BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB V PENGOLAHAN DATA

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

SKRIPSI DWI RACHMAWATI NIM :

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL...

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN

Bab IV Sistem Panas Bumi

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM

BAB II TATANAN GEOLOGI

I. ALTERASI HIDROTERMAL

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

STUDI ALTERASI, MINERALISASI, DAN GEOKIMIA UNTUK PROSPEKSI EMAS DI DAERAH TIGA DESA, BENGKAYANG, KALIMANTAN BARAT

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI )

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT

KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH

HALAMAN PENGESAHAN...

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR

GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR.

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum

A B C D E A B C D E. A B C D E A B C D E // - Nikol X Nikol mm P mm

EKEPLORASI UMUM BESI PRIMER DI KECAMATAN RAO, KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi,

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

INVENTARISASI DAN EVALUASI MINERAL LOGAM DI DAERAH KABUPATEN SOLOK DAN KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Ciri Litologi

PROVINSI SULAWESI UTARA

Bab I : Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Mineralogi Dan Geokimia Endapan Emas Epitermal Di Paningkaban, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

KETERDAPATAN BAHAN GALIAN GALENA DI DAERAH CIGEMBLONG, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

BAB I PENDAHULUAN. administratif termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

GEOLOGI DAN STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PROSPEKSI AIR BUNGINAN, KECAMATAN AIR MURING, KABUPATEN KETAUN, BENGKULU

PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

3.8 Tipe Urat pada Endapan Porfiri... 25

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI

termineralisasi dan tanah, akan tetapi tidak semua unsur dibahas dalam makalah ini karena tidak menunjukkan hasil yang signifikan.

MINERALISASI LEAD-ZINC Daerah Riamkusik, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat

ENDAPAN MINERAL. Panduan Kuliah dan Praktikum. Sutarto Hartosuwarno Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian Teknik Geologi

Oleh : Franklin S A R I

Transkripsi:

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI 6.1 Alterasi dan Fluida Hidrotermal Zona alterasi (Gambar 6.3) yang ditemukan pada Sumur BWS-H01 terdiri empat zona alterasi yaitu zona argilik (kaolinit, dikit, kuarsa sekunder, illit, monmorilonit), zona filik (serisit, kalsit, kuarsa sekunder), zona propilitik ( klorit, kalsit, epidot dan kuarsa sekunder) dan zona silifikasi (kuarsa sekunder). Setiap zona alterasi memiliki kondisi pembentukan yang berbeda temperatur, ph yang tentunya berhubungan dengan karakteristik fluida hidrotermal. Pada pengamatan petrografi, teramati adanya hubungan potong memotong antar mineralmineral ubahan. Hal ini, menandakan adanya perubahan dari kondisi baik temperatur, ph, dan fluida, sehingga didapatkan kumpulan mineral yang berbeda sebagai perubahan zona alterasi. Zona yang terbentuk pertama kali adalah zona filik yang terdiri dari zona kumpulan berupa serisit, klorit, kalsit. Tahapan ini memiliki kisaran temperatur kestabilan mineral ubahan 290-300 o C dan ph 4-5. Gambar 6.1 Sayatan kedalaman 322 m memperlihatkan mineral ubahan berupa serisit dan kuarsa sekunder yang terubah oleh epidot dan klorit. Ep:epidot; Ser: serisit; Chl: klorit; qtz: kuarsa. 48

