TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Biskuit

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Rumput Lapang Limbah Tanaman Jagung

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

EVALUASI KECERNAAN BISKUIT DAUN JAGUNG SEBAGAI PAKAN SUMBER SERAT PADA DOMBA

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu. Materi

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

UJI KUALITAS SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS BISKUIT LIMBAH TANAMAN JAGUNG SEBAGAI SUBSTITUSI SUMBER SERAT UNTUK DOMBA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian

Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

UJI SIFAT FISIK DAN EVALUASI KECERNAAN BISKUIT BERBASIS RUMPUT LAPANG DAN LIMBAH TANAMAN JAGUNG PADA DOMBA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Jantan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2003). Pemberian total mixed ration lebih menjamin meratanya distribusi asupan

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH. Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

II.TINJAUAN PUSTAKA. laut. Pisang dapat tumbuh pada iklim tropis basah, lembab dan panas dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutrisi yang sesuai sehingga dapat dikonsumsi dan dapat dicerna oleh ternak yang

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

PENGARUH METODE PENGOLAHAN KULIT PISANG BATU (Musa brachyarpa) TERHADAP KANDUNGAN NDF, ADF, SELULOSA, HEMISELULOSA, LIGNIN DAN SILIKA SKRIPSI

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cara pengeringan. Cara pengeringan akan menentukan kualitas hay dan biaya yang diperlukan.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan domba-domba lokal. Domba lokal merupakan domba hasil persilangan

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

SUPARJO Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Univ. Jambi PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung dalam bahasa ilmiahnya disebut Zea mays L. adalah salah

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

Petunjuk Praktis Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

PENGANTAR. Latar Belakang. 14,8 juta ekor adalah sapi potong (Anonim, 2011). Populasi sapi potong tersebut

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

TINJAUAN PUSTAKA Daun Rami dan Pemanfaatannya

Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas)

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39

I. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung

MEMBUAT SILASE PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al.

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Bahan Baku Biskuit Limbah Tanaman Jagung Jagung di Indonesia mempunyai jenis yang berbeda. Jenis jagung mengandung nutrien yang berbeda-beda mulai dari bagian yang mudah dicerna dengan protein tinggi pada daun-daun muda sampai bagian yang mempunyai protein rendah dan sukar dicerna pada batang tanaman tua (Pasaribu, 1993). Jagung banyak digunakan di bidang peternakan sebagai pakan unggas sedangkan limbahnya sebagai pakan ruminansia. Hasil samping industri pertanian khususnya pakan tinggi serat banyak digunakan sebagai pakan utama dalam sistem pemeliharaan ternak ruminansia secara intensif di Indonesia (Toharmat et al., 2007). Sumber pakan yang berasal dari limbah pertanian selain limbah tanaman jagung yaitu jerami padi, jerami sorgum, jerami kedelai, jerami kacang tanah, pucuk ubi kayu, dan jerami ubi jalar (Wardhani et al., 1985; Syamsu et al., 2003). Produksi limbah pertanian terbesar adalah jerami padi (85,81%), diikuti jerami jagung (5,84%), jerami kacang tanah (2,84%), jerami kedelai (2,54%), pucuk ubi kayu (2,29%), dan jerami ubi jalar (0,68%). Badan Pusat Statistik (2010) menyatakan bahwa produksi tanaman jagung di Indonesia mencapai 18.364.430 ton dengan luasan panen 4.143.246 ha, maka dapat diperkirakan produksi tanaman jagung per ha yaitu 4,4 ton/ha. Limbah tanaman jagung berpotensi bagi ternak dan sudah banyak diberikan sebagai pakan ternak terutama di Propinsi Jawa Tengah. Limbah jagung mempunyai kualitas pakan yang rendah sehingga tidak akan mencukupi kebutuhan pertumbuhan ternak kecuali jika diberi tambahan suplemen pada pakannya (Parakkasi, 1999). Pengolahan limbah jagung merupakan hal yang diperlukan agar kontinuitas pakan terus terjamin (Umiyasih dan Wina, 2008). Limbah tanaman jagung yang dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia adalah batang dan daun yang masih muda atau dikenal sebagai jerami jagung, klobot jagung, dan tongkol jagung. Jerami jagung sudah banyak dimanfaatkan peternak sebagai hijauan pakan ternak tetapi pemanfaatannya belum optimal. Selain sebagai hijauan segar, jerami jagung juga dapat diberikan sebagai

