IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH

dokumen-dokumen yang mirip
IV. METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU

VII. RESPON PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

X. ANALISIS KEBIJAKAN

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

BAB I. Pendahuluan. yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI KABUPATEN BIREUEN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU. I. PENDAHULUAN

FOREST LANDSCAPE RESTORATION

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Pedoman. DAS. Terpadu. Pengelolaan. Pencabutan.

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Negara

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

DAFTAR PERATURAN Versi 31 Agustus 2012

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 20

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

BUPATI POLEWALI MANDAR

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

4. BAB IV: REKOMENDASI. Berikut adalah rekomendasi yang diberikan untuk evaluasi model kelembagaan Sekertariat Bersama Kartamantul:

Rencana Umum Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan;

REVITALISASI KEHUTANAN

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 39/Menhut-II/2009 TENTANG

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN KABUPATEN ALOR

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

Pemetaan Kelembagaan dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis DAS Bengawan Solo Hulu

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Page 1

PENGEMBANGAN KONSEP MANAJEMEN ASET KELEMBAGAAN SUMBERDAYA AIR PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOGAWA I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. kendala utama dalam kegiatan pengelolaannya. Dalam rangka memudahkan. pengelolaan DAS maka dikembangkan Model DAS Mikro menggunakan

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik

LANSKAP HUTAN BERBASIS DAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

Transkripsi:

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumber daya yang menyangkut dan melibatkan banyak pihak dari hulu sampai hilir dengan kepentingan dan pengaruhnya berbeda-beda, sehingga keberhasilannya pun sangat ditentukan oleh pihak-pihak yang berperan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Hasil analisis stakeholder menetapkan ada tiga kelompok stakeholder yang terlibat langsung dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh yakni pemerintah daerah, masyarakat hulu dan masyarakat hilir, dengan kepentingan, sikap dan tingkat pengaruhnya masingmasing seperti terlihat pada Tabel 33. Meskipun memiliki kepentingan yang berbeda-beda, namun yang menarik, semua stakeholder memiliki sikap saling mendukung terhadap kepentingan satu sama lain, sehingga sikap yang demikian bisa menjadi modal dalam mensukseskan program-program yang ada bagi keberlanjutan manfaat Sub DAS kedepannya. Pemerintah daerah sebagai unsur pemegang otoritas kebijakan direpresentasikan oleh 5 instansi sektoral yaitu: Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, dan DPRD. Dari 5 stakeholder tersebut, dua diantaranya dinilai memiliki pengaruh paling kuat yakni: Bappeda dan DPRD. Bappeda memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam menyusun perencanaan tata ruang DAS dan memasukkan pengelolaan DAS dalam program pembangunan daerah (RPJP dan RPJM). Sedangkan DPRD memiliki fungsi legelislasi, penganggaran dan pengawasan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Pekerjaan Umum masuk kategori kuat. Kedua instansi ini ditetapkan sebagai leading sector atau aktor utama dalam konteks pengelolaan Sub DAS, dimana Dinas Kehutanan dan Perkebunan bertanggung jawab bagi kelestarian di bagian hulu, dengan sejumlah agenda antara lain : mereview lahan kritis setiap lima tahun, menjaga dan mempertahankan kawasan hutan dan sempadan sungai, melakukan rehabilitasi lahan kritis dan reboisasi dan mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar hutan..

120 Tabel 33. Analisis stakeholder menurut sikap dan pengaruh dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh Satkeholder Kepentingan Kriteria Evaluasi Keputusan Sikap Pengaruh Total Pemerintah daerah : a. Bappeda b. DPRD Kabupaten Sumbawa - Terpeliharanya sumber-sumber mata air dan daerah tangkapan air (DTA) 3 3 5 5 15 15 Dilibatkan Dilibatkan c. Dinas Kehutanan dan Perkebunan - Terdistribusinya manfaat Sub DAS 3 4 12 Dilibatkan Kabupaten Sumbawa secara optimal, adil dan berkelanjutan d. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten 3 4 12 Dilibatkan Sumbawa - Masyarakat sekitar hutan atau e. Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa masyarakat hulu semakin berdaya 3 3 9 Dilibatkan Masyarakat hilir : Terdistribusinya manfaat Sub DAS PDAM 3 2 6 Dilibatkan secara optimal, adil dan berkelanjutan GP3A/P3A 3 2 6 Dilibatkan Masyakat Hulu Sumber : Data Primer diolah, 2011 Memperoleh insentif atau imbal jasa atas sejumlah inisiatif dan upaya dalam pelestarian sub DAS 3 2 6 Dilibatkan

