BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi"

Transkripsi

1 BAB 5 PENUTUP Bab penutup ini akan memaparkan temuan-temuan studi yang selanjutnya akan ditarik kesimpulan dan dijadikan masukan dalam pemberian rekomendasi penataan ruang kawasan lindung dan resapan air di DAS. Beberapa kelemahan studi juga dibahas dalam bab ini dan kemudian diberikan saran untuk studi lanjutan. Saran untuk studi lanjutan diharapkan dapat memperbaiki dan melengkapi studi ini. 5.1 Temuan Studi Setelah melakukan penelitian ini, maka diperoleh temuan-temuan studi sebagai berikut: Penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu menurut RTRW terdiri dari kawasan hutan produksi (38,85%), perkebunan (22,37%), permukiman (18,49%), pertanian lahan basah (7,49%), pertanian lahan kering (5,69%), dan tanaman tahunan (4,39%). Adapun daerah yang termasuk pusat kota sebesar (2,70%). Penggunaan lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya seperti hutan (34,06%), kebun teh (18,71%), sawah (16,97%), permukiman (12,35%), kebun campuran (10,28%), tegalan (4,71%), semak belukar (2,87%), dan hutan campuran (0,75%). Penutupan lahan terbesar adalah hutan sebesar 34,06%. Adanya penyimpangan penataan ruang yang terjadi di DAS Ciliwung Bagian Hulu, yaitu konversi kawasan lindung/resapan air menjadi kawasan budidaya dan kegiatan pertanian menjadi non pertanian. Kegiatan-kegiatan yang tidak mendukung fungsi kawasan lindung/resapan air terjadi di daerah-daerah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan non budidaya menurut undang-undang. Konversi tersebut antara lain adalah pembukaan lahan hutan dan perkebunan menjadi lahan pertanian masyarakat, pembangunan permukiman di tepi sungai Ciliwung, dan pembangunan villa, hotel, resort, serta tempat peristirahatan lainnya.

2 92 Terjadinya penyimpangan penggunaan lahan sampai 36,99% dan aktivitasnya masih didominasi oleh kinerja ekonomi dibanding kinerja lingkungan. Perubahan pada kawasan lindung dan resapan air sendiri paling banyak terjadi, yaitu menjadi kawasan permukiman dan pertanian. Masih banyak terdapat pembangunan fisik dan nonfisik tanpa mengindahkan serta menghormati peraturan hukum, tata tertib, dan standar yang sudah ditentukan, terbukti dari banyaknya perumahan, villa dan bangunan-bangunan lainnya yang tidak memiliki IMB (izin mendirikan bangunan), izin lokasi, PBB (pajak bumi dan bangunan). Penyimpangan penataan ruang ini memberikan dampak yang buruk pada ekosistem DAS, antara lain terjadinya banjir, longsor, degradasi lingkungan, peingkatan lahan kritis, kekeringan, erosi, sedimentasi, penurunan kesuburan tanah, penurunan produktivitas pertanian, penurunan kualitas air, ketidakmerataan pembangunan, dan pengurangan lapangan pekerjaan di sektor pertanian, dan lainlain. Faktor-faktor penyebab ketidaksesuaian penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu antara lain adalah faktor ekonomi, hukum dan peraturan, wadah koordinasi, hubungan pemerintah-masyarakat, masyarakat, dan pendanaan. Fungsi kontrol dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu tidak berjalan, sedangkan penegakan hukum lemah dan tidak konsisten. Pemerintah yang berwenang melakukan pengendalian penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu tidak berani untuk menertibkan pembangunan villa yang semakin menjamur. Padahal, pembangunan villa jelas dapat mengancam kawasan korservasi. Apalagi jumlah villa di kawasan tersebut begitu banyak dan menjadi beban bagi DAS Ciliwung Bagian Hulu. Kelembagaan pengelolaan DAS Ciliwung masih lemah. Koordinasi antar lembaga terkait dengan pengelolaan DAS juga kurang berjalan. Koordinasi sebaiknya tidak hanya dilakukan antar Pemerintah Kabupaten-Kota, tetapi juga dengan Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat telah membentuk badan pengelolaan sendiri untuk menangani masalah DAS seperti Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung dan Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung

3 93 Cisadane (IPK-PWSCC). Kegiatan harus dijalankan secara koordinatif melalui lintas sektor dan lintas kabupaten-kota. Kurangnya sosialisasi program kepada masyarakat sehingga masyarakat kurang mengetahui kegiatan yang dilakukan pemerintah. Masyarakat kurang menjaga kelestarian alam padahal hal itu bukan hanya tugas pemerintah saja. Peran serta masyarakat masih relatif rendah. Masyarakat selama ini hanya sebagai pemanfaat program pemerintah saja. Prinsip kemitraan belum terbangun antara pemerintah dan masyarakat sehingga masyarakat belum dilibatkan secara penuh dalam merencanakan dan mengambil keputusan bersama dengan pemerintah. Budaya masyarakat yang kondusif dengan konservasi (perilaku masyarakat). Masyarakat perdesaan juga membangun permukiman tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan dan tidak mengetahui dampaknya bagi kawasan hilir sungai. Masyarakat pendatang juga sama saja, mereka membangun villa, real estate, usaha perhotelan, restoran seenaknya. Banyak bangunan yang dibangun dengan menyalahi aturan dan tanpa IMB. Aspek pendanaan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu juga masih menjadi persoalan karena membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Pembiayaan pengelolaan DAS secara terpadu dapat menggunakan alokasi dana yang ada di setiap departemen yang terkait, baik yang berasal dari APBN, APBD, atau bantuan luar negeri. Untuk dana yang berasal dari APBD, dana dapat diambil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), atau Dana Alokasi Khusus (DAK). 5.2 Kesimpulan Sehingga dapat disimpulkan mengenai pengelolaan kawasan lindung dan resapan air di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengambil kasus di DAS Ciliwung Bagin Hulu adalah sebagai berikut: Menurut UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS). Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas DAS

4 94 dengan sebaran yang proporsional. Penggunaan lahan untuk hutan di DAS Ciliwung Bagian Hulu masih kurang mencukupi (34,06%) karena daerah tengah dan hilir DAS Ciliwung pun minim hutan. Oleh karena itu penggunaan lahan untuk hutan di DAS Ciliwung Bagian Hulu harus lebih dari 30%, bisa saja sampai 50% atau lebih. Apalagi dengan adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bagian hulu maka dikhawatirkan luas hutan menjadi semakin berkurang. Kegiatan yang dapat merusak dan tidak menunjang fungsi kawasan lindung dan resapan air masih terjadi di DAS Bagian Hulu. Meskipun sudah diatur pengelolaan kawasan lindung pada DAS dalam peraturan, pelanggaran kerap terjadi dan hal ini menandakan bahwa penegakkan hukum lemah dalam menindak pelaku pelanggaran. Pembangunan permukiman yang tidak menunjang fungi kawasan lindung seperti villa, resort, dan real estate di DAS Ciliwung Bagian Hulu harus ditindak tegas. Sistem punishment belum berjalan dalam proses pengendalian penataan ruang di DAS. Padahal sanksi telah ditetapkan untuk menindak setiap kegiatan yang mengganggu usaha konservasi kawasan lindung dan resapan air di DAS. Sanksi yang diberikan berupa sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Strategi pengelolaan DAS berupa pengendalian kawasan lindung memiliki banyak hambatan terutama karena perilaku masyarakat yang kurang mendukung usaha konservasi seperti yang terjadi di DAS Ciliwung Bagian Hulu ini. Penyimpangan yang dilakukan masyarakat seperti perambahan hutan untuk membuka lahan pertanian baru terjadi di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Penggunaan lahan untuk pertanian lahan basah melebihi 9,48% lahan yang ditetapkan oleh RTRW dan untuk pertanian lahan kering juga lebih sebesar 9,30%. Penggundulan hutan yang terjadi dapat mengganggu keseimbangan alam sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan. Hal yang perlu dilakukan dapat berupa upaya-upaya untuk mengembalikan fungsi hutan dengan vegetasi yang sesuai dalam bentuk penanaman kembali atau reboisasi dan rehabilitasi hutan. Wadah koordinasi dalam pengelolaan DAS belum optimal dimanfaatkan untuk menjaga keberlangsungan DAS. Kegiatan yang dilakukan hanya bersifat proyek saja sehingga pemeliharaannya oleh masyarakat kurang diperhatikan. Masyarakat