hijauan pakan ternak yang telah mengalami proses pengolahan teknologi pakan dalam bentuk hay dan silase (Dinas Peternakan, 2009). Daun Jagung Daun jagung mempunyai proporsi sebanyak 20% dari total limbah tanaman jagung. Daun jagung berbentuk memanjang dan muncul pada setiap buku batang. Jumlah daun terdiri dari 8-18 helaian, tergantung varietasnya. Panjang daun bervariasi yaitu antara 30-50 cm dengan lebar mencapai 15 cm (Sudjana et al., 1991). Daun terdiri dari tiga bagian yaitu kelopak daun, lidah daun, dan helaian daun. Kelopak daun umumnya membungkus batang. Antara helaian dan kelopak terdapat lidah daun (ligula) yang berfungsi mencegah air masuk ke dalam kelopak daun dan batang. Tepi helaian daun halus dan kadang-kadang berombak. Bagian bawah daun tidak berbulu (glabrous) dan umumnya mengandung stomata yang lebih banyak dibanding di permukaan bagian atas (Muhadjir, 1988). Daun jagung mempunyai palatabilitas yang tinggi. Daun jagung yang baik untuk dikonsumsi ternak terutama ruminansia varietas jagung yang hanya akan dipanen muda, yakni pada umur sekitar 70 hari di lahan dataran tinggi. Di dataran menengah dan rendah, umur panennya bisa lebih singkat, yakni sekitar 65 bahkan hanya 60 hari. Karena dipanen pada umur muda, maka tebon (batang berikut daun) jagung tersebut masih sangat hijau dan segar, sehingga nilai gizinya masih tinggi bagi ternak ruminansia. Rumput Lapang Rumput lapang merupakan pakan hijauan yang sudah umum digunakan oleh para peternak sebagai pakan utama ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan serat kasar (Pulungan, 1988). Rumput lapang banyak ditemukan di sekitar sawah, ladang, pegunungan, tepi jalan, dan semak-semak. Rumput ini mudah diperoleh, murah, dan pengelolaannya mudah karena tumbuh liar tanpa dibudidaya, oleh karena itu rumput ini mempunyai kualitas yang rendah untuk pakan ternak (Wiradarya, 1989). Komposisi nutrien rumput lapang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering Nutrien A B Abu (%) 8,52 11,95 Protein Kasar (%) 7,75 12,35 Lemak Kasar (%) 1,34 1,98 Serat Kasar (%) 31,46 30 BETN (%) 50,93 43,72 TDN(%) 52,37 56,20 Sumber: a. Furqaanida (2004) b. Tanuwiria et al. (2009) Rumput lapang merupakan campuran dari berbagai jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrien yang rendah. Kualitas rumput lapang sangat beragam karena dipengaruhi oleh kesuburan tanah, iklim, komposisi spesies, waktu pemotongan, cara pemberiannya sehingga secara umum kualitas rumput lapang dapat dikatakan rendah (Widiarti, 2009). Hijauan dengan kualitas yang baik umumnya lebih mudah dicerna dan laju aliran pakan di saluran pencernaan lebih cepat daripada hijauan dengan kualitas yang lebih rendah, oleh karena itu domba akan mengkonsumsinya lebih banyak (Ensminger, 1991). Molases Molases adalah produk sampingan yang diperoleh dari pabrik gula tebu. Molases biasanya digunakan dalam ransum untuk ternak sapi, domba, dan kuda dengan alasan yaitu untuk meningkatkan konsumsi pakan, meningkatkan aktivitas mikroba, mengurangi debu yang terdapat pada pakan, sebagai perekat untuk pakan pellet, dan sebagai sumber energi (Perry et al., 2003). Molases sudah digunakan sebagai sumber karbohidrat siap pakai berupa cairan kental. Jumlah molases yang digunakan biasanya tidak lebih dari 10%-15% dari ransum karena jika lebih dari 15% molases akan menyebabkan ransum menjadi lengket dan sulit ditangani serta mengganggu aktivitas mikroba yang baik (Perry et al., 2003). Menurut Hartadi et al. (1990), komposisi molases dalam 100% bahan kering mengandung protein kasar 5,4%; serat kasar 10,4%; lemak kasar 0,3%; BETN 74%; dan abu 10,4%.

