BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Paimin dkk, 2012). Dengan pengertian DAS tersebut, maka upaya pengelolaan DAS ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya alam baik vegetasi, tanah dan air dalam suatu DAS sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Untuk terwujudnya tujuan tersebut maka upaya pengelolaan DAS harus melibatkan banyak pihak atau pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan kepentingan dan tujuannya masingmasing. Oleh karena itu, tujuan pengelolaan DAS dapat terwujud salah satunya dengan memperhatikan kepentingan banyak pihak atau para pemangku kepentingan (stakeholders) tersebut. Para pemangku kepentingan (stakeholders) adalah pihak-pihak terkait yang terdiri dari unsur pemerintah dan bukan pemerintah yang berkepentingan dan patut diperhitungkan dalam upaya pengelolaan DAS. Pihak-pihak terkait terdiri dari unsur pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha/swasta, akademisi dan tentunya masyarakat sendiri. Pihak pihak tersebut bersifat lintas sektor/instansi terkait, lintas wilayah administrasi pemerintahan (sesuai kondisi DAS) dan lintas disiplin ilmu. Untuk itu, dalam upaya pengelolaan DAS diperlukan keterpaduan berbagai sektor dari daerah hulu sampai hilir dengan 1
mempertimbangkan berbagai kepentingan, kondisi biofisik dan sosial ekonomi yang ada dalam DAS. Prinsip keterpaduan menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.60/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, bahwa pengelolaan DAS dilaksanakan secara terpadu sebagai satu kesatuan ekosistem, satu rencana dan satu sistem pengelolaan. Pengelolaan DAS terpadu merupakan rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas para pemangku kepentingan (stakeholders) secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS. Keterpaduan tersebut mengandung pengertian terbinanya keserasian, keselarasan, keseimbangan dan koordinasi yang berdaya guna dan berhasil guna (Paimin dkk, 2012). Keterpaduan pengelolaan DAS memerlukan partisipasi yang setara dan kesepakatan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam segala hal mulai dari penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian hasil-hasilnya. Dalam satu wilayah DAS akan terdapat banyak pemangku kepentingan (stakeholders) dengan masing-masing kepentingan, kewenangan, bidang tugas dan tanggung jawab yang berbeda dan terkadang sulit dikoordinasikan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pengelolaan DAS terpadu menuntut adanya kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap pihak melalui koordinasi antar pemangku kepentingan (stakeholders). Oleh karena itu, pentingnya mengembangkan koordinasi berdasarkan pada hubungan fungsi melalui pendekatan keterpaduan dengan mengembangkan prinsip saling 2
mempercayai, keterbukaan, tanggung jawab, dan saling membutuhkan di antara pemangku kepentingan (stakeholders). Namun koordinasi antar pemangku kepentingan (stakeholders) tersebut bukan hal mudah untuk diwujudkan. Pertama, berkaitan dengan batas wilayah DAS yang jarang sekali, bahkan tidak mungkin, berhimpitan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian salah satu permasalahan yang melekat dalam upaya pengelolaan DAS saat ini adalah adanya kerangka desentralisasi dan otonomi daerah yang memungkinkan masing-masing wilayah administrasi melakukan pengelolaan sesuai wilayahnya masing-masing. Hal itu menyebabkan munculnya ego setiap pemerintah daerah yang merasa hanya bertanggungjawab pada wilayah administrasinya sendiri, padahal pengelolaan DAS bisa meliputi satu kabupaten/kota atau lebih, bahkan bisa meliputi lebih dari satu provinsi. Kedua, pada era otonomi daerah laju kerusakan DAS cenderung meningkat dimana masing-masing kabupaten/kota/provinsi memacu daerahnya untuk dapat