Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontoha

dokumen-dokumen yang mirip

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

Baharinawati W.Hastanti 2

DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

BAB IV METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

HASIL ANALISA VEGETASI (DAMPAK KEGIATAN OPERASIONAL TERHADAP TEGAKAN HUTAN)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

II. METODOLOGI. A. Metode survei

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Respon Pertumbuhan Meranti Merah Terhadap Lebar Jalur Tanam dan Intensitas Cahaya Matahari dalam Sistem Silvikultur TPTJ

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1. Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk

MONITORING LINGKUNGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

LATAR BELAKANG JATI PURWOBINANGUN 5/13/2016

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELlTlAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

Hubungan Lebar Jalur Tanam dengan Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea leprosula Miq.) dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

Penyiapan Benih Unggul Untuk Hutan Berkualitas 1

IV. METODE PENELITIAN

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

III. METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang menjadi sentra penanaman jati adalah puau Jawa (Sumarna, 2007).

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah

PERKEMBANGAN TEGAKAN SETELAH PENEBANGAN DI AREAL IUPHHK-HA PT. BARITO PUTERA, KALIMANTAN TENGAH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan di PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

Analisis Vegetasi Hutan Alam

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

MONITORING LINGKUNGAN

PEDOMAN PENGUNDUHAN BENIH PADA PANEN RAYA DIPTEROKARPA 2010

Latar Belakang Tujuan Penelitian Bahan dan metode Hasil & Pembahasan Kesimpulan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. terutama Hutan Tanaman Industri (HTI). jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing) dari suku Dipterocarpaceae

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (Shorea leprosula) pada Jalur Tanam. Sistem silvikultur TPTII mempunyai dua lokasi pengelolaan, yaitu Jalur Tanam dengan sistem tebang habis permudaan buatan dan Jalur Antara dengan sistem tebang pilih. Jalur Tanam dibuat dengan lebar 3 m dan jarak tanam dalam jalur ditetapkan 2,5 m. Penanaman dalam jalur ini bertujuan agar tanaman S. leprosula mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhannya disamping mempermudah aspek pengawasan dan pemantauan. Hutan alam yang lebat dan rapat menyebabkan sinar matahari sangat sedikit tersedia bagi pertumbuhan anakan. Karenanya diperlukan pembukaan tajuk pohon agar sinar matahari dapat mencapai lantai hutan dan memacu pertumbuhan anakan. Penelitian mengungkapkan bahwa pertumbuhan tanaman Meranti memerlukan sinar matahari secara bertahap dan akan terganggu pertumbuhannya apabila kekurangan sinar (Soekotjo 2009). Pertumbuhan tanaman adalah suatu proses yang dilalui oleh tanaman untuk meningkatkan ukurannya (tinggi dan diameter) dengan menggunakan faktorfaktor lingkungan yang dibutuhkan. Mengetahui pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman merupakan salah satu faktor penting menentukan keberhasilan pengaturan kelestarian hasil. Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik diperlukan pemilihan jenis yang tepat, modifikasi tempat tumbuh dan pemeliharaan yang intensif sehingga pertumbuhan tanaman dapat ditingkatkan untuk diterapkan pada kegiatan penanaman dalam rangka silvikultur intensif. Pertumbuhan suatu tanaman merupakan hasil interaksi antara faktor-faktor genetik dan lingkungannya. Keduanya mengendalikan mekanisme tumbuh yang dinyatakan dalam kegiatan fisiologis. Berapa jauh tanggap fisiologis ini terhadap faktor-faktor lain sangat ditentukan oleh derajat toleransi tanaman bersifat genetik (Kramer dan Kozlowski, 1960). Tanaman akan menunjukkan pertumbuhan yang baik apabila tanaman tersebut mampu beradaptasi yang sempurna di tempat tumbuhnya.

58 5.1.1. Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontohan penerapan sistem silvikultur TPTII pada tahun 2005. Dalam perkembangannya perusahaan ini membuat satu unit manajemen tersendiri yang secara khusus menangani penerapan sistem silvikultur TPTII. Pada tingkat operasional kegiatan TPTII dipusatkan di Base Camp TPTII KM 64, terpisah dari Base Camp TPTI. Gambaran intensifikasi budidaya tanaman kehutanan terlihat di tempat tersebut. Tahapan operasional TPTII di PT Sukajaya Makmur meliputi pengadaan bibit, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan perlindungan tanaman. Tahapan pengadaan bibit dan pemeliharaan merupakan tahapan operasional paling penting dalam menentukan keberhasilan tanaman. Kegiatan pengadaan bibit dilakukan di Persemaian khusus untuk Tanaman TPTII terletak di KM 62, menyatu dengan Base Camp dengan luas 0,8 ha. Sampai saat ini persemaian tersebut telah memproduksi bibit sebanyak 1.126.050 (satu juta seratus dua puluh enam ribu lima puluh) batang, yang terdiri dari berbagai jenis bibit Meranti (Shorea sp). Ada tiga jenis bentuk pengadaan bibit dilaksanakan oleh PT. SJM. Pertama dari benih yang disemai, benih tersebut diperoleh dari tegakan alam yang ada di areal hutan. Kedua diperoleh dari stek pucuk, berasal dari kebun pangkas yang berada di lahan persemaian. Ketiga diperoleh dari cabutan, berasal dari anakan yang tersebar di bawah tegakan areal hutan. Kegiatan pengadaan bibit di PT. SJM belum sepenuhnya memenuhi kaidah-kaidah pengadaan bibit sebagaimana digariskan pada sistem silvikultur TPTII. Pengadaan bibit masih terpaku pada alam, belum sepenuhnya mengandalkan bibit unggul yang sudah diketahui fenotif dan genotifnya. Penggunaan bibit unggul dalam sistem silvikultur TPTII merupakan prinsip mutlak yang harus diterapkan. Tahapan penting lainnya dalam kegiatan TPTII adalah pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan mempunyai peranan yang cukup penting dalam keberhasilan tanaman. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh PT. SJM hanya mencapai 999,31 ha dari rencana seluas 4074 atau hanya mencapai 24,53%. Kondisi ini pasti berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman pada

59 tahap awal memerlukan pemeliharaan yang intensif. Tanaman harus terbebas dari gulma agar mencapai pertumbuhan yang optimal. Kondisi Jalur Tanam yang dipenuhi oleh gulma sangat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan gulma pada Jalur Tanam lebih cepat sehingga menutup tanaman. Tanaman yang tetutup oleh gulma petumbuhannya kerdil bahkan ada yang sampai mati. Beberapa tanaman juga mengalami etiolasi karena tertutup oleh gulma. Sistem silvikultur TPTII telah mensyaratkan manipulasi lingkungan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Manipulasi lingkungan tersebut diantaranya adalah pembukaan tajuk. Pembukaan tajuk memungkinkan tanaman Meranti mendapatkan ruang dan cahaya yang lebih besar. Peran pembukaan tajuk tersebut akan hilang apabila tidak ada pemeliharaan. Jalur Tanam akan didominasi oleh gulma apabila tidak dilaksanakan pemeliharaan yang intensif. Kegiatan pengadaan bibit dan pemeliharaan tanaman di PT. SJM mempunyai keterkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman di PT.SJM pada penelitian ini relatif rendah bila dibandingkan dengan beberapa penelitian lainnya. Kondisi pertumbuhan tanaman diuraikan dalam hasil penelitian ini. Dua kondisi kegiatan ini membuat penerapan sistem silvikultur TPTII di PT. SJM belum memenuhi syarat kecukupan. 5.1.2. Pertumbuhan Diameter Salah satu fungsi ekosistem adalah produktivitas. Produktivitas tanaman dapat diukur melalui beberapa parameter, salah satunya adalah pertumbuhan diameter, disamping karena mudah pelaksanaannya, juga memiliki keakuratan yang cukup tinggi. Oleh karena itu pertumbuhan diameter dapat digunakan untuk menjelaskan produktivitas tanaman (Pamoengkas 2006). Rata-rata diameter tanaman S. leprosula, yang ditanam pada Jalur Tanam TPTII pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 4. Tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII mengalami pertumbuhan normal. Pertambahan nilai rata-rata diameter pada semua umur menunjukan bahwa tanaman tersebut tumbuh normal. Secara berurutan tanaman S. leprosula pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun mempunyai nilai rata-rata diameter sebesar 0,36 cm, 0,99 cm, 1,81 cm, 2,78 cm dan 3,86 cm. Pada setiap umur

