J U R N A L PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM

dokumen-dokumen yang mirip
UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009* Johnny W. Situmorang** Abstrak

Analisis of Varians (Anova) dan Chi-Square. 1/26/2010 Pengujian Hipotesis 1

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

Pedoman Penulisan Jurnal Pengkajian KUKM Tahun 2015

LAMPIRAN 1 DATA KABUPATEN/KOTA PENERIMA PENGALIHAN PENGELOLAAN PBB-P2 SEBAGAI SAMPEL PENELITIAN

STRATEGI PEMBERDAYAAN KOPERASI MENUJU GLOBAL COOP

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO

Dampak Program Dana Bergulir Bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) The Impact of Revulving Fund Program To Small and Medium Enterprises

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Termasuk dalam kompensasi tidak langsung adalah berbagai macam bentuk tunjangan

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

PERBANDINGAN DAYA SERAP TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN PERUSAHAAN PMA DAN PMDN DI JAWA TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB II TINJAUAN TEORI. a. Sesuatu yang di capai Prestasi yang di perlihatkan. tetapi juga mengelola proses kerja selama periode tersebut.

KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Hipotesis adalah suatu pernyataan tentang parameter suatu populasi.

KAJIAN STRATEGIS PENGEMBANGAN TAHAP LANJUT SENTRA BISNIS UKM PASCA DUKUNGAN PROGRAM PERKUATAN

BAB I PENDAHULUAN. banyak pengetahuan yang dimiliki oleh stakeholder dari sebuah perusahaan,

PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 22/Per/M.KUKM/IX/2015 TENTANG KOPERASI SKALA BESAR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM FORUM FOR ECONOMIC DEVELOPMENT AND EMPLOYMENT PROMOTION

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB I PENDAHULUAN. rentan terhadap pasar bebas yang mulai dibuka, serta kurang mendapat dukungan

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

PEDOMAN PENULISAN INFOKOP Tahun 2017

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012

ANALYSIS OF VARIANCE

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1. 1 Kepadatan UMKM Lintas Dunia Sumber: World Bank IFC (2010)

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. corporate social responsibility. Size (ukuran) perusahaan, likuiditas, dan

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) memiliki peran, dan fungsi

I. PENDAHULUAN. Perkembangan perekonomian di Indonesia tidak dapat terlepas dari tiga kelompok

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA KOPERASI PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA GARUDA KECAMATAN RANDUDONGKAL PERIODE

FIKA RI UTAMI B / I

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

To test the significant effect of two independent variables to one dependent variable, and to test the significant interaction of the two independent

Disampaikan pada acara : Rapat Koordinasi Nasional Pemberdayaan KUMKM Tahun 2014

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2011 TENTANG DANA ALOKASI UMUM DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA TAHUN ANGGARAN 2012

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

UPAYA PENCAPAIAN IKLIM USAHA KONDUSIF BAGI PENANAMAN MODAL (INVESTASI) DALAM KEGIATAN BISNIS PARIWISATA

FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

Mohamed Aslam :integrasi ekonomi asean dan kawasan perdagangan bebas...

INTERVENSI PROGRAM UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS UKM

URUSAN WAJIB KOPERASI & USAHA KECIL MENENGAH. Hal Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota Semarang Akhir Tahun Anggaran 2016

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : Veteran Jawa Timur

PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN AKUNTANSI DALAM UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI KEUANGAN PADA PELAKU USAHA MIKRO,KECIL dan MENENGAH (UMKM) DI PONOROGO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO

RANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PELATIHAN KERJA DAN PRODUKTIVITAS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang

Jakarta, 10 Maret 2011

IV.B.10. Urusan Wajib Koperasi dan UKM

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia. Hai ini mengingat wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Pedoman. Dana Insentif Daerah.

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

RENCANA KERJA TAHUN DINAS KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH KABUPATEN MAGETAN JL. Yos Sudarso No 52 Telp Magetan

BAB 20 PEMBERDAYAAN KOPERASI, DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBAGA KEUANGAN JASA SYARIAH

TERM OF REFERENCE ( T O R) KSP AWARD

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN DAN KEPELOPORAN PEMUDA,

SKRIPSI. Diajukan oleh : Irma Dianita /FE/EA. Kepada FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR 2011

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di

Strategi UKM Indonesia

FAKTOR KUALITAS LAYANAN TERHADAP LOYALITAS NASABAH KREDIT PADA PT. BANK PANIN TBK SURABAYA

Perempuan dan Industri Rumahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dewasa ini kehidupan berkoperasi telah menjadi kebutuhan masyarakat, sebab

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

Oleh: LIES FAHIMAH. Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Kalimantan Tengah

Kode Lap. Tanggal Halaman Prog.Id. : 09 Maret 2015 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 018 KEMENTERIAN PERTANIAN ESELON I : 04 DITJEN HORTIKULTURA

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 23/PER/M.KUKM/XI/2005 T E N T A N G

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Click to edit Master subtitle style

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

E-UMKM: APLIKASI PEMASARAN PRODUK UMKM BERBASIS ANDROID SEBAGAI STRATEGI MENINGKATKAN PEREKONOMIAN INDONESIA

KEDUDUKAN, FUNGSI, PERAN DEKOPIN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga

ANALISIS HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA INFLASI DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI SURAKARTA TAHUN

RINGKASAN. vii. Ringkasan

ANALISIS DAMPAK CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) TERHADAP KONDISI USAHA UMKM MITRA BINAAN PT PERKEBUNAN NUSANTARA IX (PERSERO) SKRIPSI

Transkripsi:

ISSN : 1978-2896 J U R N A L PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM VOLUME 6 SEPTEMBER 2011 Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM adalah wadah informasi hasil penelitian maupun tinjauan hasil penelitian yang berkaitan dengan upaya pengembangan koperasi dan UKM di Indonesia. Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi terbit satu kali setahun Pelindung Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Penanggung Jawab Ir. Endah Srinarni, MSc Tim Penyunting Drs. Joko Sutrisno, MM Daniel Asnur, S.Kom, MM Drs. Widyono Mitra Bestari Prof. Dr. Suhendar Sulaeman Dr. Eko Agus Nugroho Ir. Lukmanul Hakim Almamalik, MT Tata Usaha Wiworowati, S.Ap Kun Ismandari, S.Pt Eko Sari Budi Rahayu, SE Budi Setiadji, SE Alamat Redaksi/Penerbit: Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Jln. M.T. Haryono Kav. 52-53 Jakarta Selatan, Telp. (021) 79182015 Fax. (021) 79182015 atau (021) 7942721 E-mail : publik_perkaderan@yahoo.com, website : http://www.smecda.com. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM diterbitkan oleh Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian Koperasi dan UKM Jakarta.

JURNAL VOLUME 6 SEPTEMBER 2011 ISSN : 1978-2896 J U R N A L PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM VOLUME 6 SEPTEMBER 2011 DAFTAR ISI Daftar Isi... Kata Pengantar... 1. Uji Keragaman Koperasi Berprestasi Berdasarkan Skala Usaha Tahun 2009... Johnny W. Situmorang 2. Kajian Skala Prioritas Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM... Teuku Syarif 3. Koperasi dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Tinjauan Probabilitas Tingkat Anggota Koperasi dan Tingkat Kemiskinan Propinsi... Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat 4. Studi Kasus Penyertaan Modal Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan ke Koperasi... Achmad H. Gopar 5. Model Peningkatan Peran KUMKM Dalam Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Perbatasan... Indra Idris dan Saudin Sijabat 6. Pemanfaatan Sertifikat HKI Sebagai Collateral Kredit... Akhmad Junaidi dan Muhammad Joni 7. Analisis Kebutuhan Peralatan di Sentra Gerabah... Riana Panggabean i ii 1-23 24-42 43-69 70-88 89-123 124-141 142-158 i

JURNAL VOLUME 6 SEPTEMBER 2011 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, petunjuk dan karunia-nya sehingga Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM volume 6-September 2011 dapat terbit, sesuai dengan yang diharapkan. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM ini merupakan media ilmiah yang bertujuan untuk menginformasikan hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan Deputi Pengkajian Sumberdaya UKMK baik penelitian yang dilaksanakan tim maupun dilaksanakan secara mandiri yang berkaitan dengan pengembangan Koperasi dan UKM. Pada Jurnal edisi ini disajikan tujuh artikel hasil penelitian tentang Koperasi dan UKM yang meliputi, pertama Uji Keragaman Koperasi Berprestasi Berdasarkan Skala Usaha Tahun 2009, kedua Kajian Skala Prioritas Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM, ketiga Koperasi dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Tinjauan Probabilitas Tingkat Anggota Koperasi dan Kemiskinan Provinsi, keempat Studi Kasus Penyertaan Modal Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan ke Koperasi, kelima Model Peningkatan Peran KUMKM dalam Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Perbatasan, keenam Pemanfaatan Sertifikat HKI Sebagai Collateral Kredit, dan ketujuh Analisis Kebutuhan Peralatan di Sentra Gerabah. Dewan redaksi Jurnal Pengkajian dan UKM mengucapkan terima kasih khususnya kepada para penulis yang telah bersedia menyumbangkan hasil penelitiannya berupa artikel untuk dimuat dalam jurnal ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Mitra Bestari, Tim Ahli dan semua pihak yang telah memberikan kontribususinya, sehingga Jurnal ini dapat terbit secara berkala. Akhirnya, semoga artikel yang dimuat dalam Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM ini bermanfaat bagi semua pihak dalam rangka pemberdayaan Koperasi dan UKM. Jakarta, September 2011 DEPUTI BIDANG PENGKAJIAN SUMBERDAYA UKMK Asdep Urusan Pengembangan Perkaderan UKM Ir. Endah Srinarni, M.Sc. ii

Halaman ini sengaja dikosongkan

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009* Johnny W. Situmorang** Abstrak Berdasarkan konstitusi hukum dan perundang-undangan Indonesia (UUD 1945, UU 25 tahun 1992, UU 34/2002, dan UU 38/2009), perkembangan koperasi di Indonesia menjadi penguasaan penuh pemerintah. Peran pemerintah, terutama Kementerian Koperasi dan UKM, dalam hal pembangunan nasional, adalah untuk memfokuskan dan mempertajam tugas pemerintah. Dalam mempromosikan koperasi, terdapat ratusan ribu koperasi yang beroperasi di bidang usaha. Salah satu usaha pemerintah adalah untuk menghargai kemajuan koperasi. Dalam hal penghargaan, Kementerian Koperasi dan UKM membedakan menjadi lima tipe koperasi, antara lain simpan pinjam, produksi, konsumsi, pemasaran, dan jasa. Pada tahun 2009, pemerintah telah mendapatkan 75 koperasi dengan predikat berprestasi. Masalahnya adalah apakah perbedaan koperasi adalah signifikan. Dengan analisa variansi, makalah mengungkapkan bahwa tidak ada bukti perbedaan variansi diantara koperasi berdasarkan bidang usaha. Maka dari itu kebijakan dan perlakuan pemerintah untuk mendukung koperasi seharusnya tidak dibedakan. Kata kunci: peraturan, kebijakan, koperasi, berprestasi, keragaman, uji-f Abstract Based on Indonesia constitution and laws (UUD 1945, UU 25 year 1992, UU 34/2002, and UU 38/2009), cooperative development in Indonesia has been the government s domain. The role of government, especially the Ministry of Cooperative and SME, in term of national development is to focus and sharpen the government tasks. In promoting cooperative, there are hundred thousands of cooperative which operates in few field of business. One of government effort is to valuation the achievement of cooperative. In term of valuation, the Ministry of CSME distinguishes on five types cooperative, which are saving-borrowing, production, consumption, marketing, and services cooperatives. In year of 2009, the government had got 75 cooperatives with predicate of achievement. The problem *) Artikel diterima 20 Juli 2011, peer review 25 Juli 2011, review akhir 15 September 2011 **) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK 1

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 is whether the distinction cooperative is significance. With analysis of variance, this study has revealed that there is no evidence the distinction of variance between cooperative based on business. So, policies and treatments of government to support cooperative could not necessary be different on cooperative. Key words: regulation, policy, cooperative, achievement, diversity, F-test I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perkoperasian adalah salah satu tugas pemerintah Indonesia berdasarkan pasal 33 UUD 1945. Kemudian, UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian lahir sebagai tindaklanjut UUD 1945. Secara tegas tercantum bagaimana pengembangan koperasi Indonesia dan peran pemerintah. Selanjutnya, berdasarkan UU 34 tahun 2002 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya otonomi daerah, pembangunan perkoperasian merupakan urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Namun, dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan koperasi juga bagian tugas dari pemerintah pusat yang terlihat dari keberadaan Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) sejak tahun 1983. Bahkan sebelum era reformasi, kementeriannya adalah Departemen Koperasi dan PPK yang kewenangannya mencakup teknis. Pada era reformasi, berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 2009, Kementerian KUKM dibentuk oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berdasarkan klaster ketiga 1, dalam rangka fokus dan penajaman tugas pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Kedua (KIB-2). Keberadaan koperasi sebenarnya sudah diakui secara internasional. Dari perspektif sejarah, keberadaan koperasi sudah masif dan semakin penting setelah perlawanan kaum buruh atas pemilik modal setelah revolusi hitam di Inggris dan Jerman dengan terbentuknya koperasi konsumsi dan koperasi produsen. Di Indonesia, koperasi sudah menjadi tonggak kehidupan di kalangan petani dan buruh untuk memperjuangkan hak ekonomi. Keberadaan koperasi dianggap sebagai pemberontakan terhadap ketidakadilan ekonomi yang dirasakan oleh sekelompok orang terhadap pemilik sumberdaya atau kapital dan juga wujud atas sistem perekonomian yang mengandalkan kekuatan rakyat (Situmorang, 2000). 1 Terdapat 3 klaster kementerian menurut UU 38 tahun 2009. 2