memenuhi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada di wilayahnya dan cenderung kurang memperhatikan aspek ekologi/lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS tidak mungkin dilakukan secara sektoral parsial oleh masing-masing pemerintah daerah yang berada dalam suatu wilayah DAS (Paimin dkk, 2012). Ketiga, terkait dengan fungsi kawasan dalam wilayah DAS bisa terdiri dari kawasan hutan, kawasan lindung, kawasan budidaya/pertanian dan perkebunan, kawasan perairan, kawasan pemukiman dan kawasan lainnya. Sering terjadi keberadaan sumberdaya alam yang berbeda menempati wilayah atau bentang 3
alam yang sama, misalnya deposit bahan tambang dan mineral di dalam kawasan hutan. Hal ini membawa konsekuensi terjadinya tumpang-tindih kepentingan dan kewenangan pengaturan pengelolaan sumberdaya alam oleh instansi yang berbeda. Serta memungkinkan terjadinya benturan kewenangan dan kepentingan, saling lempar tanggungjawab jika terjadi kasus-kasus kerusakan lingkungan dikarenakan tumpang-tindih tugas masing-masing instansi terkait. Sebagai akibat dari adanya ego masing-masing instansi tersebut maka pendekatan pengelolaan DAS yang dilakukannyapun berbeda-beda menurut kepentingan instansi yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya di DAS yang sama oleh berbagai instansi yang berbeda memerlukan koordinasi pengelolaan sumberdaya tersebut (Permenhut Nomor 42/Menhut-II/2009). Keempat, terkait dengan berbagai konflik pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya alam DAS yang disebabkan karena belum adanya perangkat hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya DAS. Selain itu, konflik pemanfaatan sumberdaya seringkali terkait dengan belum berjalannya keterpaduan antar pemangku kepentingan (stakeholders) dalam kegiatan penyelenggaraan pengelolaan DAS yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi DAS. Oleh karena itu, dalam pengelolaan DAS memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS serta diperlukan perencanaan yang komprehensif dan mengakomodir berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam suatu DAS. 4
1.2 Rumusan Masalah DAS Garang merupakan daerah penyangga kawasan yang meliputi 3 (tiga) wilayah administrasi pemerintahan, yaitu : Kota Semarang yang berada di wilayah hilir DAS Garang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang yang berada di wilayah hulu DAS Garang. Peta wilayah administrasi DAS Garang dapat dilihat pada Gambar.1 berikut : Sumber : BP DAS Pemali Jratun, 2012 Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi DAS Garang 5
Sumber : BP DAS Pemali Jratun, 2012 Gambar 2. Peta Batas Sub DAS DAS Garang DAS Garang yang terletak di Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu DAS kritis dan menjadi prioritas untuk segera ditangani. Penetapan DAS Garang menjadi salah satu DAS prioritas tersebut didukung dengan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029. Selain itu, DAS Garang merupakan daerah tangkapan air (catchment) yang utuh serta mempunyai keragaman fungsi kawasan, penggunaan lahan dan teknik konservasi. Di wilayah DAS Garang mengalir sungai Garang yang memberi manfaat bagi masyarakat di sekitarnya untuk pengairan sawah, industri serta keperluan pembuatan air minum dalam kemasan yang terdapat di hulu DAS Garang. Kondisi sungai Garang merupakan indikator utama dari kesehatan kondisi DAS Garang, baik dari sisi kualitas, kuantitas dan kontinuitas pasokan air yang 6