5 95 sendiri kurang mengetahui program pemerintah sehingga badan koordinasi pengelolaan DAS yang dibentuk oleh pemerintah seharusnya dapat berfungsi sebagai sarana untuk mempublikasikan kegiatan penanganan DAS kepada masyarakat. Badan koordinasi pengelolaan DAS tidak hanya mengambil informasi dari masyarakat, tetapi juga mengembalikan lagi informasi kepada masyarakat. Pemerintah dan masyarakat seharusnya bekerjasama dalam pengelolaan DAS sehingga akhirnya pengelolaan dilakukan melalui kegiatan yang berbasis komunitas. Non government organization dapat membantu pemerintah untuk menggerakkan masyarakat untuk turut melestarikan sungai. Untuk DAS yang melewati dua wilayah atau lebih, pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik. Di DAS Ciliwung misalnya, koordinasi dilakukan secara lintas Kabupaten-Kota antara Kabupaten Bogor dan DKI Jakarta. 5.3 Rekomendasi Menurut Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan, pada rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. Kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) perlu dilakukan sebagai upaya meningkatkan luas kawasan hutan di DAS. Rehabilitasi lahan kritis juga harus dilakukan untuk memulihkan kesuburan tanah, melindungi mata air, dan melestarikan daya dukung lingkungan ditingkatkan melalui konservasi tanah dan reboisasi. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis, konservasi tanah, rehabilitasi sungai, danau, rawa, hutan bakau, pelestarian gua-gua alam, karang laut, flora dan fauna langka, serta pengembangan fungsi daerah aliran sungai perlu ditingkatkan. Sumber alam harus digunakan secara rasional dan tidak merusak tata lingkungan hidup manusia serta memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang (untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran). Dalam Undang-undang No.26 Tahun 2007 juga dikatakan bahwa salah satu bentuk kawasan lindung nasional adalah kawasan hulu daerah aliran sungai yang menurut peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah

6 96 Pusat. Kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah sudah seharusnya dilakukan Pemerintah Pusat. Upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah ini sendiri sudah dilakukan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Dalam upaya mencegah dan mengurangi dampak bencana jangka menengah dan jangka panjang, Presiden RI telah menetapkan arah kebijakan yang harus ditempuh yaitu segera memperbaiki lingkungan melalui rehabilitasi dan reboisasi hutan dan lahan secara nasional dengan mendayagunakan segenap kemampuan dan memprioritaskan pada lahan-lahan kritis. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumber daya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Rekomendasi lain yang dapat diberikan mencakup usulan untuk masyarakat hulu, dunia usaha (developer), dan usulan tindak lanjut bagi masyarakat hulu. Usulan tersebut antara lain: Penegakan hukum yang tegas dan berani menindak segala pelanggaran yang terjadi di DAS bagian hulu. Pemerintah harus menindak tegas pembangunan permukiman liar di tepi sungai dan pembongkaran villa yang menyalahi aturan dan tidak memiliki IMB. Pembongkaran villa yang sangat mengganggu fungsi lindung dan resapan air harus secepatnya dilakukan tanpa pandang bulu mengingat kebanyakan villa adalah milik orang-orang besar di Jakarta. Menghidupkan budaya malu pada masyarakat yang tinggal di DAS bagian hulu atas kerusakan yang telah diperbuat. Kegiatan yang tidak mendukung fungsi kawasan lindung terbukti telah menurunkan kualitas air dan menimbulkan bencana di daerah hilir seperti bencana banjir di DAS Ciliwung Bagian Hilir (DKI Jakarta). Pemilik villa yang sebagian besar adalah pejabat di ibukota juga seharusnya malu telah melanggar peraturan dengan membangun villa di kawasan lindung dan resapan air. Peningkatan fungsi koordinasi dan fungsi kontrol lembaga pengelolaan DAS. Kegiatan yang dilakukan di daerah hulu sebaiknya disinergiskan dan ditindaklanjuti oleh kegiatan di daerah tengah dan hilir sungai. Pengelolaan DAS

