BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel modern merupakan industri yang memiliki kinerja yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mudah, fasilitas, dan pelayanan yang memadai. menjadi ancaman bagi peritel lokal yang sebelumnya sudah menguasai pasar.

BAB I PENDAHULUAN. lebih cenderung berbelanja ditempat ritel modern. Semua ini tidak lepas dari pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar

BAB I PENDAHULUAN. munculnya pasar tradisional maupun pasar modern, yang menjual produk dari

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. jumlah ritel di Indonesia tahun sebesar 16% dari toko menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi konsumen dalam keputusan pembelian sangat didukung melalui upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. kesuksesan maka perlu mempelajari karakteristik yang dimiliki konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. inovasi desainer muda yang semakin potensial, tingkat perekonomian yang

BAB I - PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ritel adalah sebuah set aktivitas bisnis untuk menambahkan nilai pada produk

BAB I PENDAHULUAN. konsumtif dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan (need) adalah suatu

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. kerja, sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui image dari suatu produk di. pasar, termasuk preferensi yang dikehendaki konsumen.

2016 PENGARUH PROMOSI PENJUALAN TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN:

BAB I PENDAHULUAN. usaha ritel yang sangat sulit untuk melakukan diferensiasi dan entry barrier

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Circle K

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena ini dapat dibuktikan dengan adanya perubahan gaya hidup masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis seperti kios, pasar modern/tradisional, department store, butik dan lain-lainnya

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia saat ini mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. berupa pusat-pusat pertokoan, plaza, minimarket baru bermunculan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Objek Penelitian Profil Perusahaan PT Trans Retail Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sebagian besar konsumen Indonesia memiliki karakter unplanned.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri ritel nasional yang semakin signifikan dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk. Kelangsungan usaha eceran sangat

BAB I PENDAHULUAN Sejarah PT Carrefour di Indonesia

PENGARUH IN-STORE PROMOTION TERHADAP KEPUTUSAN IMPULSE BUYING PADA KONSUMEN GIANT HYPERMARKET. Oleh ADE YUSRIYANTI H

BAB I PENDAHULUAN. membuat para pelaku bisnis harus mampu bersaing. Persaingan yang terjadi tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemasaran adalah sesuatu yang meliputi seluruh sistem yang berhubungan

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan adanya perusahaan-perusahaan yang mampu menawarkan produk

dibandingkan dengan pasar swalayan yang lain dalam penelitian ini.

BAB I PENDAHULUAN. Semakin modern perkembangan zaman menyebabkan timbulnya berbagai. usaha bisnis yang tentu mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. (JBE), hlm Dani Mohamad Dahwilani, Pertumbuhan Ritel Indonesia Peringkat 12 Dunia,

BAB I PENDAHULUAN. bisnis ritel, juga disebabkan oleh semakin banyaknya bisnis ritel luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung ke konsumen akhir untuk keperluan konsumsi pribadi dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan yang sangat beragam, juga untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan masyarakat akan berbagai barang konsumsi sehari-hari, mengalami. peningkatan dalam waktu-waktu belakangan ini.

1 BAB I PENDAHULUAN. 2012), konsumen Indonesia memiliki sepuluh karakter unik.pada salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti trend yang berkembang di pasar. Oleh karena itu, para pemasar

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang memerlukan barang untuk kebutuhan pribadi dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan perkembangan dinamika perekonomian yang terus mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan bisnis retail (perdagangan eceran) di Indonesia pada akhirakhir

BAB I PENDAHULUAN. yang ingin berbelanja dengan mudah dan nyaman. Meningkatnya retail modern

BAB I PENDAHULUAN. para peritel asing. Salah satu faktornya karena penduduk Indonesia adalah negara

BAB I PENDAHULUAN. modern. Hal ini didukung oleh perilaku berbelanja penduduk Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang semakin modern menyebabkan banyaknya. pembangunan toko ritel yang berkonsep swalayan. Beberapa tahun terakhir,