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) Sampai saat ini, secara resmi usia koperasi telah mencapai 63 tahun dengan jumlah entitas koperasi di Indonesia yang sangat banyak, lebih dari 177 ribu unit yang berbentuk koperasi simpan pinjam, koperasi konsumsi, koperasi produksi, koperasi pemasaran, dan koperasi jasa. Sesuai dengan UU 25/1992, koperasi adalah badan usaha sebagaimana badan usaha lainnya, tapi yang membedakannya dengan badan usaha non-koperasi adalah watak sosial koperasi. Sehingga, koperasi diharapkan menjadi format kelembagaan perjuangan anggotanya dan wadah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atas dasar gotong royong. Mubyarto (1998) menyatakan bahwa ekonomi kerakyatan lebih mampu menghadapi globalisasi karena menjamin ketangguhan dan keandalan ekonomi nasional. Sampai saat ini belum ada koperasi di Indonesia yang termasuk kategori koperasi besar dengan kiprah internasional. Dewasa ini, menurut International Cooperative Alliance (ICA), terdapat sedikitnya 300 koperasi yang berkelas dunia dengan omzet Rp.6.5 Rp.634 triliun. Tapi tak satupun koperasi Indonesia masuk dalam kelas global itu (Rahardjo, 2010). Sejalan dengan UU 25/1992, dalam kerangka pengembangan dan pengawasan, pemerintah menerapkan kebijakan sistem penilaian kinerja berdasarkan kualitas koperasi. Misalnya, penilaian koperasi terbaik tahun 2002, dan penilaian daerah koperasi tahun 2007, dan penilaian koperasi berprestasi tahun 2007 (Anonim, 2005, 2007a, 2007b). Landasan penilaian koperasi berkualitas adalah Permenneg KUKM 06/Per/M.KUKM/V/2006 tentang Pedoman Penilaian Koperasi Berprestasi/Koperasi Award. Hasil penilaian kualitas menjadi bahan bagi pemerintah untuk semakin memajukan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Sejauhmana perbedaan jenis koperasi dalam konteks penilaian kualitas sangat perlu diketahui agar track pengembangan koperasi menjadi tepat. 1.2 Permasalahan Sejak tahun 2002, pemerintah melalui Kementerian KUKM telah menerapkan pola penilaian terhadap koperasi agar kualitas koperasi dapat meningkat. Metode penilaian dilakukan berdasarkan beberapa variabel yang sesuai dengan prinsip perkoperasian, prinsip usaha, dan lingkungan. Setiap tahun, puluhan koperasi dari ratusan ribu ditentukan kualitasnya. Koperasi yang dinilai diklasifikasikan atas empat kelompok, yakni kelompok-kelompok koperasi simpan-pinjam, koperasi produksi, koperasi pemasaran, dan koperasi jasa. Pada tahun 3

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 2009, terdapat 75 koperasi yang dinilai oleh pemerintah sebagai koperasi yang berkualitas dengan klaster-klaster koperasi simpan pinjam (KSP) 15, koperasi konsumen (KK) 30, koperasi produksi (KP) 10, koperasi pemasaran (KM) 10, dan koperasi jasa (KJ) 10. Semua koperasi yang berkualitas itu diharapkan menjadi sokoguru atau pilar perekonomian rakyat. Dari pembedaan jenis koperasi yang dinilai, secara eksplisit terlihat perbedaan antar kelompok koperasi baik ciri, kemampuan, potensi, dan performa output. Pengakuan atas kelompok ini berimplikasi pada perbedaan perlakuan, baik internal mencakup organisasi dan manajemen maupun eksternal yang mencakup pola pembinaan oleh pemerintah. Disamping itu, semua koperasi yang dinilai tersebar di seluruh Indonesia yang semestinya juga menunjukkan perbedaan lingkungan strategisnya baik dari sisi wilayah maupun operasional (bisnis), industrial, dan jauh (remote). Namun, informasi atas perbedaan tersebut belum diketahui oleh pemerintah secara akurat dan tepat. Dengan kata lain, apakah benar terlihat adanya perbedaan kualitas koperasi antar kelompok atau klaster koperasi sebagaimana telah dinyatakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah belum mengetahui bagaimana mengembangkan sistem pembinaan agar harapan tercapai. 1.3 Tujuan dan Manfaat Secara umum, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui keragaan koperasi yang telah dinilai oleh pemerintah sebagai koperasi berkualitas. Secara khusus, analisis keragaman ini bertujuan untuk mengungkapkan apakah secara signifikan dapat diterima adanya keragaman koperasi yang menyandang predikat berkualitas. Dari tujuan tersebut, analisis keragaman ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengembangkan pola pembinaan koperasi. Disamping itu, analisis ini menjadi informasi bagi semua pemangku kepentingan dan masukan pengembangan metodologi riset di bidang perkoperasian. II. TINJAUAN TEORITIS UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian secara tegas menyatakan bahwa koperasi adalah badan usaha. Perbedaaan dasar antara koperasi dan non-koperasi adalah pada watak sosialnya, yang terlihat dari prinsip dan tujuannya. Tujuan utama koperasi adalah untuk menyejahterakan anggota dan masyarakat, serta mewujudkan tatanan perekonomian nasional 4

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) dalam rangka mewujudkan masyarakat maju, adil, dan makmur 2. Watak sosial koperasi Indonesia sebenarnya sejalan dengan koperasi di dunia karena prinsip dan tujuan koperasi mengacu pada prinsip koperasi dunia (Anonim, 1984; Watkins, 1986). Meskipun berwatak sosial, koperasi masih relevan dengan perubahan tatanan dunia dan globalisasi (Book, 1994; Baswir, 2010). Dengan inspirasi terbentuknya koperasi dari konsumen dan produsen, Rochdale di Inggris dan Raifaissen di Jerman, pengelompokan koperasi cenderung mengikuti pola tersebut. Majalah INFOKOP nomor 11 tahun 1992 telah memaparkan nilai dan prinsip dasar koperasi yang tidak bertentangan dengan globalisasi 3. Lars Marcus (1992), Presiden ICA waktu itu, memaparkan dalam INFOKOP tersebut, nilai dasar koperasi, perumusan nilai dasar pada koperasi konsumen Jepang, dan kecenderungan koperasi secara global. Ukuran output performa koperasi, sebagai lembaga ekonomi rakyat, adalah penjualan atau volume usaha. Itu sebabnya, ICA memaparkan koperasi raksasa dunia dalam realitas global dewasa ini dilihat dari volume usaha. Misalnya, koperasi terbesar dunia adalah koperasi pertanian Zeh Noh di Jepang yang volume usahanya mencapai Rp.634 triliun, koperasi Mondragon di Spanyol pada peringkat 10 yang berbentuk korporasi koperasi yang multinasional. Di Indonesia, Kospin Jasa di Pekalongan dengan volume usaha Rp.1.5 triliun (Rahardjo, 2010), dan Kopdit Sanggau di Kalimantan Barat, dengan volume usaha Rp.687.48 miliar pada tahun 2009. III. METODE 3.1 Ruang Lingkup Analisis ini merupakan suatu bentuk desk research dalam lingkup ilmu ekonomi, sosial, dan ilmu-ilmu koperasi. Pendekatan analisis adalah statistika parametrika, khususnya statistics for decision making. Sumber data adalah sekunder, yakni koperasi yang telah memperoleh status berkualitas oleh Kementerian KUKM tahun 2009. Data tersebut 2 UU nomor 25 tahun 1992 bab 1, pasal 1 angka 1 dan bab 2 pasal 3, dan bab 3 pasal 5. Prinsip koperasi Indonesia adalah keanggotaan bersifat sukarela, pengelolaan yang demokratis, pembagian sisa hasil usaha yang adil, balas jasa terbatas atas modal, dan kemandirian 3 INFOKOP nomor 11 tahun IX Mei 1992 dengan topic Nilai-nilai dan Prinsip-prinsip Dasar Koperasi Menghadapi Tantangan Globalisasi. Media Pengkajian Perkoperasian, Badan Litbangkop & PPK, Departemen Kop&PPK, Jakarta. 5

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 dipublikasikan oleh Kementerian KUKM tahun 2010 dimana sebanyak 75 koperasi status berkualitas pada tahun 2009. Variabel respon yang diuji adalah nilai volume usaha masing-masing koperasi berprestasi. Volume usaha menjadi variabel performa output koperasi yang sangat penting karena volume usaha menunjukkan bagaimana transaksi koperasi terjadi terhadap anggota (Lampiran 1). 3.2 Model Analisis Metode analisis untuk mengambil keputusan ini adalah Analysis of Variance (ANOVA). ANOVA adalah suatu uji hipotesis untuk mengetahui apakah ada keragaman antar populasi. Terdapat tiga asumsi yang mendasari model ANOVA. Pertama, untuk setiap populasi, variabel responnya adalah terdistribusi normal. Kedua, keragaman dari variabel respon, dicatat sebagai δ2, adalah sama untuk semua populasi. Ketiga, semua observasi harus independen. Bila rata-rata populasi adalah sama maka rata-rata sampel sangat dekat satu. Bentuk umum dari uji hipotesis keragaman (ANOVA) untuk analisis keragaman dari sebanyak k populasi adalah (Anderson, et al, 2004; Keller, 2005) Ho: μ1 = μ2 = μ3 =.= μk Ha: Semua rata-rata adalah tak sama dimana μ = rata-rata dari populasi ke j Bila sampel acak dengan ukuran nj terpilih dari setiap k populasi atau perlakuan maka data contoh adalah xij = nilai obserasi I untuk perlakuan j nj = jumlah observasi untuk perlakuan j x-j = rata-rata sampel untuk perlakuan j sj2 = keragaman untuk perlakuan j sj = standard deviasi sampel untuk perlakuan j 6

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) Rumus untuk rata-rata (xj) dan varian (sj2) sampel untuk perlakuan j adalah (1) (2) Rata-rata seluruh sampel, x= atau x^, adalah penjumlahan semua observasi dibagi jumlah total observasi, yaitu (3) dimana nt = n1 + n2 + n3+..+ nk Untuk mengetahui keragaman antar populasi atau disebut sebagai ratarata kuadrat terkait perlakuan atau the mean square due to treatments (MSTR) adalah dengan rumus (4) Pembilang dari persamaan (4) atau nj(xj x-)2 adalah jumlah kuadrat terkait pada perlakuan atau sum of squares due to treatments (SSTR). Sedangkan denominator (penyebut), k - 1, adalah derajat bebas terkait pada SSTR. Jika hipotesis nol benar, MSTR merupakan estimasi tak bias dari δ2. Untuk mengetahui keragaman dalam perlakuan atau disebut mean square due to error (MSE) adalah dengan rumus Pembilang pada persamaan (5) atau (nj - 1)sj2 disebut sebagai sum squares due to error (SSE) sedangkan penyebutnya (nt k) adalah derajat bebas terkait pada SSE. (5) 7

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 3.3 Uji Hipotesis Berdasarkan hasil penilaian kualitas 75 koperasi terdapat 5 (lima) klaster (k populasi) atau jenis koperasi, yakni KSP, KK, KP, KM, dan KJ. Oleh karena itu uji kesamaan dari rata-rata (μk) k populasi adalah: Ho: μksp = μkk = μkp = μkm = μkj Ha: Rata-rata semua koperasi adalah tak sama (6) Uji statistik berdasarkan analysis of variance disebut sebagai uji-f adalah: (7) Aturan penolakan atau penerimaan hipotesis Ho adalah dengan membandingkan F-hitung (Fh) dan F-tabel (Ft) berdasarkan α = 5% atau kriteria p-value pada derajat bebas (degree of freedom), k 1 untuk MSTR dan nt k untuk MSE. Nilai Ft (α=5%, k-1=4, nt-k=70) adalah 2.53. Jika Fh > Ft maka tolak Ho atau terima Ha, dengan kata lain ada bukti keragaman populasi. Sebaliknya, bila Fh < Ft, terima Ho atau tolak Ha, dimana ada bukti nyata bahwa keragaman antar populasi adalah sama. Atau, bila dengan kriteria p-value, tolak Ho jika p-value < α, sebaliknya jika p-value > α. Model analisis ini sangat sering digunakan oleh kalangan pebisnis dan juga pengambil keputusan. Beberapa kasus yang dapat ditunjukkan adalah mengukur sejauhmana pekerja perusahaan tahu tentang total quality management, waktu kerja mesin produksi dari berbagai pabrik, efek diseminasi informasi untuk manajer, dan investigasi persepsi nilai etik korporasi antar spesialis. Juga analisis keragaman atas price earning ratio (PER) dari 1000 perusahaan yang diperingkat (ranking) oleh the Business Week Global. Salah satu yang menarik adalah suatu studi yang telah dimuat di Journal of Small Business Management tentang job stress (Anderson et al, 2004). Demikian juga menguji perbedaan penjualan pada pemasaran yang berbeda, menguji apakah perbedaaan gelar pendidikan juga menunjukkan perbedaan gaji, dan menguji perbedaan merek dagang (Keller, 2005) 8