7 97 yang dilakukan secara terpusat oleh Pemerintah Pusat yang berkedudukan di ibukota juga harus diimplementasikan ke daerah (top down). Misalnya, Pemerintah Pusat mengirimkan ahli-ahli pengelolaan DAS untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat di daerah. Kegiatan sosialisasi program pengelolaan DAS dilakukan agar masyarakat mengetahui dan ikut menjaga lingkungan DAS. Masyarakat dapat mengerti pentingnya keberadaan DAS dan tidak melakukan pembukaan hutan untuk lahan pertanian bagi mereka. Peningkatan peran serta masyarakat melalui berbagai insentif langsung maupun tidak langsung. Bagi masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu yang berhasil menjaga lingkungan DAS dan mendukung program dari pemerintah dapat diberikan penghargaan. Para developer hendaknya mentaati peraturan yang berlaku dalam pengelolaan DAS. Dunia usaha sebaiknya tidak membangun bangunan yang tidak mendukung fungsi tata air dan pelestarian kawasan lindung dan resapan air. Pembangunan villa, real estate, resort, dan tempat peristirahatan lainnya dilakukan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam pengelolaan kawasan lindung dan resapan air di DAS dan membangun dengan adanya izin (IMB). Dunia usaha tidak hanya membangun untuk kepentingan mereka namun juga membantu pendanaan bagi pengelolaan DAS secara terpadu yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengambil peran (take part) juga dalam pengelolaan. Dunia usaha juga dapat ikut aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi tanah dan air, reboisasi, serta penghijauan. Pihak swasta tidak membuang limbah ke sungai. Penurunan kualitas air semakin menjadi karena adanya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab membuang sampah industri mereka ke sungai. Hal ini sangat merugikan masyarakat karena masih menggunakan air sungai untuk konsumsi pribadi dan cadangan air bersih bagi PDAM. Pengelolaan DAS akan lebih efektif dan efisien jika pemerintah menjalin kerjasama dengan masyarakat. Forum Pengelolaan DAS juga perlu dibentuk

8 98 untuk menarik aspirasi masyarakat sebagai pengguna DAS itu sendiri dan pelayanan publik bagi pemerintah. Perlu dibuat program pengelolaan DAS yang menyeluruh atau di luar negeri disebut sebagai Integrated River Basin Management. Program pengelolaan ini mencakup perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang di DAS bagian hulu agar tercapai keserasian alam dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Koordinasi antar lembaga/instansi terkait antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dinas. Dinas-dinas yang terkait antara lain adalah pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, keuangan, dan lain-lain yang berada di setiap daerah sebagai wakil dari departemen yang berkedudukan di pusat. Adanya kejelasan manfaat bagi stakeholders terutama pihak swasta dan masyarakat agar mereka mau bekerjasama dalam pengelolaan DAS bagian hulu. Pihak swasta yang memang bertujuan mencari keuntungan dapat diajak untuk mengelola DAS, bukan hanya mengembangkan real estate yang merugikan ekosistem DAS. Pihak swasta yang memiliki kelebihan dalam permodalan dapat mengambil keuntungan dari proyek pengelolaan DAS yang direncanakan pemerintah. Masyarakat sudah seharusnya menjaga kelestarian lingkungan karena DAS merupakan tempat tinggal mereka. Pemerintah segera mensosialisasikan UU, Perda yang terkait dengan pengelolaan DAS (Teknis dan Sanksi). Undang-undang dan peraturan yang dibuat harus disebarluaskan kepada masyarakat agar mereka sadar dan mengerti pentingnya keberadaan DAS buat mereka. DAS mendukung kehidupan dan penghidupan masyarakat karena mereka memanfaatkan DAS secara langsung dan tidak langsung. Penjelasan mengenai teknis pemanfaatan ruang di DAS dan sanksi yang diberikan jika terjadi pelanggaran harus disosialisasikan dengan jelas. Pemberian sanksi juga harus dilakukan agar para pelanggar UU dan peraturan jera. Pemberdayaan masyarakat dengan cara bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan perguruan tinggi. LSM merupakan perwakilan rakyat dan setiap kegiatannya dibiayai oleh pemerintah. oleh karena itu LSM seharusnya dapat menjadi media penyambung pemerintah dan masyarakat. Perguruan tinggi