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya Negara Indonesia yang dapat dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Untuk dapat memenuhi hal tersebut dibutuhkan suatu strategi yang. serta dapat unggul dalam menghadapi persaingan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era globalisasi dunia bisnis berkembang cukup signifikan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan banyaknya produk yang ditawarkan oleh pihak pemasar kepada

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis eceran, yang kini populer disebut bisnis ritel, merupakan bisnis yang

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. minimarket, supermarket dan hypermarket terus meningkat, hal ini diiringi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan bisnis ritel dari tahun ke tahun cukup pesat. Hal ini dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. tiap tahun naik sekitar 14%-15%, dalam rentang waktu tahun 2004 sampai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perdagangan eceran atau sekarang kerap disebut perdagangan ritel, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. semakin banyak pengusaha baru yang masuk ke bisnis ritel, baik dalam skala kecil

BAB 1 PENDAHULUAN. Dunia bisnis ritel di Indonesia telah berkembang demikian pesat sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan. Hal tersebut membuat masing-masing perusahaan berusaha

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri ritel nasional yang semakin berkembang dengan

BAB I PENDAHULUAN. besar dan memenangkan persaingan bisnis. Banyak bisnis didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun sedang mengalami berbagai masalah dalam perekonomian,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembelian dan mengkonsumsi. Untuk memenuhi ketiga aktivitas tersebut, terjangkau terutama bagi masyarakat berpenghasilan sedang.

BAB I PENDAHULUAN. persaingan bisnisnya menunjukan perkembangan yang cukup pesat, namun tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern sekarang perkembangan perusahaan yang sangat pesat

BAB III PERUMUSAN MASALAH

BAB I LATAR BELAKANG. Pada bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

BAB I PENDAHULUAN. memberikan keuntungan dan menghidupi banyak orang. Pada saat krisis UKDW

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baru bagi perusahaan yang ada di seluruh dunia. Dengan. konsumen memiliki lebih banyak pilihan dan informasi.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bab I menjelaskan mengenai fenomena penelitian beserta variabel -variabel yang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Keberadaan perusahaan ritel yang bermunculan di dalam negeri

BAB 1 PENDAHULUAN. macam kegiatan pemasaran yang tidak lepas dari perilaku konsumen.

Bab 1 PENDAHULUAN. Persaingan yang terjadi dalam dunia perekonomian di Indonesia saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Ini adalah tingkat pertumbuhan ritel tertinggi yang pernah dicapai Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menerima produk/jasa yang dihasilkan oleh bisnis tersebut. Oleh karenanya

BAB I PENDAHULUAN. sekunder dan tersier. Semua kebutuhan tersebut dipenuhi melalui aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi dewasa ini, kondisi sosial ekonomi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ritel merupakan mata rantai yang penting dalam proses distribusi barang dan merupakan mata rantai terakhir dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor pendorong..., Emir Zakiar, FE UI, 2010.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri ritel modern merupakan industri yang memiliki kinerja yang semakin baik dan dinamis dengan tuntutan inovasi semakin tinggi. Hal ini didukung oleh kuatnya perekonomian domestik dan daya beli masyarakat. Selain itu, permintaan terhadap industri ritel saat ini semakin tinggi dikarenakan terdorong oleh pertumbuhan properti komersial yang cukup pesat. Pesatnya pertumbuhan properti komersial ini memicu ekspansi berbagai jenis perusahaan ritel melalui penambahan gerai tokonya. Majalah Frontier Edisi Agustus 2012 memaparkan bahwa dalam periode enam tahun terakhir, dari tahun 2007-2012, jumlah gerai ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan ratarata 17,57% per tahun. Pada tahun 2007, jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebanyak 10.365 gerai, kemudian pada tahun 2011 mencapai 18.152 gerai tersebar di hampir seluruh kota di Indonesia. Pertumbuhan jumlah gerai ritel modern ini tentu saja diikuti dengan pertumbuhan penjualan. Indonesia Update Bank Mandiri Vol.17 Agustus 2012 memuat hasil survey penjualan ritel yang dilakukan Bank Indonesia. Hasil survey menunjukkan bahwa indeks penjualan riil selama 1H12 menunjukkan trend peningkatan dibandingkan tahun 2011 dengan pertumbuhan indeks bulanan rata-rata di atas 10%.