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaan Umum Koperasi Berkualitas Keragaan umum koperasi yang telah memperoleh predikat berkualitas pada tahun 2009 terlihat pada Lampiran 1. Indikator output performance yang umum mencirikan koperasi adalah jumlah anggota (JA), jumlah tenaga kerja (JTK), modal sendiri (MS), modal luar (ML), volume usaha (VU), dan SHU (sisa hasil usaha). Dengan keragaman antar jenis, volume usaha per anggota adalah tepat ditampilkan untuk melihat perbedaan relatifitas. Pada Tabel 1 terlihat hasil proses statistika atas data Lampiran 1. Dengan jumlah sampel 75 koperasi, secara umum terlihat, nilai rata-rata dari JA adalah 2389 orang, JTK sebanyak 45 orang, MS sebesar Rp.5.22 miliar, ML sebesar Rp.13.47 miliar, VU sebesar Rp.27.51 miliar, dan SHU sebesar Rp.0.69 miliar. Sedangkan rata-rata volume usaha per anggota adalah Rp.0.0254 miliar atau Rp.25.40 juta. Pada Lampiran 2 terlihat, nilai rata-rata volume usaha koperasi berprestasi tahun 2009 adalah Rp.27.51 miliar dimana hanya 15 koperasi berprestasi yang volume usahanya di atas rata-rata, selebihnya adalah di bawah rata-rata (pada grafik KSP-1 dan KP-1 tidak terlihat karena outlier, volume usahanya sangat besar dibanding yang lain). Secara umum terlihat bahwa keragaman koperasi berkualitas tahun 2009, dimana jumlah anggota antara 67 orang dan 80858 orang, tenagakerja antara 1 orang dan 651 orang, modal sendiri antara Rp.0.07 miliar dan Rp.139.25 miliar, modal luar antara Rp.0.13 miliar dan Rp.470.83 miliar, volume usaha antara Rp.0.16 miliar dan Rp.687.48 miliar, dan SHU antara Rp.0.01 miliar dan Rp.8.24 milar. Sedangkan nilai volume usaha per anggota adalah antara Rp.80.0 juta dan Rp.448.40 juta. Gambaran usaha koperasi berprestasi terlihat pada Lampiran 2-7. Posisi secara keseluruhan terlihat pada Lampiran 2. Sedangkan pada Lampiran 3-7 terlihat perbedaan posisi dalam kelompok koperasi berprestasi. Posisi koperasi berdasarkan usaha di atas rata-rata adalah sebanyak 5 KSP (>Rp.13.8 miliar), 9 KK (>Rp.14.83 miliar), 3 KP (>Rp.28.89 miliar), 3 KM (>Rp.21.0 miliar), dan 4 KJ (Rp.12.40 miliar). Dari uraian ini terlihatlah secara umum keragaman yang sangat tinggi dari koperasi yang memperoleh predikat berprestasi pada tahun 2009. 9

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 Tabel 1. Proses Statistika Performa Output Koperasi Berkualitas, Tahun 2009 Uraian JA JTK MS ML VU SHU VU/Ang Rp Rp Rp Rp Rp Orang Orang miliar miliar miliar miliar miliar Jumlah Sampel (n) 75 75 75 75 75 75 75 Means (Rataan) 2388,69 44,51 5,22 13,47 27,51 0,69 0,0254 Standard of Deviation 9325,97 95,11 16,20 54,70 80,76 1,28 0,0552 Nilai Maksimum 80858,00 651,00 139,25 470,83 687,48 8,24 0,4484 Nilai Minimum 67,00 1,00 0,07 0,13 0,16 0,01 0,0008 Coefficient of Confidence (CoC) 0,95 0,95 0,95 0,95 0,95 0,95 0,9500 Level of significance (LoS) 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,0500 z-value two-tail 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 Standard of Error 1076,87 10,98 1,87 6,32 9,32 0,15 0,0064 Margin of Error (MoE) 2110,63 21,53 3,67 12,38 18,28 0,29 0,0125 UCL 4499,32 66,03 8,88 25,85 45,79 0,98 0,0379 LCL 278,07 22,98 1,55 1,10 9,24 0,40 0,0129 JA = jumlah anggota JTK = jumlah tenaga kerja ML = modal luar MS = modal sendiri VU = volume usaha SHU = sisa hasil usaha UCL = upper control limit LCL = lower control limit; Satuan rupiah tak berlaku untuk n, CoC, LoS, z-value Berdasarkan performa koperasi berkualitas tahun 2009, proses statistika lebih lanjut dapat menunjukkan karakteristiknya. Dengan α sebesar 5% atau selang kepercayaan 95% dan nilai Z sebesar 1.96 (two tail), diketahui margin of error (MoE) dari masing-masing variabel performa output koperasi berprestasi. MoE adalah ukuran sebaran yang dapat memberikan batas atas dan batas bawah yang menunjukkan selang performa dalam kontrol. Dalam terminologi pengawasan, di luar batas atas dan batas bawah dinyatakan sebagai di luar kontrol. MoE menentukan UCL dan LCL variabel performa output koperasi berprestasi. Untuk anggota, UCL-nya adalah 4499 orang dan LCLnya 278 orang. Artinya, kita dipercaya 95% bahwa anggota koperasi berprestasi dengan rata-rata 2389 orang ada di antara 278 orang dan 4499 orang. Demikian juga dengan variabel volume usaha, dimana UCL-nya Rp.45.79 miliar dan LCL-nya Rp.9.24 miliar. Artinya, kita percaya nilai volume usaha koperasi rata-rata Rp.27.51 miliar per koperasi ada di antara nilai Rp.9.24 miliar dan Rp.45.79 miliar. Untuk 10

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) variabel performa output lainnya, berlaku hal yang sama. Khusus variabel volume usaha per anggota dengan rata-rata sebesar Rp.25.4 juta, UCL-nya sebesar Rp.37.9 juta dan LCL-nya Rp.12.9 juta. Selang ini menunjukkan peran koperasi dalam menggalang ekonomi anggota masih rendah dimana kita percaya 95% transaksi terendah Rp.12.9 juta atau hanya mencapai Rp.1.08 juta per bulan tiap anggota atau hanya Rp.35.83 ribu per hari setiap anggota. 4.2. Uji Keragaman Dari Lampiran 1 dapat dikelompokkan sampel koperasi berdasarkan jenis (klaster) koperasi berprestasi tahun 2009. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, variabel performa output terpilih adalah volume usaha. Pada Tabel 2 terlihat jumlah sampel terbanyak adalah KK atau koperasi konsumen. Jumlah sampel KSP adalah 15, KK sebanyak 30, KP sebanyak 10, KM sebanyak 10, dan KJ sebanyak 10. Sebagai data sekunder, sebaran ini adalah given dalam analisis ini. Alasan mengapa distribusi terjadi seperti tersebut di atas, tidak menjadi obyek pembahasan dalam analisis ini. Nilai rata-rata volume usaha klaster KSP adalah yang tertinggi, yakni Rp.58.71 miliar, lalu berurutan adalah KP sebesar Rp.28.39 miliar, KJ sebesar Rp.24.40 miliar, KM sebesar Rp.21.06 miliar, dan KK sebesar Rp.14.81 miliar. Nilai volume usaha maksimum adalah pada KSP, sebesar Rp.687.78 miliar, disusul oleh KP sebesar Rp.110.3 miliar, KM sebesar Rp.79.37 miliar, KJ sebesar Rp.72.29 miliar, dan KK sebesar Rp.65.14 miliar. Volume usaha terendah adalah pada KSP sebesar Rp.0.16 miliar, lalu KK sebesar Rp.0.77 miliar, KP sebesar Rp.0.88 miliar, KM sebesar Rp.1.25 miliar, dan KJ sebesar Rp.3.34 miliar. Terlihat, volume usaha yang sangat beragam adalah pada KSP, antara Rp.0.16 sampai Rp.687.48 miliar. Hal ini karena ada satu sampel yang menonjol sendiri (outlier), yakni sampel SP-1 dengan volume usaha mencapai Rp.687.48 miliar. Koperasi ini adalah Koperasi Kredit (Kopdit) yang sebelumnya merupakan lembaga keuangan Credit Union (CU) di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Dengan jumlah anggota mencapai 80.858 orang, volume usaha mencapai Rp.3.82 miliar per anggota. Koperasi sampel ini mempunyai asset sebesar Rp.610.08 miliar dimana sebesar 22.83% dari asset itu bersumber dari modal sendiri. Sebagai lembaga keuangan, koperasi sampel ini termasuk berhasil. 11

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 Dengan posisi nilai usaha tertinggi, volume usaha per anggota Kopdit di Sanggau tersebut adalah sebesar Rp.8.50 juta setahun atau Rp.708.53 ribu sebulan setiap anggota atau Rp.23.62 ribu per hari setiap anggota. Volume usaha kedua tertinggi, sebesar Rp.110.3 miliar, adalah pada kelompok KP, yaitu di Pasuruan. Koperasi ini mempunyai anggota sebanyak 4116 orang dan tenaga kerja sebanyak 107 orang, nilai transaksi koperasi dengan anggota adalah Rp.26.8 juta setahun atau Rp.2.23 juta per hari per anggota atau Rp.74.41 ribu per hari setiap anggota. Selanjutnya adalah pada koperasi pemasaran di Mojokerto dengan volume usaha Rp.79.37 miliar dan anggota hanya 177 orang. Nilai ini sama dengan transaksi koperasi dengan setiap anggota sebesar Rp.448.4 juta atau sebesar Rp.37.37 juta per bulan setiap anggota atau Rp.1.25 juta sehari setiap anggota. Volume usaha keempat tertinggi adalah pada koperasi jasa, yakni Rp.72.29 miliar, yakni pada KJ di Surabaya. Dengan anggota sebanyak 449 orang dan tenaga kerja 21 orang, transaksi untuk setiap anggota adalah Rp.161.0 juta atau Rp.13.42 juta per bulan setiap anggota atau Rp.447.23 ribu sehari per anggota. Volume usaha tertinggi kelima adalah pada koperasi konsumen dengan volume usaha sebesar Rp.65.14 miliar, yakni KK di Kutai Timur. Dengan jumlah anggota sebanyak 3.664 orang dan tenaga kerja 651 orang, transaksi dengan setiap anggota setahun adalah Rp.17.8 juta atau sebulan Rp.1.48 juta setiap anggota atau Rp.123.46 ribu sehari setiap anggota. Volume usaha terendah juga terdapat pada populasi KSP, yakni Rp.0.16 miliar. Ini adalah koperasi yang berprestasi berasal dari Banda Aceh, Propinsi NAD. Koperasi ini hanya mempunyai anggota sebanyak 67 orang dengan tenaga kerjanya hanya satu orang. Koperasi ini hanya mampu menghimpun modal sebesar Rp.0.96 miliar. Sehingga transaksi koperasi dengan anggota hanya Rp.2.4 juta per anggota setahun atau hanya sebesar Rp.199.0 ribu per bulan setiap anggota. Dari sisi prinsip koperasi, yakni dari, oleh, dan untuk anggota, berdasarkan transaksi koperasi, performa koperasi berkualitas tersebut kurang baik, kecuali Kopdit di Sanggau. Artinya, nilai transaksi ekonomi koperasi dan anggotanya sangat rendah. 12

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) Tabel 2. Output Performa Koperasi Berprestasi Tahun 200 Berdasarkan Jenis Koperasi VU = volume usaha (Rp miliar) 13

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 Berdasarkan analisis keragaman pada persamaan (1) (7) diperoleh beberapa hasil ringkasan ANOVA single factor pada Tabel 3 dan Tabel 4. Pada Tabel 3 terlihat analisis keragaman koperasi berprestasi berdasarkan kelompok KSP, KK, KP, KM, dan KJ. Jumlah total observasi adalah sebanyak 75 dan jumlah kelompok (k) sebanyak 5. Nilai total volume usaha KSP berprestasi adalah Rp.880,68 miliar (tertinggi), disusul oleh KK sebesar Rp.444.42 miliar, KP sebesar Rp.283.87 miliar, KJ sebesar Rp.210.59 miliar, dan terrendah KM sebesar Rp.210,59 miliar. Dengan menggunakan persamaan (1), ditemukan nilai rata-rata masing-masing kelompok sampel, KSP adalah Rp.58.71 miliar, KK sebesar Rp.14.81 miliar dan seterusnya (sama dengan Tabel 2). Dengan menggunakan persamaan (3), nilai rata-rata dari seluruh kelompok adalah Rp.29.47 miliar. Nilai variance diperoleh dari operasi persamaan (2), misalkan untuk KSP adalah SKSP2 = (687.48-58.71)2 + (43.98-58.71)2 +.+ (0.15-58.71)2/(5-1) = (395349 + 217.03 + 182.84+..+ 3428.3)/4 = 30445.49 miliar Tabel 3. Analysis of Variance Koperasi Berprestasi Single Factor Dengan cara yang sama, keragaman KK, KP, KM, dan KJ adalah masingmasing Rp.358.79 miliar, Rp.1453,28, Rp.919.32, dan Rp.514.49. 14