Biskuit Pakan Teknologi pakan memiliki peranan penting dalam industri peternakan. Pakan merupakan komponen utama dalam semua sistem produksi. Keterbatasan pakan baik dalam kualitas maupun kuantitas merupakan permasalahan klasik dalam pengembangan peternakan ruminansia di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pengadaan hijauan dibatasi oleh kepemilikan lahan, musim, dan belum berkembangnya teknologi pengawetan hijauan pakan serta penggunaan konsentrat yang dibatasi oleh harga yang relatif mahal (Rachmawan dan Mansyur, 2009). Umumnya pakan domba memiliki kualitas rendah yang tidak dapat dimakan oleh babi, unggas, atau manusia. Hijauan banyak terdapat dalam pastura, baik alami maupun buatan, seperti jerami, akar-akaran, semak-semak, pohon, hay, silase, dan sejumlah lainnya yang merupakan bahan-bahan hasil sampingan. Pakan tersebut memiliki protein dan lemak yang relatif rendah, kadar serat yang cenderung tinggi, dan biasanya memiliki kecernaan yang rendah (Devendra dan McLeroy, 1982). Faktor-faktor tersebut merupakan alasan diperlukannya teknologi dalam pengolahan pakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan karena volume dan beratnya proses pengeringan (Whiteley, 1971). Biskuit termasuk produk yang mudah menyerap air dan oksigen, oleh sebab itu bahan pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap terhadap komponen volatile terutama bau-bauan, kedap terhadap sinar dan mampu melindungi produk dari kerusakan mekanis (Manley, 1983). Almond (1989) mengatakan bahwa secara umum pembuatan biskuit dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu pencampuran bahan, pembentukan adonan dan pencetakan, pembakaran, dan pendinginan. Ada beberapa variasi proses dapat digunakan sesuai dengan jenis biskuit yang akan dibuat. Pemanasan biskuit termasuk ke dalam proses dry heating yaitu pemanasan yang dilakukan tanpa penambahan minyak atau lemak, salah satunya yaitu baking. Baking adalah teknik pemasakan atau cooking dengan cara meletakkan bahan pangan ke dalam oven yang biasanya telah dilengkapi dengan elemen panas yang terletak di bagian bawah dari oven. Pemindahan panas yang terjadi dalam baking tersebut

terdiri dari tiga mekanisme, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Pada awalnya udara bagian bawah oven dipanaskan, kemudian udara yang hangat dan panas bergerak ke atas, terjadilah perpindahan konveksi. Udara panas yang bergerak keatas dan kemana-mana tersebut akhirnya menyentuh bahan pangan, terjadilah perambatan panas secara konduksi. Radiasi panas yang dipancarkan oleh dasar oven membentur ke seluruh permukaan dinding oven, kemudian dipantulkan dan diserap, akhirnya membentuk bahan pangan. Bahan pangan menjadi panas (Winarno, 2007). Sifat Fisik Pakan Biskuit Sifat fisik merupakan bagian dari karakteristik mutu yang berhubungan dengan nilai kepuasan konsumen terhadap bahan. Sifat dan perubahan bahan yang terjadi pada pakan selama proses dapat digunakan sebagai ciri untuk menilai dan menentukan mutu pakan. Selain itu, pengetahuan mengenai sifat fisik digunakan juga untuk menentukan keefisienan suatu proses penanganan, pengolahan, dan penyimpanan (Winarno, 2007). Peningkatan nilai mutu awal produk dapat dilakukan dengan memilih dan menggunakan bahan baku yang bermutu baik (Herawati, 2008). Prinsip pembuatan biskuit pakan hampir sama dengan wafer pakan sebelumnya. Ukuran Partikel Ukuran partikel mempengaruhi luas permukaan yang tersedia bagi penempatan dan multiplikasi mikro-organisme rumen (Giger-Reverdin, 2000). Weston (2002) menambahkan bahwa partikel yang lolos dari saringan 1200 μm memiliki laju pengosongan rumen dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran partikel, contohnya partikel yang lolos dari saringan 150 μm ternyata meninggalkan rumen sekitar 14 kali lebih cepat dibandingkan partikel yang tertahan pada saringan 7 dengan ukuran 1200 μm - 600 μm. Ukuran partikel dan tekstur biskuit pakan yang halus menyebabkan laju aliran digesta rumen menjadi lebih cepat, sehingga domba dapat mengkonsumsi pakan lebih banyak. Menurut Arora (1989), ukuran partikel pakan yang lebih kecil akan meningkatkan laju aliran cairan dan laju aliran digesta rumen, sehingga konsumsi pakan akan meningkat demikian juga pengosongan lambung lebih cepat. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa

semakin kecil ukuran partikel mengakibatkan penurunan aktivitas mengunyah dan kandungan lemak. Pengurangan ukuran partikel hijauan meningkatkan konsumsi bahan kering dan sintesis protein mikroba yang disebabkan oleh peningkatan laju pengosongan rumen (Fonseca et al., 2000). Menurut Marpaung (2011), biskuit daun jagung memiliki ukuran partikel terbesar. Ukuran partikel mempengaruhi luas permukaan yang tersedia bagi penempatan dan multiplikasi mikro-organisme rumen (Giger-Reverdin, 2000). Weston (2002) menambahkan bahwa partikel yang lolos dari saringan 1200 μm memiliki laju pengosongan rumen dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran partikel. Kerapatan (Densitas) Densitas atau kerapatan jenis curah merupakan massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Menurut Wirakartakusumah et al. (1992), kerapatan curah diberi sifat-sifat tambahan seperti loose bulk density (LBD) atau kerapatan tumpukan dan tapped bulk density (TBD) atau kerapatan pemadatan tumpukan (setelah getaran). Toharmat et al. (2006) menyatakan bahwa sifat kerapatan bahan terkait dengan kadar serat dalam bahan. Semakin tinggi kadar serat maka semakin rendah kerapatan atau bahan tersebut semakin amba. Hasil penelitian Khalil (1999) yang memperlihatkan bahwa semakin kecil ukuran partikel, semakin tinggi kerapatan pemadatan tumpukan. Giger-Reverdin (2000) juga menyatakan bahwa setiap kenaikan nilai tengah ukuran partikel biasanya diikuti dengan menurunnya nilai kerapatan. Hasil penelitian Marpaung (2011) memperlihatkan biskuit daun jagung merupakan bahan yang amba dibanding perlakuan lainnya. Kerapatan bahan pakan kaya serat memiliki nilai yang sangat bervariasi. Sifat kerapatan bahan banyak terkait dengan kadar serat dalam bahan. Semakin tinggi kadar serat maka semakin rendah kerapatan atau bahan tersebut semakin amba (Toharmat et al., 2006). Kerapatan adalah suatu ukuran kekompakan partikel dalam lembaran dan sangat tergantung pada kerapatan bahan baku yang digunakan serta besarnya tekanan kempa yang diberikan selama proses pembuatan lembaran dengan menentukan atau mengukur berat sampel untuk setiap satu satuan volume sampel (Suryani, 1986). Kerapatan bahan baku sangat tergantung pada besarnya kempa yang diberikan selama proses pembuatan (Syananta, 2009). Tekanan pengempaan dilakukan untuk

menciptakan ikatan antara permukaan bahan perekat dan bahan yang direkat dengan bantuan alat pengepres (Suryani, 1986). Domba Ekor Tipis Domba adalah ternak penghasil daging dan sering digembalakan di tepi jalan dan pematang sawah serta di tepi saluran irigasi maupun di tanah lapang. Domba mempunyai sifat alami senang bergerombol dan tidak memilih pakan (Setiyono, 2000). Ternak domba merupakan salah satu ternak yang berkembang di Indonesia, terutama di pedesaan karena domba memiliki peranan yang besar dalam menunjang ekonomi keluarga peternak. Karakterisitik domba lokal diantaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya. Ekor pada domba lokal umumnya pendek (Devendra dan McLeroy, 1992). Ukuran panjang rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti, 1992). Sekitar 80% populasinya ada di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini mampu hidup di daerah gersang. Domba ini mempunyai tubuh yang kecil sehingga disebut domba kacang atau domba jawa. Adapun ciri lainnya yaitu ekor relatif kecil dan tipis; umumnya bulu badan berwarna putih, kadang-kadang belang-belang hitam di sekitar mata, hidung atau bagian lainnya; domba betina umumya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar; berat domba jantan dewasa berkisar 30-40 kg dan berat domba betina dewasa sekitar 15-20 kg (Mulyono, 2004). Domba ekor tipis ditemukan di sekitar Jawa Barat. Bagian timur umumnya banyak terdapat domba ekor gemuk. Rata-rata berat badan domba ekor tipis jantan sekitar 20 kg, tetapi berat badan tersebut sangat bervariasi (Gatenby dan Humbert, 1991). Tiesnamurti (1992) menyatakan bahwa bobot dewasa dapat mencapai 30-40 kg pada jantan dan betina 20-25 kg dengan persentase karkas berkisar antara 44-49 %. Ekor pada domba lokal umumnya pendek (Devendra dan McLeroy, 1992) dengan ukuran panjang rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm, dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti, 1992).