2 Indonesia Update Bank Mandiri juga memaparkan bahwa Indonesia merupakan pasar potensial bagi bisnis ritel dikarenakan dengan jumlah penduduk yang sangat besar, yaitu sekitar 237 juta jiwa, Indonesia memiliki total konsumsi sekitar kurang lebih Rp3.600 trilyun. Hal ini sangat didukung oleh perilaku berbelanja penduduk Indonesia yang sudah mulai mengalami peralihan, dari berbelanja di pasar tradisional menuju ritel modern. Pergeseran perilaku penduduk Indonesia yang kini lebih memilih untuk berbelanja di ritel modern dapat dilihat pada grafik berikut ini: 120 Grafik Presentase Pertumbuhan Ritel di Indonesia Toko Tradisional Super/Hypermarket Minimarket 100 5 5,3 8,2 10,2 12,1 14,1 15,3 19,4 21,5 22,4 24,8 80 20,2 21 22,2 22,2 23,2 22,2 21,7 60 21,5 21,9 21,8 20,6 40 74,8 73,7 69,6 67,6 64,7 63,7 63,1 59,1 56,1 55,8 54,6 20 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber: Nielsen Retail Audit 2012 Gambar 1.1

3 Grafik Presentase Pertumbuhan Ritel di Indonesia Berdasarkan Gambar 1.1, dari tahun 2003 hingga 2012 penggunaan ritel modern di Indonesia sebagai tempat berbelanja selalu naik setiap tahunnya. Ritel modern ini mencakup hipermarket, minimarket dan supermarket. Pada tahun 2003 kenaikan terhitung sebesar 13,8%. Dari tahun 2004 ke 2005 naik lebih tinggi yaitu sebesar 17,7%. Pada tahun 2005 kenaikan turun menjadi 14,3%. Sedangkan pada tahun 2006 ke 2007 kenaikan kembali tinggi sebesar 15,2%. Kemudian pada tahun 2007 kenaikan cukup tinggi yaitu sebesar 21,1%. Namun pada tahun 2008 ke 2009 kenaikan cukup rendah sebesar 4,7% dan kembali naik pada tahun 2009 ke 2010 sebesar 11,8%. Pada tahun 2010 ke tahun 2011 kenaikan ada pada posisi 11,3%. Tahun 2012 mengalami kenaikan 1,2% dibandingkan tahun 2011, menghasilkan marketshare ritel modern di angka 45,4%. Jumlah pendapatan ritel modern terbesar ternyata merupakan kontribusi dari hipermarket. Untuk mengetahui persaingan perusahaan ritel di tingkat hipermarket, peneliti melakukan studi literatur dari berbagai artikel mengenai omset hipermarket di Indonesia yang hasilnya dapat dilihat pada grafik berikut: 20 15 10 5 0 Omset Peritel Hipermarket 2011 (trilyun rupiah) 15 12,4 9,3 7,18 Carrefour Giant Hypermart Lotte Mart Omset Sumber : hasil studi literatur oleh peneliti 2013