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) Berdasarkan persamaan (4), dapat diketahui MSTR setelah terlebih dahulu dihitung SSTR, yakni SSTR = 15(58.71-29.47)2 + 30(14.81-29.47)2 + 10(28.39-29.47)2 + 10(21.06-29.47)2 + (24.40-29.47)2 = 12823.26 + 6447.12 + 11.81 + 708.05 + 257.82 = 20248.06 miliar MSTR = 20248.06/(5-1) = 5062.02 miliar Berdasarkan persamaan (5), dapat diketahui MSE dengan terlebih dahulu dihitung SSE, yakni SSE = (15-1)30445.49 + (30-1)358.79 + (10-1)1453.28 + (10-1)919.32 + (10-1)514.49 = 4126236.88 + 10405.00 + 13079.55 + 8273.91 + 4630.39 = 462625.73 miliar MSE = 462625.73/(75-5) = 6608.94 miliar Dengan didapatkannya nilai MSTR dan MSE, ringkasan ANOVA terlihat pada Tabel 4. Sumber variasi adalah variasi antar kelompok atau perlakuan) dan variasi dalam kelompok. Total variasi adalah penjumlahan variasi antar kelompok (SSTR) dan variasi dalam kelompok (SSE). Derajat bebas (df) antar kelompok adalah 4 (=5 kelompok kurang 1) dan dalam kelompok 70 (= 75 oberbasi kurang 5 kelompok). Dari sini dapatlah dinyatakan bahwa analisis keragaman merupakan proses partitioning jumlah total kuadrat dan derajat bebas atas variasi yang bersumber dari antar kelompok dan dalam kelompok. Kuadrat rata-rata antar kelompok (MSTR) adalah sebesar Rp.5062.02 miliar dan Kuadrat rata-rata dalam kelompok (MSE) adalah sebesar Rp.6608.94 miliar. 15

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 Tabel 4. Analysis of Variance Koperasi Berprestasi Antar dan Dalam Kelompok, Tahun 2009 Dengan angka-angka hasil analisis keragaman pada Tabel 4 maka uji F dapat dilakukan atas keragaman koperasi berprestasi tahun 2009. Nilai F hitung (Fh) adalah: Fh = 5062.02/6608.94 = 0.7659 Nilai Fh sebesar 0.7659 adalah lebih kecil daripada Ft, sebesar 2.53 pada α = 5% dan derajat bebas nominator 4 dan denominator 70 4. Dengan menggunakan kriteria p-value, ternyata p-value (0.7659;4;70) adalah sebesar 0.55 atau 55% yang lebih besar daripada α = 5%. Artinya, keputusan adalah terima Ho yang menyatakan nilai rata-rata adalah sama. Atau, pada selang kepercayaan 95% terdapat bukti bahwa klaster koperasi yang terdiri dari koperasi simpan pinjam, koperasi produksi, koperasi konsumsi, koperasi pemasaran, dan koperasi jasa tidak berbeda satu dengan lainnya. Oleh karena itu, pembinaan dan pengawasan pembangunan koperasi tidak membutuhkan perbedaan perlakuan antar koperasi tersebut. Ini berbeda dengan output performa masing-masing kelompok koperasi berprestasi dimana dari beberapa variabel yang menunjukkan performa koperasi. Sayangnya, studi ini tidak mengungkapkan mengapa hal itu bisa terjadi. 4 Pada tabel F distribution, derajat bebas denominator sebesar 70 tidak tersedia. Oleh karena itu, digunakan df denominator sebesar 60 yang tidak berbeda dengan df sebesar 70. 16

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) V. PENUTUP Penilaian koperasi berdasarkan prestasi adalah upaya pemerintah untuk mengetahui performa koperasi dan merupakan suatu perangsang kemajuan koperasi Indonesia. Dari hasil analisis keragaman, secara umum terungkap keragaan koperasi berdasarkan volume usaha berbeda antar koperasi simpan pinjam, koperasi produksi, koperasi konsumsi, koperasi pemasaran, dan koperasi jasa. Namun, secara spesifik, berdasarkan uji keragaman, terbukti tidak ada perbedaaan antar kelompok koperasi tersebut. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa perbedaan populasi koperasi tersebut tidak menyebabkan adanya keragaman antar koperasi. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan pembangunan koperasi, khususnya untuk koperasi berprestasi, kebijakan dan perlakuan pemerintah bisa saja seragam, meskipun jenis koperasi beragam. Misalnya menyangkut kebijakan pengembangan bisnis, khususnya volume usaha, dan pelatihan manajemen dan kewirausahaan, serta sertifikasi bisnis dan manajemen koperasi. DAFTAR PUSTAKA Anderson, David R., Dennis J. Sweeney, Thomas A. Williams. 2004. Essentials of Modern Business Statistics With Microsoft Excel, 2e. Thomson South- Western. Anonim. 1984. Memperkokoh Pilar-pilar Kemandirian Koperasi. Ontologi Esei. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Koperasi. Jakarta, 12 Juli.. 2005. Koperasi Terbaik Seluruh Indonesia. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, RI, Jakarta.. 2007a. Pedoman Penilaian Koperasi Berprestasi Tahun 2007. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, RI, Jakarta.. 2007b. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menegah Republik Indonesia Nomor 03/Per/14-KUKM/I/2007. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, RI, Jakarta.. 2009. Profil Koperasi Berprestasi Tahun 2009. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Jakarta Baswir, Revrisond. 2010. Revitalisasi Koperasi Dalam Menghadapi Perdagangan Bebas (ACFTA, ANZFTA). Worksop Nasional dan Ekspose Hasil Pemberdayaan Koperasi dan UMKM Kelembagaan Koperasi Sehat, Koperasi Kuat, Rakyat Sejahtera. Dosen FEB UGM dan Anggota Majelis Pakar Dekopin. Jakarta, Juli. 17

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 Book, Sven Ake. 1994. Nilai-Nilai Koperasi Dalam Era Globalisasi. Laporan Kepada Kongres ICA di Tokyo, Oktober 1992. Koperasi Jasa Audit. Penerjemah Djabarudin Djohan. Jakarta, April. Keller, Gerald. Statistics for Management and Economics. Seven Edition. Thomson Brooks/Cole. Marcus, Lars. 1992. Nilai-nilai Dasar dan Kecenderungan Global Kooperatif. Majalah INFOKOP, Media Pengkajian Perkoperasian, nomor 11 tahun IX, Mei. Badan Litbangkop & PPK, Depkop & PPK, Jakarta. Mubyarto. 1998. Ekonomi Rakyat Menghadapi Globalisasi. Dalam bukunya Reformasi Sistem Ekonomi. Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan. Penerbit Aditya Media. Rahardjo, Dawam. 2010. Ekonomi Politik Perkoperasian Indonesia. Prosiding seminar Ekonomi Politik Perkoperasian Indonesia. Ibnu Soedjono Center dan GKBI, Jakarta, 8 & 12 Juli. Situmorang, Johnny W. 2000. Doktrin/Ajaran Koperasi Indonesia. Forum Dialog Nasional Koperasi Dalam Paradigma Reformasi Menuju Indonesia Baru. Aliansi Koperasi Indonesia (ALKINDO), Hotel Indonesia. Jakarta, 4 5 September 2000. 18

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) Lampiran 1. Sampel dan Variabel Performa Koperasi Berprestasi Tahun 2009 No Kode Kab/Kota JAng JTK MS ML Volush SHU Volush/Ang (orang) (0rang) (Rp m) (Rp m) (Rp m) (Rp m) (Rp juta/orang) 1 SP-1 Kab. Sanggau 80858 180 139,25 470,83 687,48 5,23 8.50 2 SP-2 Kab. Ngada 7455 29 12,43 49,01 43,98 3,93 5.9 3 SP-3 Kota Bandar Lampung 5746 19 8,87 43,44 45,19 1,42 7.9 4 SP-4 Kab. Bandung 3520 13 2,75 7,25 8,14 0,44 2.3 5 SP-5 Kodya Jakarta Barat 2881 8 7,76 23,6 18,92 0,6 6.6 6 SP-6 Kab. OKI 1737 32 5,87 4,77 11,27 0,89 6.5 7 SP-7 Kab. Bintan 1512 3 5,26 0,9 16,75 1,02 11.1 8 SP-8 Kota Baru 946 10 1,31 3,06 5,98 0,02 6.3 9 SP-9 Kab. Sidoarjo 720 21 1,37 3,03 15,39 0,09 21.4 10 SP-10 Kab. Pandeglang 569 7 3,33 3 6,33 0,65 11.1 11 SP-11 Kab. Lombok Timur 210 18 1,31 2,17 5,68 0,17 27.0 12 SP-12 Kab. Boyolali 195 26 1,45 8,65 12,48 0,29 64.0 13 SP-13 Kota Samarinda 164 5 0,35 0,44 0,62 0,07 3.8 14 SP-14 Kab. Klungkung 125 3 0,49 1,33 2,31 0,01 18.5 15 SP-15 Kota Banda Aceh 67 1 0,49 0,47 0,16 0,1 2.4 16 KK-1 Kab. Kutai Timur 3664 651 13 28,79 65,14 8,24 17.8 17 KK-2 Kota Padang 3852 214 10,23 43,71 57,18 3,34 14.8 18 KK-3 Kota Batam 3321 17 7,49 4,9 4,53 0,16 1.4 19 KK-4 Kota Bandar Lampung 3142 19 21,88 31,36 52,1 3,2 16.6 20 KK-5 Kab. Situbondo 1660 34 8,79 28,99 62,55 1,45 37.7 21 KK-6 Bangka Barat 717 13 9,74 2,53 16,02 0,98 22.3 22 KK-7 Kab. Sleman 281 158 2,49 3,36 20,48 0,84 72.9 23 KK-8 Kota Medan 1589 19 3,14 20,64 27,4 0,83 17.2 24 KK-9 Kab. Sleman 1115 77 0,44 0,57 3,96 0,13 3.6 25 KK-10 Kab. Tanjab Barat 1045 16 1,42 1,73 11,2 0,77 10.7 26 KK-11 Kab. Flores 1029 17 4,93 1,99 6,46 0,36 6.3 27 KK-12 Kab. Ende 984 5 0,7 1,3 2,07 0,04 2.1 28 KK-13 Kab. Tangerang 914 3 2,32 0,35 0,77 0,58 0.8 29 KK-14 Kab. Jembrana 861 7 1,38 2,6 5,18 0,11 6.0 30 KK-15 Kodya Jakarta Timur 809 20 2,92 3,28 10,23 0,06 12.6 31 KK-16 Kepahiang 764 11 1,63 0,14 1,96 0,41 2.6 32 KK-17 Kab. Muna 676 2 1,89 0,59 2,6 0,39 3.8 33 KK-18 Kota Bukittinggi 637 8 4,14 0,69 6,17 0,21 9.7 34 KK-19 Kab. Jayapura 618 7 0,58 0,28 1,51 0,13 2.4 35 KK-20 Kab. Simalungun 599 11 8,44 6,57 11,87 0,09 19.8 36 KK-21 Kab. Subang 590 11 1,79 2,01 15,92 0,36 27.0 19

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 37 KK-22 Kab. 50 Koto 551 4 4,51 4,97 1,09 0,02 2.0 38 KK-23 Kab. Gorontalo 514 14 0,78 2,73 17,08 0,18 33.2 39 KK-24 Kab. Pekalongan 404 4 1,32 1,08 4,7 0,06 11.6 40 KK-25 Kota Samarinda 376 2 1,92 0,17 2,17 0,27 5.8 41 KK-26 Kab. Tasikmalaya 310 26 1,05 2,57 13,14 0,29 42.4 42 KK-27 Kab. Kubu Raya 203 171 2,06 0,44 4,71 0,77 23.2 43 KK-28 Kota Sibolga 203 12 0,6 0,33 1,32 0,16 6.5 44 KK-29 Kab. Kep. Sangihe 161 12 1,19 1,14 9,65 0,08 59.9 45 KK-30 Kab. Hulu Sungai Selatan 160 2 0,64 1,05 5,26 0,15 32.9 46 KP-1 Kab. Pasuruan 4116 107 11,93 22,97 110,26 0,48 26.8 47 KP-2 Kabupaten Indragiri Hulu 585 14 1,4 1,93 5,37 0,72 9.2 48 KP-3 Kab. Semarang 6287 26 1,31 2,63 4,98 0,07 0.8 49 KP-4 Kab. Cirebon 2411 10 0,46 2,59 6,34 0,34 2.6 50 KP-5 Kab. Lamongan 1616 21 1,7 12 42,67 0,1 26.4 51 KP-6 Kab. Musi Banyuasin 1579 68 7,67 10,22 80,64 0,17 51.1 52 KP-7 Kab. Lombok Timur 330 24 0,9 2,7 8,65 0,1 26.2 53 KP-8 Kab. Malang 324 13 1,44 1,07 21,98 0,17 67.8 54 KP-9 Kab. Tanjab Barat 257 15 0,26 0,42 2,1 0,1 8.2 55 KP-10 Kab. Siak 183 45 0,26 0,24 0,88 0,04 4.8 56 KM-1 Kodya Jakarta Pusat 251 14 1,61 5,77 22,13 0,37 88.2 57 KM-2 Kab. Aceh Tengah 6776 399 0,62 26,06 75,45 0,22 11.1 58 KM-3 Kab. Ogan Komering Ulu 1536 29 1,53 7,21 4,39 0,49 2.9 59 KM-4 Kab. Merangin 627 23 1,12 1,71 4,68 0,48 7.5 60 KM-5 Kab. Rohul 549 18 1,55 0,91 2,76 0,59 5.0 61 KM-6 Kab. Merangin 518 16 0,82 1,61 5,47 0,33 10.6 62 KM-7 Kab. Malang 324 39 1,51 0,28 11,58 0,14 35.7 63 KM-8 Kota Baru 242 11 0,38 0,13 3,51 0,1 14.5 64 KM-9 Kab. Mojokerto 177 5 0,35 9,77 79,37 0,11 448.4 65 KM-10 Kab. Majalengka 90 9 0,07 0,27 1,25 0,01 13.9 66 KJ-1 Kodya Jakarta Pusat 1331 21 5,53 31,9 30,56 0,72 23.0 67 KJ-2 Kab. Kotawaringin Barat 1424 9 4,84 0,59 9,05 1,45 6.4 68 KJ-3 Kota Balikpapan 973 189 6,09 1,01 12,08 2,55 12.4 69 KJ-4 Kab. Jombang 4306 24 13,77 12,61 52,32 0,45 12.2 70 KJ-5 Kota Malang 1496 17 2,44 7,48 32,79 0,65 21.9 71 KJ-6 Kota Pekalongan 661 20 0,59 5,05 11,42 0,09 17.3 72 KJ-7 Kab. Lombok Timur 494 21 0,5 2,22 3,34 0,07 6.8 73 KJ-8 Kota Surabaya 449 21 2,49 15,4 72,29 0,37 161.0 74 KJ-9 Kota Padang 405 11 1,14 0,71 14,42 0,34 35.6 75 KJ-10 Kota Samarinda 381 157 1,29 0,34 5,69 0,42 14.9 Sumber: Kementerian KUKM (2010) 20