Tahapan selanjutnya yang terjadi adalah zona propilitik yang terdiri dari mineral kumpulan klorit, kalsit, dan epidot. Pada zona filik dan propilitik terdapat overprinted antara serisit dengan klorit dan epidot (Gambar 6.1). Zona ini terdapat pada temperatur kestabilan temperatur 200-300 o C dengan ph yang lebih netral 5-7. Hal ini disebabkan oleh adanya struktur berupa gouge dan breksi sesar yang memungkinkan adanya pengaruh fluida meteorik. Tahapan alterasi yang terakhir berupa zona argilik yang terdapat pada bagian atas dari kedua sumur baik BWS-H01 dan MJEI S1 yang terdiri dari kumpulan mineral berupa kaolinit (nakrit), kuarsa, dan dikit dengan kisaran temperatur 150-175 o C dengan ph menjadi 3-4. Pada zona propilitik dan argilik terdapat overprinted atara kalsit dan mineral lempung (Gambar 6.2). Cc Min lp Cc Min lp qtz 1 mm 1 mm Gambar 6.2 Sayatan kedalaman 282,45 m memperlihatkan urat kalsit (propilitik) terpotong oleh urat yang terisi oleh mineral lempung dan kuarsa sekunder (argilik). (Cc: kalsit, Min lp: mineral lempung, dan qtz: kuarsa) Alterasi hidrotermal memerlukan tiga unsur utama dalam pembentukannya yaitu berupa sumber panas, fluida hidrotermal, dan permeabilitas. Sumber panas pada daerah penelitian kemungkinan berasal dari intrusi diorit yang berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal yang tersingkap disebelah tenggara dan utara peta geologi regional lembar Blitar. Sumber panas ini akan berhubungan dengan pembentukan dari fluida hidrotermal. Fluida hidrotermal yang bergerak ke atas akan beinteraksi dengan batuan samping dan mengalami kesetimbangan (equilibrium) sehingga kondisi fluida menjadi tereduksi dan memiliki ph yang mendekati netral 49

(Giggenbach, 1992; dalam Hedenquist dan white, 1995). Dalam suatu pembentukan mineral alterasi pada suatu sistem hidrotermal, yaitu temperatur, kimia dari fluida, konsentrasi dari fluida, komposisi batuan samping, derajat kesetimbangan atau lamanya aktifitas dari fluida dan permeabilitas. Hal ini akan memperngaruhi intensitas alterasi pada suatu batuan. Pada batugamping wackestone foraminifera planktonik intensitas alterasi yang terjadi rendah berkisar 25-35%, kemungkinan komposisi dari batuan kurang mendukung untuk terjadi alterasi. Gambar 6.3 Paragenesis alterasi sumur BWS-H01. 6.2 Mineralisasi Mineralisasi adalah suatu proses introduksi atau masuknya mineral ke dalam batuan yang kemudian membentuk mineral bijih dan mineral penyertanya (gangue) sehingga terbentuk 50

endapan mineral (Gary dkk., 1972). Hal-hal pokok yang mempengaruhi pembentukan mineral hasil dari proses mineralisasi yaitu: adanya larutan hidrotermal sebagai pembawa mineral, adanya celah batuan sebagai jalan bagi lewatnya larutan hidrotermal, adanya tempat bagi pengendapan mineral, terjadinya reaksi kimia yang dapat menyebabkan terbentuknya pengendapan mineral, dan konsentrasi larutan yang cukup tinggi bagi terendapkannya kandungan mineral. Pirit ditemukan dominan pada sumur BWS-H01 dalam urat dan tersebar di masa batuan. Kenampakan secara mikroskopik pirit berbentuk euhedral- anhedral. Umumnya pirit muncul sebagai aggregat ditemukan dalam urat dan dengan bentukan yang anhedral, sedangkan pirit yang muncul dengan bentuk euhedral-subhedral ditemukan di masa batuan. Kalkopirit ditemukan sangat jarang pada sumur BWS-H01. Pada kedalaman antara 250m- 451 m. Kalkopirit yang temukan dalam sayatan poles mengisi urat kuarsa menggantikan pirit, selain itu, juga hadir menyebar dalam masa batuan. Kalkopirit juga telah mengalami penggantian oleh kovelit. Magnetit yang ditemukan hanya beberapa buah dengan kelimpahan minim,tersebar dimasa batuan, kemungkinan magnetit tersebut bukan berasal dari proses mineralisasi, melainkan hadir sebagai aksesoris dalam batuan beku. Gambar 6.4 Pembentukan rekahan pada sistem konvergensi ortogonal (Corbett dan Leach, 1997). 51