4 Gambar 1.2 Grafik Omset Peritel Hipermarket 2011 Berdasarkan gambar 1.2, di tahun 2011, secara nasional Carrefour menempati posisi pertama dengan omset tertinggi dengan 15 Triliun rupiah, lalu Giant dengan 12,4 triliun rupiah pada posisi kedua, Hypermart 9,3 triliun rupiah pada posisi ketiga dan yang terakhir Lotte Mart pada posisi ke empat dengan 7,18 triliun rupiah. Lotte Mart sebagai ritel yang lebih muda dibanding yang lain memang sudah sewajarnya memiliki omset rendah, hal tersebut telah menjadi dorongan bagi ritel ini untuk bersaing mendapatkan posisi terbaik secara nasional. Terdapat perbedaan antara fenomena yang ada di tingkat nasional dengan yang ada di tingkat daerah. Menurut sebuah artikel pada website www.bisnisjabar.com, jumlah penduduk Jawa Barat sebanyak 40 juta lebih dan 3 juta diantaranya berada di Bandung merupakan suatu peluang besar bagi bisnis ritel. Tingkat persaingan ritel, khususnya hipermarket, cukup tinggi di Bandung karena banyaknya masyarakat yang lebih memilih untuk melakukan pembelian di ritel modern. Tabel 1.1 yang dihimpun oleh peneliti menunjukkan rata-rata pengunjung hipermarket di Kota Bandung pada tahun 2012. No. Nama Hipermarket Rata-rata Kunjungan 1 Carrefour Kiaracondong 3000 orang/hari 2 Lotte Mart Festival Citylink 2500 orang/hari 3 Hypermart Bandung Indah Plaza 1500 orang/hari 4 Carrefour Paris Van Java Mall 1000 orang/hari Sumber: hasil wawancara & observasi oleh peneliti 2013 Tabel 1.1 Jumlah Rata-rata Pengunjung Hipermarket di Kota Bandung tahun 2012

5 Berdasarkan tabel diatas, Carrefour Kiaracondong merupakan pemimpin dalam persaingan hipermarket di Kota Bandung dengan rata-rata kunjungan sebanyak 3000 orang/hari. Lotte Mart Festival Citylink ada di posisi kedua dengan 2500 orang/hari, kemudian diikuti oleh Hypermart Bandung Indah Plaza di posisi ketiga dengan 1500 orang/hari dan di posisi terakhir Carrefour Paris Van Java Mall dengan jumlah kunjungan rata-rata 1000 orang/hari. Jumlah kunjungan sangat berpengaruh terhadap penjualan hipermarket. Persaingan hipermarket di Kota Bandung dapat pula dilihat dari data penjualan yang telah dihimpun oleh peneliti dalam grafik sebagai berikut: 350 300 250 200 150 100 50 0 244 321 286 Carrefour Kiara Condong Grafik Penjualan di Hipermarket Kota Bandung 173 156 131 Lotte Mart Festival Citylink 137 115 119 129 98 92 Hypermart Bandung Indah Plaza Carrefour Paris Van Java 2010 2011 2012 Sumber: hasil wawancara & observasi peneliti 2013 Gambar 1.3 Grafik Penjualan Hipermarket di Kota Bandung Tahun 2010-2012 (dalam milyar rupiah) Pada Gambar 1.3 terungkap bahwa pasar hipermarket di Bandung sejak 2010 hingga 2012 masih dikuasai oleh Carrefour Kiara Condong dengan omset

6 244 milyar rupiah pada tahun 2010, 286 milyar rupiah pada tahun 2011 dan 321 milyar rupiah pada tahun 2012. Lotte Mart Festival Citylink pada posisi kedua dengan 131 milyar rupiah pada tahun 2010, 156 milyar rupiah pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 sebesar 173 milyar rupiah. Hypermart Bandung Indah Plaza memiliki omset 98 milyar rupiah pada tahun 2010, 115 milyar rupiah pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 sebesar 137 milyar rupiah. Carrefour Paris Van Java pada posisi keempat dengan omset pada tahun 2010 sebesar 92 milyar rupiah, 119 milyar rupiah pada tahun 2011 dan 129 milyar rupiah pada tahun 2012. Perbandingan antara penjualan Lotte Mart di tingkat nasional dan regional memiliki gap yang cukup menarik. Di tingkat nasional Lotte Mart berada di posisi terakhir, sedangkan di Kota Bandung Lotte Mart berada di posisi kedua. Peneliti kemudian melakukan interview dengan Bapak Samsul Fauzi selaku HR GA Section Head Lotte Mart Festival Citylink. Hasil interview mengungkapkan bahwa Lotte Mart merupakan hipermarket yang ambisius. Sejak awal berdiri pada tahun 2008 di Bandung, Lotte Mart ingin menjadi yang pertama dalam persaingan hipermarket. Dari hasil interview juga terungkap bahwa keputusan pembelian impuls atau impulse buying merupakan concern utama bagi perusahaan ritel asal Korea Selatan ini karena ternyata lebih dari 30% penjualan merupakan hasil dari impulse buying. Menurut riset, karakter konsumen di Indonesia memang cenderung tidak memiliki rencana. Hasil riset yang dilakukan oleh lembaga Frontier Consulting Group mengungkapkan bahwa proses pembelian secara impulse buying atau yang tidak direncanakan di Indonesia relatif sangat tinggi. Dibandingkan dengan