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) 21

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 1-23 22

UJI KERAGAMAN KOPERASI BERPRESTASI BERDASARKAN SKALA USAHA TAHUN 2009 (Johnny W. Situmorang) 23

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM* Teuku Syarif** Abstrak Dari hasil penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2009, diketahui bahwa ada 186 masalah koperasi yang harus dicarikan solusinya. Dengan menggunakan Analisis Skala Prioritas berdasarkan pertimbangan tingkatan, dampak, penyebaran, intensitas dan ketersediaan sumberdaya, ke-186 masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi permasalahan pokok sebagai berikut: (1) idiologis normatif koperasi, (2) kebijakan pembangunan ekonomi nasional, (3) kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM, (4) koordinasi pemberdayaan koperasi dan UMKM, (5) kelembagaan koperasi,(6) usaha koperasi, (7) kondisi/karakter awal UMKM, (8) kondisi usaha UMKM, (9) produksi dan teknologi UMKM, (10) kebijakan otonomi daerah dan (11) program pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Permasalahan di atas diduga menjadi penyebabnya rendahnya produktivitas dan daya saing koperasi. Beberapa indikasi menunjukkan bahwa permasalahan tersebut terkait langsung kebijakan dasar pembangunan yang semakin tidak berpihak pada upaya memberdayakan Koperasi dan UMKM. Untuk mengatasi permasalahan ini hasil analisis skala prioritas menyarankan agar dilakukan reorientasi kebijakan dasar pembangunan yang lebih diarahkan lagi pada kebijakan dan programprogram yang menekankan pemberdayaan Koperasi dan UMKM, khusus untuk meningkatkan kondisi internal UMKM dan iklim usaha yang kondusif. Sejalan konsepsi dasar tersebut, faktor yang perlu diperkuat adalah posisi koperasi sebagai lembaga pemberdayaan UMKM. Upaya ini dilakukan melalui peningkatkan intensitas pembinaan koperasi, sosialisasi peran dan kedudukan koperasi dalam pembangunan nasional, serta melaksanakan program sosialisasi tentang kepentingan peran koperasi dalam mendukung pembangunan nasional. Satu hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan sistem koordinasi program-program pemberdayaan Koperasi dan UMKM baik antara instansi sektoral, maupun antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kata kunci: skala prioritas, pemberdayaan koperasi dan UMKM * Artikel diterima 20 Juli 2011, peer review 25 Juli 2011, review akhir 15 September 2011 ** Peneliti Utama pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM 24

KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM (Teuku Syarif) Abstract From the preparation of the inventory problem conducted by the Ministry of Cooperatives and SME in 2009, it is known that there are 186 cooperative problems that must find a solution. By using the Priority Scale Analysis is based on the consideration, the level of impact, intensity spread, and the availability of resources, to issue-186 can be grouped into the main issues as follows: (1) Cooperative Normative ideological, (2) National Economic Development Policy, Policy (3) Empowerment of Cooperatives and SMEs, (4) Coordination Empowering Cooperatives and SMEs, (5) Institutional Cooperation, (6) Cooperative Enterprises, (7) Condition / initial character of SMEs, (8) SME Business Conditions, (9) Production SMEs and Technology (10) Policy and Regional Autonomy (11) Empowerment Program for Cooperatives and SMEs. The above problems are estimated to be the cause of low productivity and competitiveness of cooperatives. Some indications show that this problem is directly related to the fundamental policies of the increasingly unfavorable to efforts to empower cooperatives and SMEs. To overcome this problem the priority scale analysis performed suggests that a more fundamental policy reorientation is directed more to the policies and programs that emphasize empowerment of Cooperatives and SMEs, especially for SMEs and improve the internal conducive business climate. Throughout the basic conception, the factors that need to be strengthened is position as a cooperative institution empowerment of SMEs. This work is done by increasing the intensity of cooperative development, the role of socialization and the position of cooperatives in national development, and implement outreach programs on the importance of the role of cooperatives in support of national development. One other thing that needs attention is the development program coordinated system of cooperatives and SMEs empowerment among sectoral agencies, and between central and local government Key words: scale of priority, empowerment of cooperative and SMEs I. LATAR BELAKANG Era reformasi yang diharapkan menjadi angin segar untuk memberdayakan Koperasi, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah (KUMKM) ternyata tidak membawa perubahan pada usaha tersebut. Lebih dari satu dasawarsa reformasi berjalan, meskipun indikator makro ekonomi dinyatakan semakin membaik, tetapi kondisi Koperasi dan UMKM dapat dikatakan stagnan, bahkan cenderung menurun. Secara nominal, beberapa indikator bisnis seperti kepemilikan asset, omset dan sisa hasil usaha menunjukkan kinerja koperasi dan UMKM terlihat meningkat, tetapi dinilai dari kualitas usahanya, kondisi kelompok ini ternyata semakin terpuruk. 25

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 Keterpurukan koperasi bukan hanya sebatas isu, tetapi banyak hasil-hasil kajian serta data dan informasi dari berbagai pihak yang menunjukkan semakin kecilnya rata-rata skala usaha koperasi dan UMKM serta memburuknya kualitas hidup kelompok pengusaha ini. Rata-rata skala usaha para pengusaha mikro pada harga berlaku memang meningkat dari Rp. 4,79 juta di tahun 2004 menjadi Rp. 5,75 juta di tahun 2008. Tetapi pada harga tetap menurun dari Rp. 4,79 juta menjadi Rp. 4,56 juta. Demikian juga indeks kesejahteraan kalangan ini menurun dari 1,7 pada tahun 1999 menjadi 1,42 di tahun 2008. Sumbangan Koperasi dan UMKM terhadap PDRB juga menurun dari 54,89% pada tahun 1999 menjadi 51,76% di tahun 2008. Sejalan dengan keterpurukan UMKM, kondisi dan eksistensi koperasi dalam perekonomian nasional ternyata lebih buruk lagi. Hal ini diindikasi dari menurunnya peran koperasi di beberapa sektor perekonomian, antara lain disektor tanaman pangan. Pada sektor ini, peran koperasi dalam penyediaan sarana produksi menurun dari 73,94% tahun 1998 menjadi 4,61% tahun 2008. Demikian juga disektor perkebunan, perikanan dan peternakan, peran koperasi dalam penyediaan sarana produksi menurun dari 7,84% menjadi 3,12%. Untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program-program pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Namun kebijakan dan program-program tersebut setelah lebih dari enam puluh tahun belum mampu mengangkat ekstensi dan kesejahteraan koperasi dan UMKM. Bahkan, beberapa waktu belakangan ini kondisi Koperasi dan UMKM semakin terpuruk. Ironisnya, hal ini belum menjadi peringatan dini bagi pengambil kebijakan untuk secepatnya memperbaiki keadaan melalui kebijakan yang lebih efektif. Sebaliknya program-program yang dilaksanakan semakin mengarah pada pencitraan melalui berbagai kegiatan bersifat seremonial. Kondisi nyata di lapangan menunjukkan Koperasi dan UMKM dihadapkan pada berbagai masalah baik yang bersumber dari kondisi internal, maupun dari lingkungannya. Ada indikasi bahwa masalah lingkungan yang dihadapi oleh Koperasi dan UKM sebagian besar berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan. Dalam hal ini beberapa indikasi menunjukkan bahwa Koperasi dan UMKM yang sebagai bagian terbesar dari dunia usaha belum ditempatkan pada posisi yang memungkinkan kelompok ini untuk dapat memanfaatkan sumberdaya pembangunan yang proporsional dan perannya dalam sistem perekonomian nasional. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa orientasi kebijakan dan programprogram yang dilaksanakan belum diarahkan pada permasalahan aktual di lapangan. Keberhasilan dari pelaksanaan program itu sendiri tidak pernah bisa terukur, akibatnya Koperasi dan UMKM masih terus harus berjuang sendiri tanpa mendapat bantuan yang layak dari pemerintah. 26

KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM (Teuku Syarif) II. PERUMUSAN MASALAH Sebagai proses pembangunan ekonomi, pemberdayaan Koperasi dan UMKM merupakan kegiatan lintas sektoral yang sebagian dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, sedangkan sebagian lainnya dilaksanakan oleh instansi sektoral vertikal atau instansi teknis. Hasil penelitian lapangan yang dilakukan melalui penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan program-program pemberdayaan Koperasi dan UMKM efektivitasnya rata-rata relatif rendah. Hal ini diindikasikan dari masih banyak masalah yang dihadapi oleh Koperasi dan UMKM, serta belum terselesaikannya berbagai masalah klasik yang sudah sekian lama menjadi kendala untuk memberdayakan Koperasi dan UMKM. Ketidakefektivan program-program pemberdayaan Koperasi dan UMKM terutama disebabkan oleh ketidaksesuaian antara masalah yang dihadapi dengan program yang dilaksanakan. Sebagian besar program nampaknya dirancang hanya didasarkan pada isyu dan sinyalemen yang berkembang dan/atau gejala yang ditimbulkan, tetapi bukan didasarkan pada pokok permasalahan yang dihadapi. Inkonsistensi program-program pemberdayaan koperasi dan UMKM, dengan permasalahan juga dihadapi di lapangan. Inkonsistensi terjadi baik pada program fisik, maupun dalam program-program non fisik seperti penyuluhan dan pelatihan, sehingga tingkat keberhasilan program-program tersebut belum optimal. Mengingat bahwa permasalahan yang dihadapi Koperasi dan UMKM di lapangan, yang dapat diinventarisir dalam DIM sangat banyak (ada 186 masalah), sedangkan sumberdaya yang dimiliki pemerintah terbatas, maka dalam kajian ini digunakan Analisa Skala Prioritas. Sejalan dengan itu, permasalahan yang dibahas dalam kajian ini adalah menganalisis Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Koperasi dan UMKM, yang disusun oleh Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2009. Analisis skala prioritas digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa sumberdaya pembangunan yang ketersediaannya relatif terbatas harus digunakan dengan efektif dan efisien. Efektif dan efisiensi itu sendiri ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: tujuan pelaksanaan suatu kegiatan, pendekatan serta strategi dan model pelaksanaannya. Dengan perkataan lain, kepentingan analisis skala prioritas adalah untuk mengetahui urgensi masalah, dampak masalah, untuk menyusun prioritas masalah dan penyusunan solusi pemecahannya. Hasil analisis dan solusi pemecahan masalah yang diperoleh akan dijadikan bahan masukan dalam penyusunan kebijakan dan program-program pemberdayaan Koperasi dan UMKM. 27

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 III. TUJUAN (1) Mengukur tingkatan, penyebaran dan dampak masalah yang dihadapi oleh Koperasi dan UMKM. (2) Menyusun skala prioritas masalah pemberdayaaan Koperasi dan UMKM untuk dipecahkan sesuai dengan kepentingan dan dampak dari pemecahan masalah tersebut untuk mengoptimalkan upaya pemberdayaan Koperasi dan UMKM di lapangan IV. MANFAAT Mendapatkan skala prioritas masalah yang harus dipecahkan untuk digunakan sebagai masukan dalam penyusunan program-program pemberdayaan koperasi dan UMKM V. METODOLOGI Kajian ini merupakan analisis terhadap masalah koperasi dan UMKM yang berhasil diinventarisir dan telah disusun dalam Daftar Inventarisasi Masalah oleh Kementerian Koperasi dan UMK tahun 2009. Penetapan skala prioritas dilakukan dengan: (1) pengisian daftar pertanyaan terstruktur tentang masalah-masalah yang dihadapi Koperasi dan UMKM, (2) diskusi tentang tingkatan masalah, luas bidang cakupan, dampak, keseringan, dan keterkendalian masalah, dalam Focus Group Discusion dan (3) penarikan kesimpulan prioritas penyelesaian masalah, dilakukan dengan menggunakan model analisis skala prioritas. Penilaian terhadap tingkatan dampak dan keterkendalian masalah dilakukan dengan menggunakan metoda Delphi. Untuk menilai tingkat kepentingan penyelesaian masalah digunakan teknik skoring. Diskusi dilakukan di tingkat pusat dan di daerah. Lokasi kajian adalah Kepulauan Riau, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Jawa Barat. VI. LANDASAN TEORI Analisis skala prioritas terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh Koperasi dan UMKM pada dasarnya diperlukan untuk menyusun suatu sistem perencanaan yang sistematis dan komprehensif, dengan memperhitungkan semua masalah potensi dan kendala yang dihadapi. Sistem perencanaan tersebut harus didasarkan pada realitas kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh Koperasi dan UMKM di lapangan. Manfaat penggunaan analisis 28

KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM (Teuku Syarif) skala prioritas dari DIM telah dirasakan oleh banyak pihak, tidak saja oleh kalangan dunia usaha dan pemerintahan, tetapi juga oleh kalangan peneliti dan ilmuwan. Salah satu pakar yang menyarankan penggunaan model analisis ini adalah Vence (1989). Vence lebih lanjut mengatakan bahwa penyelesaian masalah yang hanya didasarkan pada gejala yang terlihat, hanya akan berhasil dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang masalah tersebut dapat menyebar lebih luas lagi. Lebih lanjut dikatakan proses pemecahan masalah harus dimulai dengan menguraikan faktor-faktor yang menimbulkan masalah itu sendiri, untuk dirumuskan dan dianalisis dengan menggunakan metoda dan model yang sesuai dalam rangka mendapatkan solusi pemecahannya. Lebih lanjut dikatakan salah satu model analisis yang dapat digunakan adalah model analisa skala prioritas (Scale of Priority Analisys). Analisis skala prioritas diperlukan karena banyaknya masalah dalam proses pemberdayaan koperasi dan UMKM yang telah dapat diinventarisir, yang jumlah mencapai 186 dan saling terkait. Banyaknya masalah tersebut terindikasi berhubungan langsung dengan konsepsi pemberdayaan Koperasi dan UMKM, yang merupakan suatu proses dinamis, yang melibatkan banyak aspek dan unsur. Pemberdayaan Koperasi dan UMKM juga merupakan suatu proses dalam ruang lingkup lokasi yang sangat luas, seluruh Indonesia. Dalam rangka mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh koperasi dan UMKM agar Koperasi dan UMKM mampu berkembang, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai program pemberdayaan Koperasi dan UMKM antara lain yang difasilitasi oleh Kementerian Negara Koperasi dan UMKM sejak tahun 2003, yaitu: 1) Program perbaikan iklim usaha antara lain dilaksanakan dalam bentuk program-program meliputi penyederhanaan perizinan dan pengembangan sistem perizinan satu pintu, serta bagi usaha mikro perizinan cukup dalam bentuk registrasi usaha, serta penataan Peraturan Daerah (Perda) untuk mendukung pemberdayaan KUMKM, dan lainlain. 2) Program peningkatan akses UMKM dan koperasi terhadap sumberdaya potensial. Program ini terdiri dari program peningkatan akses UMKM terhadap pendanaan yang antara lain pogram-program pengembangan berbagai skim perkreditan untuk UMKM seperti program pembiayaan produktif Koperasi dan usaha mikro (P3KUM) dan lain-lain. 3) Program pengembangan jaringan pemasaran UMKM dan Koperasi dilakukan melalui pemberian dukungan sektor perdagangan khusus produk UMKM telah dilaksanakan program-program seperti program 29

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 promosi proyek-proyek pemasaran UMKM serta program modernisasi usaha ritel koperasi seperti Makasar Trade Centre (MTC). 4) Program pemberdayaan sumberdaya UMKM dilakukan melalui pelaksanaan program penumbuhan wirausaha baru melalui berbagai model seperti model pendampingan dan inkubator serta program peningkatan kemampuan teknis dan manajerial Koperasi dan UMKM melalui berbagai bentuk bimbingan penyuluhan dan penataran dan lainlain. Masalah yang timbul dalam proses itu terlihat sangat banyak, tetapi yang sering terlihat hanyalah gejalanya saja, sedangkan pokok masalah yang sebenarnya sulit terindentifikasi. Untuk proses identifikasi ini diperlukan penggunaan metoda dan sistematika yang akurat. Simpson (1988) dan Thaha (1983) berpendapat bahwa salah satu metoda pemecahan yang paling banyak digunakan dalam pemecahan masalah teknik, ekonomi dan sosial adalah penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM yang dilanjutkan dengan proses analisa masalah dengan menggunakan metoda dan model yang sesuai. Kelebihan dari model DIM yang dilanjutkan dengan model analisis skala prioritas terletak pada sistematika penguraian masalah yang dihadapi, sehingga para perencana/peneliti dapat dengan lebih mudah untuk memilah dan mengelompokkan masalah, untuk mengetahui akar permasalahan dan mendapatkan solusi pemecahannya. Lebih lanjut Stevenson (1993) mengatakan bahwa Analisis Skala Prioritas merupakan teknik analisis masalah secara sistematik yang dapat dijadikan alat untuk mendapatkan solusi pemecahan masalah, berdasarkan akar permasalahan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Analisis skala prioritas merupakan langkah awal dari suatu proses pemecahan masalah yang harus dilanjutkan dengan tahapan-tahapan berikutnya a) penyusunan alternatif solusi dan b) penetapan solusi pemecahan masalah. VII. KERANGKA BERPIKIR Untuk dapat mewujudkan kondisi ideal pemberdayaan Koperasi dan UMKM, maka dalam menentukan solusi pemecahan masalah yang dihadapi oleh Koperasi dan UKM, harus dipertimbangkan potensi dan kendala yang ada dari unsur yang terlibat dalam sistem pemberdayaan UMKM dan Koperasi. Demikian juga penyelesaian masalah yang dihadapi oleh Koperasi dan UMKM harus secara proporsional dilakukan atau dikoordinir oleh unsur yang paling berkompeten untuk menyelesaikan masalah tersebut, baik secara sektoral maupun daerah (regional). Sejalan dengan itu, masalah-masalah yang 30

KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM (Teuku Syarif) dihadapi dalam proses pemberdayaan Koperasi dan UMKM pada prisipnya bersumber dari akar permasalahan yang sering tertutup oleh berbagai gejala yang sering dianggap sebagai masalah. Kesalahan persepsi ini menyebabkan masalah tersebut semakin berkembang dan tertutup karena adanya kebijakan penyelesaian masalah dengan melihat gejala yang ada. Penyelesaian masalah seperti ini cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang saling menutupi, sehingga masalah pokok sebenarnya tidak terlihat. Oleh sebab itu, untuk menggali faktor penyebab dari permasalahan tersebut perlu lebih dulu disusun Daftar Inventarisasi Masalah yang diikuti dengan identifikasi dan klasifikasi masalah untuk menghasilkan solusi pemecahan yang akurat. Untuk itu perlu diperhatikan kerangka pikir permasalahan yang menggambarkan proses kejadian masalah, faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah dan pendekatan pemecahan masalah seperti diperlihatkan pada Gambar 1 di bawah ini. Gambar 1. Kerangka Dasar Pemecahan Masalah 31

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 Dari gambar 1 terlihat bahwa: 1) Pada prinsipnya kebijakan pemerintah bertujuan untuk membangun kondisi ideal yang sesuai dengan visi Pemerintah dalam pemberdayaan UMKM. 2) Kebijakan Pemerintah dilaksanakan melalui program-program yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi UKM dan lingkungannya. 3) Bisa terjadi deviasi dalam pelaksanaan program yang menimbulkan permasalahan karena program-program tidak selalu dirancang berdasarkan permasalahan dasar yang dihadapi Koperasi dan UMKM. 4) Proses inventarisasi bertujuan untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi UMKM agar dapat dianalisis guna mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapi. 5) Solusi pemecahan masalah yang disusun berdasarkan analisis dari DIM akan dapat digunakan untuk menyusun program-program yang lebih berdayaguna dan berhasil guna Sesuai dengan kerangka pikir di atas, maka ditetapkan 5 (lima) tolok ukur kepentingan penyelesaian suatu masalah sebagai berikut: 1) Masalah Siapa. Sesuai dengan amanat konstitusional (UUD 1945) pemberdayaan Koperasi dan UMKM merupakan tugas dari semua komponen bangsa termasuk pemerintah dan kalangan stakeholder lainnya. Masalah Koperasi dan UMKM tidak melulu merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh Koperasi dan UMKM, tetapi bisa merupakan masalah bagi kalangan stakeholdernya, yang dapat dibedakan menjadi: (1) Gerakan Koperasi dan UMKM (a) Koperasi dan UMKM tanpa fasilitas/bantuan dari pemerintah atau pihak lain, (b) Koperasi dan UMKM yang bergerak dan menikmati fasilitas Pemerintah, c) Dekopin. (2) Pemerintah d) Kemenkop dan UKM, e) Departemen teknis/ kementerian terkait, f) Kabinet, g) Pemda Propinsi, dan h) h) Pemda Kabupaten/Kota. (3) Masyarakat luas/negara (i). 32

KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM (Teuku Syarif) 2) Tingkatan Masalah. Masalah Koperasi dan UMKM memiliki tingkatan sesuai dengan luas dan besarnya dampak yang timbulkan yang dapat dibedakan menjadi: (1) Akar masalah/masalah bawaan yang dirasakan dampaknya (skor 5). (2) Akar masalah yang dampak belum terasa (skor 4). (3) Masalah turunan tapi dampaknya besar (skor 3). (4) Masalah turunan tapi dampaknya tidak besar (skor 2). (5) Masalah sampingan (skor 1). 3) Nilai Strategis (Peranan) Masalah dan Bagaimana Dampaknya Adalah keseringan suatu masalah timbul di satu lokasi, bersifat endemi yang kemungkinan bersumber dari kondisi lingkungan di daerah tersebut seperti misalnya masalah-masalah yang timbul karena kurangnya sarana dan prasarana usaha yang tersedia di suatu daerah. Berdasarkannya dampaknya ini masalah Koperasi dan UMKM dapat dibedakan menjadi: (1) Dampak negatif sangat berbahaya (skor 7). (2) Dampak negatif berbahaya (skor 6). (3) Dampak negatif tidak mengganggu (skor 5). (4) Kalau diatasi akan berdampak positif (skor 4). (5) Dampak positif banyak dan besar (skor 3). (6) Dampak positif tidak banyak tapi besar (skor 2). (7) Dampak positif tidak banyak dan tidak besar (skor 1). 4) Frekuensi dan Persistensi Masalah. Dari aspek ini masalah koperasi dan UMKM dapat dibedakan menjadi: (1) Sesekali, sementara, sporadis (skor 3). (2) Cukup sering tapi bersifat lokal (skor 2). (3) Sering, laten dan meluas (skor 1). 33

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 5) Tingkat Keterkendalian Masalah Adalah perkiraan sejauh mana masalah tersebut dapat dikendalikan, dari aspek ini masalah dapat dibedakan menjadi: (1) Non controllable dalam jangka pendek dan menengah dengan dampak negatif tidak dapat dikurangi (skor 4). (2) Controllable dalam jangka pendek dan menengah dengan dampak negatif dapat dikurangi (mitigasi) (skor 3). (3) Controllable dalam jangka pendek dan menengah (skor 2). (4) Controllable dalam jangka panjang (skor 1). Penilaian dilakukan dengan metoda skoring terhadap keempat aspek di atas. Batasan nilai adalah 0 (nol) sampai dengan 3 (tiga), dengan tingkatan sebagai berikut: a) 2,50 s/d 3,00 Sangat Penting; b) 2,00 s/d 2,49 Penting; c) 1,50 s/d 1,90 Kurang Penting dan d) lebih kecil dari 1,49 Tidak Penting. Penilaian akhir terhadap suatu masalah dilakukan dengan menjumlah nilai yang diperoleh masalah tersebut berdasarkan penilaian dari keempat aspek di atas. Kesimpulan diambil berdasarkan rata-rata nilai yang diperoleh dari suatu masalah yang dinilai. Prioritas tertinggi adalah masalah yang memiliki rata-rata nilai tertinggi. VIII. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Mengingat keterbatasan sumberdaya maka penetapan daerah contoh menggunakan teknik acak terstratifikasi (Stratified Random Sampling). Dengan menggunakan teknik tersebut ditetapkan sampel lokasi kajian adalah Kepulauan Riau, Provinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Jawa Barat. Sedangkan waktu penelitian adalah mulai Bulan Februari sampai dengan November 2010. IX. HASIL PENGAMATAN 1). Prioritas Sangat Penting. (1). Idiologis Normatif Koperasi Dari aspek internal koperasi kelompok masalah idiologis normatif koperasi menempati urutan pertama sebagai masalah 34

KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM (Teuku Syarif) sangat penting yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Akar masalah ini menimbulkan dampak luas yang diindikasikan dari banyaknya masalah besar yang ditimbulkan antara lain (1) koperasi tidak mempunyai daya tarik sebagai sarana penghimpun ekonomi karena lebih dipromosikan sebagai lembaga yang ideal tidak mencari keuntungan dan berwatak sosial. (2) (2) rumusan tujuan fungsi dan peran koperasi terlalu ideal tidak sesuai dengan kapasitas sebenarnya. (3) badan usaha koperasi tidak memiliki budaya perusahaan yang kondusif bagi aktualisasi diri di tengah realita perekonomian yang sedang berkembang. (2). Kebijakan Pembangunan Ekonomi Masalah kebijakan pembangunan ekonomi sangat penting untuk segera diselesaikan karena secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tingkat keberhasilan pemberdayaan koperasi dan UMKM. Beberapa masalah menonjol yang merupakan turunan dari masalah ini adalah: (a) banyak kebijakan yang menyebabkan penguasaan sumberdaya potensial oleh Koperasi dan UMKM sedikit, (b) fenomena dualisme ekonomi yang mengesampingkan peran Koperasi dan kelompok Usaha Mikro dan Kecil, (c) arah kebijakan ekonomi belum mengindikasikan pentingnya peran Koperasi dan UMKM, (d) kebijakan dibidang ekspor, impor dan distribusi barang mengarah pada monopoli, (e) kebijakan fiskal yang cenderung mengikuti keinginan ekonomi pasar (globalisasi perekonomian) mempersulit porsi Koperasi dan UMKM. (3). Kebijakan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM Kelompok masalah ini menempati urutan ke tiga dalam kelompok masalah penting yang perlu diprioritaskan penyelesaiannya. Beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian dalam kelompok masalah ini adalah: (a) program-program pemberdayaan Koperasi dan UMKM sering dirancang hanya berdasarkan isyu dan sinyalemen, tetapi bukan didasarkan pada akar masalahnya, (b) sebagian besar program dirancang dalam lingkup makro, tetapi dilaksanakan dalam lingkup lokal, (c) penentuan skala prioritas pelaksanaan program belum didasarkan pada metoda yang valid, (d) desain program belum memberikan gambaran yang jelas apa untuk pertumbuhan atau pemerataan, (e) program pemberdayaan Koperasi dan UMKM belum disesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan, (f) sosialisasi program belum optimal karena sering lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah pusat. 35

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 (4). Koordinasi Pemberdayaan Koperasidan UMKM Kelompok masalah ini termasuk dalam kelompok sangat penting untuk segera diselesaikan karena berhubungan langsung dengan optimalitas pemanfaatan sumberdaya pembangunan. Adapun masalah-masalah yang termasuk dalam kelompok ini adalah: (a) pola pembangunan sektoral tidak selalu maching dengan kepentingan pemberdayaan Koperasi dan UMKM, (b) pelaksanaan program sektoral diorientasikan pada tujuan pembangunan sektoral dan kurang memperhatikan kepentingan pemberdayaan Koperasi dan UMKM, (c) kebijakan sektoral sangat kentara berorientasi ego sektoral, sehingga tolok ukur keberhasilan tidak sesuai dengan kepentingan Koperasi dan UMKM, (d) koordinasi pemberdayaan KUMKM sulit dibangun, karena hubungan interaksi antar komponen sistem koordinasi tidak terdefinisi dengan baik, (e) rendahnya koordinasi pelaksanaan program antar sektor menyebabkan terjadinya tumpang tindih program, (f) sumber dan mekanisme penyaluran bantuan program sangat beragam, (g) antara stakeholder tidak ada kesamaan persepsi dalam menafsirkan arti dan fungsi koperasi. 2). Kelompok Prioritas Penting (1). Kelembagaan Koperasi Masalah kelembagaan koperasi termasuk dalam kategori penting untuk segera diselesaikan. Adapun masalah-masalah yang ada dalam kelompok ini adalah: (a) gerakan koperasi di Indonesia sangat terfragmentasi sehingga tidak memiliki sinerji untuk bersaing dalam pasar, (b) koperasi cenderung berperilaku birokratis akibat adanya penugasan untuk melaksanakan program yang diproteksi pemerintah, (c) kualitas sumber daya manusia di lingkungan koperasi baik dari pemahaman perkoperasian maupun bisnis umumnya rendah, dan (d) sistem manajemen operasional usaha masih dijalankan secara manual. (2). Kewirausahaan Dikalangan UMKM Kelompok masalah ini termasuk dalam kategori penting untuk diselesaikan karena secara langsung menentukan kemampuan UMKM dalam berusaha dan mengembangkan usahanya. Adapun masalah-masalah yang ada dalam kelompok ini adalah: 36

KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM (Teuku Syarif) (a) UMKM tidak siap untuk menanggung resiko kegagalan usaha. sehingga sulit untuk dapat masuk dalam suatu kegiatan usaha yang berpotensi untuk dikembangkan, (b) rasa cepat puas akan apa yang telah diperoleh menyebabkan UMKM jarang berpikir untuk memperluas usahanya. Rendahnya pengetahuan UMKM dibidang produksi menyebabkan produk UMKM sulit untuk berkembang. (3). Usaha Koperasi Masalah usaha koperasi penting untuk diselesaikan karena secara langsung berhubungan dengan kinerja koperasi dalam perekonomian masyarakat yang menjadi peran utama koperasi dan daya tarik koperasi. Kelompok masalah ini terdiri dari: (a) manajemen belum berkembang, menyebabkan koperasi sulit mengoptimalkan pelayanan dan berhubungan dengan pihak lain, (b) koperasi belum dapat melihat peluang usaha potensial yang tersedia dari lingkungannya, (c) pemanfaatan SDM di lingkungan oleh koperasi belum optimal, (d) disorientasi kegiatan usaha dari untuk memenuhi kebutuhan anggota menjadi keperluan pengembangan bisnis, (e) koperasi sulit untuk menjalin kerjasama baik dengan kalangan Usaha Mikro dan kecil maupun usaha besar, (f) jaringan koperasi yang berjalan tersegmentasi belum mencapai skala usaha optimal dan rapuh kelangsungannya, dan (g) lapangan usaha koperasi banyak yang tidak berbasis kepentingan anggota. (4). Kondisi/Karakter UMKM Kelompok masalah ini termasuk dalam kategori penting untuk segera diselesaikan secara langsung menggambarkan potensi, kondisi dan eksistensi UMKM dalam perekonomian. Adapun beberapa masalah yang termasuk dalam kelompok masalah ini dan merupakan masalah pokok yang menyebabkan timbulnya masalah lain adalah: (a) unit-unit usaha baru lebih banyak tumbuh karena desakan kebutuhan lapangan kerja, (b) produk-produk UMKM tidak berdaya saing karena berada pada sektor yang cepat jenuh dan berkualitas rendah, dan (c) nilai tambah dari usaha UMKM rendah karena produknya berupa bahan mentah dan bahan setengah jadi. 37

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 (5) Kondisi Usaha UMKM Kelompok masalah ini termasuk dalam kategori masalah yang penting untuk segera diselesaikan karena secara langsung akan mempengaruhi eksistensi UMKM dalam perekonomian. Beberapa masalah yang menonjol dari kelompok ini adalah: (a) kondisi usaha UMKM lemah dan jaringan pasar UMKM sangat terbatas dan dikuasai oleh sekelompok pengusaha lain yang membangun kartel, (b) UMKM menghadapi kesulitan dalam mengakses bahan baku, (c) kualitas produk KUMKM relatif rendah karena memakai bahan baku berkualitas rendah dan bahan-bahan berbahaya, (d) pendapatan UMKM relatif rendah karena skala usahanya yang kecil serta pasar bahan baku dan produknya dikuasai pedagang besar, (e) karena pendapatan yang sedikit, maka UMKM khususnya pengusaha mikro termasuk dalam kelompok miskin yang tidak memiliki kelebihan uang untuk ditabung, dan (f) sebagian besar pengusaha mikro merupakan kelompok marginal dengan pola hidup gali lubang tutup lubang (Survival strategic). 3). Masalah Kurang Penting (1) Produksi dan Teknologi UMKM Kelompok masalah dengan rata-rata nilai skor skala prioritas sebesar 1,86 ini termasuk dalam kategori masalah yang kurang penting tetapi dalam jangka menengah dan jangka panjang perlu diselesaikan. Adapun masalah-masalah yang termasuk dalam kelompok ini adalah: (a) teknologi produksi yang digunakan oleh UMKM sangat rendah sehingga kualitas dan produktifitas UMKM rendah, (b) berbagai sebab mengakibatkan KUMKM sulit untuk melakukan inovasi teknologi, (c) UMKM belum mampu mengaplikasikan berbagai tekonologi tepat guna dari luar negeri, (d) hasil inovasi teknologi dari kalangan UMKM belum mendapat perlindungan, (e) banyak temuan teknologi dan peralatan dari lembaga-lembaga penelitian yang belum dapat dimanfaatkan oleh Koperasi dan UMKM, dan (f) sertifikasi inovasi teknologi hanya dilakukan terhadap peralatan produksi. 38

KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM (Teuku Syarif) (2). Kebijakan Otonomi Daerah Otonomi Daerah masuk dalam kelompok tersendiri karena dari kebijakan ini timbul berbagai masalah tidak saja masalah yang dapat diselesaikan oleh Pemerintah Daerah tetapi juga masalah-masalah yang penyelesaiannya menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat. Kelompok masalah ini cukup penting dan memiliki nilai rata-rata skala prioritas mencapai 1,98 atau hampir termasuk dalam masalah penting yang harus segera diselesaikan. Adapun masalah-masalah yang termasuk dalam kelompok ini adalah: (a) Otonomi Daerah berimplikasipada keragaman bentuk instansi yang membidangi Koperasi dan UMKM, (b) Pemerintah Daerah belum memiliki konsepsi yang jelas tentang arah kebijakan, pendekatan dan pola operasional pemberdayaan Koperasi dan UMKM, (c) sistem organisasi pemerintahan belum memberikan gambaran yang jelas komitmen Pemerintah Daerah untuk mendukung program pemberdayaan Koperasi dan UMKM, (d) keterlibatan Pemerintah Daerah dalam beberapa kegiatan program masih sangat terbatas, (e) program bimbingan dan penyuluhan perkoperasian di daerah belum dapat dilaksanakan dengan baik, (f) untuk memperbesar PDB dan PAD Pemerintah Daerah lebih mengutamakan pengelolaan sumberdaya dilakukan oleh menengah dan usaha besar, dan (g) kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana ekonomi menyebabkan Koperasi dan UMKM tidak terdorong untuk mengembangkan usaha atau membuka usaha baru. (3). Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM Kelompok masalah ini memiliki rata-rata nilai skala prioritas yang juga cukup tinggi yaitu mencapai 1,89 atau mendekati kriteria masalah penting yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Adapun masalah-masalah yang termasuk dalam kelompok ini adalah: (a) sejak era reformasi tidak ada paradigma pemberdayaan KUMKM yang disepakati oleh semua instasi dan kalangan, (b) pemberdayaan Koperasi dan UMKM dipersepsikan tidak kontributif terhadap pencapaian target makro ekonomi, (c) pemberdayaan Koperasi dan UMKM cenderung semakin dijauhkan dari pendekatan ekonomi dan semakin dilekatkan pada pendekatan pengaman sosial, (d) perumusan visi dan sasaran pembangunan sektoral tidak dikaitkan dengan program pemberdayaan Koperasi dan UMKM, 39

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 (e) ada kesan secara sistemik koperasi dikurangi peranannya dalam sistem perekonomian nasional, (f) koperasi tidak lagi dipandang sebagai opsi untuk memenuhi motif ekonomi masyarakat, dan (g) koperasi hanya dijadikan sebagai alat dalam mendukung kegiatan-kegiatan pembangunan sektoral atau peran koperasi hanya sebatas institusi pendukung kegiatan program. X. KESIMPULAN Akar permasalahan yang dihadapi oleh Koperasi dan UMKM bersumber dari kebijakan ekonomi makro yang mensubordinasi kondisi internal Koperasi dan UMKM. Adanya kebijakan perekonomian nasional yang masih belum mampu mensinerjikan keinginan potensi untuk memberdayakan UMKM dan koperasi yang diindikasikan dari masih adanya masalah-masalah: (1) banyak kebijakan yang menyebabkan penguasaan sumberdaya potensial oleh koperasi dan UMKM sedikit, (2) fenomena dualisme ekonomi yang mengesampingkan peran koperasi dan kelompok usaha mikro dan kecil, (3) arah kebijakan ekonomi belum mengindikasikan pentingnya peran Koperasi dan UMKM, (4) kebijakan dibidang ekspor, impor dan distribusi barang mengarah pada monopoli, dan (5) kebijakan fiskal yang cenderung mengikuti keinginan ekonomi pasar (globalisasi perekonomian), mempersulit posisi Koperasi dan UMKM. Kondisi internal UMKM yang ditandai oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia dan penguasaan sumber daya produktif yang sangat rendah serta kebijakan pemerintah yang belum mendukung upaya pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Orientasi pembangunan yang dipengaruhi oleh pemikiranpemikiran neoklasik dan era globalisasi menyebabkan ketidakmampuan penyusunan menyebabkan adanya berbagai kebijakan yang dikeluarkan ekonomi yang secara tidak berpihak pada upaya memberdayakan Koperasi dan UMKM. Iklim usaha yang terbentuk karena orientasi pembangunan yang tidak berpihak kepada Koperasi dan UMKM serta keterbatasan SDM UMKM menyebabkan UMKM sulit mengakses sumber-sumberdaya produktif, teknologi dan pasar. Ada kecenderungan kebijakan dan program-program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM selama satu dasawarsa terakhir tidak tepat kegunaannya, tidak tepat sasaran dan bahkan banyak menimbulkan permasalahan baru di lapangan. Hal tersebut dikarenakan 40