9 99 sebagai pencetak anak-anak bangsa yang berpendidikan sudah seharusnya berbakti pada negara. Perguruan tinggi dapat saja melakukan penelitian mengenai DAS terutama cara pengelolaannya. Perlu segera dilakukan survey lapangan/inventarisasi/identifikasi permasalahan lingkungan di tingkat kelurahan/rw, serta pembebasan lahan di sempadan sungai dan daerah resapan. Sempadan sungai sudah seharusnya dibebaskan dari segala kegiatan masyarakat. Keberadaan bangunan dan permukiman di sempadan sungai memberikan pengaruh buruk pada sungai secara langsung. Daerah resapan air juga demikian, hal ini dilakukan agar tanah mampu menyerap air lebih banyak sehingga tidak terjadi bencana banjir di hilir sungai. Hubungan antara sasaran, analisis, kesimpulan, dan rekomendasi studi dapat dilihat pada tabel V Kelemahan Studi Dalam melakukan evaluasi penataaan ruang kawasan lindung dan resapan air di DAS yang mengambil contoh kasus di DAS Ciliwung Bagian Hulu ini tentu saja ditemukan hambatan yang menjadi kelemahan studi yang dilakukan. Kelemahan studi ini antara lain: Evaluasi ini hanya dilihat dari satu sisi saja, yaitu evaluasi penataan ruang untuk kawasan lindung dan resapan air dari sisi pemerintah saja. Evaluasi dilihat dari penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah melalui RTRW dan dibandingkan dengan keadaan nyata di lapangan. Stakeholder lain seperti dunia usaha dan masyarakat kurang diakomodir sehingga kurang memperkuat hasil evaluasi yang dilakukan. Evaluasi dilihat dari adanya penyimpangan penataan ruang di lapangan terhadap penataan ruang di RTRW dilakukan untuk menghemat waktu karena wilayah yang luas dan kemungkinan akan menghabiskan biaya yang sangat besar. Peraturan dan kebijakan mengenai pengelolaan kawasan lindung dan resapan air di DAS kurang spesifik. Peraturan kawasan lindung misalnya, lebih banyak memuat kriteria kawasan lindung secara umum tanpa proporsi yang jelas untuk sebuah DAS. Peraturan dan kebijakan yang ada juga belum mendetail dalam

10 100 pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi, hal ini masih tergantung pada kebijakan daerah masing-masing DAS. Data-data mengenai kasus penyimpangan di DAS Ciliwung Bagian Hulu masih terintegrasi dalam data mengenai kasus penyimpangan di kawasan puncak. Padahal kawasan puncak tidak hanya mencakup DAS Ciliwung Bagian Hulu saja, akan tetapi mencakup Kecamatan Pacet di Kabupaten Cianjur. 5.5 Saran Studi Lanjutan Dengan mempertimbangkan dan mengingat hasil evaluasi yang dilakukan dan kelemahan studi yang dihadapi, maka saran yang diajukan untuk melakukan studi selanjutnya mengenai pengelolaan DAS ini adalah: Studi lanjutan evaluasi pengelolaan DAS di bagian hulu yang memperhitungkan peran dunia usaha dan masyarakat dalam pelestarian kawasan lindung dan resapan air yang ada. Hasil evaluasi ini akan lebih kuat karena didukung pendapat dari seluruh stakeholder. Studi lanjutan berupa pengelolaan DAS di daerah tengah dan hilir atau studi DAS terpadu yang mencakup daerah hulu, tengah, dan hilir. Pengelolaan DAS saling berkaitan antara daerah satu dengan yang lain. Kegiatan yang dilakukan di daerah hulu juga harus didukung oleh keberlanjutan kegiatan di daerah tengah dan hilir. Studi lanjutan juga dapat berupa evaluasi kawasan budidaya yang ada di DAS, baik itu di daerah hulu, tengah, dan hilir. Evaluasi ini dapat dijadikan sebagai pembanding dengan usaha pengendalian penataan ruang di DAS pada kawasan lindung. Manakah usaha pengendalian yang sudah tepat mencapai tujuan dan sasaran pengelolaan DAS.