dihasilkan. Di bagian hilir, sungai Garang menyumbang pasokan air sebagai bahan baku air bersih terbesar (37,2%) dari seluruh produksi air PDAM Tirto Moedal Kota Semarang. Perkembangan kualitas air sungai Garang cenderung menurun dengan salah satu indikatornya adalah semakin meningkatnya tingkat kekeruhan yang akan memengaruhi pada proses produksi air bersih. Tingginya tingkat kekeruhan tersebut disebabkan tidak optimalnya tutupan lahan untuk menahan laju aliran air hujan (Garang Watershed Leadership Program, 2012). Kondisi tutupan lahan DAS Garang dapat dilihat pada Gambar 3. berikut : Sumber : BP DAS Pemali Jratun, 2012 Gambar 3. Peta Tutupan Lahan DAS Garang Kerusakan DAS Garang dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, kurang keterpaduan antar instansi terkait dan antar wilayah hulu-tengah- 7
hilir. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan DAS Garang adalah penggunaan lahan yang kurang sesuai dengan kondisi lahan terutama untuk kegiatan pertanian, pertambangan dan permukiman. Simon (2010) menyatakan bahwa hutan bukan satu-satunya bentuk pengelolaan lahan. Bentuk pengelolaan lahan bisa berupa pertanian, peternakan, pemukiman, dan perkebunan. Berbagai bentuk pengelolaan lahan tersebut sangat dimungkinkan terjadi persaingan. Begitu juga yang terjadi dalam pengelolaan DAS Garang, di wilayah hulu terdapat penggunaan lahan yang kurang sesuai untuk kegiatan pertanian yaitu adanya penanaman sayuran atau tanaman semusim lain pada kelerengan > 40%, serta adanya penambangan galian C (pasir, batu, tanah) yang dapat merusak lingkungan karena berakibat daya serap air berkurang. Selain itu terdapat perubahan fungsi dari daerah resapan (kantong air) menjadi perumahan di wilayah hilir DAS Garang (BP DAS Pemali Jratun, 2008). Pengelolaan DAS Garang kurang memperhatikan aspek-aspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan tersebut. Adapun perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumberdaya alam berupa penambangan dan eksploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis dan kemampuan DAS Garang. Secara sederhana gambaran permasalahan di DAS Garang sesuai dengan hasil penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Garang dapat digambarkan sebagai berikut : 8
Alih Fungsi Lahan Sedimentasi dan Kualitas Air Banjir, Erosi dan Longsor Kondisi DAS Garang kurang berfungsi optimal Meningkatnya degradasi lahan dan sumberdaya air Rendahnya tingkat kesejahteraan petani Kurangnya perangkat lunak berupa regulasi/peraturan perundangan Tingkat Bahaya Erosi tinggi berakibat berkembangnya lahan kritis baru Eksploitasi sumberdaya air dan lahan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan Adanya alih fungsi lahan yang tidak sesuai peruntukannya Rendahnya produktivitas lahan pertanian Rendahnya kualitas sumberdaya manusia Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha di pedesaan Kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga lokal Belum adanya lembaga independen yang mengurusi DAS Adanya konflik kepentingan antara stakeholder Sumber : Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Garang, 2012 Gambar 4. Permasalahan DAS Garang sesuai dengan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Garang 9
Dalam rangka mengatasi permasalahan DAS Garang dan meningkatkan kinerja pengelolaan DAS Garang diperlukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergitas antar pemangku kepentingan (stakeholders). Namun, hal tersebut tidak mudah untuk diwujudkan terkait dengan berbagai kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS terpadu DAS Garang. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian terhadap aspek kelembagaan dalam pengelolaan DAS terpadu DAS Garang melalui penelitian ini. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana keragaman kepentingan dalam pengelolaan DAS terpadu DAS Garang? 2. Bagaimana saling ketergantungan kepentingan antar pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan DAS terpadu DAS Garang? 3. Bagaimana strategi dalam perencanaan pengelolaan DAS terpadu DAS Garang dengan menggunakan pendekatan kolaboratif? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui keragaman kepentingan dalam pengelolaan DAS terpadu DAS Garang. 2. Mengetahui saling ketergantungan kepentingan antar pemangku kepentingan (stakeholders) pengelolaan DAS terpadu DAS Garang. 3. Merumuskan suatu strategi dalam perencanaan pengelolaan DAS terpadu DAS Garang dengan menggunakan pendekatan kolaboratif. 10