60 terjadi peningkatan nilai rata-rata diameter. Dengan demikian tanaman tersebut terkatagori tumbuh normal. Tabel 4. Pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula pada jalur tanam dalam sistem silvikultur TPTII. Umur (Th) Diameter (cm) MAI (cm/th) 1 0,36 0,36 2 0,99 0,50 3 1,81 0,60 4 2,78 0,69 5 3,86 0,77 Sebagai pembanding dari hasil penelitian ini perlu dikemukakan hasil penelitian beberapa IUPHHK yang menerapkan silvikultur TPTII. Pada umur 5 tahun tanaman S. leprosula yang berada di Jalur Tanam di PT. SJM mempunyai rata-rata diameter sebesar 7,95 cm (Sardiyanto 2010), nilai tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang hanya mencapai 3,86 cm. Hal ini dimungkinkan karena Plot yang diukur merupakan petak ukur permanen yang dipelihara dengan baik sehingga tanaman yang diukur mempunyai pertumbuhann yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman operasional. Tanaman operasional mempunyai intensitas pemeliharaan hanya mencapai 24,53%, sedangkan tanaman PUP pemeliharaannya mencapai 100%. IUPHHK PT. Balik Papan Forest Industri mempunyai tanaman operasional S. leprosula dengan rata-rata diameter 5,57 cm (PT. BFI 2010), PT. SBK tanaman operasionalnya mempunyai rata-rata diameter 11 cm (Purnomo et al 2010), PT. Erna Djuliawati mempunyai rata-rata diameter 4,6 cm (PT. Erna Djuliawati 2010). Semua IUPHHK tersebut di atas mempunyai rata-rata diameter yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini, kecuali IUPHHK PT. Sarpatim (2010) yang mempunyai tanaman operasional dengan rata-rata diameter 3,7 cm, lebih kecil dibandingkan dengan penelitian ini. Perbedaan tempat tumbuh dan sumber benih yang sangat variatif merupakan penyebab dari perbedaan pertumbuhan diameter tersebut. Riap adalah salah satu informasi yang paling esensial dan mendasar dalam penyusunan ketentuan-ketentuan pada perencanaan pengelolaan hutan. Riap diartikan sebagai pertambahan dimensi tanaman atau tegakan hutan selama selang

61 waktu tertentu (Vanclay 1994). Pertumbuhan riap MAI diameter tanaman S. leprosula umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun tertera pada Tabel 4. Riap diameter tanaman S. leprosula yang ditanam pada sistem silvikultur TPTII sangat bervariasi, meskipun demikian riap tersebut cenderung meningkat. Pada Umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun, masing-masing mempunyai riap diameter sebesar 0,36 cm/tahun, 0,50 cm/tahun, 0,60 cm/tahun, 0,69 dan 0,77 cm/tahun. Riap diameter pada penelitian ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian pada beberapa IUPHHK yang menerapkan silvikultur intesif, seperti di PT. SBK riap diameternya mencapai 2,53 cm/tahun (Purnomo et al 2010), PT. Erna Djuliawati (2010) mencatatkan hasil pengukuran riap diameternya 2,80 cm/tahun, Litbang PT. SJM tempat penelitian ini dilakukan mencatatkan riap diameter sebesar 1,94 cm/th (Sardiyanto 2010), nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang hanya mencapai 0,77 cm/tahun. PT. BFI (2010) mencatatkan riap diameter tanaman sebasar 1,39 cm/tahunh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Perbedaan riap pertumbuhan hasil penelitian ini dengan yang lainnya disebabkan oleh perbedaan tempat tumbuh dan variasi dari sumber benih. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Litbang PT. SJM mempunyai plot yang berbeda dengan penelitian ini, yaitu plot yang ada di dalam PUP. Faktor intensitas pemeliharaan yang terjadi antara plot PUP dengan tanaman operasional menyebabkan pertumbuhan riap tanaman yang berbeda. Tanaman operasional intensitas pemeliharaannya hanya mencapai 24,52% sedangkan PUP mencapai 100%. Menurut Tourney dan Korstia (1974) dalam Simarangkir (2000) mengemukakan pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Akan tetapi pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak mampu menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah. Selain itu produk fotosintesis sebanding dengan total luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Pernyataan Baker et al, (1992) bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel.

Diameter (cm) 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 1 2 3 4 5

63 Persamaan tersebut mempunyai nilai koefesien determinasi (R 2 ) sebesar 96,2 % (Lampiran 9). Pada Tabel 5. tertera nilai rata-rata tinggi tanaman S. leprosula pada berbagai umur. Secara berurutan tanaman S. leprosula pada umur 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun mempunyai nilai rata-rata tinggi sebesar 0,90 m, 1,87 m, 2,86 m, 3,87 m dan 4,89 m. Pada setiap pertambahan umur terjadi peningkatan nilai rata-rata tinggi tanaman, maka tanaman tersebut terkatagori tumbuh normal. Nilai rata-rata tinggi dari tanaman S. leprosula pada penelitian ini cenderung moderat, berada pada kisaran nilai rata-rata tinggi hasil penelitian beberapa IUPHHK. PT. BFI (2010) mencatatkan nilai rata-rata tinggi tanaman 5,71 m, Litbang PT. SJM mencatatkan nilai rata-rata tingginya 5,6 m (Sardiyanto 2010), PT. Erna Djuliawati (2010) mencatatkan nilai rata-rata tingginya 4,41 m, dan PT. Sarpatim (2010) mencatatkan nilai rata-rata tingginya 6,8 m, semua nilai pembanding tersebut secara umum berkisar hampir sama dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini nilai rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman S. leprosula pada umur 1,5 tahun mencapai 1,4 m. Pertumbuhan tinggi tersebut lebih cepat bila dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman S. leprosula yang ditunjukkan oleh Sagala (1994). Sagala (1994) menjelaskan bahwa S. leprosula mempunyai pertumbuhan yang cepat dan lebih mampu tumbuh di tempat terbuka, S. leprosula dengan umur 1.5 tahun mempunyai tinggi 1.2 m sedangkan Shorea parvifolia pada umur yang sama tingginya 1 m di daerah yang ternaungi. Suhardi (1996) mengemukakan S. leprosula yang tumbuh di daerah terbuka menunjukkan pertumbuhan tinggi yang lebih baik yaitu 2.04 m daripada pada daerah ternaung 1.98 m. Pertumbuhan tinggi yang ideal harus diimbangi dengan pertumbuhan diameter. Pertumbuhan tinggi yang lebih cepat yang tidak sebanding dengan pertumbuhan diameter akan menyebabkan tanaman mempunyai penampakan lebih kurus. Kondisi ini dapat dilihat pada tegakan yang mempunyai kerapatan yang tinggi, atau jarak tanam yang rapat. Pembebasan tanaman dari gulma dan tanaman non target serta jarak tanam yang optimal akan memmacu pertumbuhan tanaman yang ideal.

Umur (tahun) Tinggi total (m) MAI (m/tahun) 1 0,90 0,90 2 1,87 0,93 3 2,86 0,95 4 3,87 0,97 5 4,89 0,98 Tinggi (m) 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 1 2 3 4 5

65 2010). PT. Erna Djuliawati (2010) dan PT. BFI (2010) mencatakan riap diameter tanaman masing-masing sebesar 1,22 m/tahun dan 1,43 m/tahun, nilai tersebut masih dalam kisaran nilai hasil penelitian ini. Pertumbuhan Shorea spp dilaporkan oleh Otasamo dan Adjers (1996) di Kalimantan Selatan menunjukan pertumbuhan yang lambat, disebabkan oleh kondisi iklim mikro yang tidak baik pada tapak penanaman, yaitu paparan langsung pada sinar matahari dan suhu udara yang tinggi pada permukaan tanah. Besarnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman berkaitan erat dengan intensitas keterbukaan tajuk. Pemberian naungan pada tanaman baik secara alami maupun buatan, akan berarti mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman tersebut, hal ini akan mempengruhi pertumbuhan maupun hasil tanaman. Daubenmire (1962). Peranan naungan disamping mengurangi kecepatan angin dan laju transpirasi, juga mengurangi laju evaporasi air permukaan tanah karena daya evaporasi udara yang menurun. Tetapi pada sisi yang berbeda, adanya naungan dapat menimbulkan kompetisi dalam pengambilan air dan nutrisi (Daubenmire, 1967). Tanaman S. leprosula sampai umur 5 tahun mempunyai trend pertumbuhan tinggi yang meningkat. Gambar 7 menyajikan grafik pertumbuhan tinggi tanaman S. leprosula pada jalur tanam dalam silvikulur TPTII. kurva pertumbuhan tinggi tersebut merupakan bentuk awal kurva pertumbuhan tanaman pada umumnya, atau biasa disebut dengan kurva pertumbuhan tanaman pada tahap 1 dari 3 tahapan pertumbuhan (Gambar 3). Kurva ini masih berbentuk logaritmix. Pada kurva pertumbuhan tanaman tahap 1 terdapat hubungan yang positif antara umur dengan tinggi. Tinggi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman. 5.1.4. Model Pertumbuhan Tanaman Meranti merah (S. leprosula) Pertumbuhan tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam diprediksi dengan membuat regresi antara umur dengan diameter. Model Pertumbuhan tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII mengikuti persamaan sebagai berikut :

60 Pertumbuhan Diameter Shorea leprosulla 50 Diameter (cm) 40 30 20 Diameter (cm) 10 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Umur (tahun)