7 konsumen di Amerika Serikat, konsumen kita memiliki proses pembelian impuls sekitar 15% hingga 20% lebih tinggi (sumber: http://www.marketing.co.id/). Grafik dibawah ini menunjukan peningkatan perilaku impulse buying yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia pada tahun 2003 dan 2011. Perbandingan Perilaku Impulse Buying Tidak pernah membuat rencana belanja Membeli barang di luar daftar belanjaan 39% 11% 13% 21% 2003 2011 Sumber : www.antaranews.com Gambar 1.3 Perbandingan Perilaku Impulse Buying antara 2003 dan 2011 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nielsen melalui wawancara tatap muka dengan 1804 responden di Bandung, Jakarta, Makassar, Medan dan Surabaya dengan belanja rumah tangga lebih dari Rp1,5 juta per bulan. Dua aspek perilaku yaitu tidak pernah membuat rencana pembelian naik dari angka 11% (2003) menjadi 21% (2011) dan membeli barang di luar daftar belanjaan yang meningkat dari 13% (2003) menjadi 39% (2011). Hal ini menunjukan gambaran bahwa perilaku impulse buying sangat berkembang di masyarakat Indonesia yang tentunya menjadi hal yang harus diperhatikan oleh peritel untuk melakukan

8 inovasi dalam strategi pemasaran agar konsumen yang datang dapat membeli barang di luar daftar belanjaannya. Peneliti melakukan survey pra penelitian untuk melihat karakteristik impulse buying para konsumen di Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung Festival Citylink dengan cara memberikan kuesioner survey dengan jumlah responden 30 orang yang diambil secara acak (Target survey merupakan konsumen Lotte Mart yang dilakukan pada 3 Oktober 2013) dengan hasil sebagai berikut : 48% 47% 47% 46% 46% 45% 45% 44% 44% 43% 43% Hasil Survey Pra Penelitian Perilaku Impulse Buying di Hipermarket Lotte Mart 47% Membeli barang yang tidak direncanakan sebelumnya 44% Membeli barang atas dorongan dari promosi penjualan, iklan dsb 47% Membeli barang secara tibatiba Sumber: hasil survey pra penelitian Gambar 1.4 Survey Pra Penelitian Perilaku Impulse Buying di Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung Survey dilakukan oleh peneliti kepada 30 orang konsumen di Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung dengan masing-masing item pernyataan 1) Membeli barang di Lotte Mart diluar dari yang telah direncanakan sebelumnya, 2) Membeli

9 barang di Lotte Mart diluar perencanaan karena dorongan dari promosi penjualan, iklan atau dorongan lainnya, dan 3) Membeli barang di Lotte Mart secara tiba-tiba pada saat itu juga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen hipermarket Lotte Mart yang membeli barang tanpa perencanaan sebanyak 47%, membeli barang karena dorongan dari promosi penjualan, iklan atau dorongan lainnya sebanyak 44% dan membeli barang secara tiba-tiba sebanyak 47%. Hasil survey yang dilakukan oleh peneliti memberikan gambaran bahwa perilaku impulse buying di Lotte Mart masih cukup rendah. Dalam rangka meningkatkan hal tersebut, Lotte Mart perlu melakukan suatu pendekatan promosi yang tepat agar dapat merangsang perilaku impulse buying tersebut. Terrence A Shimp (2003) menyatakan bahwa point of purchase communication merupakan salah satu alat promosi dengan menggunakan displays, signs, serta material komunikasi lainnya yang dapat menstimulasi impulse buying. Pernyataan ini didasari oleh studi mengenai consumers buying habits yang dilakukan oleh Point of Purchase Advertising Institute (POPAI). Para pemasar ritel sebaiknya dapat menggunakan point of purchase ini secara optimal. Dari hasil literatur yang peneliti baca, para pemasar ritel lebih banyak memilih untuk menggunakan material point of purchase mereka sendiri daripada yang diberikan oleh produsen agar lebih mudah disesuaikan dengan keadaan gerai. Contoh point of purchase yang telah ada di hipermarket Lotte Mart yaitu assortment display, ensemble display, case display, cut case, dan dump bin. Material inilah yang dapat digunakan sebagai alat promosi untuk meningkatkan impulse buying.

10 Pemaparan latar belakang ini memang menitikberatkan fokus penelitian pada proses pemasaran yang harus dilakukan oleh peritel untuk meningkatkan penjualan dengan memanfaatkan perilaku impulse buying menggunakan alat promosi point of purchase communication sehingga mampu menggapai target seperti yang dimiliki oleh Lotte Mart Festival Citylink, yaitu menjadi peritel hipermarket dengan tingkat penjualan paling tinggi di Kota Bandung. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk mengkaji dengan judul Pengaruh Point of Purchase Communication terhadap Impulse Buying (Studi terhadap Konsumen Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung) 1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah 1.2.1 Identifikasi Masalah Peralihan kebiasaan konsumen dari berbelanja di pasar tradisional ke ritel modern menciptakan persaingan antar perusahaan ritel yang ada di Indonesia menjadi semakin ketat. Hal ini memicu produsen untuk semakin matang dalam melakukan strategi promosi. Impulse buying merupakan perhatian utama bagi perusahaan ritel untuk dapat meningkatkan penjualan karena hampir setengah dari total penjualan adalah hasil dari perilaku impulse buying yang dilakukan oleh konsumen. Karakter masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa perilaku impulse buying terus meningkat setiap tahunnya, sehingga fenomena ini menjadi kesempatan yang sangat baik untuk para pemasar perusahaan ritel untuk

11 memanfaatkan perilaku impulse buying ini dengan bijak. Strategi promosi dengan menggunakan point of purchase communication yang baik merupakan suatu keharusan bagi setiap perusahaan ritel karena disinyalir akan mempengaruhi impulse buying konsumen. Oleh karena itu Lotte Mart dengan ambisinya untuk menjadi perusahaan ritel hipermarket dengan tingkat penjualan tertinggi harus melaksanakan point of purchase communication dengan lebih baik lagi. 1.2.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang disampaikan dalam uraian di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi konsumen terhadap pelaksanaan point of purchase communication yang dilakukan oleh Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung. 2. Bagaimana perilaku impulse buying yang dilakukan oleh konsumen Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung. 3. Seberapa besar pengaruh antara pelaksanaan point of purchase communication terhadap impulse buying oleh konsumen Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung menurut responden. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

12 Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data, mengolah, menganalisis dan menarik kesimpulan yang didasarkan hasil analisis data dan teori yang dikemukakan oleh para ahli/ilmuwan yang menguasai bidangnya. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengetahui persepsi konsumen terhadap pelaksanaan point of purchase communication yang dilakukan oleh Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung. 2. Untuk mengetahui perilaku impulse buying yang dilakukan oleh konsumen Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung. 3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh antara pelaksanaan point of purchase communication terhadap impulse buying yang dilakukan oleh konsumen Hipermarket Lotte Mart Kota Bandung. 1.3.2 Kegunaan Penelitian 1.3.2.1 Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas bahan kajian ilmu manajemen pemasaran, khususnya mengenai pentingnya point of purchase communication untuk meningkatkan impulse buying bagi perusahaan ritel serta dapat meningkatkan pemahaman yang komprehensif mengenai teori-teori pemasaran dalam ilmu ekonomi secara general. 1.3.2.2 Kegunaan Praktis

13 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap pihak Hipermarket Lotte Mart mengenai pengaruh point of purchase communication dalam meningkatkan impulse buying. Hasil penelitian ini pula diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan point of purchase communication dan pemanfaatan fenomena impulse buying terhadap pemasaran ritel Hipermarket Lotte Mart.