Maruschke et al., 2009).

Bladder outlet obstruction (BOO) ditandai dengan adanya peningkatan aktifitas ototdetrusor dan pengurangan kecepatan aliran dan pancaran urin. Pemeriksaan BOO dapat melalui metode non invasif terbagi menjadi 2 kategori, yaitu pengukuran non urodinamik dan urodinamik. Pemeriksaan baku emas untuk menentukan BOO adalah pemeriksaan Pressure Flow study (PFS) yang merupakan pemeriksaan urodinamik. Kekurangan dari pemeriksaan PFSmeliputi bersifat invasif, memerlukan waktu yang lama serta mahal,tidak nyaman dan kemungkinan terdapat komplikasi seperti infeksi saluran kemih, hematuria, kesulitan berkemih (D Ancona et al., 2012; Keqin et al., 2007; Reis et al., 2008; Aganovic et al, 2012). Pemeriksaan urodinamik selain PFS yang sering dilakukan untuk menilai BOO adalah pemeriksaan uroflowmetri. Pemeriksaan uroflowmetri merupakan pemeriksaan yang bersifat non invasif dan penggunaannya lebih sering daripada PFS walaupun pemeriksaan terbaik tetap pada PFS (Ding etal, 1998). Uroflowmetri memiliki sensitivitas 79% dan spesifisitas 35% (95% confident interval) yang dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan rutin BOO akibat BPH (Malik,2010). Namun keberadaan uroflowmetri masih terbatas jumlahnya dan hanya terdapat di rumah sakit besar. Pemeriksaan non urodinamik antara lain post void residual urine (PVR), Prostate Specific Antigen (PSA) dan pengukuran yang diperoleh dari pemeriksaan ultrasonografi seperti volume prostat, ketebalan dinding kandung kemih, berat kandung kemih (bladder weight) dan protrusi prostat (Reis et al., 2008). BOO menyebabkan perubahan struktur dan fungsi otot detrusor. Hipertrofi otot detrusor dapat disebabkan karena kontraksi otot yang berulang terhadap adanya

sfinkter uretra yang tertutup (Cruz et al, 2009). Baru-baru ini telah dilakukan penelitian pemeriksaan non urodinamik yang bersifat non invasif untuk evaluasi terhadadap BOO, yaitu pemeriksaan otot detrusor vesika urinaria/ Detrusor Wall Thickness (DWT) dengan USG Transabdominal. Pengukuran DWT dilaporkan mempunyai akurasi sebesar 89% dalam mendeteksi BOO (Oelke etal,2007; Kuei etal, 2011). Pemeriksaan non urodinamik ini memiliki beberapa keuntungan karena merupakan teknik yang bersifat noninvasif, mudah dilakukan oleh pemeriksa, dapat dikerjakan dalam waktu singkat, dan murah (Valentini et al, 2011). B. Perumusan Masalah 1. BPH merupakan masalah yang sering dihadapi oleh pria yang berusia lanjut karena menimbulkan berbagai komplikasi, komplikasi utama yang paling dikeluhkan adalah Bladder Outlet Obstruction (BOO). Jika komplikasi tidak segera tertangani maka dapat dan bisa menimbulkan komplikasi yang lebih berat mulai dari infeksi, urolithiasis bahkan sampai terjadi gagal ginjal. 2. Pemeriksaan uroflowmetri untuk mendiagnosis BOO yang diakibatkan oleh BPH merupakan pemeriksaan urodinamik. Tidak semua rumah sakit memiliki alat ini, hanya di rumah sakit besar saja yang menyediakan alat ini. Uroflowmetri bersifat non invasif, dalam pelaksanaan pemeriksaannya banyak dipengaruhi kondisi kondisi tertentu misalnya pasien harus dalam kondisi rileks saat pemeriksaan, pasien tidak diperkenankan mengejan saat miksi, dan yang terpenting adalah volume vesika urinaria saat pemeriksaan harus memenuhi syarat tidak kurang dari 150 cc, untuk mengetahui volume vesika urinaria sudah terisi cukup, dilakukan

pemeriksaan USG Transabdominal sebelum pemeriksaan uroflowmetri. Kondisi ini menyebabkan bertambah lamanya waktu pemeriksaan sehingga menyebabkan pasien merasa kurang nyaman. 3. Pemeriksaan tebal otot detrusor vesika urinaria dengan modalitas USG Transabdominal merupakan pemeriksaan non urodinamik yang digunakan untuk untuk menilai adanya obstruksi saluran kemih yang diakibatkan oleh BPH, memiliki keunggulan diantaranya cepat, mudah dikerjakan, aman, murah serta pasien merasa nyaman, namun metode ini belum menjadi prosedur untuk menegakkan diagnosis BOO pada rumah sakit rumah sakit yang ada di Indonesia. C. Pertanyaan Penelitian Berapakah nilai diagnostik pemeriksaan tebal otot detrusor vesika urinaria dalam mendiagnosis Bladder Outlet Obstruction dibandingkan hasil pemeriksaan uroflowmetri pada pasien BPH? D. Keaslian Penelitian Penelitian untuk menilai uji diagnostik antara pemeriksaan tebal otot detrusor vesika urinaria terhadap hasil uroflowmetri pada pasien BPH, menurut sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Beberapa penelitian yang tekait dengan BPH, DWT, dan uroflowmetri yang dijadikan acuan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1.Keaslian penelitian Peneliti (Tahun) Subyek Desain Topik Hasil Oelke, etal (2007) 160 Prospektif Membandigkan kekuratan diagnostik penebalan DWT,, PVR, dan volume prostat dengan pressure flow studies untuk mendeteksi BOO pada laki-laki Mirone et al (2007) 70 Tidak disebutkan Penelitian penebalan otot detrusor terhadap kejadian BOO terkait BPH Tokgöz etal, (2012) 243 prospektif Mengukur nilai diagnostik DWT, PVR, dan volume prostat pada laki-laki dengan LUTS Juwono.R.B.A (2012) 40 Prospektif Menghubungkan pembesa ran prostat jinak pada sono grafi transabdominal de ngan derajat sumbatan leher kandung kemih pada uroflowmetri Pengukuran DWT dapat mendeteksi BOO secara lebih baik dibandingkani, PVR, atau volume prostat BOO sebagai awal proses fisiopatologi utama perubahan struktur dan fungsi vesika urinaria Pengukuran DWT, PVR, volume vesika urinaria dan prostat dengan ultrasonografi merupakan alat yang menjanjikan untuk mendiagnosis LUTS atau BOO pada laki-laki Terdapat hubungan negatif pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan uroflowmetri E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai diagnostik pemeriksaan tebal otot detrusor vesika urinaria untuk menegakkan diagnosis BOO pada penderita BPH F. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pelayan Kesehatan : Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Dokter Radiologi dalam membantu penegakan diagnosis akibat BPH dengan menggunakan modalitas USG dan sebagai alternatif utama diantara modalitas lainnya karena mempunyai keunggulan lebih dibandingkan dengan modalitas lainnya

2. Bagi peneliti : Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti khususnya dalam pemeriksaan ultrasonografi bidang urologi, sehingga peneliti dapat memahami teknik yang benar, parameter pemeriksaan USG, informasi yang diperlukan bagi teman sejawat lain dalam bidang urologi. 3. Bagi pengembangan penelitian : Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar untuk penelitianpenelitian selanjutnya di bidang Urologi dan Radiologi, khususnya pada pemeriksaan imejing ultrasonografi