67 merupakan daur tebangan dari tanaman Meranti. Daur tersebut lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Wahyudi (2011), dimana batas diameter tersebut dicapai dalam waktu 37 tahun. Tabel 6. Prediksi Pertumbuhan tanaman S. leprosula per pohon pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII Umur (th) Ratarata (cm) Diameter Tinggi Volume Ket MAI (cm/th) Ratarata (m) MAI (m/th) Ratarata (m3) MAI (m3/th) 5 3,86 0,77 4,89 0,98 0,0014 0,0009 10 10,77 1,08 10,13 1,01 0,0233 0,0016 15 19,64 1,31 15,50 1,03 0,1183 0,0108 20 30,06 1,50 20,98 1,05 0,3750 0,0349 21 32,31 1,54 22,08 1,05 0,4561 0,0811 22 34,62 1,57 23,19 1,05 0,5497 0,0936 23 36,97 1,61 24,29 1,06 0,6569 0,1073 24 39,38 1,64 25,41 1,06 0,7792 0,1223 25 41,83 1,67 26,52 1,06 0,9179 0,1386 26 44,33 1,70 27,63 1,06 1,0743 0,1564 27 46,88 1,74 28,75 1,06 1,2499 0,1756 28 49,47 1,77 29,87 1,07 1,4462 0,1963 29 52,11 1,80 30,99 1,07 1,6648 0,2186 30 54,79 1,83 32,12 1,07 1,9073 0,2425 Pada petunjuk pelaksanaan TPTII (Ditjen BPK 2005 dan Soekotjo 2009) telah ditetapkan bahwa daur tanaman adalah 30 tahun dengan batas diameter tebangan 40 cm. Mengacu pada model pertumbuhan tanaman maka batas diameter tersebut dapat diperoleh pada umur 25 tahun, dengan nilai diameter mencapai 41,83 cm (Tabel 6; Stabillo kuning). Dengan demikian pertumbuhan tanaman meranti pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Ditjen BPK dan Soekotjo (2009). Perusahaan juga telah memprediksi nilai diameter pada umur 25 tahun akan mencapai 50 cm (PT. SJM 2010), nilai ini lebih kecil dibanding dengan nilai dimeter hasil prediksi model pada tahun yang sama. Pada umur 25 tahun diameter tanaman diprediksi baru akan mencapai 41,83 cm (Tabel 6). Apabila perusahaan menetapkan batas diameter tebangan sebesar 50 cm pada umur 25 tahun, maka daur tersebut tidak akan tercapai. Daur tersebut akan tercapai lebih lama 4 tahun.

68 Konsekwensi manajemen dari kondisi tersebut adalah perlunya penerapan kaidah-kaidah sistem silvikultur TPTII yang lebih nyata di lapangan. Penggunaan bibit unggul dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif akan meningkatkan riap pertumbuhan tanaman. Realitas di lapangan bibit yang digunakan untuk penanaman masih bersalal dari alam yang belum terseleksi keunggulannya. Intensitas pemeliharaan tanaman dalam kurun waktu 5 tahun hanya mencapai 24,52% dari total luasan yang ada. Kedua faktor tersebut perlu diperhatikan dan ditingkatkan realisasinya di lapangan, sehingga target riap yang telah digariskan oleh manajemen PT. SJM dapat tercapai dengan tepat. 5.1.5. Prakiraan Potensi Tegakan Dalam penentuan model pertumbuhan volume digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : a. Menggunakan silvikultur TPTII, yaitu penanaman dalam jalur tanam selebar 3 m dengan jarak tanam 2,5 m x 20 m sehingga dalam satu hektar terdapat 200 tanaman (Ditjen BPK 2005) b. Penelitian ini mencatatkan areal efektif untuk penanaman dalam jalur tanam sebesar 79,8 % c. Faktor eksploitasi 0,8 dan faktor pengaman sebesar 0,7 (Soekotjo 2009) d. Pada akhir daur setelah dilakukan penjarangan jumlah tanaman menurun secara bertahap mulai dari 150, 125 da100 pohon per hektar. Pencapaian diameter tanaman S. leprosula sebesar 50 cm ke atas menjadi acuan untuk menentukan daur tanaman. Batasan diameter 50 cm ini menjadi penting karena banyak industri pengolahan kayu yang memerlukan kayu bulat berdiameter minimal 50 cm. Harga kayu bulat kelompok Meranti akan lebih tinggi bila telah mencapai diameter 50 cm ke atas. Pada umur 29 tahun diprediksi akan diperoleh tanaman S. leprosula yang telah mencapai diameter 50 cm ke atas (Tabel 7; Stabillo kuning). Pada saat itu akan diperoleh kayu bulat dari tanaman S. leprosula sebesar 166,48 m3/ha. Apabila luasan efektif tanaman sebesar 79,08% maka volume pada akhir daur akan mencapai 131,65 m3/ha. Hasil prediksi pertumbuhan ini lebih moderat dibandingkan dengan prediksi pertumbuhan Meranti yang diperkirakan oleh beberapa kalangan.

69 Tabel 7. Prediksi Potensi produksi tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII. Umur (tahun) Diameter (cm) Tinggi (m) Volume (m3/ph) Jumlah (pohon/ha) Potensi (m3/ha) 5 3,86 4,89 0,0014 200 0,29 10 10,77 10,13 0,0233 175 4,07 15 19,64 15,50 0,1183 150 17,74 20 30,06 20,98 0,3750 125 46,88 21 32,31 22,08 0,4561 100 45,61 22 34,62 23,19 0,5497 100 54,97 23 36,97 24,29 0,6569 100 65,69 24 39,38 25,41 0,7792 100 77,92 25 41,83 26,52 0,9179 100 91,79 26 44,33 27,63 1,0743 100 107,43 27 46,88 28,75 1,2499 100 124,99 28 49,47 29,87 1,4462 100 144,62 29 52,11 30,99 1,6648 100 166,48 30 54,79 32,12 1,9073 100 190,73 Ditjen BPK (2010) memprediksi potensi tanaman (standing stock) pada akhir daur (siklus tebang 30 tahun) sistem TPTII sebesar 320m3/ha. Dengan asumsi FE dan FP sebesar 0,7; luasan efektif tanaman 79,8 % dan sisa tanaman pada akhir daur sebesar 71,32 %, maka akan diperoleh kayu bulat sebesar 126,91 m3/ha. Menurut Na iem (2006) potensi tanaman (standing stock) pada akhir daur (siklus tebang 30 tahun) sistem TPTII sebesar 300 400 m3/ha atau rata-rata 350 m3/ha (Ditjen BPK 2010), dengan asumsi yang sama akan diperoleh kayu bulat sebesar 138,56 m3/ha. Wahyudi (2011) memprediksi potensi tanaman pada akhir daur akan mencapai 109,08 m3/ha. Nilai tersebut lebih kecil apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian Wahyudi (2011) mempunyai beberapa nilai asumsi yang berbeda dengan penelitian ini. Soekotjo (2009) memprediksi potensi tanaman (standing stock) pada akhir daur (siklus tebang 30 tahun) dalam silvikultur TPTII sebesar 400 m3/ha. Asumsi ini hanya didasarkan pada persentase tumbuh tertinggi pada akhir daur sebesar 80%. Apabila menggunakan asumsi yang sama dalam perhitungan ini, diprediksi akan diperoleh kayu bulat sebesar 158,64 m3/ha. Prediksi Soekotjo (2009)

70 nampak paling besar karena menggunakan asumsi penerapan teknik silvikultur intensif (silin), yaitu mengunakan bibit unggul, perlakuan silvikultur yang tepat dengan senantiasa menjaga pembukaan tajuk dalam Jalur Tanam (pembebasan vertikal) serta dilakukannya pemberantasan hama terpadu. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah kayu bulat yang diperoleh pada akhir daur pada sistem silvikultur TPTII sebesar 131,65 m3/ha. Nilai tersebut cukup moderat, berada diantara prediksinya Naíem (2006) dan Ditjen BPK (2010). Petunjuk teknis pelaksanaan TPTII telah menetapkan panjang daur selama 30 tahun. Volume kayu pada umur 30 tahun diperkirakan akan mencapai 190,73 m 3 /ha. Nilai volume tersebut jauh lebih kecil dari nilai volume yang diprediksi oleh peruhaan PT Sukajaya Makmur yaitu 400 m 3 /ha pada umur 25 tahun. Penentuan volume produksi akhir daur oleh perusahaan terlalu optimistik sehingga nilainya sangat tinggi. Perhitungan tersebut tidak menyertakan luasan areal efektif dari luasan lahan dan persentase tumbuh dari tanaman. Prediksi riap diameter yang ditetapkan perusahaan juga terlalu tinggi yaitu 2 cm/th. Hasil perhitungan MAI ternyata sampai umur 30 tahun hanya mencapai 1,83 cm/th. Presentase tumbuh terkecil mencapai 62,08 persen, jumlah tanaman akan terus menurun sampai akhir daur karena adanya kematian alami dan faktor kesalahan teknis dalam pemeliharaan serta adanya penjarangan. Pada akhir daur jumlah tanaman diperkirakan hanya tersisa sekitar 100 pohon/ha atau sekitar 50% dari jumlah tanaman pada awal tanam. Jumlah tanaman tersebut sangat jauh berbeda dengan prediksi perusahaan yaitu 160 pohon pada akhir daur. 5.1.6. Distribusi Pertumbuhan Diameter Data hasil pengukuran pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula yang berada di dalam Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII pada umur 1,2,3,4 dan 5 tahun dikelompokkan ke dalam kelas diameter dengan selang interval 1 cm. Selang interval adalah A (kelas diameter <1 cm), B (Kelas diameter 1,1 2 cm), C (Kelas diameter 2,1 3 cm), dan seterusnya dengan selang 1 cm. Hasil dari pengelompokan tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 9. Tanaman yang di tanam dalam Jalur Tanam membentuk suatu tegakan, dimana tegakan tersebut membentuk suatu tegakan seumur yang mana semua po-