121 Sedangkan Dinas Pekerjaan Umum dibebankan tanggung jawab di bagian hilir, dengan tugas diantaranya membangun dan menyediakan sarana dan prasarana jaringan irigasi, membangun dan menyediakan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air, dan menyusun rencana induk tata guna sumber daya air. Dinas Pertanian yang masuk kategori cukup kuat, bertanggung jawab dalam mengembangkan teknik budidaya yang memiliki nilai konservasi. Sementara PDAM, GP3A/P3A (representasi dari masyarakat hilir) dan masyarakat hulu, merupakan stakeholder yang memiliki tingkat pengaruh rendah. Meskipun demikian, hasil analisis stakeholder memutuskan bahwa ketiganya tetap dipandang perlu diikutsertakan dalam pengelolaan Sub DAS. Hal ini senada dengan semangat undang-undang yang menempatkan masyarakat sebagai bagian dari pelaku pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya termasuk DAS, misalnya pada Paragraf 11 penjelasan umum UU No.41/1999 tentang kehutanan menerangkan bahwa.peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilan dari penyelanggaraan kehutanan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana tingkat keterlibatan stakeholder tersebut dalam pengelolaan Sub DAS, dengan tingkat pengaruh dan peran yang dimilikinya? Hasil análisis stakeholder lebih lanjut didapatkan informasi bahwa secara keseluruhan stakeholder belum terlibat secara penuh dalam pengelolaan Sub DAS, termasuk stakeholder-stakeholder yang memiliki pengaruh besar (lihat Gambar 25). Rata-rata stakeholder memiliki tingkat keterlibatan dalam kategori sedang. Semestinya stakeholder, terutama yang memiliki fungsi dan kewenangan yang tinggi dan berada pada level operasional (eksekusi kebijakan) misalnya Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian harus terlibat secara penuh dalam rangka memerankan fungsinya, sehingga mampu memberikan pengaruh yang signifikan bagi perbaikan Sub DAS. Demikian pula halnya dengan DPRD, meskipun bukan sebagai stakholder yang berada pada level pelaksana kebijakan, namun fungsi legislasi dan penganggaran yang dimilikinya, menjadikan lembaga ini penting untuk dioptimalkan perannya, misalnya dalam konteks menghadirkan regulasi sebagai aturan main bagi setiap stakeholder dalam bertindak di level operasional kebijakan, mengingat regulasi tersebut menjadi syarat perlu (necessary condition)

122 bagi terselenggaranya pengelolaan DAS yang optimal dan lestari. Keberadaan regulasi tersebut semakin penting untuk sesgera mungkin dihadirkan untuk mengisi kekosongan akibat ketiadaan aturan di level atas yang secara spesifik mengatur tentang penyelenggaraan pengelolaan DAS. Peraturan perundangundangan yang ada saat ini, misalnya UU No.7/2004 tentang sumber daya air belum cukup menjadi penawar atas persoalan yang terjadi pada Sub DAS Batulanteh. Selanjutnya masyarakat hulu dengan pengaruh dan kewenangan yang relatif rendah, tidak kemudian menjadikan stakeholder ini tidak perlu dioptimalkan perannya. Keterlibatannya perlu dioptimalkan sehingga terjadi sinergisitas, mengingat masyarakat hulu adalah stakeholder dengan intensitas interaksi paling tinggi terhadap sumber daya Sub DAS. Akitivitasnya di hulu akan memberikan dampak (positif atau negatif) pada daerah hilir. Sehingga intervensi pada daerah hulu harus dijadikan perioritas oleh stakeholder pada level pembuat kebijakan. Eratnya keterkaitan antara hulu dan hilir, menjadikan masyarakat hilir sebagai stakeholder yang mengambil manfaat atas jasa yang dihasilkan Sub DAS tidak kalah pentingnya dengan stakeholder lain untuk dioptimalkan perannya. Bentuk keterlibatannya barangkali bisa didekati dengan makanisme PES, sehingga dampak dari aktivitas ekonomi di hilir dapat dinikmati oleh masyarakat hulu sebagai penyedia jasa. 6 Tingkat keterlibatan 5 4 3 2 1 I IV GP3A/ P3A Masy. Hulu PDAM D. Pertanian Dishutbun Dinas PU Bappeda DPRD II III 1 2 3 4 5 6 Tingkat pengaruh Gambar 25. Tingkat pengaruh dan keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh (Sumber: Data primer diolah, 2011)