11 Tabel V.1 Hubungan Sasaran, Analisis, Kesimpulan, dan Rekomendasi Studi No. Sasaran Analisis Kesimpulan Rekomendasi 1. Mengidentifikasi penataan ruang DAS Ciliwung Bagian Hulu menurut RTRW 2. Mengidentifikasi penggunaan lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu saat ini 3. Menganalisis penyimpangan penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu 4. Mengetahui faktor-faktor penyebab penyimpangan penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu Analisis deskriptif yang memberikan gambaran penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu menurut RTRW Analisis deskriptif yang memberikan gambaran penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu saat ini Analisis perbandingan antara penataan ruang menurut RTRW dengan yang ada di lapangan saat ini Analisis perbandingan dari penyimpangan penataan ruang di DAS Ciliwung Hulu yang saat ini sudah tidak sesuai dengan penataan ruang dalam RTRW Penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu menurut RTRW terdiri dari kawasan hutan produksi (38,85%), perkebunan (22,37%), permukiman (18,49%), pertanian lahan basah (7,49%), pertanian lahan kering (5,69%), dan tanaman tahunan (4,39%), dan pusat kota sebesar (2,70%). Penggunaan lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu terdiri dari hutan (34,06%), kebun teh (18,71%), sawah (16,97%), permukiman (12,35%), kebun campuran (10,28%), tegalan (4,71%), semak belukar (2,87%), dan hutan campuran (0,75%). Terjadinya penyimpangan penggunaan lahan sampai 36,99% seperti adanya permukiman liar di pinggir sungai, pembangunan villa/resort pada kawasan non budidaya, penggundulan hutan, penggunaan lahan berlebih dari lahan pertanian penduduk, dll. Faktor-faktor penyebab ketidaksesuaian penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu antara lain adalah faktor ekonomi, hukum dan peraturan, wadah koordinasi, hubungan pemerintah-masyarakat, masyarakat, dan pendanaan. Peningkatan fungsi koordinasi dan kontrol; Pemerintah segera mensosialisasikan UU, Perda dan program yang terkait dengan pengelolaan DAS Ciliwung (Teknis dan Sanksi). Melakukan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah karena luas hutan sudah sangat kritis (34,06%) dan mewujudkan penggunaan lahan sesuai RTRW. Menindak tegas permukiman liar di pinggir sungai; membongkar villa yang menyalahi aturan; rehabilitasi lahan dan konservasi tanah untuk mengurangi luas lahan pertanian penduduk. Peningkatan peran serta masyarakat; membentuk Forum Pengelolaan DAS Ciliwung; membuat program pengelolaan DAS yang menyeluruh; adanya kejelasan manfaat bagi stakeholders; Pemberdayaan masyarakat (kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang studi, rumusan masalah, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, metoda penelitian (meliputi ruang lingkup, pendekatan, sumber dan cara mendapatkan

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan sumber daya pertanian yang memiliki peran

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa kondisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950); PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG POLA INDUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa sumber daya

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU 137 Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU No Amanat pertauran perundang-undangan 1 Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan pertanian yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 48 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012-2032 DISEBARLUASKAN OLEH : SEKRETARIAT DEWAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 3 2008 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT IRIGASI