71 honnya ditanam pada tahun yang sama, atau ditanam pada waktu yang bersamaan. Tanaman yang ditanam dalam jalur menunjukkan suatu komposisi tegakan yang dikelompokkan berdasarkan kelompok umur. Untuk mengetahui bagaimana struktur dari tegakan yang berada dalam jalur tanam oleh Loetsch, et.al (1973), menyatakan bahwa pembuatan distribusi diameter batang yang dilakukan dengan cara mengelompokkan data hasil pengamatan diameter di lapangan ke dalam kelaskelas, dimana hasil pengelompokan ini akan memberikan struktur tegakan. Perkembangan struktur tegakan sangat dipengaruhi oleh jenis penyusun tegakan dan faktor lingkungan dari tegakan tersebut. Distribusi pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula dalam Jalur Tanam Menyerupai model struktur tanaman hutan seumur (even aged stand forest) yang berbentuk lonceng (parabola terbalik) dengan jumlah pohon terbesar berada dalam kisaran diameter pertengahan. Kelompok pohon yang mempunyai diameter kecil dan besar berjumlah lebih sedikit masing-masing tersebar pada grafik sebelah kiri dan kanan, sebagaimana terlihat pada Gambar 9. Model Persamaan polinomial yang terbentuk untuk tanaman S. leprosula pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 masing-masing adalah sebagai berikut : Y = -0,642X 2 + 5,769X + 8,921 Y = -1,047X 2 + 9,523X + 4,571 Y = -3,607X 2 + 22,39X + 7 Y = -12X 2 + 38X 5 Y = -8,5X 2 + 27,5X 5 Dimana : X = Jumlah pohon Y = Diameter Pohon Hal ini sejalan dengan pernyataan Hauchs et al. (2003) bahwa pola penyebaran diameter pada hutan seumur membentuk persamaan polinomial dengan grafik berbentuk lonceng. Hasil penelitian ini sejalan pula dengan Wahyudi (2011), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa distribusi diameter tanaman S. leprosula dalam Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTJ menyerupai model struktur tanaman hutan seumur. Jumlah tanaman sebagian besar terkonsentrasi pada tanaman yang mempunyai ukuran diameter yang besar, sedangkan tanaman yang berdiameter kecil dan besar jumlahnya lebih sedikit.

2005. 2006. 40 30 20 10 0-10 0 10 20 2005. Poly. (2005.) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 5 10 2006. Poly. (2006.) 2007. 2008. 50 30 40 30 20 10 2007. Poly. (2007.) 25 20 15 10 5 2008. Poly. (2008.) 0 0 5 10 0 0 2 4 2009. 25 20 15 2009. 10 5 Poly. (2009.) 0 0 2 4

73 Bila dilihat dari distribusi penyebaran pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula pada umur 3 dan 5 tahun terlihat sebaran diameter tanaman di dalam jalur tanam hampir sama jumlah pertumbuhan diameternya. Dimana pada umur 3 tahun terlihat sebaran pertumbuhan diameter dominan berada pada kelas diameter 3,1-4 cm, begitu juga pada umur 5 tahun pertumbuhan diameter berkelompok pada kelas diameter yang sama. Struktur tegakan tanaman S. leprosula pada umur 3 dan 5 tahun membentuk tegakan intoleran dimana peningkatan pertumbuhan diameter yang diiringi dengan peningkatan tinggi membentuk formasi pertumbuhan yang sama dengan pertumbuhan pohon yang ada disekitarnya. Hal tersebut menandakan terjadinya persaingan mendapatkan cahaya matahari oleh sebab itu teknik silvikultur yang diperlukan terhadap pertumbuhan S. leprosula yaitu dengan meningkatkan intensitas cahaya melalui kegiatan pemeliharaan seperti pembukaan tajuk dan pembersihan gulma. Bila dilihat dari kurva distribusi diameter terdapat pertumbuhan diameter terfokus pada pada diameter besar atau dengan kata lain menyebar ke kanan, yaitu beberapa tanaman diameternya bertambah besar yang mengakibatkan jumlah pada kelas diameter diatasnya menjadi naik. Hal di atas menunjukkan bahwa penyebaran diameter yang condong kearah kanan atau diameter besar seperti ini dikarenakan tingkat persaingan terhadap pertumbuhannya rendah terhadap tanaman produksi yang berada dalam Jalur Tanam sedangkan penyebaran diameter condong menyebar kekiri atau diameter kecil hal ini disebabkan karena tingkat persaingan tanaman pada Jalur Tanam tinggi oleh sebab itu perlakuan pemeliharaan lebih intensif lagi. Variasi jumlah tanaman dalam kelas diameter terhadap umur pertumbuhannya di dalam Jalur Tanam TPTII pada suatu lokasi tegakan adalah sangat nyata. Terlihat bahwa semakin besar pertumbuhan diameter maka semakin sedikit/kecil jumlah tanamannya. Hal yang sama ditunjukkan pada hasil pengamatan yang dilakukan oleh Sutisna dan Suyana (1997) di PT ITCI Kenangan Kalimantan Timur, Sutisna dan Ruhiyat (2005) di PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa bentuk struktur diamati yang sama yaitu tegakan tanaman paling banyak pada diameter kecil dan semakin sedikit dengan bertambahnya diameter.

74 Hal ini menampakkan suatu ciri khas struktur diameter hutan alam. Diagram kurva pertumbuhan diameter menunjukkan bahwa struktur pola hubungan antara jumlah tanaman per ha dan diameter pada seluruh plot penelitian kecenderungannya sama yaitu membentuk kurva sebaran normal. Selanjutnya Smith (1962) menyatakan bahwa struktur suatu tegakan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman penyusunnya, misalnya faktor biotik dan genetik yang dimiliki setiap spesies tanaman serta faktor lingkungannya. Jumlah tanaman pada setiap kelas diameter selalu berubah menurut waktu. Perubahan tersebut disebabkan oleh adanya kecepatan pertumbuhan diameter tanaman dalam kelas diameter dan adanya variasi ruang tumbuh yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. 5.1.7. Persentase Tumbuh Persentase pertumbuhan tanaman S. leprosula pada tahun 2008 dan 2009 sangat rendah yaitu 62,08 % dan 64,98 %. Nilai tersebut sangat rendah apabila dibandingkan dengan ambang batas pelaksanaan penyulaman. Penyulaman harus dilaksanakan apabila persentase tumbuh tanaman tidak mencapai 80% (Dephut 1989). Tanaman S. leprosula pada tahun tersebut banyak mengalami kematian. Penyulaman pada tahun pertama dan kedua akan meningkatkan nilai persentase tumbuh, sehingga pada tahun-tahun selanjutnya persentase tumbuh tanaman lebih stabil pada nilai sekitar 75 %. Persentase pertumbuhan tanaman S. leprosula di jalur tanam dalam sistem TPTII pada akhir daur diperkirakan akan mencapai 50%. Luasan tajuk antar tanaman S.leprosula dan tegakan sisa akan mengalami persaingan pada akhir daur, sehingga sebelum akhir daur harus dilaksanakan penjarangan. Perlakuan tersebut akan menurunkan jumlah tanaman S. leprosula sampai mencapai 50% pada akhir daur. Persentase tumbuh merupakan parameter yang mencerminkan keberhasilan penerapan silvikultur TPTII. Persentase tumbuh yang tinggi menandakan bahwa silvikultur TPTII sangat cocok untuk jenis permudaan yang ditanam. Tanaman Meranti yang menjadi jenis permudaan dalam silvikultur TPTII dapat berdaptasi dengan lingkungannya. Sifat dari tanaman Meranti yang membutuhkan cahaya sangat sesuai dengan pola penanaman jalur yang diterapkan dalam silvikultur TPTII. Silvikultur TPTII memberikan peluang yang lebih besar terhadap