Teknik Pengukuran Kecernaan In Vivo Pengukuran kecernaan secara In vivo dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara tak langsung (indirect method) dengan menggunakan marker dan cara langsung (direct method). Pengukuran secara langsung merupakan pengukuran konvensional dengan menggunakan kandang metabolis ataupun kandang individu. Metode ini semua pakan, sisa pakan dan feses ditimbang dan dicatat, kemudian diambil sample untuk dianalisis. Mengetahui jumlah pakan yang diberikan, sisa pakan, dan feses maupun urin yang dikeluarkan setiap ekor ternak serta mengetahui kandungan zat makanan bahan pakan, sisa pakan, feses atau urin, maka akan didapat nilai kecernaan dari masing-masing komponen. Pengukuran secara tidak langsung merupakan metode yang pada penerapannya feses yang dikeluarkan ternak tidak perlu dikumpulkan dan ditimbang semua tetapi cukup diambil sampelnya. Teknik ini biasanya dilakukan pada ternak yang digembalakan dan pengukuran konsumsinya dihitung dengan menduga feses yang dilakukan untuk setiap ternak menggunakan perunut (indikator) misalnya chrome oxide, pigment, silika, lignin dan cromogen (Sutardi, 1979). Kecernaan Bahan Kering dan Organik (KCBK dan KCBO) Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan makanan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi fisiologi ternak (Parakkasi, 1999). Anggorodi (1994) mendefinisikan kecernaan sebagai bagian yang tidak diekskresikan dalam feses dan bagian lainnya diasumsikan diserap oleh tubuh ternak yang dinyatakan dalam persen bahan kering. Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa nutrien yang dicerna adalah bagian nutrien yang tidak dikeluarkan dan diperkirakan diserap oleh Ternak. Salah satu faktor yang penting yang harus dipenuhi bahan makanan adalah tinggi rendahnya kecernaan bahan makanan itu yang berarti bahwa makanan itu harus cukup mengandung zat-zat makanan alam bentuk yang dapat dicerna didalam saluran pencernaan. Menurut Syah (1984), bahwa kandungan NDF yang rendah dalam ransum akan menyebabkan laju pengosongan saluran pencernaan menjadi lebih lambat sehingga konsumsi bahan kering maupun bahan organik ransum menjadi rendah. Tjardes et al. (2002) menyatakan bahwa konsentrasi serat pakan yang meningkat