Urat adalah retakan yang terisi mineral (kuarsa, logam berharga, logam dasar dan sebagainya) yang berasal dari pengendapan cairan magma sisa dengan tekanan dan suhu tinggi masuk melalui retakan pada batuan (Davis dan Reynolds, 1996). Urat merupakan rekahan yang berhubungan dengan sistem tarikan. Sistem struktur yang berkembang di daerah penelitian berupa sistem pure shear (Gambar 6.4). Pergerakan pada rekahan-rekahan selama kompresi ortogonal dapat menghasilkan pembentukan urat-urat (tension gash) yang sejajar dalam skala mikro pada batuan samping brittle (Corbett dan Leach, 1997) yang kemungkinan berhubungan dengan proses mineralisasi. Kemungkinan urat-urat yang ditemukan pada Sumur BWS-H01 berhubungan dengan sesar geser yang berarah utara-selatan pada daerah penelitian. Pada penelitian didaerah penelitian urat juga ditemukan dengan arah dominan utara-selatan (JICA, 2004 dan Permana, 2011). Pada sumur BWS H-01 ditemukan urat-urat kuarsa yang terisi oleh mineral pirit dan kalkopirit dengan sumbu 30-45 o. Urat yang ditemukan dalam Sumur BWS-H1 bertekstur massive dan sugary dan kenampakan tekstur mineral bijih secara mikroskopis berupa penggantian dan openspace filing. Tekstur Sugary (Gambar 6.5) merupakan indikasi adanya pengulangan episode pendidihan yang biasa terbentuk di bagian dimana terjadi pencampuran air tanah dengan fluida hidrotermal pada suatu sistem epitermal. Gambar 6.5 Urat kalsit memperlihatkan tekstur sugary pada kedalaman 338 m. Mineralisasi yang terdapat dalam sumur BWS H01, sangat rendah hal ini tampak dari kehadiran mineral bijih yang sedikit dan hasil analisis geokimia dalam penentuan harga ambang sangat rendah (Lampiran D). Hal ini, kemungkinan mineral bijih terendapkan dibagian yang 52

lebih dalam dari 451 m. Dari analisis geokimia unsur, asosiasi unsur berupa Cu, Pb, Zn, Ag, Au, Sb, dan As. Harga ambang Au 9,21 ppb, Cu 37,15 ppm, Pb 75,61 ppm, Zn 72,02 ppm, Ag 3,86 ppm, As 9,02 ppm, dan Sb 2,01 ppm. Dari harga ambang unsur tersebut kurang ekonomis untuk ditambang. Hasil sumur pemboran sebelumnya yaitu sumur MJEI-S1 yang berjarak 285 m ke arah selatan sumur BWS-H01 ditemukan mineral bijih berupa pirit, kalkopirit, molydenit, magnetit, sphalerit (JICA, 2004). Mineral sfalerit hadir menggantikan pirit. Molybdenit dalam bentuk urat ditemukan pada kedalaman 368 m, sedangkan magnetit ditemukan bentuk urat pada kedalaman 350 dan 370 m dengan asosiasi mineral sekunder klorit dan epidot. Hal ini mengindikasikan pada sumur MJEI-S1 pada kedalaman yang lebih dalam sekitar 400,5 m terdapat indikasi sistem hidrotermal porfiri. 6.3 Tipe Mineralisasi Tipe mineralisasi yang terdapat di Sumur BWS-H01 erat kaitan dengan sistem hidrotermal. Setelah dilakukan pengolahan data mulai dari pengamatan megakopis, alterasi hidrotermal, geokimia, mineral bijih dan inklusi fluida maka diketahui sistem mineralisasi hidrotermal yang bekerja pada daerah penelitian Pada sumur BWS-H1 lebih memiliki kecenderungan sistem hidrotermal epitermal sulfida rendah (Tabel 6.1), sedangkan sumur MJEI- S1 memiliki kecenderungan sistem hidrotermal epitermal sulfida rendah dengan kecenderungan adanya sistem hidrotermal porfiri pada kedalaman yang lebih dalam. Sistem epitermal sulfida rendah merupakan sistem yang pembentukannya terjadi pada kondisi reduksi dimana mineral-mineral diendapkan pada lingkungan reduksi akibat dari interaksi air meteorik dengan batuan samping sehingga ph larutan mendekati netral. Pada kondisi ini, sulfur berada dominan dalam senyawa H 2 S yang memiliki bilangan oksida 2 - yang merupakan bilangan oksida terendah dari sulfur sehingga disebut sebagai sistem epitermal sulfida rendah. 53