Persentase Tumbuh (%) 90 80 76,23 74,58 78,75 70 62,08 64,98 60 50 40 30 20 10 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009

76 dan campur tangan manusia, atau lebih mengarah pada penerapan silvikultur hutan alam. Tentunya hutan dengan luasan areal efktif yang tinggi harus diarahkan pada penerapan sistem silvikultur hutan tanaman. Pada penerapan sistem TPTII perlu dikembangkan ambang batas areal efektif penanaman. Selama ini tidak ada batasan areal efektif yang ditentukan dalam penerapan sistem silvikultur. Padahal hal tersebut sangat menentukan keberhasilan penerapan sistem silvikultur. Mengacu kepada ketentuan penyulaman maka nilai ambang batas areal efekif penanaman berkisar pada nilai 80% (Dephut 1989). 5.2. Perkembangan Tegakan Sisa Pada Jalur Antara Penerapan sistem silvikultur TPTII meninggalkan tegakan sisa yang berada pada Jalur Antara. Keberadaan tegakan sisa tersebut tidak bisa diabaikan tanpa pengelolaan yang terarah. Dari sisi luasan tegakan sisa masih mendominasi hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. Sekitar 85% (17/20 bagian) dari total luasan hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII merupakan tegakan sisa. Tegakan sisa tersebut diharapkan dapat menyimpan keanekaragaman jenis dari spesies tumbuhan yang tersisa. Salah satu syarat menuju pengelolaan yang lebih terarah adalah adanya dukungan data terkait struktur dan komposisi tegakan sisa. Dengan adanya dukungan data tersebut penerapan tindakan silvikultur menjadi lebih produktif, efisien, efektif dan terarah sebagaimana diharapkan dalam tujuan awal (Background) dari diterapkannya sistem silvikultur TPTII. Penggunaan sistem silvikultur TPTII menyebabkan perubahan terhadap dinamika masyarakat tumbuhan pada tegakan tinggal. Hal ini berkaitan dengan penetapan limit diameter pohon ditebang dengan diameter lebih dari 40 cm dan adanya perlakuan pembersihan Jalur Tanam dengan tebang habis terhadap vegetasinya. Perubahan tersebut dapat dilihat dari struktur dan komposisi tegakan pada semua tingkat permudaan dan pohon. Struktur dan komposisi tegakan sisa tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dianalisa, dengan demikian akan diperoleh informasi perkembangan dari tegakan sisa tersebut. Data vegetasi yang dianalisa mencakup blok dari sistem silvikultur TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, TPTI dan virgin forest.

Keanekaragaman Jenis (H') 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 1,62 0,37 2,26 2,05 2,14 1,88 2,05 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

78 Keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat tumbuh dari jenis-jenis yang membangunnya, karena hanya jenis tersebut yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dalam komunitas tersebut. Indeks keanekaragaman jenis dapat menunjukkan tingkat keanekaragaman vegetasi pada suatu komunitas hutan, sehingga makin tinggi nilai H maka semakin banyak jenis yang menyusun komunitas hutan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat semai diketahui bahwa keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian, berada pada tingkat sedang kecuali pada blok tebangan TPTII 2006 sebesar 0,37 yang tergolong rendah. Rendahnya nilai tersebut disebabkan karena semai pada blok tersebut sudah mencapai tingkat pancang. Penyebab lainnya adalah bertambahnya luasan tajuk sejalan dengan bertambahnya umur tegakan. Peluang tumbuhnya semai yang baru semakin kecil dengan semakin besarnya luasan tajuk. Keanekaragaman jenis tingkat permudaan semai pada virgin forest dan TPTI lebih kecil dibandingkan dengan blok tebangan TPTII 2007, 2008 dan 2009. Virgin forest merupakan hutan dengan komposisi sebagian besar tegakannya didominasi oleh tingkat pohon. Tegakan tingkat pohon mempunyai karakteristik tajuk yang rapat sehingga meminimalkan tumbuhnya semai baru. Hal tersebut menyebabkan keragaman jenis tingkat semai menjadi rendah. Mekanisme ini berlaku pula pada tegakan TPTI. Hasil penelitian ini sejalan dengan Pamoengkas (2006) yang mencatatkan indeks keanekaragaman jenis tingkat semai pada hutan primer dengan nilai 1,97 lebih kecil dari tegakan sisa hutan bekas tebangan TPTJ yang berumur 1 sampai 5 tahun dengan nilai bervariasi diatas 2,5. Keanekaragaman jenis pada tingkat semai mempunyai nilai yang bersifat fluktuatif, tetapi secara umum antara TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang sama yaitu ada pada tingkat sedang. b. Kekayaan Jenis Indeks kekayaan jenis (R1) dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis. Nilai R1 dapat menunjukkan indeks kekayaan jenis pada suatu komunitas hutan, yang keberadaannya dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu yang terdapat dalam komunitas tersebut. Besaran R1 kurang dari 3,5 menunjuk-

79 kan kekayaan jenis yang tergolong rendah, bila nilai R1 berkisar antara 3,5 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi jika nilainya lebih dari 5,0 Magurran (1988) ; Soerianegara dan Indrawan (2005). Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa nilai R1 tingkat semai tergolong rendah dan sedang. Nilai R1 terendah terdapat pada lokasi virgin forest yaitu sebesar 2,14 sedangkan nilai R1 tertinggi berada pada lokasi TPTII 2006. Hal tersebut berbanding terbalik dengan nilai indeks keanekaragaman jenisnya. Hutan virgin forest mempunyai nilai Indeks kekayaan jenis sangat rendah. Semai yang ada pada virgin forest jumlahnya sangat kurang. Semai-semai baru susah terbentuk karena rapatnya tutupan tajuk pada hutan tersebut. Rapatnya tutupan tajuk akan meminimalkan peluang tumbuhnya semai baru. Pada blok TPTII 2005 juga diperoleh nilai indeks kakayaan jenis yang rendah. Hal tersebut menandakan bahwa blok TPTII 2005 telah mengalami perkembangan hutan tingkat lanjut, dimana tajuknya sudah mulai rapat sehingga meminimalkan pertumbuhan semai baru yang sebelumnya tumbuh melimpah pada awal pembukaan lahan. Secara umum ada kesamaan antara blok tebangan 2005 dengan virgin forest dalam hal komposisi dan struktur permudaan pada tingkat semai. Tegakan tinggal pada blok TPTII 2006 mempunyai indeks kekayaan jenis tertinggi dibandingkan dengan blok lainnya. Kondisi ini berbanding terbalik dengan nilai keanekaragaman jenis. Hal tersebut menandakan bahwa pada blok 2006 terjadi penurunan keragaman jenis akan tetapi tidak disertai dengan penurunan kekayaan jenis. Pada tingkat semai kuantitas jenis mengalami penurunan akan tetapi jenis-jenis yang masih ada mengalami peningkatan dari segi jumlah individu. Permudaan tingkat semai pada Blok tebangan 2007 dan 2008, ada pada tingkat kriteria rendah, hal ini menandakan bahwa pada blok tersebut terjadi penurunan jumlah individu jenis. Penurunan jumlah individu tersebut disebabkan oleh aktivitas pembuatan jalur tanam dan penebangan. Penurunan jumlah semai pada blok ini diakibatkan adanya dinamika perpindahan tingkat permudaan dari tingkat semai memasuki tingkat pancang. Adapun Blok tebangan 2009 masih

Kekayaan Jenis (R1) 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 2,2 4,09 3,07 3,38 3,78 3,13 2,14 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Kemerataan Jenis (E) 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 0,65 0,14 0,85 0,72 0,76 0,69 0,82 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Kesamaan Komunitas (%) 60 50 40 30 20 10 0 56,03 40,74 38,16 37,66 30,13 11,37 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI

Dominansi (C) 0,25 0,2 0,15 0,1 0,19 0,09 0,11 0,14 0,16 0,21 0,16 0,05 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Keanekaragaman Jenis (H') 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 2,15 3,04 2,03 2,06 2,48 2,37 2,37 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Kemerataan Jenis (E) 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0,77 1,02 0,79 0,78 0,87 0,82 0,73 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Kekayaan Jenis (R1) 5 4 3 3,36 3,89 2,56 2,65 4,09 4,04 4,54 2 1 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Dominansi (C) 0,16 0,15 0,14 0,14 0,13 0,13 0,12 0,12 0,12 0,10 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Kesamaan Komunitas (%) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 40,74 38,31 34,83 35,78 26,77 21,62 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI

Keanekaragaman Jenis (H') 3,50 3,10 3,04 3,04 3,00 2,75 2,54 2,95 2,94 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI VF