KAJIAN SKALA PRIORITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM (Teuku Syarif) iklim usaha yang terbentuk dalam sistem ekonomi neoliberal mengharuskan UMKM bersaing dengan kelompok usaha besar yang lebih kuat. Pembinaan UMKM lebih diarahkan pada pengembangan teknologi produksi dalam rangka meningkatkan daya saing dan kurang memperhatikan kepentingan pengembangan institusi. Koperasi sebagai kelembagaan yang diharapkan dapat mendukung proses pemberdayaan UMKM peranannya semakin dikurangi sedangkan disisi yang lain ada skeptisme dari masyarakat terhadap kemampuan koperasi untuk berperan aktif dalam mendukung pembangunan. Otonomi Daerah berimplikasi langsung terhadap kondisi pembinaan koperasi di lapangan yang diindikasikan dari keragaman jenis instansi-instansi yang membidangi Koperasi dan UMKM, eselonering jabatan instansi yang bersangkutan serta kompetensi aparat di lingkungan instansi tersebut. XI. REKOMENDASI Reorientasi pembangunan kebijakan dasar pembangunan yang lebih diarahkan lagi pada kebijakan dan program-program yang berpihak pada upaya memberdayakan Koperasi dan UMKM, khusus untuk memperbaiki atau meningkatkan kondisi internal UMKM dan iklim usaha yang kondusif bagi Koperasi dan UMKM. Evaluasi kebijakan dan program-program pemberdayaan Koperasi dan UMKM untuk mengetahui permasalahan dan kendala yang menghambat keberhasilan program-program tersebut di lapang. Reorientasi kebijakan pembinaan agar ada keseimbangan antara pembinaan pada pengembangan teknologi produksi dalam rangka meningkatkan daya saing dengan tetap memperhatikan kepentingan pengembangan institusi. Memperkuat posisi koperasi sebagai kelembagaan pemberdayaan UMKM dengan meningkatkan intensitas pembinaan koperasi, sosialisasi peran dan kedudukan koperasi dalam pembangunan nasional serta menghilangkan skeptisme dari masyarakat terhadap kemampuan koperasi. Melaksanakan program sosialisasi kepentingan koperasi dalam mendukung pembangunan daerah dan koordinasi program-program pembangunan koperasi dengan Pemerintah Daerah. 41

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 24-42 DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Ditjen Bina Lembaga Koperasi, Jakarta. Anonimous. 2008 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Usaha Kecil dan Usaha Menengah. Kementerian Negara Koperasi UKM Jakarta. Anonimous. 2009. Daftar Inventarisasi Masalah Koperasi dan UMKM. Kementerian Koperasi dan UKM Jakarta. Just.R.E, Hueth.D.L, and Schmit. A. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice-Hall, Inc., USA. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Ekonomi Rakyat untuk Membangun Kesejahteraan yang Berkeadilan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometic Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London. Kuznes. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice-Hall, Inc., USA. Lutfi Nasution. 1996. Analisis Akar Permasalahan Pembangunan Ekonomi untuk Membangun Kesejahteraan. Manggara Tambunan. 2004. Melangkah Ke Depan Bersama UKM. Makalah pada Debat Ekonomi ESEI 2004, Jakarta Convention Centre 15-16 September 2004. Maulana Ibrahim. 2004. Mendorong Peran UMKM Dalam Perekonomian Indonesia di Masa Depan. Makalah pada Debat Ekonomi ESEI 2004, Jakarta Convention Centre 15-16 September 2004. Syarif Teuku. 2008. Kajian Bargaining UMKM dalam Pasar dan Permasalahan dalam Produksi dan Pemasaran Produk UMKM. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Departemen Koperasi dan UKM. Suarja Wayan. 2009. Pedoman Pemahaman Daftar Inventarisasi Masalah Koperasi dan UMKM. Kementerian Koperasi dan UKM Jakarta. Stevenson. 1998. Building The Policy of ICT Development, National Information & Communications Initiative Committee & Science and Technology Advisory Group (STAG), Taiwan, January 2005. Vence.A.F. 1999. Problem Solving Welfare and Ecinomics Growt. Michigan State University Publisher. 42

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN KEMISKINAN PROVINSI* Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat** Abstrak Penanggulangan kemiskinan adalah target utama pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini sejalan dengan program global dalam MDGs. Semua badan pemerintah Republik Indonesia akan mengarahkan sumber daya untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menyatakan cerita sukses untuk mengatasi kemiskinan dengan menurunkan jumlah dan tingkat penduduk miskin di Indonesia, meskipun jumlah dan tingkat kemiskinan masih tinggi di Indonesia. Kementerian Koperasi dan UKM sebagai salah satu instansi pemerintah untuk pengentasan kemiskinan dalam responsdvel panjang Cluster-3, mengacu pada Kementerian Koordinator untuk cluster Kesejahteraan Rakyat. Sementara itu, pengembangan koperasi telah menunjukkan hasil dimana jumlah anggota koperasi adalah satu juta orang dan sisi lain jumlah orang miskin masih tinggi. Hal ini menarik untuk mengetahui hubungan antara pembentukan koperasi dan pengurangan kemiskinan. Dengan teori probabilitas dan ruang lingkup provinsi, yang mengungkapkan bahwa hubungan koperasi dan kemiskinan. Kata kunci: tingkat kemiskinan, tingkat anggota koperasi, relasi, probabilitas Abstract Poverty alleviation is a prime target of Indonesia development of economic. It is in line with global program in term of MDGs. All the government bodies of Republic of Indonesia shall direct resource fo r tackling poverty in Indonesia. The government of RoI had declared the successful story for handling poverty with lowering number and rate of people poor in Indonesia, although, number and rate of poverty is still high in Indonesia. The ministry of Cooperative & SME as a one agency of government responsibles for poverty alleviation in term of Cluster-3, refering to Ministry Coordination of People Welfare cluster. Meanwhile, cooperative development had showed outcome where number of cooperative member is a million * Artikel diterima 20 Juli 2011, peer review 25 Juli 2011, review akhir 15 September 2011. ** Johnny W. Situmorang adalah peneliti pada Kementerian KUKM, Jakarta dan Dosen ABFII Perbanas. HP. 0811163154; jwsringo@yahoo.com; Saudin Sijabat adalah peneliti Kementerian KUKM, Jakarta 43

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 people and the other side the number of people poor is still high. It is interested to know the relationship between establishment cooperative and poverty alleviation. With probability theory and province scope, it s revealed that the relationship cooperative and poverty alleviation is not so high. Key words: level of poverty, members of the cooperative, relation, probability I. PENDAHULUAN Peningkatan kesejahteraan adalah esensi dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang secara jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Tindaklanjutnya adalah bagaimana penanggulangan kemiskinan. Itu sebabnya, pemerintahan Indonesia yang sah menetapkan tingkat kemiskinan menjadi indikator keberhasilan pemerintahan dan pembangunan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan program pro-wealth sebagai salah satu pilar pemerintahannya dalam masa Kabinet Indonesia Bersatu kedua, tahun 2009-2014 dimana ditargetkan penurunan tingkat kemiskinan secara signifikan selama periode tersebut. Semua sumberdaya diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan Indonesia. Sampai tahun 2010, pemerintah telah menyatakan adanya penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia secara nyata dan menanggap program pemerintahan SBY telah berhasil. Namun, secara kuantitas, jumlah orang miskin di Indonesia masih tinggi, mencapai lebih 30 juta orang (BPS, 2011). Sejalan dengan itu, pembangunan koperasi sebagai salah satu bagian integral dari pembangunan nasional juga diarahkan pada upaya penanggulangan kemiskinan. Secara konstitusi, undang-undang (UU) tentang perkoperasian memuat fungsi koperasi terutama adalah peningkatan kesejahteraan rakyat melalui anggota koperasi. Selama ini, keberadaan koperasi secara faktual telah diakui dan selalu menjadi bahan pidato dan penonjolan pelaksanaan program pemerintahan nasional dan lokal. Bahkan untuk mewujudkan koperasi sebagai pilar perekonomian rakyat dibentuk Dewan Koperasi sebagai perintah UU perkoperasian. Sampai tahun 2009, jumlah koperasi telah mencapai lebih dari 170 ribu unit dengan anggota koperasi lebih dari 29 juta orang. Manakala koperasi dinyatakan sebagai solusi penanggulangan kemiskinan dengan jumlah anggota koperasi yang banyak, sementara jumlah orang miskin Indonesia masih banyak, pertanyaan muncul, sejauhmanakah keberadaan koperasi menanggulangi kemiskinan. Apakah anggota koperasi menjadi bagian dari orang miskin? Atau, apakah anggota koperasi di luar dari orang miskin itu? Pertanyaan tersebut setidaknya menginspirasi keingintahuan bagaimanakah relasi koperasi 44

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) dengan penanggulangan kemiskinan. Tulisan ini menguraikan relasi tersebut dengan analisis pendekatannya pada probabilitas hubungan tingkat anggota koperasi dan tingkat kemiskinan dalam skala propinsi. II. GAMBARAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN INDONESIA Sesungguhnya, berbagai program penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah diluncurkan oleh Pemerintah RI baik semasa Orde Baru maupun Reformasi. Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia pada pemerintahan Presiden SBY tercantum dalam RPJM 2004-2009 dan 2009-2014 juga sejalan dengan Milennium Development Goals (MDGs) yang telah disepakati secara multilateral. Pada Tabel 1 terlihat berdasarkan UU 25 tahun 2004, RPJM berisi rencana strategis untuk mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan dengan pencapaian tingkat pengangguran 5-6% dan tingkat kemiskinan 8-10% pada tahun 2014. MDGs dalam pertemuan puncak PBB mengeluarkan resolusi anti-kemiskinan dan perhatian terhadap perempuan dan anak menghadapi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit. Pemberantasan kemiskinan di Indonesia sejalan dengan MDGs adalah penurunan penduduk miskin dan penderita kelaparan sampai 50%. Sementara, keberadaan koperasi berdasarkan UU 25 tahun 1992 berfungsi membangun masyarakat agar mampu meningkatkan kesejahteraan. Artinya, keberadaan koperasi adalah untuk menanggulangi kemiskinan rakyat. Menurut David T. Ellwood 1 (2010) bahwa terdapat empat syarat untuk menciptakan lapangan kerja dan menghapus kemiskinan, yakni ekonomi yang kuat, keunggulan komparatif jangka panjang, kelembagaan dan pemerintahan yang kuat, dan program bagi kaum miskin yang dirancang secara seksama. Tabel 1. Visi Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan RPJM, MDGs, dan Perkoperasian Sumber: Bappenas (2009), Website UN (2011) 1 David T. Ellwood adalah Profesor & Dekan Harvard Kennedy School dalam Presidential Lecture di Istana Negara, Rabu 15 September 2010. 45

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 Program penanggulangan kemiskinan pada era kedua pemerintahan Presiden SBY semakin dipercepat pencapaian targetnya untuk mengurangi jumlah orang miskin. Presiden SBY selalu menekankan pentingnya penanggulangan kemiskinan dalam era 2009-2011. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) ditetapkan sebagai penanggungjawab pelaksanaan program pemberantasan kemiskinan. Terdapat tiga jalur strategi pembangunan Presiden SBY, yakni pro-growth, pro-job, dan propoor. Strategi ini adalah untuk menurunkan tingkat penduduk di bawa garis kemiskinan, membuka kesempatan kerja, dan berusaha. Berbagai bentuk program yang dilaksanakan disesuaikan dengan klaster. Pada Klaster-1 melibatkan 7 kementerian dan lembaga dengan 8 program. Klaster-2 melibatkan 13 kementerian dan lembaga dengan 17 program. Klaster-3 melibatkan 16 kementerian dan lembaga dengan 25 program (Tabel 2). Pada Tabel 2 terlihat, hampir semua kementerian melaksanakan program pemberantasan kemiskinan. Dalam rangka koordinasi, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) sebagai koordinator implementasi semua program penanggulangan kemiskinan telah merumuskan rencana strateginya dengan sasaran utama adalah menurunkan jumlah penduduk miskin laki-laki dan perempuan 2. Menurut Kemenko Kesra (2008), bahwa koordinasi dan harmonisasi penanggulangan kemiskinan yang melibatkan berbagai lembaga membagi target kebijakan berdasarkan klaster. Klaster-1 merupakan kelompok rumahtangga kategori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin yang merupakan kelompok masyarakat termiskin dari yang miskin, tertinggal, dan tidak memiliki modal apapun. Pada tahun 2008, target rumah tangga sasaran (RTS) mencapai 18,5 juta dan pada tahun 2014 tentunya RTS akan berkurang. Mereka termasuk dalam kategori kemiskinan struktural yang terparah yang sangat membutuhkan perlindungan sosial. Klaster-2, kelompok masyarakat miskin yang berpotensi mandiri bila diberikan bantuan. Sedangkan Klaster-3 adalah kelompok masyarakat miskin tapi sudah bisa mandiri dan mengembangkan diri dalam bisnis dan penciptaan lapangan kerja. Jenis bantuan sosial yang ditujukan pada Klaster-1 antara lain adalah jaminan kesehatan dan pemberian beras murah bersubsidi. Bantuan yang diberikan untuk Klaster-2 adalah dalam bentuk pemberdayaan masyarakat yang termasuk dalam skema PNPMM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) atau Program Mandiri, seperti program pengembangan kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP pada tahun 2007, awal PNPMM. Sampai tahun 2011, berkembang menjadi beberapa program. 2 Kemenko Kesra membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan 46

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) Tabel 2 Kementerian/Lembaga dan Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut Klaster 47

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 Sumber: Kemenko Kesra, 2008. