Bab I PENDAHULUAN. A. Dinamika Strategi Perdagangan Australia

dokumen-dokumen yang mirip
untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

RESUME. bagian selatan yang juga merupakan benua terkecil di dunia. Di sebelah. barat Australia berbatasan dengan Indonesia dan Papua New Guinea,

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN.

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB IV KESIMPULAN. dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan-tantangan yang dapat mengancam

I. PENDAHULUAN. moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

Prospek Ekonomi Regional ASEAN ASEAN+3 Regional Economic Outlook (AREO) Ringkasan

4. Membentuk komite negara-negara penghasil minyak bumi ASEAN. Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia

2 masing-masing negara masih berhak untuk menentukan sendiri hambatan bagi negara non anggota. 1 Sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara tentunya p

Kerja sama ekonomi internasional

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB V KESIMPULAN. para pemimpin yang mampu membawa China hingga masa dimana sektor

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

BAB I PENDAHULUAN. bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

BAB VI KESIMPULAN. Parlemen selama 30 tahun. Kakek John Malcolm Fraser berasal dari Nova Scotia.

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

Adapun penulis menyadari beberapa kekurangan dari penelitian ini yang diharapkan dapat disempurnakan pada penelitian mendatang :

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

1 Plurilateral adalah bentuk perjanjian kerja sama perdagangan bebas (FTA) antara beberapa negara pada

BAB I PENDAHULUAN. geografis. Kecenderungan inilah yang sering dinamakan regionalisme.

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

BAB I PENDAHULUAN. Dengan masih besarnya pengaruh Cina terhadap perekonomian dunia, maka

BAB IV KESIMPULAN. -Peter M. Haas. Council on Foreign Relations, < >, diakses pada , 1993, p.78.

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

PENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah

I. PENDAHULUAN. bagaimana keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, sementara itu

BAB VI. KESIMPULAN. integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya.

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL. Bab 3

BAB IV PENUTUP. Strategi keamanan..., Fitria Purnihastuti, FISIP UI, 2008

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL

PEMASARAN INTERNASIONAL

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

BAB V. Kesimpulan. Seperti negara-negara lain, Republik Turki juga telah menjalin kerja sama

perdagangan, industri, pertania

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

ASIA PACIFIC ECONOMIC COOPERATION (APEC) GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, nilai serta norma masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia pernah mengalami goncangan besar akibat krisis

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BENTUK KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL.

BAB 1. PENDAHULUAN. memproduksi dan menjual produknya dalam lingkup nasional saja. Keuntungan yang

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

BAB I PENDAHULUAN. saat ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan-perusahaan di

: Determinan Intra-Industry Trade Komoditi Kosmetik Indonesia dengan Mitra Dagang Negara ASEAN-5 : I Putu Kurniawan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.

LATAR BELAKANG dan UPAYA DIPLOMATIK CINA MENDORONG CHINA-ASEAN FREE TRADE AGREEMENT

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al-

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara, Uni Eropa (UE) di Eropa dan NAFTA di Amerika Utara

Realisme dan Neorealisme I. Summary

Transkripsi:

Bab I PENDAHULUAN Sebagai salah satu negara dengan kekuatan menengah di kawasan Asia Pasifik, Australia memiliki sejarah dan hubungan luar negeri yang dinamis terhadap negara-negara di kawasan tersebut, khususnya terhadap negara-negara Asia Tenggara. Asia Tenggara memiliki arti yang penting bagi Australia dalam berbagai aspek, termasuk politik, keamanan, perdagangan, pendidikan dan industri. 1 Penting untuk dicatat bahwa hubungan antara Association of South East Asian Nations (ASEAN) dan Australia dalam aspek perdagangan maupun kerja sama ekonomi lainnya telah menempuh sebuah proses evolusi yang panjang dan sangat menarik. Tesis ini akan berfokus pada hubungan ASEAN- Australia dalam aspek kerja sama ekonomi yang dianalisis melalui perspektif ekonomi politik. Dalam membahas aspek ekonomi tersebut diperlukan paparan awal tentang perkembangan hubungan ekonomi ASEAN-Australia. A. Dinamika Strategi Perdagangan Australia Berbeda dengan aspek politik dan keamanan, hubungan ASEAN-Australia dalam aspek ekonomi telah menempuh beberapa tahap proses pendekatan yang relatif kompleks dan beragam. Menarik untuk dilihat bahwa bagi Australia, khususnya dalam periode pasca perang, hubungan dengan ASEAN cenderung berfokus pada aspek politik dan keamanan. Kontestasi pengaruh kekuatan dalam Perang Dingin, khususnya upaya Uni Soviet dalam memperluas pengaruh komunisme di Asia Tenggara, di mana beberapa negara dalam kawasan tersebut sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam, menjadikan hubungan ASEAN-Australia memiliki peran yang semakin penting untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan. Pada masa awal pendirian ASEAN di akhir tahun 1960-an, Australia memandang perlunya pendampingan pembangunan ekonomi dalam kawasan sebagai instrumen membendung pengaruh komunisme yang datang dari utara, dibanding dengan membuka akses ASEAN bagi pasar!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 1 Hal ini terlihat, misalnya, dari peran Australia yang telah menjadi mitra wicara pertama bagi ASEAN sejak tahun 1974 dengan pembentukan ASEAN-Australia Consultative Meetings (AACM) sebagai penanda kerja sama tersebut. Sejak pertemuan AACM, mekanisme dialog ASEAN-Australia terus berkembang hingga saat ini dalam bentuk forum, komite, konferensi maupun kelompok kerja pada berbagai tingkatan. 1

domestik Australia. Dari sudut pandang tersebut kemudian Australia mengeluarkan berbagai kebijakan yang melindungi ekonomi domestik pada masa itu. Kebijakan tersebut meliputi proteksionisme terhadap produk manufaktur Australia dari kompetisi internasional, di antaranya produk agrikultur dan pertambangan. Upaya liberalisasi perdagangan antara Australia dengan negara-negara sekitar kawasan tidak dapat tercapai hingga Partai Buruh Australia memenangkan pemilu pada tahun 1972. Di bawah kepemimpinan Gough Whitlam, Australia menerapkan reformasi kebijakan liberalisasi perdagangan yang cukup signifikan, seperti pemotongan tarif bea masuk sebesar 25% dan diversifikasi pasar ekspor Australia. 2 Namun, kebijakan yang diterapkan oleh Whitlam ini tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar. Resesi ekonomi yang menghantam berbagai kawasan dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, Eropa dan Australia pada akhir tahun 1974 mengakibatkan permasalahan ekonomi yang serius bagi Australia. Jumlah ekspor Australia menurun drastis, ditambah dengan laju inflasi yang terus melambung tinggi mengakibatkan naiknya jumlah pengangguran di Australia. Kebijakan Whitlam yang mulanya dianggap sebagai upaya peningkatan daya saing produk Australia justru kemudian dilihat sebagai salah satu faktor yang memperburuk kondisi ekonomi domestik Australia. Kekuasaan Partai Buruh berakhir pada tahun 1975 dan pemerintahan direbut kembali oleh Partai Liberal di bawah kepemimpinan Malcolm Fraser. 3 Kontras dengan kebijakan Whitlam yang menginisiasi pendekatan terhadap kawasan regional seperti Asia- Pasifik dan khususnya Asia Tenggara, kepemimpinan Fraser diwarnai dengan perselisihan, perdebatan dan kesalahpahaman antara Australia dengan negara-negara Asia Tenggara dalam konteks kebijakan ekonomi. 4 Pada masa pemerintahan Fraser, Australia menolak permintaan negara-negara ASEAN untuk membuka pasar domestik, dan justru menawarkan paket bantuan pembangunan kepada ASEAN. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan dari negara-negara ASEAN tentang komitmen Australia dalam perdagangan bebas. Upaya liberalisasi perdagangan yang mulanya digagas oleh Partai Buruh ditarik kembali oleh Fraser yang tidak ingin membuat kebijakan berlawanan dengan upaya-upaya proteksionisme.!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 2 H. Bull, The Whitlam Government Perception of Our Role in the World, dalam B.D. Beddie (ed.), Advance Australia Where?, Oxford University Press, Melbourne, 1975, p. 213. 3 P. Kelly, November 1975: The Inside Story of Australia s Greatest Political Crisis, Allen & Unwin, Sydney, 1995, pp. 56-75. 4 J. Okamoto, The Historical Development of Australia-ASEAN Relations: Implications for APEC into the Year 2000, Research Paper, APEC Study Center, Institute of Developing Economy, 2000, pp. 115-116. 2

Kesalahpahaman antara ASEAN dan Australia terus berlangsung hingga Partai Buruh kembali memenangkan pemilu pada tahun 1983 di bawah administrasi Bob Hawke. Hawke mengambil berbagai kebijakan seperti liberalisasi pasar finansial Australia, deregulasi suku bunga bank, liberalisasi pembukaan dan operasi bank asing di Australia, privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara serta penurunan proteksionisme yang diterapkan melalui penurunan tarif impor dan penghilangan kuota impor dalam jangka waktu sepuluh tahun. Di samping disambut baik oleh ASEAN, liberalisasi ekonomi ini juga diperkuat dengan orientasi politik luar negeri Australia yang kembali memprioritaskan peningkatan kualitas hubungan dengan negara-negara Asia-Pasifik. Liberalisasi ekonomi yang dijalankan oleh Hawke terus berlanjut hingga Australia mencapai komitmen dalam perdagangan bebas dalam level regional maupun global. Berbagai upaya diplomasi perdagangan regional dan multilateral secara proaktif diterapkan oleh Australia terhadap kawasan Asia-Pasifik pada akhir dekade 1980-an. Terbentuknya Cairns Group sebagai wadah akomodasi kepentingan negara-negara penghasil produk agrikultur serta APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) sebagai forum kerja sama ekonomi Asia-Pasifik merupakan dua pencapaian penting Australia dalam melakukan diplomasi perdagangan regional. 5 Pendekatan proaktif Partai Buruh tersebut terus berlangsung hingga Paul Keating menjabat sebagai Perdana Menteri Australia pada tahun 1993-1996. Keating yang dikenal memiliki visi yang ramah dengan negara-negara Asia meneruskan kebijakan yang digagas pada periode Hawke hingga pada tahun 1996 ketika Partai Liberal kembali memenangkan posisi pemerintahan di bawah kepemimpinan John Howard. Berbeda dengan pemerintahan Hawke dan Keating, John Howard mengambil kebijakan ekonomi dan perdagangan internasional dengan pendekatan bilateral. Langkah ini diambil sebagai respon diplomasi perdagangan multilateral yang dinilai tidak memberikan keuntungan ekonomi yang maksimal bagi Australia. Kegagalan tercapainya kesepakatan dalam The Early Voluntary Sectoral Liberalization (EVSL) sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi APEC adalah salah satu tanda bahwa Australia harus berupaya lebih keras untuk melakukan pendekatan terhadap negara-negara Asia-Pasifik. 6 Pada masa pemerintahan Howard sejumlah Free Trade Area (FTA) disepakati dengan!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 5 Trade in Agriculture, The Cairns Group, Department of Foreign Affairs and Trade, <http://www.dfat.gov.au/ trade/negotiations/cairns_group.html>, diakses 6 Februari 2012. 6 J. Okamoto, Australia s Foreign Economic Policy and ASEAN, ISEAS, Singapore, 2010, p. 212. 3

negara-negara anggota ASEAN seperti Singapura dan Thailand. 7 Bagi Howard, diplomasi perdagangan bilateral cenderung lebih menunjukkan hasil dan dapat dinegosiasikan dalam jangka waktu yang lebih singkat. Langkah diplomasi bilateral yang diambil oleh Howard ini menunjukkan fase baru dalam diplomasi perdagangan Australia, dari yang semula berbasis proteksionis pada dekade 1970-an berubah menjadi plurilateralis pada dekade 1980-an, kemudian berubah menjadi bilateralis pada akhir dekade 1990-an. 8 Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa terlepas dari prinsip bilateralis yang mulai diterapkan oleh Australia untuk melakukan diplomasi perdagangan dalam satu dekade terakhir, wacana inisiatif FTA antara Australia dengan Selandia Baru dan ASEAN (AFTA- CER, ASEAN Free Trade Area-Closer Economic Relationship) yang pada akhirnya diberi nama AANZFTA (ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area) telah digagas sejak akhir tahun 1999. Berbagai studi yang mendalami prospek keuntungan ekonomi Australia maupun ASEAN dalam AFTA-CER menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi maksimal tetap dapat diraih melalui perjanjian perdagangan bilateral. Salah satu studi tersebut dikeluarkan oleh National Interest Analysis (NIA), yang menegaskan bahwa pada sebagian sektor industri, tarif bea masuk yang diatur dalam AANZFTA masih lebih tinggi dibandingkan dengan tarif yang diterapkan dalam perjanjian perdagangan bilateral Australia dengan beberapa negara di Asia Tenggara. 9 Sebagai contoh, dalam sektor industri hortikultur dan agrikultur yang menjadi komoditas andalan Australia, tarif yang diterapkan dalam AANZFTA jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perjanjian perdagangan bilateral yang telah ada, seperti Thailand-Australia FTA. NIA lebih lanjut memaparkan bahwa AANZFTA tidak memiliki banyak aturan terinci tentang bagaimana AANZFTA terhubung dengan beberapa FTA bilateral yang telah disepakati sebelumnya. Beberapa analisis lain bahkan mengklaim bahwa penerapan AANZFTA akan tumpang tindih dengan beberapa FTA bilateral dalam kawasan. 10 Studi juga telah menunjukkan bahwa keberadaan China-ASEAN FTA akan jauh lebih penting dan diprioritaskan oleh negara-negara ASEAN dibanding dengan skema!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 7 Okamoto, Australia s Foreign Economic Policy and ASEAN, pp. 223-226. 8 FTA dalam level plurilateral adalah perjanjian perdagangan bebas antara beberapa negara (dalam level regional). Istilah plurilateral digunakan oleh WTO untuk menegaskan perbedaan plurilateral dengan FTA multilateral yang melibatkan banyak negara seperti GATT. Selengkapnya baca WTO, Plurilateral, Glossary Term, <http://www.wto.org/english/thewto_e/glossary_e/plurilateral_e.htm>, diakses 22 Februari 2013. 9 K. Thomson, et al., Report 102: Treaties Tabled on 12 and 16 March 2009, The Parliament of Commonwealth of Australia, Canberra, June 2009, pp. 8-9. 10 R. Scollay, Prospects for Linking PTAs in the Asia-Pacific Region, dalam C.E. Morisson & E. Pedrosa (eds.), An APEC Trade Agenda? The Political Economy of a Free Trade Area of the Asia Pacific, ISEAS, Singapore, 2007, pp. 170-171. 4

AFTA-CER FTA. Hal ini ditunjukkan melalui analisis NIA yang menilai negosiasi Australia dalam AANZFTA jauh lebih lemah dibanding dengan negosiasi Cina dalam China-ASEAN FTA. 11 Gagasan AFTA-CER juga dinilai tidak memiliki ambisi sebesar FTA bilateral yang lebih dulu dilaksanakan antara Australia dengan Singapura dan Thailand, sebagaimana telah dibuktikan dengan negosiasi tarif yang lebih lunak dibanding dengan FTA bilateral. Dengan kata lain, AFTA-CER tampaknya tidak akan mendapat perhatian sebesar FTA bilateral. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa AFTA-CER tidak akan membawa banyak keuntungan ekonomi bagi ketiga pihak jika dibandingkan dengan pendekatan FTA bilateral. 12 Tanpa memperhatikan pengalaman Australia dalam membina diplomasi perdagangan plurilateral sejak masa Bob Hawke dan beberapa rekomendasi dari studi di atas, pada akhirnya Australia tetap meneruskan pembahasan skema AFTA-CER FTA hingga mencapai kesepakatan pada tahun 2009. Skema tersebut kemudian berkembang dengan nama Australia-ASEAN-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA). Gagasan AFTA-CER FTA pada masa Howard dan kesepakatan AANZFTA yang dicapai di bawah pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd dari Partai Buruh menimbulkan sebuah pertanyaan terkait alasan tetap dilaksanakannya skema FTA tersebut. Diplomasi perdagangan Australia yang pada awal pemerintahan Howard telah bertransformasi menjadi diplomasi berbasis hubungan bilateral kini berevolusi pada strategi plurilateral yang menurut beberapa penelitian tidak mampu membawa keuntungan ekonomi yang lebih besar bagi Australia dibanding dengan pendekatan bilateral. B. Pertanyaan Penelitian Uraian di atas telah memberi dasar yang cukup untuk memahami dinamika strategi perdagangan internasional Australia, khususnya dalam hubungannya dengan negara-negara di Asia Tenggara. Dinamika tersebut menarik untuk diteliti, terlebih ketika banyak analisis melihat bahwa keuntungan ekonomi yang lebih besar telah ditunjukkan melalui skema perdagangan bilateral dibanding dengan skema plurilateral. Dari sini penulis mengajukan pertanyaan penelitian: mengapa Australia tetap menginisiasi AANZFTA sebagai salah satu mekanisme diplomasi perdagangan regionalnya?!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 11 Thomson, pp. 9-10. 12 R. Trewin, Resource Based Industry and Development of AANZFTA, Working Paper 07-03, Crawford School of Economics and Government, Australian National University, Canberra, 2006, pp. 15-18. 5

C. Tinjauan Pustaka Dalam kajian politik perdagangan, hubungan dan kerja sama ekonomi Australia- ASEAN relatif jarang diangkat setidaknya hingga terjadi perubahan strategi diplomasi kebijakan ekonomi Australia terhadap ASEAN pada awal dekade 1980-an. Salah satu peneliti yang memberikan kontribusi penting terhadap kajian kerja sama ekonomi Australia-ASEAN adalah Jiro Okamoto, peneliti senior di Institute of Developing Economies (IDE-JETRO) Jepang. Dalam beberapa dekade terakhir, Okamoto melalui sejumlah publikasi menjelaskan dengan terinci hubungan dan kerja sama ekonomi Australia-ASEAN. Salah satu publikasi Okamoto dengan tajam menganalisis dinamika evolusi hubungan dan kerja sama ekonomi Australia-ASEAN sejak akhir pemerintahan Partai Liberal di awal dekade 1970-an hingga masa pemerintahan Partai Buruh yang saat ini sedang berkuasa. 13 Okamoto mengajukan sebuah pendekatan koalisi negaramasyarakat yang dijadikan kerangka teori untuk menganalisis setiap perubahan yang terjadi dalam hubungan ekonomi Australia-ASEAN. 14 Dalam koalisi negara-masyarakat, para aktor kebijakan dalam koalisi memiliki peran dalam membentuk kepentingan dan tujuan kebijakan. Menurut Okamoto, para aktor dalam koalisi negara-masyarakat tidak hanya terdiri dari institusi pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan, namun juga wartawan, akademisi serta analis kebijakan yang memiliki perhatian terhadap masalah kebijakan. 15 Aktor dalam koalisi tidak harus berafiliasi dengan partai politik maupun kelompok kepentingan tertentu. Karakter utama koalisi negara-masyarakat menekankan pada dua aspek utama dalam kerangka analisis. Pertama, koalisi negara-masyarakat tidak hanya terfokus pada kepentingan material aktoraktor tertentu dalam koalisi, namun juga kontribusi dalam pembentukan tujuan kebijakan dengan jangka waktu yang lebih panjang, seperti kepentingan nasional yang terkait dengan kepentingan masyarakat umum. Kedua, interaksi dalam koalisi akan membentuk preferensi dalam kebijakan serta menentukan tujuan kebijakan. Lebih lanjut, Okamoto membagi pendekatan koalisi negara-masyarakat dalam dua struktur. Struktur yang pertama adalah ide-ide kebijakan inti (core policy ideas). Dalam!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 13 Okamoto, Australia s Foreign Economic Policy and ASEAN. 14 Penggunaan terma koalisi negara-masyarakat oleh Okamoto dikembangkan dari teori sejenis yang digagas oleh Paul Sabatier dan Hank Jenkins-Smith yang dikenal dengan terma koalisi advokasi. Lihat P.A. Sabatier & H.C. Jenkins-Smith, Policy Change and Learning: An Advocacy Coalition Approach, Westview Press, Boulder, 1993. 15 Okamoto, Australia s Foreign Economic Policy and ASEAN, pp. 28-29. 6

konteks kebijakan dan kerja sama ekonomi antarnegara, ide-ide kebijakan inti dapat diterapkan dalam gagasan terkait preferensi sistem dan kerja sama ekonomi serta perdagangan internasional yang ideal untuk ekonomi nasional maupun peningkatan standar hidup dalam suatu negara. Ide-ide kebijakan inti mencerminkan persepsi dasar suatu negara dalam memahami bagaimana hubungan internasional berjalan, seperti bagaimana negara melihat politik internasional dari perspektif realis atau liberal. Sementara itu, struktur kedua adalah ide-ide kebijakan nyata yang memiliki peran dalam mendukung implementasi ide-ide kebijakan inti. Sebagai contoh, apabila suatu negara menganut liberalisasi perdagangan dan investasi sebagai ide-ide kebijakan inti, maka ide-ide kebijakan nyata dapat berbentuk kebijakan teknis yang mengatur pilihan sektor industri yang akan diliberalisasi dan bagaimana proses liberalisasi dijalankan, apakah secara bertahap atau dalam waktu singkat. Dalam analisis kebijakan ekonomi antarnegara, menurut Okamoto, perubahan bentuk hubungan dan kerja sama ekonomi pada prinsipnya memerlukan perubahan ide-ide kebijakan inti. Dengan kata lain, resistensi terhadap perubahan dalam bentuk hubungan dan kerja sama ekonomi akan muncul dengan kuat apabila tidak diawali dengan perubahan ide-ide kebijakan inti suatu negara. Dalam konteks Australia, salah satu mekanimse perubahan ide-ide kebijakan inti adalah perubahan pemerintahan eksekutif antara Partai Buruh dan Partai Liberal. Australia dengan sistem pemerintahan parlementer Westminster memungkinkan perubahan konstruksi pemerintahan yang masif dalam setiap perubahan kepemimpinan. Okamoto lebih lanjut menekankan bahwa perubahan tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap ide-ide kebijakan serta dukungan politik bagi suatu koalisi. Pada aspek tertentu, analisis terkait kebijakan ekonomi luar negeri Australia dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Ann Capling sejalan dengan argumen yang diajukan Okamoto. 16 Meskipun tidak secara spesifik membahas kerja sama ekonomi luar negeri Australia-ASEAN, Capling menggarisbawahi bahwa perubahan kebijakan ekonomi luar negeri Australia (disebut Okamoto sebagai kebijakan-kebijakan inti) sepenuhnya tergantung oleh perubahan struktur dan profil pemerintahan eksekutif Australia. Pemerintahan Liberal lebih memfokuskan strategi kebijakan perdagangan bebas melalui skema bilateral, sebaliknya Partai Buruh menekankan peran penting multilateralisme dalam menjalankan kebijakan ekonomi luar negeri Australia. Capling memberikan contoh dengan kebijakan Partai Buruh di bawah kepemimpinan Bob Hawke dan Paul Keating!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 16 A. Capling, Australia s trade policy dilemmas, Australian Journal of International Affairs, vol. 62, no. 2, 2008, pp. 229-244. 7

yang melakukan liberalisasi perdagangan melalui jalur multilateral, serta John Howard yang berfokus pada pendekatan bilateral. Lebih lanjut, Capling bahkan memberikan penjelasan lebih terinci terkait motif perubahan kebijakan ekonomi luar negeri Australia yang didasarkan pada tiga hal, yaitu defensif, politis dan strategis. Dalam konteks motif defensif, kebijakan ekonomi luar negeri Australia seharusnya mampu mengamankan pasar-pasar internasional tertentu yang selama ini telah dikuasai oleh Australia dari ancaman persaingan melalui berbagai perjanjian perdagangan negara mitra dengan negara lain. Capling memberikan contoh perjanjian perdagangan antara Korea Selatan dengan AS yang berpotensi mengancam turunnya nilai ekspor daging sapi Australia ke Korea Selatan. Hal ini menjadi sebab dimulainya negosiasi perjanjian perdagangan berbasis preferensi antara Australia-Korea Selatan untuk mengamankan kepentingan Australia tersebut. Secara politik, kebijakan ekonomi luar negeri Australia pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Australia untuk selalu tampil menjadi pemain penting dalam perdagangan internasional. Dengan dinamika dan persaingan dalam perdagangan internasional yang semakin ketat, Australia perlu menyesuaikan diri melalui berbagai perubahan kebijakan ekonomi luar negeri untuk memastikan dirinya tetap berada di dalam persaingan. Capling menggunakan contoh ASEAN yang dinilai telah melakukan banyak pencapaian dalam menjalin hubungan strategis dengan negara-negara mitra dagang utama Australia. Jika tidak disikapi dengan tepat oleh Australia dengan membina hubungan ekonomi yang lebih erat dengan ASEAN, hal tersebut bisa membuat posisi Australia tergeser dan tidak lagi diprioritaskan dalam kerja sama perdagangan internasional. Sementara itu, berkenaan dengan motif strategis, kerja sama perdagangan juga dapat didasarkan pada pertimbangan keamanan. Motif ini tidak mampu memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek, melainkan lebih menekankan pada manfaat kepentingan jangka panjang Australia dalam kebijakan keamanan maupun politik luar negeri. Perjanjian perdagangan bebas AS-Australia (AUSFTA) menjadi contoh yang dimaksud oleh Capling. Dalam AUSFTA keuntungan ekonomi yang didapat oleh Australia tidak sebanding dengan tercapainya tujuan utama AUSFTA bagi Australia, yaitu terpenuhinya kepentingan nasional Australia untuk memperkuat kemitraan strategis dan hubungan politik dengan AS. Secara umum, Okamoto mengklaim bahwa kerangka teori koalisi negaramasyarakat mampu menjelaskan motif di balik munculnya perubahan kebijakan ekonomi Australia terhadap ASEAN sejak awal dekade 1980-an. Dinamika koalisi antara 8

pemerintah dan masyarakat di Australia menentukan bagaimana negara tersebut membentuk kebijakan ekonomi terhadap ASEAN. Sementara itu, Capling melengkapi pendapat Okamoto dengan lebih menekankan pada ragam motif utama perubahan kebijakan ekonomi luar negeri Australia yang didasarkan pada motif defensif, politik dan strategis. Ini melengkapi pendapat Capling yang sejalan dengan Okamoto terkait dengan perubahan konstelasi politik dalam negeri Australia yang juga berpengaruh terhadap kebijakan perdagangan Australia. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa proposisi yang diajukan Okamoto dalam koalisi negara-masyarakat belum mampu menerjemahkan seluruh dinamika hubungan dan kerja sama ekonomi Australia-ASEAN dengan baik dan komprehensif. Hal ini setidaknya didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, dalam publikasi yang diterbitkan tahun 2010 tersebut, Okamoto cenderung terlalu berfokus pada perubahan kebijakan ekonomi Australia terhadap ASEAN pada jangka waktu 1975-2007. Dalam rentang waktu tersebut perubahan yang terjadi dalam kebijakan ekonomi Australia-ASEAN selalu berbentuk evolusi menuju adopsi sebuah sistem yang baru dan belum pernah diterapkan sebelumnya. Okamoto menjelaskan bagaimana proteksionisme Australia terhadap ASEAN berubah menjadi liberalisasi perdagangan yang kemudian berevolusi menjadi beberapa agenda diplomasi perdagangan plurilateral melalui APEC, sebelum akhirnya berfokus pada strategi diplomasi perdagangan bilateral, sebagaimana ditekankan Howard di tahun 2006. Okamoto cenderung meninggalkan bahasan bagaimana skema AFTA-CER kembali muncul setelah strategi bilateral mendominasi dan berevolusi menjadi AANZFTA. Hal ini terlihat dari pembahasan yang diuraikan oleh Okamoto yang berfokus pada penundaan inisiatif AFTA-CER pada tahun 2000, meskipun pembahasan inisiatif tersebut telah dimulai kembali pada tahun 2004. 17 Kedua, teori koalisi negara-masyarakat yang lebih menekankan pada aspek dinamika hubungan negara-masyarakat serta politik domestik suatu negara cenderung mengabaikan peran politik internasional dalam proses pembuatan kebijakan. Definisi ideide kebijakan inti yang menurut Okamoto memiliki peran penting dalam menentukan perspektif dasar suatu negara dalam melihat politik internasional belum mampu mengukur signifikansi peran politik internasional terhadap proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks AANZFTA, kepentingan ekonomi maupun politik dari negara-negara anggota!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 17 ASEAN, Joint Declaration of The Leaders at The Asean-Australia & New Zealand Commemorative Summit, ASEAN on the Web, 30 November 2004, <http://aanzfta.asean.org/uploads/docs/2004-joint_ Declaration_of_the_Leaders.pdf>, diakses 7 April 2012. 9

ASEAN memiliki peran penting dalam inisiatif perjanjian perdagangan bebas tersebut. Sayangnya, melalui teori koalisi negara-masyarakat kepentingan ASEAN ini tidak mendapat ruang yang cukup untuk dianalisa. Ketiga, teori koalisi negara-masyarakat terlalu berfokus pada aspek kalkulasi ekonomi dan tidak memberi batasan yang jelas dalam membedakan kepentingan aktor koalisi dengan kepentingan nasional. Hal ini terlihat dari perubahan bentuk hubungan ekonomi Australia-ASEAN melalui perspektif teori tersebut berdasar pada perubahan koalisi yang dipicu oleh upaya pemenuhan kepentingan yang berbasis pada kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain, pendekatan koalisi negara-masyarakat tidak mampu memberikan analisis yang tegas antara kepentingan masyarakat umum dengan potensi perubahan kebijakan yang didasarkan pada kepentingan politik partai tertentu dalam mengumpulkan dukungan politik. Keempat, terkait salah satu argumen Okamoto tentang perubahan kebijakan yang dipicu oleh perubahan ide-ide kebijakan inti melalui perubahan pemerintahan, sebagaimana juga ditegaskan oleh Capling, penting untuk dicatat bahwa argumen tersebut perlu dikaji dengan lebih terinci. Perubahan bentuk hubungan ekonomi Australia-ASEAN sejak dekade 1970-an hingga 2000-an pada umumnya terjadi mengikuti setiap perubahan pemerintahan di Australia. Sebagai contoh, proteksionisme terjadi pada masa Malcolm Fraser (Liberal); liberalisasi perdagangan dan upaya diplomasi strategi plurilateral melalui APEC digagas pada masa Bob Hawke dan Paul Keating (Buruh); serta strategi diplomasi perdagangan bilateral ditekankan oleh John Howard (Liberal). Namun demikian, menarik untuk dilihat bahwa munculnya kembali inisiatif untuk merumuskan AANZFTA dimulai sejak akhir periode Howard pada tahun 2004. Inisiatif AANZFTA yang kembali dibahas pada masa Howard ini menunjukkan realitas yang berbeda dengan argumen Okamoto. Perubahan bentuk hubungan kerja sama ekonomi Australia-ASEAN pada implementasinya tidak selalu didasarkan pada perubahan pemerintahan di Australia. Di sisi lain, meskipun pendapat Capling dalam hal perubahan struktur dan profil pemerintahan di Australia sebagai penentu utama perubahan kebijakan ekonomi luar negeri Australia tidak sepenuhnya kuat, menarik untuk dilihat bahwa Capling memaparkan analisis yang cukup terinci terkait dengan motif perubahan kebijakan ekonomi luar negeri Australia. Kelemahan pendapat Okamoto dengan ketidakhadiran aspek politik yang jelas dan terlalu berfokus pada kalkulasi ekonomi pada aspek tertentu telah dilengkapi oleh Capling melalui tiga motif tersebut di atas. Pada aspek defensif, Capling menekankan peran penting keuntungan ekonomi yang tetap menjadi bagian dari prioritas kebijakan 10

ekonomi luar negeri Australia. Sementara itu, kalkulasi ekonomi yang tersirat melalui motif defensif tersebut diimbangi dengan motif politik dan strategis yang keduanya merupakan identitas kepentingan nasional Australia dalam melakukan kerja sama ekonomi luar negeri. Motif politik dan strategis sekaligus menjadi penegas pendapat Capling dari Okamoto, yang dengan terma kepentingan masyarakat umum tidak berhasil memberikan gambaran jelas dan tegas tentang kepentingan nasional Australia. Meskipun demikian, ketiga motif yang diajukan Capling tersebut juga tidak menjadikan aspek politik internasional sebagai motif keempat dalam menentukan perubahan kebijakan. Dengan kata lain, sama halnya dengan Okamoto, Capling tidak berhasil memberikan gambaran yang jelas tentang peran politik internasional dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi luar negeri Australia. Ketiga motif yang digagas Capling murni terbatas pada kacamata kepentingan domestik Australia dalam menilai persaingan ekonomi internasional. Selain pendekatan Okamoto dan Capling dalam analisis motif dibalik perjanjian perdagangan yang diinisiasi Australia, Vinod K. Aggarwal dan Seungjoo Lee dengan fokus analisis yang lebih luas menggagas lima faktor yang mendorong suatu negara menginisiasi perjanjian perdagangan yang terfokus kepada wilayah Asia. Lima faktor tersebut meliputi keuntungan ekonomi, pertimbangan ekonomi politik, motivasi untuk reformasi domestik, asimetri kekuatan serta pertimbangan diplomatik dan keamanan. 18 Pada faktor pertama, Aggarwal dan Lee menegaskan peran kalkulasi keuntungan ekonomi yang menjadi salah satu bagian penting dalam agenda liberalisasi perdagangan. Dari faktor ini, terdapat dua indikator yang menjelaskan mengapa proliferasi perjanjian perdagangan terjadi di wilayah Asia. Pertama, setelah pendekatan multilateral melalui WTO, perjanjian minilateral dan bilateral merupakan pendekatan yang terbaik dalam melakukan liberalisasi perdagangan. Semakin banyak jumlah perjanjian yang diinisiasi, kalkulasi tentang keuntungan ekonomi yang akan diraih akan semakin besar. Hal inilah yang menjelaskan sebab pertumbuhan jumlah perjanjian perdagangan di negara-negara Asia dalam satu dekade terakhir. Kedua, preferensi memilih mitra dagang dalam perjanjian perdagangan menunjukkan hubungan koheren antara jarak geografis dengan keuntungan ekonomi. Pengurangan biaya yang timbul akibat jarak mitra dagang yang jauh dipadukan dengan optimalisasi keuntungan ekonomi menunjukkan bahwa negara-negara cenderung memiliki preferensi memilih mitra dagang dengan negara-negara tetangga. Kondisi ini semakin menguatkan gagasan negara-!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 18 V.K. Aggarwal & S. Lee, The domestic political economy of preferential free trade agreements in the Asia-Pacific, dalam V.K. Aggarwal & S. Lee (eds.), Trade Policy in the Asia-Pacific: The Role of Ideas, Interests and Domestic Institutions, Springer, London, 2011, p. 16 11

negara di wilayah Asia yang meningkatkan jumlah perjanjian perdagangan dengan negara sekitar. Beberapa perjanjian perdagangan seperti AFTA, ASEAN-Cina dan Singapura- Cina menjadi contoh kasus yang dimaksud. Meskipun demikian, menarik untuk dilihat bahwa faktor keuntungan ekonomi tidak selalu berhasil dalam menjelaskan fenomena diplomasi perdagangan di Asia. Negara-negara besar di Asia Timur seperti Korea Selatan, Cina dan Jepang justru tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas antar ketiga negara tersebut. Kedua, faktor pertimbangan ekonomi politik juga memainkan peran penting dalam melatarbelakangi suatu negara menggagas perjanjian perdagangan. Menurut Aggarwal dan Lee, faktor ini memiliki pendekatan yang berbeda dengan faktor keuntungan ekonomi. Faktor ekonomi politik menunjukkan bahwa perjanjian perdagangan antarnegara dalam bentuk minilateral atau bilateral dapat menciptakan efek domino atau dampak kerja sama yang lebih luas antar para pihak. Selain itu, dibanding menjadikan kalkulasi ekonomi sebagai dasar tunggal untuk menentukan arah perjanjian perdagangan, pertimbangan ekonomi politik mendorong suatu negara menginisiasi perjanjian perdagangan dan memilih mitra dagang yang dapat mengurangi dampak negatif domestik dari liberalisasi perdagangan. Perjanjian perdagangan pada dasarnya tidak hanya mendorong peningkatan intensitas perdagangan, investasi dan transfer teknologi, namun juga mampu berperan sebagai instrumen untuk menyelesaikan permasalahan politik domestik yang dihadapi oleh para pihak yang terlibat. Contoh dari pertimbangan ini dapat dilihat dari beberapa negara di kawasan Asia yang menggagas perjanjian perdagangan bebas transregional seperti Singapura-AS, Korea Selatan-AS dan Jepang-Meksiko. Ketiga perjanjian transregional ini ditujukan untuk mengurangi tekanan politik lintas sektoral dalam negeri terhadap agenda liberalisasi perdagangan, sebagaimana ditekankan oleh Aggarwal dan Lee. Ketiga, faktor reformasi domestik. Inisiatif menggagas perjanjian perdagangan juga dapat dilatarbelakangi oleh agenda untuk melakukan reformasi industri domestik. Suatu negara dapat menjadikan perjanjian perdagangan sebagai instrumen pendukung kebijakan industri, baik untuk melindungi industri yang sedang berkembang di dalam negeri, atau meningkatkan daya saing industri tersebut. Menurut Aggarwal dan Lee, negosiasi dalam perjanjian perdagangan bilateral dapat membantu memfasilitasi suatu negara melakukan penyederhanaan, peningkatan atau restrukturisasi ekonomi. Dalam kondisi ini, perjanjian perdagangan digunakan untuk mendukung reformasi domestik, sehingga pemerintah dapat menggunakan perjanjian tersebut sebagai pengaruh politik dalam negeri untuk mengurangi resistensi liberalisasi perdagangan yang ditekankan oleh sektor pemihak proteksionisme. 12

Keempat, faktor asimetri kekuatan turut berperan dalam mendorong munculnya inisiatif perjanjian perdagangan. Menurut Aggarwal dan Lee, perjanjian perdagangan dapat digagas untuk menjembatani munculnya asimetri kekuatan di antara negara-negara yang terlibat. Negara dengan kekuatan besar cenderung menjajaki perjanjian perdagangan yang mencakup semua sektor, termasuk liberalisasi perdagangan barang maupun jasa. Di sisi lain, negara dengan kekuatan besar juga cenderung menghindari liberalisasi perdagangan yang merugikan sektor-sektor industri sensitif dalam negeri. Kecenderungan ini menjadi tekanan tersendiri bagi negara-negara berkekuatan menengah, dimana negara berkekuatan menengah justru cenderung dipaksa untuk lebih berkompromi dalam negosiasi perjanjian perdagangan. Keputusan untuk bergabung dalam negosiasi perjanjian perdagangan bebas dengan negara berkekuatan besar dilihat sebagai bentuk kekhawatiran negara-negara berkekuatan menengah terhadap pengecualian (fear of exclusion) yang dilakukan oleh negara berkekuatan besar dalam menentukan agenda liberalisasi ekonomi regional. Contoh dari faktor ini dapat dilihat dalam perjanjian antara AS-Australia, AS-Singapura dan AS- Korea Selatan. Kekhawatiran pengecualian pasar ekspor oleh AS dilihat sebagai pemicu negara-negara tersebut menjajaki kerja sama perdagangan dengan AS. Kelima, faktor pertimbangan diplomatik dan keamanan adalah faktor terakhir yang digagas Aggarwal dan Lee berperan melatarbelakangi munculnya perjanjian perdagangan bebas. Negara berkekuatan besar seperti AS menghubungkan pertimbangan diplomatik dan keamanan dalam negosiasi perjanjian perdagangan, dimana perjanjian perdagangan bebas menjadi bentuk penghargaan bagi para sekutu negara tersebut. Perjanjian perdagangan AS- Israel dan AS-Yordania merupakan contoh bagaimana AS menjadikan perjanjian sebagai alat diplomasi. Tidak hanya AS, Cina dan Jepang memiliki karakter strategi diplomasi yang relatif sama. Sebagaimana ditekankan oleh Aggarwal dan Lee, inisiatif perjanjian perdagangan antara Cina-ASEAN pada dasarnya merupakan upaya diplomatik Cina untuk meningkatkan hubungan politik antara Cina dan negara-negara ASEAN di tengah realitas bahwa struktur ekonomi Cina dan ASEAN pada dasarnya lebih bersifat kompetitif. Hal yang sama dapat juga dilihat dari Jepang yang menginisiasi perjanjian perdagangan bebas sebagai bagian dari kebijakan strategis untuk menegaskan eksistensi negara tersebut di kawasan. Kelima faktor di atas menjadi argumen utama Aggarwal dan Lee dalam penjelasan motif perjanjian perdagangan bebas yang dewasa ini intensitasnya semakin meningkat di kawasan Asia. Selain kelima faktor tersebut, di dalam tulisan yang sama Aggarwal dan Lee juga memaparkan kerangka teoritis tentang proses reformulasi kebijakan perdagangan 13

suatu negara. Terdapat tiga variabel utama yang mewarnai proses reformulasi kebijakan perdagangan, terdiri atas persepsi dan ide-ide; kepentingan; dan institusi domestik. Ketiga variabel tersebut berada dalam proses politik dalam negeri suatu negara yang menghadapi tantangan reformulasi kebijakan perdagangan. Persepsi dan ide-ide merupakan variabel yang dimainkan oleh para aktor dalam negeri yang membantu pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi sekaligus menterjemahkan sifat perubahan eksternal dalam perdagangan, dimana persepsi dan ide-ide dari aktor-aktor utama tersebut dapat memberikan pilihan dan alternatif kebijakan reformulasi strategi perdagangan bagi para pembuat kebijakan. Dalam proses tersebut juga berperan variabel kedua, yaitu kepentingan, dimana para aktor utama melakukan konfigurasi ulang kepentingan mereka dengan memberikan preferensi terhadap pilihan kebijakan reformulasi strategi perdagangan. Sejalan dengan proses tersebut juga berperan variabel ketiga, yaitu institusi domestik, dimana analisis mendalam terkait proses dan struktur pembuatan kebijakan oleh pemerintah serta kemungkinan perlawanan dalam negeri terhadap rencana liberalisasi perdagangan merupakan faktor-faktor yang penting dalam proses reformulasi kebijakan perdagangan. Melengkapi paparan Aggarwal dan Lee tentang ragam motivasi yang menjadi latar belakang pembuatan kebijakan perdagangan, John Ravenhill mengemukakan peran penting regionalisme dalam mendorong meningkatnya intensitas perjanjian perdagangan bebas dalam satu dekade terakhir. Meskipun dalam tulisannya Ravenhill memfokuskan analisis pada politik perdagangan di Asia Timur, menarik untuk dilihat bahwa dalam konteks yang lebih umum, Ravenhill menekankan peran strategis regionalisme sebagai pemicu negaranegara menginisiasi atau bergabung dalam agenda perjanjian perdagangan bebas. Peran dan kapasitas negara-negara anggota dalam suatu organisasi regional dalam melakukan negosiasi perdagangan global menjadi lebih baik, merupakan salah satu peran strategis regionalisme yang dimaksud. Selain itu, regionalisme juga berkontribusi memberikan pengaruh positif dan kepastian bagi negara-negara yang mulanya memiliki resistensi tinggi untuk bergabung dalam perjanjian perdagangan bebas. 19 Di sisi lain, regionalisme yang tidak bekerja secara efektif dapat menimbulkan adanya upaya pendekatan regional yang baru dalam bidang liberalisasi perdagangan. Kegagalan APEC merupakan contoh kasus yang dimaksud, dimana ketidakpuasan terhadap perkembangan APEC mendorong negaranegara untuk melakukan reformulasi liberalisasi perdagangan di level regional.!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 19 J. Ravenhill, Trade politics in East Asia, dalam B. Hocking & S.McGuire (eds.), Trade Politics, Routledge, New York, 2004, pp. 58-62. 14

Selain menegaskan peran strategis regionalisme, Ravenhill juga memaparkan peran penting kepentingan ekonomi dalam negeri suatu negara dalam membentuk arah perjanjian perdagangan bebas. Menurut Ravenhill, sebagian besar analisis politik perdagangan dalam hubungan internasional menjadikan negara sebagai aktor tunggal sehingga analisis yang memfokuskan pada struktur pembuatan kebijakan dalam suatu negara, termasuk para aktor yang beprengaruh di dalam negara tersebut masih belum banyak dikembangkan. Dalam dua dekade terakhir, fokus analisis yang tidak melihat negara sebagai aktor tunggal mulai banyak dikembangkan, khususnya dalam melihat dinamika perkembangan ekonomi politik Asia Tenggara. Analisis tersebut melihat komunitas bisnis dalam negeri sebagai kelompok kepentingan yang memiliki peran penting untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi luar negeri suatu negara. Menurut Ravenhill, kelompok bisnis berpengaruh terhadap penentuan besaran tingkat proteksi yang ditetapkan terhadap sektor tertentu oleh suatu negara. Di sisi lain, kepentingan kelompok bisnis terhadap perjanjian perdagangan bebas semakin tinggi seiring dengan proliferasi jumlah perjanjian tersebut di kawasan Asia. Kepentingan yang melekat dengan negosiasi perjanjian perdagangan bebas merupakan konsekuensi logis bagi kelompok bisnis, untuk memastikan bahwa tidak ada dampak negatif yang timbul akibat negosiasi suatu perjanjian, khususnya dalam preferensi akses pasar mitra dagang. Beberapa contoh kasus diangkat oleh Ravenhill, seperti dukungan dari Federasi Organisasi Ekonomi Jepang, Keidanren, terhadap negosiasi perjanjian perdagangan bebas oleh Jepang pada awal dekade 1990-an. Hal yang sama juga dapat dilihat dari Federasi Industri Korea yang mengawal Korea Selatan dalam melakukan negosiasi perjanjian perdagangan bebas. Motif untuk melakukan perjanjian perdagangan bebas juga dianalisis dengan rinci oleh Bernard M. Hoekman dan Michel M. Kostecki. Dalam sebuah bab yang menganalisis integrasi perdagangan regional, Hoekman dan Kostecki memaparkan enam faktor yang mendorong terjadinya perjanjian perdagangan bebas di level regional. 20 Pertama, kekuatan utama dunia yang melemah. Dalam setiap dinamika maupun hambatan yang terjadi dalam level internasional akan berdampak terhadap reaksi negara-negara dalam menentukan pola dan strategi perdagangan. Hoekman dan Kostecki memberikan contoh runtuhnya kekuatan Uni Soviet pada awal dekade 1990-an mendorong terjadinya demokratisasi di negaranegara di Eropa Timur, sekaligus transformasi menuju ekonomi berbasis pasar. Dalam konteks ini, menjajaki perjanjian perdagangan regional dengan negara-negara di Eropa Barat menjadi salah satu upaya yang dapat mengakselerasi transformasi menuju ekonomi!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 20 B.M. Hoekman & M.M. Kostecki, The Political Economy of the World Trading System: The WTO and Beyond, Oxford University Press, New York, 2001, pp. 348-349. 15

pasar yang terbuka. Kedua, perubahan cara pandang AS dalam melihat regionalisme sejak dekade 1980-an. Posisi AS yang semula lebih memilih jalur diplomasi multilateral dalam perdagangan pada masa tersebut berubah menjadi preferensi terhadap diplomasi regional. Hal ini terjadi karena proses dan perkembangan di jalur multilateral yang berlangsung lambat. Sebagai negara adikuasa, kondisi ini turut merubah preferensi negara berkekuatan menengah dalam melakukan strategi perdagangan. Ketiga, munculnya dampak domino yang dipicu dari terbentuknya blok dagang regional negara-negara berkekuatan besar. Terbentuknya blok ini menciptakan tekanan terhadap negara-negara yang tidak masuk dalam blok dagang tersebut, sehingga muncul terciptanya blok-blok dagang baru yang juga disebut dengan istilah domino regionalism. Keempat, Hoekman dan Kostecki menempatkan globalisasi sebagai faktor pemicu yang turut berperan penting mendorong munculnya perjanjian perdagangan regional. Fenomena globalisasi mendorong terjadinya internasionalisasi pasar dan menciptakan tekanan bagi perusahaan-perusahaan. Kondisi ini mendorong pemerintahan suatu negara untuk mencari akses pasar yang lebih luas serta akses investasi dan teknologi yang lebih leluasa. Proses ini menciptakan upaya bagi perusahaan untuk mencoba mempengaruhi pemerintah untuk menurunkan biaya-biaya terkait ekspor dan impor dalam perdagangan, dimana salah satu instrumen efektif yang dapat ditempuh adalah dengan perjanjian perdagangan bebas di level regional. Kelima, perjanjian perdagangan bebas di level regional merupakan salah satu upaya negara dalam meningkatkan kredibilitas dalam maupun luar negeri. Komitmen terhadap perjanjian perdagangan bebas di level regional dipahami sebagai instrumen pengunci kebijakan reformasi dalam negeri, baik di bidang ekonomi maupun non-ekonomi, seperti transformasi menuju demokrasi. Dalam konteks ini negara menunjukkan komitmen untuk bekerjasama serta meningkatkan kredibilitas dalam menarik penanaman modal dari dalam maupun luar negeri. Keenam, faktor politis, dimana perjanjian perdagangan bebas sering dipicu oleh pertimbangan politik luar negeri maupun pertimbangan keamanan nasional. Menurut Hoekman dan Kostecki, dampak ekonomi yang timbul dari perjanjian tersebut, terlebih bila perjanjian justru tidak memberikan keuntungan bagi negara, merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk tercapainya tujuan non-ekonomi. Di sisi lain, dibanding penyelesaian di level multilateral, perjanjian di level regional juga merupakan alternatif yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang timbul di antara negara-negara tetangga. 16

Analisis faktor-faktor penyebab suatu negara menginisiasi perjanjian perdagangan bebas yang dibuat oleh Aggarwal dan Lee, Ravenhill, Hoekman dan Kostecki di atas menunjukkan beberapa hal. Pertama, sejalan dengan pendekatan Okamoto dan Capling, Aggarwal dan Lee menekankan peran politik dalam negeri dalam memberikan pengaruh terhadap penjajakan perjanjian perdagangan. Lima faktor yang digagas oleh Aggarwal dan Lee menekankan pada interaksi antaraktor dalam negeri dengan kategori analisis yang luas. Secara umum, pembedaan antara faktor keuntungan ekonomi dengan non-ekonomi dipisahkan dengan cukup jelas oleh Aggarwal dan Lee. Asimetri kekuatan dan faktor diplomatik dan keamanan merupakan faktor non-ekonomi yang turut memberi pengaruh terhadap pembuat kebijakan. Namun demikian, meskipun dalam tulisannya Aggarwal dan Lee mengkritik bahwa sebagian besar analisis terkait politik perdagangan di Asia Timur dan Amerika menempatkan perubahan dalam sistem internasional sebagai faktor dominan yang memicu perubahan strategi perdagangan, penting untuk dicatat bahwa dalam kerangka teoritis yang diajukan, perubahan dalam sistem internasional yang disebut dengan external shock justru tidak diklasifikasikan dengan lebih rinci. Selain itu, kritik Aggarwal dan Lee juga ditujukan pada analisis perubahan dalam sistem internasional yang tidak menciptakan pola kebijakan yang sama bagi sebagian besar negara. Dalam konteks ini, kerangka teoritis yang dibawa oleh Aggarwal dan Lee dengan penekanan terhadap struktur pembuat kebijakan dalam negeri pada dasarnya juga tidak menghasilkan hasil atau pola analisis yang dapat diseragamkan. Peran persepsi dan ide-ide, kepentingan serta institusi domestik pada dasarnya sangat bergantung dari bentuk perubahan dalam sistem internasional itu sendiri. Dengan kata lain, meskipun Aggarwal dan Lee berhasil memberikan telaah yang mendalam terkait peran struktur domestik dan tetap menjadikan perubahan dalam sistem internasional sebagai faktor yang berkesinambungan sebagai pemicu reformulasi strategi perdagangan, menarik untuk dicatat bahwa tidak adanya penjelasan yang lebih rinci terkait perubahan dalam sistem internasional justru dapat dilihat sebagai otokritik bagi kerangka teoritis yang diajukan. Kedua, dari arah yang berbeda, Ravenhill memaparkan regionalisme sebagai salah satu pemicu negara-negara menginisiasi ataupun bergabung dalam perjanjian perdagangan bebas. Dalam konteks ini, tidak ditemukannya klasifikasi yang rinci terkait perubahan sistem internasional dalam tulisan Aggarwal dan Lee justru dapat ditemukan dalam tulisan Ravenhill, meskipun hanya mengajukan argumen tunggal regionalisme sebagai pemicu perkembangan strategi perdagangan. Di sisi lain penting untuk dicatat bahwa Ravenhill 17

tidak melakukan dikotomi peran dalam dan luar negeri dalam memberikan pengaruh terhadap sebuah kebijakan perdagangan. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Ravenhill, dimana peran kelompok bisnis dalam negeri sebagai bagian dari aktor dan kelompok kepentingan memiliki posisi yang tidak kalah penting dari peran regionalisme sebagai faktor luar negeri. Meskipun Ravenhill tidak mengajukan kerangka teoritis sebagaimana diajukan oleh Aggarwal dan Lee, dapat dilihat bahwa Ravenhill menempatkan faktor dalam dan luar negeri pada posisi yang tepat dan saling memberikan pengaruh terhadap dinamika strategi perdagangan suatu negara. Ketiga, dengan uraian yang lebih rinci terkait faktor luar negeri sebagai pendorong perubahan strategi perdagangan, Hoekman dan Kostecki memaparkan penjelasan yang komprehensif. Dengan mengajukan enam faktor pemicu semakin meningkatnya intensitas perjanjian dan integrasi regional dalam dua dekade terakhir, dapat dilihat bahwa Hoekman dan Kostecki mengindikasikan setidaknya empat faktor luar negeri, terdiri atas perubahan kekuatan utama dunia, perubahan pandangan AS terhadap regionalisme, dampak domino dan globalisasi. Sebagaimana Ravenhill, Hoekman dan Kostecki tetap menganggap politik dalam negeri memiliki peran penting dalam memberikan pengaruh terhadap strategi perdagangan suatu negara. Dua faktor terakhir yang diajukan oleh Hoekman dan Kostecki, yaitu kredibilitas dan politik, menjadi penjelasan bahwa faktor luar negeri tidak berdiri sendiri. Dengan tanpa memberikan kritik teoritis terhadap analisis politik perdagangan di level regional, Hoekman dan Kostecki memiliki posisi yang sejalan dengan Ravenhill, menempatkan faktor dalam dan luar negeri pada posisi yang penting dalam memberikan pengaruh terhadap perubahan strategi perdagangan. Keempat, penting untuk dicatat bahwa analisis Aggarwal dan Lee, Ravenhill, Hoekman dan Kostecki memiliki arah yang sama dengan argumen Okamoto dan Capling, dimana kelimanya memberikan paparan terkait faktor-faktor pendorong suatu negara dalam melakukan perjanjian perdagangan. Hal yang membedakan dari kelima analisis di atas adalah bagaimana peran faktor dalam dan luar negeri memiliki pengaruh dan berperan terhadap proses perubahan kebijakan strategi perdagangan. Okamoto, Capling bersama Aggarwal dan Lee menempatkan politik dalam negeri beserta struktur yang ada di dalamnya sebagai faktor terpenting dalam memahami dinamika strategi perdagangan. Meskipun ketiga analisis menempatkan faktor luar negeri turut berpengaruh, (exogenous shock dalam bahasa Okamoto, atau external shock, dalam bahasa Aggarwal dan Lee), namun ketiga analisis tersebut memiliki prioritas yang sama dengan menempatkan politik dalam negeri sebagai basis analisis. Sementara itu, Ravenhill serta Hoekman dan Kostecki 18

memiliki pendekatan yang lebih lunak. Dengan menempatkan faktor luar negeri sejajar bersama faktor dalam negeri dalam memberikan pengaruh terhadap negara dalam inisiasi perjanjian perdagangan, analisis dalam kedua tulisan tersebut memberikan klasifikasi yang rinci terkait ragam faktor luar negeri. Tanpa meninggalkan peran faktor dalam negeri, Ravenhill serta Hoekman dan Kostecki menggarisbawahi bahwa kedua faktor bersifat saling memberikan pengaruh terhadap proses pembuatan strategi perdagangan. Melengkapi analisis Okamoto, Capling, Aggarwal dan Lee, Ravenhill, Hoekman dan Kostecki, tesis ini akan berfokus pada faktor dalam dan luar negeri dengan menitikberatkan pada kompleksitas hubungan tiga pertimbangan yang diajukan oleh William D. Coplin dan Charles W. Kegley, yaitu konteks politik domestik, kapabilitas ekonomi dan militer serta konteks internasional dalam proses pembuatan kebijakan terkait kerja sama ekonomi Australia-ASEAN dalam AANZFTA. Dinamika hubungan negara dengan masyarakat yang menjadi fokus gagasan Okamoto akan terintegrasi dalam kategori konteks politik domestik, sementara pendapat Capling terkait dengan motif defensif dan strategis akan tergabung dalam kategori kapabilitas ekonomi dan militer. Sebagaimana analisis Ravenhill serta Hoekman dan Kostecki, analisis ini juga akan diimbangi dengan faktor luar negeri dalam proses pembuatan kebijakan, yaitu konteks internasional yang akan menjelaskan inisiatif AANZFTA sebagai strategi diplomasi perdagangan plurilateral adalah bentuk upaya Australia dalam merespon dinamika politik maupun ekonomi yang terjadi di ASEAN pada dua dekade terakhir. Dalam hal ini, respon Australia tersebut berupa regional engagement yang tidak hanya berdasar pada pemenuhan kepentingan jangka pendek seperti keuntungan ekonomi semata, namun juga mencakup kepentingan jangka menengah berupa hubungan yang harmonis antara Australia dengan negara-negara Asia Tenggara. D. Kerangka Teori Untuk menganalisis pertanyaan penelitian tentang strategi diplomasi perdagangan Australia dalam kawasan Asia Tenggara, penting untuk melihat kepada teori pembuatan kebijakan yang digagas oleh William D. Coplin dan Charles W. Kegley. Dalam teori tersebut Coplin dan Kegley menekankan bahwa kebijakan luar negeri pada dasarnya merupakan hasil dari tiga pertimbangan yang saling mempengaruhi satu sama lain terhadap pengambil kebijakan. Pertama, kondisi politik dalam negeri; kedua, kemampuan ekonomi dan militer; dan ketiga, konteks internasional, yaitu posisi khusus negara dalam 19