Kemerataan Jenis (E) 0,94 0,92 0,9 0,88 0,86 0,84 0,82 0,8 0,93 0,92 0,87 0,85 0,90 0,90 0,89 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Kekayaan Jenis (R1) 8 7 6 5 4 3 2 1 0 4,85 6,87 7,06 4,46 6,66 5,99 5,48 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Dominansi (C) 0,12 0,11 0,1 0,08 0,06 0,07 0,06 0,07 0,06 0,07 0,06 0,04 0,02 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Kesamaan Komunitas (%) 60 51,61 48,96 50 40 35,16 31,03 30 26,79 23,08 20 10 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI

Keanekaragaman Jenis (H') 3,25 3,20 3,18 3,17 3,15 3,10 3,10 3,08 3,04 3,05 3,01 3,00 2,95 2,91 2,90 2,85 2,80 2,75 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Kemerataan Jenis (E) 0,89 0,88 0,87 0,86 0,85 0,84 0,83 0,82 0,81 0,8 0,79 0,83 0,82 0,84 0,88 0,84 0,84 0,86 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Kekayaan Jenis (R1) 9 8,13 8,03 8 7,12 7,33 6,45 6,58 6,88 7 6 5 4 3 2 1 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

Dominansi (C) 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0,06 0,06 0,08 0,06 0,07 0,06 0,06 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

97 tinggi bila dibandingkan dengan ambang batas nilai IS yaitu sekitar 50%. Tebang pilih merupakan satu-satunya sistim silvikultur pada hutan alam. Sistim ini telah lama diterapkan pada hutan alam yang ada di indonesia. Dalam berbagai referensi diungkapkan bahwa sistim silvikultur tebang pilih merupakan sistem yang paling ideal dari sistem yang ada, namun sistem ini tidak menjamin keberadaan jenis-jenis komersial pada tegakan sisa. Jenis-jenis komersial banyak yang ditebang secara menyeluruh sehingga tidak ditemukan jenis tersebut di hutan bekas tebangan. Dipandang perlu untuk menerapkan ketentuan jenis-jenis yang ditebang seharusnya ditanam kembali pada lokasi bekas tebangan tersebut. Jenis pohon seharusnya tidak ditebang semuanya tetapi disisakan sebagai tegakan sisa yang berfungsi sebagai pohon induk. Dengan demikian kehilangan jenis-jenis pohon yang ditebang tidak akan terjadi. Nilai indeks kesamaan komunitas blok tebangan TPTI lebih besar dibandingkan dengan blok tebangan TPTII. Intensitas Penebangan pada blok tebangan TPTII terjadi sebanyak dua kali yaitu pada saat diterapkan sistem TPTI dan pada saat diterapkan TPTII, bahkan terjadi penebangan sebanyak tiga kali yaitu pada saat pembuatan jalur tanam. Sementara blok TPTI hanya mengalami satu kali penebangan. Kondisi tersebut yang menyebabkan nilai IS di blok TPTI lebih besar. Jenis-jenis yang hilang di blok TPTII lebih banyak dibandingkan dengan blok TPTI. Perlu adanya perlakuan dalam penerapan sistem sistem silvikultur TPTII untuk menanam jenis-jenis yang telah hilang di blok akibat penebangan. Dengan penanaman tersebut diharapkan jenis-jenis komersial yang ditebang masih tetap ditemui pada tegakan sisa di blok tebangan. Indeks kesamaan komunitas merupakan cerminan tingkat perubahan vegetasi yang diakibatkan oleh diterapkannya sistem pengelolaan silvikultur. Perubahan vegetasi dalam penerapan sistem silvikultur tertentu tidak dapat dihindari, perubahan vegetasi tersebut mutlak ada. Meskipun demikian perubahan vegetasi perlu dikendalikan agar tidak terlalu besar nilainya. Beberapa konsep yang mengemuka diantaranya adalah diterapkannya konsep RIL (Reduce Impact Logging) dalam pengelolaan hutan. Rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan cara menanamnya kembali mutlak harus dilaksanakan dengan mengacu kepada jenis-jenis yang ditebang.

Kesamaan Komunitas (%) 60 50 40 36,17 37,39 40,39 47,73 34,35 47,9 30 20 10 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI

3,5 H 1 3 2,5 2 1,5 1 TPTII TPTI VF 0,5 0 Semai pancang tiang pohon

120 100 80 60 40 TPTII TPTI VF 20 0 Semai pancang tiang pohon

101 5.2.7. Struktur Hutan Bekas Tebangan Pada Sistem silvikultur TPTII Secara umum struktur tegakan hutan alam mengikuti pola kurva J terbalik. Begitu pula dengan areal LOA TPTII, secara keseluruhan membentuk kurva J terbalik sebagaimana tertera pada Gambar. 33 dengan demikian struktur hutan dapat dikatakan tidak berubah. Pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII ternyata tidak merubah struktur hutan. Hal tersebut terlihat dari kurva J terbalik yang dibentuk oleh struktur tegakan pada hutan bekas tebangan. Hasil penelitian ini sesuai dengn penelitian-penelitian struktur hutan terdahulu. Pada penelitian ini diperoleh formula eksponensial negatif dari struktur tegakan hutan bekas tebangan TPTII, formula tersebut sebagai berukut : TPTII 2005 :N = 139,31568. e -0,062170DBH TPTII 2006 : N = 141,57938. e -0,073683DBH TPTII 2007 : N = 82,60379. e -0,059867DBH TPTII 2008 : N = 126,76519. e -0,066775DBH TPTII 2009 : N = 116,41260. e -0,066775DBH Di mana : N = Jumlah pohon per hektar (N/ha) DBH = Diameter Setinggi Dada Formula tersebut dapat diandalkan karena mempunyai koefesien determinasi (R 2 ) yang cukup tinggi yaitu 0,848, 0,863, 0,832, 0,933 dan 0,931 masing-masing untuk tegakan hutan bekas tebangan TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009. Menurut Bettinger et al (2009), Davis dan Johnson (1987), Meyer et al (1961), Suhendang (1985) dan Wahyudi (2011) sebaran diameter tegakan hutan alam menyerupai J terbalik dengan pola persamaan eksponensial : Q = Q0. e -cdbh. Persamaan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter (DBH) yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit populasinya (N). Struktur tegakan hutan alam bekas tebangan TPTII didominasi oleh pohon yang berdiameter kecil. Pohon yang berdiameter besar semakin sedikit jumlahnya dengan semakin tua umur tegakan. Struktur ini berbeda dengan struktur tanaman yang ada di jalur tanam yang menyerupai kurva lonceng, dimana struktur diameternya menyebar normal.

102 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 100 TPTII2005 Expon. (TPTII2005) 40 30 20 10 0 TPTII 2006 0 50 100 TPTII2006 Expon. (TPTII2006) TPTII2007 TPTII 2008 60 60 50 50 40 TPTII2007 40 TPTII 2008 30 30 20 10 Expon. (TPTII2007) 20 10 Expon. 2008) (TPTII 0 0 50 100 0 0 50 100 TPTII 2009 50 40 30 TPTII 2009 20 10 Expon. (TPTII 2009) 0 0 50 100 Gambar 33. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam berbentuk kurva J terbalik. Keterangan : Sumbu Y = Jumlah Pohon (Batang/ha) Sumbu X = Diameter Pohon (cm)

103 5.2.8. Perbandingan Struktur Hutan Bekas Tebangan antara TPTII, TPTI dan Virgin forest Secara keseruluruhan ketiga tipe hutan yaitu hutan bekas tebangan TPTII, hutan bekas tebangan TPTI dan virgin forest mempunyai struktur tegakan yang sama yaitu berupa kurva J terbalik. Perbedaan dari ketiga kondisi hutan tersebut terletak pada jumlah maksimal pohon per hektar (N/ha). Struktur tegakan hutan bekas tebangan TPTI mempunyai kurva yang lebih mirip dengan virgin forest. Sedangkan kurva TPTII mempunyai beberapa perbedaan bila dibandingkan dengan virgin forest. Kurva TPTI dan virgin forest mempunyai persamaan nilai N/ha yang tinggi pada kelas diameter awal, walaupun pada kelas diameter akhir virgin forest mempunyai nilai N/ha yang lebih tinggi. secara keseluruhan keduanya mempunyai kurva yang terletak pada posisi kanan atas, sedangkan TPTII posisinya menempati kiri bawah. Hal ini menandakan jumlah pohon per hektar (N/ha) dari TPTII lebih kecil bila dibandingkan dengan TPTI dan Virgin forest. Grafik penyebaran diameter pada 3 kondisi hutan yaitu tegakan sisa pada hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest di PT Sukajaya Makmur menyerupai J terbalik, seperti terlihat pada Gambar 34, dengan persamaan exponensial sebagai berikut : TPTII : N = 88,30799. e -0,055262DBH TPTI : N = 307,6097. e -0,073683DBH Virgin forest : N = 113,5011. e -0,05066DBH Di mana : N = Jumlah pohon per hektar (N/ha) DBH = Diameter Setinggi Dada Persamaan yang mendukung pola J terbalik pada tiga kelompok hutan tersebut cukup meyakinkan karena nilai koefesien determinasinya (R 2 ) cukup tinggi yaitu, 0,970, 0,940 dan 0,864, masing-masing untuk tegakan hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest. Pola persamaan J terbalik yang terbentuk menandakan bahwa struktur hutan alam (all even aged forest) bekas tebangan dalam pengelolaan sistem silvikultur TPTII dan TPTI dalam penelitian ini masih terjaga dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Meyer et al (1961), Davis dan Johnson (1987), Nyland (1996), Suhendang (1985), Bettinger et.al (2009) dan