123 6.6 Re-Desain Kelembagaan Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Telah dipahami bersama bahwa syarat terselenggaranya pengelolaan DAS yang berkelanjutan adalah adanya keterpaduan tindak atau aksi para pihak dengan prinsip satu DAS, satu perencanaan dan satu pengelolaan. Untuk menyokong prinsip pengelolaan yang demikian, maka menghadirkan kelembagaan yang efektif dan efisien menjadi necessary condition. Pada bagian terakhir dari tesis ini, dibahas mengenai desain kelembagaan yang memungkinkan untuk dikembangkan khusus dalam konteks Sub DAS Batulanteh. Mencermati kondisi eksisting yang terungkap dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa kelembagaan yang ada, mulai dari aturan main berupa peraturan perundang-undangan sampai pada bentuk pengorganisasiannya berupa komisi irigasi yang telah dibentuk berdasarkan SK Bupati : No. 407/kpts/2010 belum begitu efektif dalam menjawab persoalan lahan kritis di kawasan Sub DAS Batulanteh. Hasil analisis terhadap aturan main yang ada, misalnya masih banyak ditemukan kasus ketidaktepatan peletakan kewenangan atas urusan yang diatur. Kemudian minimnya pengaturan terkait isu dinamika penggunaan lahan pada hak kepemilikan masyarakat. Demikian pula pada tataran pelaksanaan peraturan sebagai bentuk respon pemerintah daerah dan masyarakat, juga belum optimal dan efektif. Kondisi aturan main dan respon tersebut diperparah lagi oleh ketidakefektifan rezim kepemilikan pribadi di dalam domain publik serta keterlibatan stakeholder terutama stakeholder dengan kewenagan tinggi masih relatif rendahnya. Didasari pada hasil diagnosa di atas, maka kelembagaan yang ada perlu dilakukan koreksi atau pembenahan baik pada level aturan main maupun bentuk pengorganisasiannya. Pada level aturan main dimulai dari : pertama, penataan peraturan perundang-undangan menyakut peletakan kewenangan atas sejumlah urusan yang dinilai tidak tepat. Penataan ini diperlukan karena ketidaktepatan tersebut, bukan saja tidak berada pada satu tingkatan yang sama, tetapi akan menghadirkan permasalahan terkait dengan rentang kendali dan pada akhirnya akan membutuhkan pengawasan yang ekstra kuat. Ketika pengawasan tidak bisa dioptimalkan, akibat mahalnya biaya pengawasan maka pengelolaan hutan yang dijahatkan untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi sulit dipenuhi.

124 Sebagaimana telah diungkap pada bab sebelumnya, salah satu contoh urusan yang dinilai tidak tepat peletakan kewenangannya dan berimplikasi pada tidak optimalnya pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dalam kawasan DAS ialah penyusunan dan penetapan rencana teknis rehabilitasi hutan dan lahan dalam kawasan DAS (RTkRHL-DAS) yang diatur dalam UU No.41/1999. Urusan tersebut menjadi kewenangan Menteri, yang semestinya cukup menjadi kewenangan organisasi KPH sebagai organisasi penyelenggara pengelolaan hutan, karena Menteri tentu memiliki keterbatasan informasi atas kondisi biofisik dan karakteristik DAS yang khas, akibat persoalan rentang kendali yang demikian jauh tadi. Penyusunan RTkRHL-DAS, tanpa ditunjang oleh informasi yang cukup, dipastikan dokumen yang dihasilkan kurang relevan untuk diaplikasikan guna menjawab persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS Batulanteh. Kedua, penyempurnaan regulasi pada level daerah, dalam hal ini RAPERDA pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh. Penyempurnaan tersebut perlu dilakukan, mengingat urusan yang diatur terbatas pada tata cara pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, kemudian hak dan kewajiban masyarakat hulu serta pembentukan komisi pengelolaan Sub DAS. Mengutif kembali ungkapan Saidman and saidman (2004) yang menerangkan bahwa salah satu faktor penyebab dari adanya perilaku menyimpang masyarakat dalam konteks interaksinya dengan sumber daya alam adalah terkait dengan ada atau tidak adanya peraturan. Ketika peraturan telah ada, namun perilaku menyimpang tersebut masih terjadi, maka ada kemungkinan ketentuan yang diatur dalam peraturan tidak jelas dan atau tidak lengkapdan atau tidak tegas. Penyempurnaan ini dihajatkan agar kehadiran regulasi tersebut nantinya mampu mengisi kekosongan atas ketiadaan aturan main yang secara spesifik mengatur penyelenggaraan pengelolaan DAS di level atas. Isu-isu yang mungkin bisa diakomodir dalam rangka penyempurnaannya, antara lain : mekanisme cost sharing antara pemerintah, pemda, swasta, masyarakat, kemudian mekanisme pemanfaatan dana internasional; sistem insentif dan disinsentif dalam merespon isu dinamika penggunaan lahan pada hak kepemilikan masyarakat yang notabene belum mampu diakomodir oleh UU No.7/2004 serta kejelasan batasan wewenang peran, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dari hulu sampai hilir.

125 Setelah pembenahan pada aturan main, kemudian ditindaklanjuti pada aspek pengorganisasiannya dalam hal ini komisi irigasi. Sesuai dengan semangatnya untuk meretas persoalan sulitnya berkoordinasi, maka wadah ini harus dioptimalkan keberadaannya untuk mampu berperan lebih besar dengan menambah beban kerja dan wewenangnya, serta unsur keanggotaannya diperluas dengan jumlah yang seimbang dengan prinsip keterwakilan, sehingga tidak hanya terbatas pada zona hilir sebagai wilayah tanggung jawabnya, namun mampu menjembatani kepentingan hulu dan hilir serta mampu membuka peluang kerjasama dengan pihak luar. Dengan pembenahan aturan main dan wadah koordinasi-tempat para pihak menyusun strategi dan rencana aksi secara kolektif, maka diharapakan akan lahir pendekatan satu DAS, satu perencanaan dan satu pengelolaan dalam penyelenggaraan pengelolaan dan pemanfaatan Sub DAS Batulanteh kedepannya.