2.1. Persepsi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Pengertian Persepsi Persepsi merupakan perlakuan yang melibatkan penafsiran melalui proses pemikiran tentang apa yang dilihat, dengar, alami atau dibaca, sehingga persepsi sering mempengaruhi tingkah laku, percakapan serta perasaan seseorang. Persepsi yang positif akan mempengaruhi rasa puas seseorang dalam bentuk sikap dan perilakunya terhadap pelayanan kesehatan, begitu juga sebaliknya persepsi negatif akan ditunjukkan melalui kinerjanya (Tjiptono, 2000). Winardi (2001) mengemukakan persepsi merupakan proses yang bermanfaat sebagai filter dan metode untuk mengorganisasikan stimulus, yang memungkinkan kita menghadapi lingkungan kita. Proses persepsi menyediakan mekanisme melalui stimulus yang diseleksi dan dikelompokkan dalam wujud yang berarti, yang hampir bersifat otomatik dan bekerja dengan cara yang sama pada masing-masing individu, sehingga secara tipikal menghasilkan persepsi-persepsi yang berbeda-beda. Menurut Wudayatun (1999), persepsi adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia yang akan menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar dan merasakan serta meraba (kerja indra) disekitar kita. Defenisi lain persepsi adalah pengamatan yang merupakan hasil penglihatan. pendengaran. penciuman, serta pengalaman masa lalu. Hal ini sangat berpengaruh dalam pembentukan dan perubahan perilaku. Suatu objek yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa orang.
Persepsi atau pandangan adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Bagaimanapun, apa yang telah dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif. Tidak harus demikian, tetapi sering ada ketidaksepakatan. Persepsi menjadi penting dikarenakan perilaku orang-orang di dalam organisasi didasarkan kepada persepsi mereka mengenai apa yang realitas itu, bukan mengenai realitas itu sendiri (Robbins, 2001). Menurut Rakbrnad (1992), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperolch dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun objeknya sama, dengan demikian persepsi juga adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya. Menurut Sears dkk (1999) menyebutkan bahwa persepsi manusia dinominasi dua asumsi yakni (1) Proses pembentukan kesan dianggap agak bersifat mekanis dan cenderung hanya memantulkan sifat manusia yang memberi stimulus (2) Proses itu berada dibawah dominasi perasaan atau evaluasi dan bukan oleh pikran atau kognisi. Pembentukan kesan tersebut secara mekanis memantulkan terkumpulnya informasi dalam pikiran seseorang. Pentingnya persepsi itu semata-mata karena perilaku orang-orang didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa realitas itu, bukan mengenai realitas itu sendiri. Individu-individu mungkin memandang satu benda yang sama mempersepsikan secara berbeda. Sejumlah faktor membentuk dan kadang memutar-balik persepsi. Faktor-faktor ini dapat berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver), dalam
objeknya atau target yang dipersiapkan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan (Robbins, 2001). 2.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Baltus (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Baltus (1983): 1) Kemampuan dan keterbatasan fisik dan alat indera dapat mempengaruhi persepsi untuk sementara waktu atau permanen. 2) Kondisi lingkungan. 3) Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara individu untuk menginterpretasikan atau bereaksi terhadap stimulus tergantung pada pengalaman masa lalunya. 4) Kebutuhan dan keinginan. Ketika seorang individu membutuhkan atau menginginkan sesuatu maka ia akan terus berfokus pada hal yang dibutuhkan dan diinginkan tersebut. 5) Kepercayaan, prasangka dan nilai. Individu akan lebih memperhatikan dan menerima orang lain yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama dengannya. Sedangkan prasangka dapat menimbulkan bias dalam mempersepsi sesuatu. Menurut Prasetijo (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang adalah : 1) Faktor internal i. Pengalaman ii. iii. Kebutuhan saat itu Nilai-nilai yang dianut
iv. pengharapan 2) Faktor eksternal i. Tampakan produk ii. iii. Sifat-sifat stimulus Situasi lingkungan Menurut Gunarsa (1995) dan Charles Abraham dan Eamon Shanley (1997:48) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pernyataan kepuasan pasien adalah latar belakang pasien yang berbeda-beda adalah sebagai berikut: 1. Umur Tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja yaitu usia 15 64 tahun (Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2000: 193).Semuanya memberikan kepribadian yang berbeda-beda terhadap pelayanan kesehatan. 2. Pendidikan Pendidikan dan pengetahuan pasien yang kurang, membutuhkan lebih banyak perhatian khusus. Setiap orang akan memeperhatikan aspek yang berbeda dari objek yang mereka temui, sesuai dengan pengalaman masa lalu, keahlian dan minatnya masing-masing. Pendidikan seseorang mmempengaruhi cara berpikir dalam menghadapi segala sesuatu (Depkes RI. 1990: 103). 3. Pekerjaan Pasien yang mempunyai jenis pekerjaan yang berbeda-beda dan tingkat penghasilan yang berbeda pula. Menurut Green (1970) dalam Lumenta menyimpulkan bahwa masyarakat yang berpenghasilan rendah dan
berpendidikan formal rendah yang menimbulkan sikap masa bodoh dan pengingkaran serta rasa takut yang tidak mendasar. 4. Jenis kelamin Emosi seseorang jelas mempengaruhi persepsi seseorang. Laki-laki cenderung bisa mengendalikan emosinya dibanding dengan wanita (Deddy Mulyana. 2001: 183). 2.1.3 Objek Persepsi Sebagaimana disebutkan bahwa persepsi itu merupakan proses pengamatan, maka hal-hal apa yang diamati dapat dibedakan atas dua bentuk dan disebut sebagai obyek dan persepsi itu. Adapun obyek persepsi adalah sebagai berikut: 1) Manusia termasuk didalamnya kehidupan sosial manusia, nilai-nilai kultural dan lain-lain, dalam hal ini digunakan istilah persepsi interpersonal. 2) Benda-benda mati seperti balok, pohon dan sebagainya. Menurut Setiadi (2003) ada 3 faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu keadaaan stimulus yang diamati, situasi social tempat pengamatan itu terjadi dan karakteristik pengamatan. Beberapa karakteristik pasien yang mempengaruhi persepsi pasien adalah sebagai berikut ; 1. Kelas social, mengacu pada pengelompokan orang yang sama dalam perilaku mereka berdasarkan posisi ekonomi mereka dipasar. Kelompok status bercermin suatu harapan komunitas akan gaya hidup dikalangan masingmasing kelas dan estimasi social yang positif atau negative mengenai kehormatan yang diberikan kepada masing-masing kelas. Kelas social dengan variable ekonomi yaitu pekerjaan, pendapatan, pendidikan, ukuran dan jenis
tempat tinggal, pemilikan barang dan kekayaan, pekerjaan yang dilakukan oleh konsumen/pasien yang sangat mempengaruhin gaya hidup, prestise, kehormatan dan respek. 2. Budaya, bahwa budaya suatu masyarakat bias diidentifikasikan berdasarkan etnis, agama, demografi dan lain-lain. Veriabel demografi menjelaskan karakteristik suatu populasi dan dikelompokkan kedalam karakteristik yangs sama. Variable yang termasuk kedalam demografi adalah etnis, kebangsaan, umur, agama, jenis kelamin, dan lain-lain. 3. Peran ekspektasi pada persepsi, harapan atau ekspektasi adalah keyakinan, kepercayaan, individual sebelumnya mengenai apa yang seharusnya terjadi pada situasi tertentu. 2.2. Defenisi Pasien Pengguna Kartu JAMKESMAS Kata pasien dari analog dengan kata patient dari. Patient diturunkan dari bahasa Latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati yang artinya "menderita". Pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis. Sering kali, pasien menderita penyakit atau cedera dan memerlukan bantuan dokter untuk memulihkannya. JAMKESMAS (Jaminan Kesehatan Masyarakat) adalah program pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin yang sebelumnya disebut Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin). (Depkes RI,2009) Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanankesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Program ini telah berjalan sejak tahun 2005 dengan nama ASKESKIN yang kemudian ditahun 2008 berganti nama menjadi JAMKESMAS. Program
JAMKESMAS telah memasuki tahun kedua dan telah banyak perubahan-perubahan perbaikan yang dilakukan, walaupun belum sempurna tetapi pemerintah berupaya untuk mendekati pengelolaan yang sebaik-baiknya (Depkes RI, 2009). Pada hakekatnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga menghasilkan pelayanan yang optimal. 2.2.1. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Penyelenggaraan Jamkesmas Tujuan Umum : Meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien bagi seluruh peserta JAMKESMAS. Tujuan Khusus 1. Memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan kepada peserta diseluruh jaringan PPK JAMKESMAS. 2. Mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang berstandart bagi peserta, tidak berlebihan sehingga terkendali mutu dan biayanya. 3. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transfaran dan akuntabel 2.2.2. Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL), dilaksanakan pada ruangan perawatan kelas III RS Pemerintah, meliputi : 1. Akomodasi rawat inap pada kelas III
2. Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan penyuluhan kesehatan 3. Penunjang diagnostik: laboratorium klinik, radiologi dan elektromedik 4. Tindakan medis 5. Operasi sedang dan besar 6. Pelayanan rehabilitasi medis 7. Perawatan intensif (ICU,ICCU,PICU,NICU,PACU) 8. Pemberian obat mengacu Formulasi RS program ini 9. Pelayanan Darah 10. Bahan dan alat kesehatan habis pakai 11. Persalinan dengan risiko tinggi dan penyulit (PONEK) 2.2.3. Pelayanan Yang Dibatasi a. Kacamata diberikan pada kasus gangguan refraksi dengan lensa koreksi minimal +1/-1, atau lebih sama dengan +0,50 cylindris karena kelainan cylindris (astigmat sudah mengganggu penglihatannya), dengan nilai maksimal Rp.150.000 berdasarkan resep dokter b. Alat bantu dengar diberi penggantian sesuai resep dokter THT, pemilihan alat bantu dengan berdasarkan harga yang paling efisien sesuai kebutuhan medis pasien dan ketersediaan alat di daerah. c. Alat bantu gerak (tongkat penyangga, kursi roda, dan korset) diberikan berdasarkan resep dokter dan disetujui Komite Medik atau pejabat yang ditunjuk dengan mempertimbangkan alat tersebutmemang dibutuhkan untuk mengrmbalikan fungsi sosial peserta tersebut. Pemilihan alat bantu gerak
didasarkan pada harga dan ketersediaan alat yang paling efisien didaerah tersebut. d. Kacamata, alat bantu dengar dan alat bantu gerak tersebut diatas disediakan oleh RS bekerjasama dengan pihak-pihak lain dan diklaimkan terpisah dari paket INA-DRG. 2.2.4. Pelayanan Yang Tidak Dijamin (Exclusion) a. Pelayanan yang tidak sesuai prosedur dan ketentuan. b. Bahan, alat dan tindakan yang bertujuan untuk kosmetika. c. General Check Up. d. Prothesis Gigi Tiruan. e. Pengobatan alternatif (antara lain : akupuntur, pengobatan tradisional) dan pengobatan lain yang belumterbukti secara ilmiah. f. Rangkaian pemeriksaan, pengobatan dan tindakan dalam upaya mendapat keturunan, termasuk bayi tabung dan pengobatan impotensi. g. Pelayanan kesehatan pada masa tanggap darurat bencana alam. h. Pelayanan kesehatan yang diberikan pada kegiatan bakti sosial. 2.3. Dimensi/Ukuran Kualitas Jasa/Pelayanan Menurut Parasuraman et al.(1990) dimensi tersebut difokuskan menjadi 5 dimensi (ukuran) kualitas jasa/pelayanan, yaitu : 1. Tangible (berwujud); meliputi penampilan fisik dari fasilitas, peralatan,karyawan dan alat-alat komunikasi. 2. Realibility (keandalan); yakni kemampuan untuk melaksanakan jasa yang telah dijanjikan secara konsisten dan dapat diandalkan (akurat).
3. Responsiveness (cepat tanggap); yaitu kemauan untuk membantu pelanggan (konsumen) dan menyediakan jasa/ pelayanan yang cepat dan tepat. 4. Assurance (kepastian); mencakup pengetahuan dan keramah-tamahan para karyawan dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan. 5. Empaty (empati); meliputi pemahaman pemberian perhatian secara individual kepada pelanggan, kemudahan dalam melakukan komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan pelanggan. 2.4. Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan semakin kritisnya masyarakat saat ini terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya dan semakin ketatnya persaingan di era pasar bebas, menuntut banyak hal dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit yang harus dibenahi khususnya kualitas pelayanan (Lestari, 2004). Goesth dan Davis (1994) yang dikutip oleh Tjiptono (2004) menyatakan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Definisi kualitas jasa atau kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan (Tjiptono, 2004). Pohan (2003) menyatakan pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah suatu pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, dalam hal ini akan ditentukan oleh profesi
pelayanan kesehatan dan sekaligus diinginkan baik oleh pasien/konsumen ataupun masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. 2.5.Defenisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dasar. (Siregar,2004). Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar,2004). 2.5.1. Klasifikasi Rumah Sakit Klasifikasi Rumah Sakit Pengelompokan rumah sakit berdasar perbedaan tingkat kemampuan pelayanan kesehatan yang dapat disediakan. Berdasarkan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor : 983. Menkes/SK/1992 tentang pedoman rumah sakit umum menyebutkan bahwa rumah sakit pemerintah pusat dan daerah
diklasifikasikan menjadi rumah sakit umum tipe A, B, C dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan yang dimiliki. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut: a. Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan sub spesialistik luas. b. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis sekurang kurangnya 11 spesialistik dan sub spesialistik terbatas. c. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dasar. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar. 2.5.2. Aspek Mutu Pelayanan Medis Rumah Sakit Aspek mutu pelayanan medis dirumah sakit berkaitan erat dengan masalah medikolegal. Dalam memberikan pelayanan medis yang berkualitas, para tenaga medis diharapkan dapat : a. Memberikan pelayanan medik dengan standar yang tinggi b. Mempunyai sistem dan proses untuk melakukan monitoring dan meningkatkan pelayanan: c. Konsultasi yang melibatkan pasien d. Manajemen resiko klinis e. Audit medis f. Riset dan efektivitas
g. Pengorganisasian dan manajemen staf medis h. Pendidikan, pelatihan dan pengembangan profesi berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD) i. Memanfaatkan informasi tentang pengalaman, proses dan outcome Secara efekif melaksanakan clinical governance yaitu: a. Adanya komitmen untuk mutu b. Meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan pasien secara berkesinambungan c. Memberikan pelayanan dengan pendekatan yang berfokus pada pasien d. Mencegah clinical medical error Dalam memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat, perlu adanya Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang berarti adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah sakit. Indikator-indikator pelayanan rumah sakit yang dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut bersumber dari sensus harian rawat inap : 1. BOR (Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur) BOR menurut Huffman (1994) adalah the ratio of patient service days to inpatient bed count days in a period under consideration. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes
RI, 2005). Rumus : BOR = (Jumlah hari perawatan rumah sakit / (Jumlah tempat tidur X Jumlah hari dalam satu periode)) X 100% 2. AVLOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat) AVLOS menurut Huffman (1994) adalah The average hospitalization stay of inpatient discharged during the period under consideration. AVLOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai AVLOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005). Rumus : AVLOS = Jumlah lama dirawat / Jumlah pasien keluar (hidup + mati) 3. TOI (Turn Over Interval = Tenggang perputaran)toi menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari. Rumus : TOI = ((Jumlah tempat tidur X Periode) Hari perawatan) / Jumlah pasien keluar (hidup + mati) 4. BTO (Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur)bto menurut Huffman (1994) adalah the net effect of changed in occupancy rate and length of stay. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali. Rumus : BTO = Jumlah pasien keluar (hidup + mati) / Jumlah tempat tidur
5. NDR (Net Death Rate)NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit. Rumus : NDR = (Jumlah pasien mati > 48 jam / Jumlah pasien keluar (hidup + mati) ) X 1000 6. GDR (Gross Death Rate)GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar. Rumus : GDR = ( Jumlah pasien mati seluruhnya / Jumlah pasien keluar (hidup + mati)) X 1000 Dalam memberikan pelayanan rawat inap yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, Rumah Sakit menyediakan enam kelas jasa yaitu VIP, Utama I, Utama II, Kelas I, Kelas II, Kelas III. Yang masing-masing kelas mempunyai fasilitas yang berbeda-beda. Sebagai contoh, fasilitas yang ditawarkan tiap kelas pada suatu rumah sakit yaitu: 1. Ruang VIP Fasilitas yang tersedia yaitu tempat tidur pasien (multi fungsi), tempat tidur penunggu, AC split, TV, kulkas, sofa, over table, kursi teras, nurse call, almari pakaian, kamar mandi + kloset duduk, westafel + cermin hias, jemuran handuk kecil, jam dinding. Satu kamar ditempati oleh seorang pasien. Ukuran kamar 4 x 7m. 2. Ruang Utama Fasilitas yang tersedia adalah tempat tidur pasien, TV almari pasien, kursi teras, kursi penunggu, nurse call, kamar mandi, westafel + cermin hias, jam dinding. Satu kamar ditempati oleh seorang pasien. Ukuran kamar 4 x 4 m. fasilitas untuk utama I dan II sama.
3. Kelas I Fasilitas yang disediakan adalah tempat tidur pasien, kamar mandi, kipas angin, meja pasien, almari pasien, nurse call, kursi penunggu. Satu kamar ditempati oleh dua orang. Ukuran kamar 4 x 3m. 4. Kelas II Fasilitas yang tersedia yaitu tempat tidur pasien, kursi penunggu, meja pasien. Satu kamar ditempati 4 orang pasien. Ukuran kamar untuk kelas II adalah 4 x 8 m. 5) 5. Kelas III Fasilitas yang diberikan yaitu tempat tidur pasien, almari pasien, kursi penunggu, meja pasien. Satu kamar ditempati oleh 10 pasien. Ukuran kamar 9 x 8 m. 2.6. Kerangka Konsep Penelitian Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini, dapat dilihat pada skema dibawah ini : Karakteristik Pasien: - Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Penghasilan perbulan - Lama dirawat Persepsi Pasien Kualitas Pelayanan: - Tangible/ berwujud - Realibility/ keandalan - Responsiveness/ cepat Tanggap - Assurance/ kepastian - Empaty /empati 2.7. Hipotesis Penelitian Ha = Ada hubungan karakteristik pasien pengguna kartu Jamkesmas terhadap persepsi pasien tentang kualitas pelayanan kesehatan di RSUD Sidikalang Tahun 2010.