Tabel 6.1 Perbandingan ciri-ciri mineralisasi yang terdapat pada sumur BWS-H01 dengan ciri-ciri epitermal sulfida rendah dan sulfida tinggi. Tipe Epitermal Sulfida Rendah (Hedenquist dan White, 1995) Sulfida Tinggi (Hedenquist dan White, 1995) Sumur BWS H01 Fluida hidrotermal didominasi air meteorik, didominasi air magmatik namun ada interaksi dengan ph asam air magmatik kondisi oksidasi ph mendekati netral kondisi reduksi didominasi air meteorik ph mendekati netral kondisi reduksi Mineral ubahan Kuarsa, kalsedon, kalsit, adularia, illit, karbonat Kuarsa, alunit, kaolinit, pirofilit, diaspor - Kuarsa, kaolinit,dikit, illit, montmorilonit (Argilik) - Klorit, kalsit, epidot, adularia, (Propilitik) - Serisit, kuarsa, kalsit - Alunit, diaspor (PIMA) Mineralisasi Open-space veins dan cavity filling dominan Menyebar (disseminated) dan penggantian (replacement) Disseminated dan penggantian, Open space vein Tekstur Comb, crustiform, banded vein Vuggy kuarsa massive kuarsa dan kalsit sugary kalsit Mineral bijih Pirit, sfalerit, galena, electrum, emas, arsenopirit Pirit, enargit, luzonit, kalkopirit Pirit, kalkopirit dan kovelit Galena dan Sfalerit (JICA, 2004 pada permukaan) Temperatur pembentukaan 100 o C - 320 o C 100 o C - 320 o C 100oC-226 o C 0.5-1.7 Wt%NaCl Asosiasi unsur Au + Ag, Pb, Zn, Cu, As, Te, Hg, Sb Au + Cu, As, Te Au,Ag, Pb, Zn, Cu, As, Sb 54

6.4 Analisis Mineral Ubahan dengan Analisis Petrografi dan PIMA Pada analisis PIMA klorit terindetifikasi dua jenis berupa intermediet klorit dan Fe-klorit. Intermediet klorit memiliki panjang gelombang berkisar pada 2340 nm. Pada intermediet klorit kandungan Fe dan Mg relatif seimbang. Warna biasrangkap pada sayatan tipis menunjukkan orde satu dengan warna kehitaman. Fe klorit memiliki panjang gelombang berkisar pada 2350 nm. Fe-klorit memiliki warna biasrangkap yang orde satu lebih kecoklatan. Gambar 6.6. Grafik pembacaan panjang gelombang PIMA. Pada PIMA terindetifikasi muskovit dan phengit dengan komposisi kimia Al(OH) -1 yang terdeteksi pada panjang gelombang inframerah sekitar 2200 nm (Gambar 6.6). Muskovit dan phengit yang terdeteksi pada PIMA kemungkinan merupakan serisit. Hal ini dikarenakan ketiganya masih berada pada satu varietas mika. Hal ini juga kemungkinan terjadi pada grup karbonat yaitu pada ankerit kemungkinan berupa kalsit. Alunit (244 m) dan diaspor (289,2m) terdeteksi oleh PIMA, tetapi pada pengamatan petrografi tidak ditemukan. Hal ini, terjadi kemungkinan akibat mineral alunit dan diaspor memiliki bentuk berupa aggregat halus dan hanya terkumpul pada bagian suatu bagian dari masa batuan. Pada penelitian geologi permukaan Daerah Sumberboto, ditemukan adanya alunit dan diaspor (Permana, 2011). Kedua mineral tersebut merupakan mineral yang terbentuk pada ph 55

kondisi asam dan temperatur tinggi. Kemungkinan ada transisi ke sistem epitermal sulfida tinggi, tetapi penulis tidak mendapatkan hubungan paragenesa dua mineral tersebut, sehingga sulit untuk menentukan hubungan paragenesa antara sistem epitermal sulfida rendah dan tinggi. Halloysit yang teridentifikasi PIMA kemungkinan berasal dari proses pelapukan dan hanya ditemukan pada bagian atas dari permukaan. 56