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT IRIGASI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang Mengingat : a. bahwa air sebagai sumber kehidupan masyarakat yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Lampiran I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 2 TAHUN 2011 Tanggal : 4 Pebruari 2011 Tentang : Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DAFTAR PERATURAN Versi 31 Agustus 2012

DAFTAR PERATURAN Versi 31 Agustus 2012 I. UNDANG-UNDANG DAFTAR PERATURAN Versi 31 Agustus 2012 1. Undang-undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Undang-undang Acara Pidana (KUHP) 2. Undang-undang Republik Indonesia No.5

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu tantangan pembangunan jangka panjang yang harus dihadapi Indonesia terutama di kota-kota besar adalah terjadinya krisis air, selain krisis pangan

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU SALINAN BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan industri penting sebagai penyumbang Gross Domestic Product (GDP) suatu negara dan bagi daerah sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Lebih terperinci

Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Upaya Pengelolaannya

Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Upaya Pengelolaannya 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Upaya Pengelolaannya Yudi Wahyudin Peneliti PKSPL-IPB Dimuat pada Harian RADAR Bogor, 28 Februari 2002. * Peristiwa banjir dan tanah longsor yang melanda beberapa daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, GUBERNUR NU S A TE N GGA RA B AR AT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang : a. bahwa sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi kebijakan pelaksanaan pengendalian lingkungan sehat diarahkan untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral dalam pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat GUBERNUR JAWA BARAT,

Gubernur Jawa Barat GUBERNUR JAWA BARAT, Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 106 Tahun 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN BANTUAN KEUANGAN KHUSUS UNTUK GERAKAN REHABILITASI LAHAN KRITIS TAHUN 2009 GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 1985 TENTANG PENETAPAN RENCANA UMUM TATA RUANG KAWASAN PUNCAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 1985 TENTANG PENETAPAN RENCANA UMUM TATA RUANG KAWASAN PUNCAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 79 TAHUN 1985 TENTANG PENETAPAN RENCANA UMUM TATA RUANG KAWASAN PUNCAK PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa untuk pemanfaatan ruang secara optimal, serasi, seimbang, dan lestari di kawasan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN SALINAN BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang

Lebih terperinci

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa irigasi sebagai salah

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR RANCANGAN (Disempurnakan) BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR, Menimbang : a. bahwa fungsi irigasi memegang peranan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT, Menimbang Mengingat : : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT Hasil kinerja sistem berdasarkan hasil analisis keberlanjutan sistem dan kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Sungai Citarum

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 29 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur

Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur sebagai konservasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penentuan karakteristik

Lebih terperinci

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991); RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu komponen penting pendukung

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

GUBERNUR SULAWESI SELATAN, 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka menunjang ketahanan

Lebih terperinci

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur Oleh : Hadi Prasetyo (Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur) I. Pendahuluan Penataan Ruang sebagai suatu sistem

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 10 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 DAFTAR ISI A. SUMBER DAYA ALAM Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 Tabel SD-3 Luas Kawasan Lindung berdasarkan RTRW dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan ruang wilayah nasional

Lebih terperinci

Penetapan Program Pengelolaan Airtanah di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman

Penetapan Program Pengelolaan Airtanah di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman Penetapan Program Pengelolaan Airtanah di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman Heru Hendrayana, 2011 heruha@ugm.ac.id I. LATAR BELAKANG Airtanah merupakan sumberdaya yang mempunyai peranan penting pada

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

Click to edit Master title style

Click to edit Master title style KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ Click to edit Master title style BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Kebijakan Penataan Ruang Jabodetabekpunjur Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bogor,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

BAB 4 PENATAAN RUANG DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU

BAB 4 PENATAAN RUANG DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU BAB 4 PENATAAN RUANG DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU Bab ini akan membahas hasil analisis penyimpangan penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu dengan cara membandingkan penataan ruang menurut RTRW dengan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Air merupakan karunia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang

Lebih terperinci