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terbagi dua, yaitu manfaat akademis dan praktis: Manfaat akademis, yaitu penelitian ini dapat menjadi acuan pengembangan ilmu pengetahuan, pelestarian lingkungan dan pengelolaan DAS pada umumnya. Manfaat praktis, yaitu dapat dijadikan masukan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam rangka perencanaan pengelolaan DAS terpadu. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian yang terkait dengan pengelolaan DAS Garang telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah : 1. Penelitian yang menekankan pada permasalahan pola tata guna lahan di DAS Garang yaitu : Perencanaan Pengelolaan Kawasan Resapan Air Menggunakan Teknologi SIG (Studi Kasus di DAS Garang, Semarang) oleh A. Susetyo Edi Prabowo (2001). 2. Penelitian yang mengangkat permasalahan sedimentasi yang terjadi di DAS Garang, yaitu : a. Kajian Sedimentasi di Sungai Kaligarang dalam Upaya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kaligarang-Semarang oleh Sucipto (2008). b. Penerapan Metode MUSLE dalam Memprediksi Hasil Sedimen di Sub DAS Garang Hulu Provinsi Jawa Tengah oleh Yunianto Tri Wijayanto (2012). 11
3. Penelitian mengenai mutu kualitas air di DAS Garang, yaitu: Kajian Pengelolaan DAS Garang Untuk Memenuhi Kualitas Air Sesuai dengan Peruntukannya oleh Bekti Marlena (2012). 4. Penelitian yang mengangkat permasalahan kelembagan DAS Garang, yaitu : Kajian Keterpaduan Lembaga dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang Provinsi Jawa Tengah oleh Muhammad Fatahillah (2012). Penelitian yang mengangkat permasalahan kelembagaan di DAS Garang sampai saat ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji aspek kelembagaan pengelolaan DAS melalui analisis keragaman kepentingan dan saling ketergantungan kepentingan dalam rangka merumuskan strategi yang tepat dalam perencanaan pengelolaan DAS terpadu DAS Garang. Beberapa penelitian pendukung mengenai kelembagaan pengelolaan DAS antara lain: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis DAS Bila (Andi Nuddin, 2007), Analisis Pemangku Kepentingan dalam Upaya Pemulihan Ekosistem Daerah Tangkapan Air Danau Toba (Letti Sundawati dan Sanudin, 2008) dan Pendekatan Kolaboratif dalam Pengelolaan DAS Citarum (Sam un Jaja Raharja, 2010) dan penelitian-penelitian lainnya. Penelitian terkait dengan pengelolaan DAS Garang terangkum pada Tabel 1.1 berikut ini : 12
Tabel 1.1 Penelitian Terkait Pengelolaan DAS Garang No. Judul Penelitian Penulis Jenis Karya Ilmiah/Tahun Metode 1. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Resapan Air Menggunakan Teknologi SIG (Studi Kasus di DAS Garang, Semarang) A. Susetyo Edi Prabowo Tesis/2001 Analisis terhadap pola tata guna lahan di DAS Garang 2. Kajian Sedimentasi di Sungai Kaligarang dalam Upaya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kaligarang- Semarang 3. Penerapan Metode MUSLE dalam Memprediksi Hasil Sedimen di Sub DAS Garang Hulu Provinsi Jawa Tengah 4. Kajian Pengelolaan DAS Garang Untuk Memenuhi Kualitas Air Sesuai dengan Peruntukannya Sucipto Tesis/2008 Analisis erosi yang terjadi di sungai Kaligarang. Yunianto Tri Wijayanto Tesis/2012 Analisis sedimen (sediment yield) Sub DAS Garang Hulu. Bekti Marlena Tesis /2012 Analisis mutu kualitas air sungai Garang. 5. Kajian Keterpaduan Lembaga dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang Provinsi Jawa Tengah Muhammad Fatahillah Tesis/2012 Analisis tingkat keterpaduan dalam pengelolaan DAS Garang. 13