tidak mempengaruhi volume digesta rumen maupun bobot digesta akan tetapi menurunkan persentase bobot bahan kering digesta. Kandungan serat yang tinggi menurunkan kecernaan bahan kering namun meningkatkan kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF). Semakin tinggi serat kasar, laju pergerakan zat makanan dalam sekum makin tinggi, sehingga diperkirakan bahwa koefisien cerna zat makanan akan makin rendah (Cheeke dan Patton, 1980). Menurut Sutardi (1980), nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut. Selain itu, Church (1983) juga menyebutkan bahwa kecernaan ransum mempengaruhi konsumsi ransum, kecernaan ransum yang rendah dapat meningkatkan konsumsi ransum. Hal ini dikarenakan laju digesta dalam saluran pencernaan semakin cepat dan ransum akan keluar dari saluran pencernaan. Faktor faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah komposisi pakan, daya cerna semu protein kasar, lemak, komposisi ransum, penyiapan pakan, faktor ternak, dan jumlah pakan yang diberikan (Tillman et al., 1989). Pengukuran kecernaan konvensial terdiri dari dua periode yaitu periode pendahuluan dan periode koleksi. Kecernaan bahan organik merupakan faktor yang penting yang dapat menentukan nilai pakan (Sutardi, 1980). Koefisien cerna bahan kering adalah persentase dari selisih konsumsi bahan kering ransum dengan bahan kering feses per konsumsi bahan kering ransumnya. Serat Menurut Linder (1992), serat adalah bagian dari makanan yang tidak dapat tercerna secara enzimatis oleh enzim yang diproduksi oleh saluran pencernaan manusia dan ternak sehingga bukan sebagai sumber zat makanan. Kategori yang termasuk dalam serat adalah selulosa, hemiselulosa, dari dinding sel tanaman, pektin (bagian dari buah-buahan yang digiling), dan gum/gummy yang merupakan komponen nonstruktural sel tanaman. Lignin juga bagian dari serat bahan makanan tetapi bukan karbohidrat. Struktur serat bervariasi bergantung pada umur, anatomi, dan kondisi tanaman tersebut. Dalam saluran pencernaan, serat bergerak sepanjang usus dalam bentuk menyerupai spons yang terhidrasi yang memiliki sifat daya serap kation dan sifat-sifat absorptif lain. Serat dapat mengalami hidrolisis dalam sekum. Adapun efek serat pada saluran pencernaan bagian depan adalah memperlambat pengosongan

partikel pakan dalam perut dan penyerapan, sedangkan pengaruhnya pada saluran pencernaan bagian belakang lebih rumit, bergantung pada fermentasi serat pada sekum (Olson et al., 1987). Serat adalah lignin dan polisakarida yang merupakan dinding sel tumbuhan dan tidak tercerna oleh cairan sekresi dalam saluran pencernaan. Kandungan serat dalam dinding sel dapat diekpresikan dengan metode Neutral Detergent Fiber (Arora, 1989) sehingga kemampuan serat dapat dipisahkan. Jika kandungan lignin dalam bahan pakan tinggi maka koefisien cerna pakan tersebut menjadi rendah (Sutardi, 1980). Serat kasar (Crude Fiber) adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam sulfat (H 2 SO 4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1,25%) dalam metode Weende. Serat merupakan komponen pakan yang tidak dapat larut dalam detergen neutral (Neutral Detergen Fiber/NDF) atau detergen asam (Acid Detergen Fiber/ADF) dalam metode Van Soest. Penentuan serat menggunakan detergen asam secara Van Soest (ADF) dalam beberapa hal lebih superior dari pada penentuan serat kasar dengan metode Weende. Perbedaan utama antara serat kasar dengan ADF adalah sebagian pentosan Bahan ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N) dalam metode Weende termasuk dalam ADF. Neutral Detergen Fiber (NDF) dan Acid Detergen Fiber (ADF) Secara garis besar bahan hijauan dibagi menjadi isi sel dan dinding sel (NDF). Isi sel terdiri dari fraksi-fraksi protein, karbohidrat non struktural, mineral dan lemak yang mudah larut dalam pelarut detergen netral. Dinding sel yang tidak larut dalam pelarut detergen netral (NDF) dibagi menjadi beberapa fraksi berdasarkan kelarutannya dalam pelarut detergen asam. Fraksi yang larut terdiri dari hemiselulosa dan protein dinding sel (N dinding sel), sedangkan yang tidak larut adalah selulosa, lignin, lignoselulosa, dan silica atau dikenal dengan serat detergen asam (Acid Detergent Fiber/ ADF). Selain bahan organik, dinding sel juga mengandung silika. Dinding sel (NDF) biasanya erat hubungannya dengan konsumsi sedangkan ADF erat hubungannya dengan kecernaan (Parakkasi, 1999).

Gambar 2. Skema pembagian hijauan menurut Van Soest (1994), dapat dilihat pada Bahan Air Makanan Isi Sel Hemiselulosa Bahan (N dinding Sel) Kering Dinding Sel SiO 2 (NDF) Lignoselulosa Lignin Detergen Asam Gambar 2. Skema Pembagian Hjauan Menurut Van Soest