LOA TPTII LOA TPTI 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 50 100 LOA TPTII Expon. (LOA TPTII) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 50 100 LOA TPTI Expon. (LOA TPTI) VF 70 60 50 40 VF 30 20 Expon. (VF) 10 0 0 50 100

105 5.2.9. Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Pohon Indeks nilai penting mempunyai skala nilai sampai dengan 300. Semakin besar nilai INP menandakan jenis tersebut semakin dominan pada komunitas tersebut. Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005). Pada setiap strata suksesi secara umum jenis Medang dan Ubar mempunyai nilai INP tertinggi pada semua blok TPTII, TPTI dan virgin forest. Kedua jenis tersebut selalu muncul pada setiap blok dengan nilai INP tertinggi. Artinya kedua jenis tersebut lebih dominan dibandingkan dengan jenis lainnya. Dominannya jenis Medang dan Ubar pada seluruh strata suksesi menandakan bahwa jenis tersebut mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan hutan. Namun demikian kedua jenis ini tidak termasuk jenis komersial sehingga dalam pengelolaan hutan tidak ditebang. Pada permudaan tingkat semai jenis Ubar (Eugenia sp) mendominasi pada hutan bekas tebangan yang berumur 5 tahun (TPTII 2005), 4 tahun (TPTII 2006), pada areal bekas tebangan TPTI dan virgin forest (Tabel 8, stabillo warna kuning). Jenis Ubar mendominasi pada hutan bekas tebangan yang tajuknya sudah mulai tertutup serta hutan yang tajuknya rapat. Jenis Ubar tidak mendominasi pada blok TPTII 2007, TPTII 2008 dan 2009, areal tersebut semuanya merupakan jenis areal tebangan muda. Tajuknya masih terbuka lebar sehingga cahaya masih bisa masuk ke lantai hutan. Permudaan tingkat semai jenis Ubar dapat beradaptasi dengan naungan. Jenis tersebut mendominasi pada hutan bekas tebangan yang berumur lanjut dan virgin forest. Jenis-jenis pohon yang dapat berdaptasi pada hutan yang berumur lanjut adalah jenis-jenis dari kelompok tahan naungan. Hutan yang berusia lanjut tajuknya akan semakin tertutup, cahaya matahari tidak akan menjangkau lantai hutan secara penuh sehingga hanya tanaman yang tahan naungan saja yang dapat beadaptasi.

106 Tabel 8. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan semai Tipe Hutan Jenis Nama Botani INP VF Laevis Shorea leavis 31,933 Medang Litsea firma 40,210 Ubar Eugenia sp 54,475 TPTI Laevis Shorea Leavis 13,535 Medang Litsea firma 50,035 Ubar Eugenia sp 73,516 TPTII 2009 Kumpang Myristica sp 11,060 Medang Litsea firma 52,670 Ubar Eugenia sp 52,670 TPTII 2008 Jambu monyet Eugenia sp 50,805 Medang Litsea firma 18,825 Ubar Eugenia sp 42,699 TPTII 2007 Jambu monyet Eugenia sp 27,790 Medang Litsea firma 36,341 Ubar Eugenia sp 33,442 TPTII 2006 Pisang-pisang Mezzetia parvifolia 25,000 Johor shorea johoriensis 18,750 Ubar Eugenia sp 33,333 TPTII 2005 Kelampai Elaterospermum tapos 38,447 Medang Litsea firma 49,680 Ubar Eugenia sp 55,960 Pada permudaan tingkat semai Jenis Medang (Litsia firma) dan Jambu Monyet (Eugeunia sp) mendominasi hutan bekas tebangan yang berumur muda yaitu areal hutan bekas tebangan TPTII tahun 2009, TPTII tahun 2008 dan TPTII tahun 2007 masing-masing baru berumur 1,2 dan 3 tahun (Tabel 8, stabillo warna merah muda). Perbukaan tajuk secara besar-besaran telah menyebabkan cahaya matahari dapat menjangkau lantai hutan, sehingga memacu pertumbuhan semai kedua jenis tersebut. Permudaan tingkat semai jenis Medang dan Jambu Monyet mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi. Tingkat permudaan semai Shorea laevis termasuk jenis dominan ke tiga pada areal hutan bekas tebangan TPTI dan virgin forest. Berbeda dengan jenis dominan lainnya, Shorea laevis tidak terdapat pada seluruh areal hutan bekas tebangan TPTII. Penebangan intensif yang terjadi pada penerapan sistem silvikultur TPTII telah menyebabkan hilangnya jenis-jenis komersial seperti

107 Shorea laevis. Dengan tidak adanya pohon jenis komersial menyebabkan hilangnya dominasi permudaan tingkat semai pada areal tersebut. Hal ini menandakan telah terjadi perubahan komposisi jenis antara hutan primer dan hutan sekunder akibat adanya penglolaan hutan dengan menerapkan sistem sistem silvikultur TPTII. Pada permudaan tingkat tiang komposisi jenis hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI masih didominasi oleh jenis-jenis non komersial seperti Ubar dan Medang. Hal ini menunjukan bahwa kedua jenis tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan. Proses suksesi sekunder dapat dijalani oleh kedua jenis pohon tersebut. Namun secara ekonomis kedua jenis tersebut masih dipertanyakan nilai ekonominya, apalagi kedua jenis tersebut masuk ke dalam daftar jenis non komersial. Pada tingkat pohon jenis Shorea laevis menjadi pohon paling dominan pada virgin forest (Tabel 11, stabillo warna kuning). Shorea laevis menjadi jenis penentu komposisi virgin forest. Jenis tersebut telah membedakan komposisi tegakan antara hutan primer (virgin forest) dengan semua hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI. Pada hutan primer (virgin forest) Shorea laevis mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII dan TPTI telah merubah komposisi tegakan. Jenis-jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceace menjadi tidak dominan lagi bahkan pada beberapa plot hutan bekas tebangan tidak ditemukan lagi keberadaanya. Komposisi jenis yang menyusun hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI berbeda dengan komposisi jenis virgin forest. Hal tersebut menunjukan terjadinya perubahan jenis vegetasi yang menyusun hutan setelah dilakukannya penebangan. Jenis-jenis yang hilang dalam proses pengelolaan hutan seharusnya ditanam kembali dalam kegiatan penanaman. Jenis-jenis yang mendominasi hutan-hutan berumur lanjut dipastikan merupakan jenis potensial yang dapat tumbuh dan berkembang di areal tersebut.

108 Tabel 9. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan pancang Tipe Hutan Jenis Nama Botani INP VF Kumpang Myristica sp 43,363 Medang Litsea firma 35,71 Ubar Eugenia sp 28,799 TPTI Kumpang Myristica sp 23,94 Medang Litsea firma 43,881 Ubar Eugenia sp 44,388 TPTII 2009 Medang Litsea firma 27,889 Purang 20,333 Ubar Eugenia sp 41,444 TPTII 2008 jambu monyet Eugenia sp 41,825 Medang Litsea firma 32,976 Purang 33,981 TPTII 2007 Medang Litsea firma 34,7 Purang 38,591 Ubar Eugenia sp 43,682 TPTII 2006 Medang Litsea firma 49,1 Purang 21,496 Ubar Eugenia sp 30,777 TPTII 2005 Medang Litsea firma 57,121 Purang 29,26 Ubar Eugenia sp 32,334 Jenis-jenis non komersial seperti Ubar dan Medang mendominasi komposisi tegakan pada hutan bekas tebangan baik TPTI maupun TPTII (Tabel 11, stabillo warna merah muda). Fenomena ini menunjukan bahwa sistem silvikultur tebang pilih hanya menyisakan jenis-jenis non komersial. Jenis-jenis komersial menjadi berkurang atau hilang dari komposisi tegakan sisa. Berdasarkan penelitian ini dipandang perlu adanya penanaman kembali jenis-jenis komersial yang hilang dari blok tebangan. Disamping itu perlu adanya peraturan untuk menyisakan pohon induk dari jenis-jenis komersial pada tiap blok tebangan sehingga akan terjadi regenerasi yang normal.

109 Tabel. 10 Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan tiang Tipe Hutan Jenis Nama Botani INP VF Kumpang Myristica sp 47,359 Medang Litsea firma 26,508 Ubar Eugenia sp 22,947 TPTI Ketikal Ochanostachys amentaceal 22,628 Kumpang Myristica sp 25,441 Medang Litsea firma 50,995 TPTII 2009 Medang Litsea firma 42,666 Pisang-pisang Mezzetia parvifolia 20,077 Ubar Eugenia sp 34,966 TPTII 2008 Medang Litsea firma 47,203 parvi shorea parvifolia 33,164 Ubar Eugenia sp 63,469 TPTII 2007 Medang Litsea firma 41,02 Sampe Costanopsis sp 21,947 Ubar Eugenia sp 46,019 TPTII 2006 Medang Litsea firma 26,814 Sampe Costanopsis sp 27,324 Parvi Shorea parvifolia 41,467 TPTII 2005 Berobak Shorea sp 34,267 Medang Litsea firma 35,128 Ubar Eugenia sp 33,195

110 Tabel 11. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat pohon Nomor Jenis Nama Botani INP VF laevis shorea leavis 44,927 Mayau Shorea verescen 21,633 Medang Litsea firma 36,399 TPTI Medang Litsea firma 40,868 Parvi shorea parvifolia 29,095 ubar Eugenia sp 37,441 TPTII 2009 Kelampai Elaterospermum tapos 20,262 Medang Litsea firma 48,593 Ubar Eugenia sp 43,854 TPTII 2008 Laevis Shorea laevis 36,713 Medang Litsea firma 36,765 Ubar Eugenia sp 34,327 TPTII 2007 Kumpang Myristica sp 25,051 Medang Litsea firma 43,249 Ubar Eugenia sp 50,758 TPTII 2006 Kelampai Elaterospermum tapos 31,896 Medang Litsea firma 33,830 Parvi shorea parvifolia 34,132 TPTII 2005 Medang Litsea firma 35,947 Sampe Costanopsis sp 27,482 Ubar Eugenia sp 37,383 5.2.10. Potensi Produksi Hutan Alam Pada Penerapan Sistem silvikultur TPTII dan TPTI Perbedaan penerapan silvikultur dalam satu areal hutan akan berdampak pada produktivitas hutan. Prediksi potensi produksi dilakukan terhadap areal yang dikelola dengan penerapan sistem TPTII dan TPTI. Areal yang dijadikan data dasar adalah areal blok TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan areal TPTI. Dari data yang tersedia dibuat prediksi potensi produksi pada akhir rotasi tebang dan daur. Hasil dari prediksi ini diperoleh beberapa pola pengelolaan produksi atas dasar penerapan silvikultur. Dari prediksi ini diperoleh juga beberapa alternatif pengaturan hasil yang didasarkan pada potensi produksi. Potensi produksi hutan alam produksi (tegakan sisa) pada akhir rotasi tebang diprediksi dengan mengacu pada beberapa asumsi dasar. Asumsi riap diameter untuk semua jenis adalah 0,82 cm/tahun yang diperoleh dari rata-rata riap diameter PUP PT. Sukajaya Makmur pada tahun 2005 ke tahun 2006

111 (Lampiran 2). Untuk penentuan tinggi pohon diperoleh dari hasil analisis regresi antara tinggi dengan diameter dari plot PUP PT. Sukajaya Makmur tahun 2005 dengan persamaaan sebagai berikut : Log T = 0,597 + 0,53 Log D Dimana : T = Tinggi Pohon Total D = Diameter Pohon Persamaan regresi tersebut mempunyai koefesien determinan (R-Sq-adj) sebesar 76,7% dan tingkat kepercayaan (P- value) sebesar 99 % (Lampiran 3). Untuk tanaman Meranti yang berada pada Jalur Tanam potensi produksi diprediksi dari model pertumbuhan diameter dan tinggi yang dikembangkan dari hasil penelitian ini (Tabel 7). Rotasi tebang atau daur diasumsikan selama 25 tahun, hal ini disesuaikan dengan model yang dikembangkan dari penelitian ini dimana diameter 40 cm dicapai pada umur 25 tahun (Tabel 6). Berdasarkan perhitungan potensi produksi pada akhir rotasi tebang (Lampiran 1) maka diperoleh prediksi potensi produksi pohon layak tebang pada akhir rotasi tebang atau daur sebagaimana tertera pada Tabel 12. a. Potensi Produksi pada Silvikultur TPTI Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan Sistem silvikultur TPTI pada akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas perbedaan limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Untuk limit diameter dibedakan pada besaran diameter 40 cm, 50cm dan 60 cm, sedangkan untuk pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial. khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Apabila Pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 192,43 m 3 /ha. Lain halnya apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 32,14 m 3 /ha dan 22,72 m 3 /ha. Apabila pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 50 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai

112 potensi produksi sebesar 132,81 m 3 /ha. Hal tersebut kondisinya akan berbeda apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 19,24 m 3 /ha dan 14,06 m 3 /ha. Apabila pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 60 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 90,60 m 3 /ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 7,16 m 3 /ha dan 10,18 m 3 /ha. b. Potensi Produksi Tanaman Meranti Pada Sistem silvikultur TPTII Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur. Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman meranti dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, Intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang rendah maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 137,68 m 3 /ha. Lain halnya apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang sedang maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 114,74 m 3 /ha. Selanjutnya apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang tinggi maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 91,79 m 3 /ha. Potensi produksi TPTII pada Jalur Antara jauh lebih besar bila dibandingkan dengan potensi produksi pada Jalur Antara atau tegakan sisa TPTI. Jalur Antara hanya mempunyai potensi produksi dari jenis Dipterocarpaceae sebesar 19,31 m 3 /ha dan potensi produksi Dipterocarpaceae TPTI hanya mencapai 22,71 m 3 /ha. Potensi produksi Dipterocarpaceae yang ada pada Jalur Tanam jauh lebih besar bila dibandingkan Jalur Antara dan TPTI.

113 Tabel 12. Prediksi potensi produksi pada penerapan sistem silvikultur TPTII dan TPTI dalam satuan m 3 /ha PEMBAGIAN JENIS NO SISTEM SILVIKULTUR JENIS TEGAKAN BATAS DIAMETER (Cm Up) SISA PENJARA NGAN (batang) DIPTERO KOMERSIAL NON DIPTE RO TOTAL NON KOMERSIA L JUMLAH TOTAL 1. TPTI 40 22,72 9,42 32,14 160,29 192,43 50 14,06 5,18 19,24 113,57 132,81 60 7,16 3,02 10,18 80,42 90,6 2. TPTI INTENSIF 2a. ALTERNATIF SATU 2b. ALTERNATIF DUA TEGAKAN SISA TANAMAN MURNI TANAMAN PLUS TS 40 19,31 8 27,31 136,24 163,55 50 11,95 4,4 16,35 96,53 112,88 60 6,09 2,56 8,65 68,35 77 40 150 137,68 40 125 114,74 40 100 91,79 40 150 156,99 8 164,99 136,24 301,23 40 125 134,05 8 142,05 136,24 278,29 40 100 111,1 8 119,1 136,24 255,34 c. Potensi Produksi Tanaman Meranti dan Tegakan Sisa pada Silvikultur TPTII Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII ditambah dengan pengelolaan tegakan sisa yang terdapat pada jalur antara pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur. Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman meranti yang ditebang dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. Pada akhir daur akan ikut dipanen pula tegakan sisa yang terdapat pada jalur antara. Pada tegakan sisa di akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang dida-

114 sarkan atas batas limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Limit diameter dibatasi hanya pohon yang berdiameter minimal 40 cm saja yang akan dipanen. Pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial. Khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang rendah maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 137,68 m 3 /ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada di jalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 301,23 m 3 /ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 164,99 m 3 /ha dan 156,99 m 3 /ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang sedang maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 114,74 m 3 /ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada dijalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 278,29 m 3 /ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 142,05 m 3 /ha dan 134,05 m 3 /ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang tinggi maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 91,79 m 3 /ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada dijalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempu-

115 nyai potensi produksi sebesar 255,34 m 3 /ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 119,10 m 3 /ha dan 111,10 m 3 /ha. 350 300 250 200 150 100 TPTI TS TPTII Tanaman TPTII Total 50 0 40 up 50 up 60 up Gambar 35. Grafik prediksi potensi produksi hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII dan TPTI Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mempunyai potensi tegakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Sistem silvikultur TPTII mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Pada sistem silvikuktur TPTII, pengaturan hasilnya sebaiknya mengacu kepada alternatif satu. pengaturan hasil alternatif satu hanya memanen tanaman Meranti yang berada di jalur tanam. Tegakan sisa yang berada di jalur antara sebaiknya tidak ditebang. Tegakan yang ada pada jalur tersebut harus dijadikan Buffer Biodiversity (penyangga keanekaragaman Hayati) yang berfungsi sebagai jalur konservasi keanekaragaman hayati pada hutan produksi. Disamping itu dapat berfungsi pula sebagai penyeimbang iklim mikro yang berfungsi untuk menstabilkan kondisi iklim mikro tanaman meranti yang berada di jalur tanam. Dan yang lebih penting lagi, tegakan pada jalur antara dapat berfungsi sebagai penyimpan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman Meranti yang berada pada jalur tanam.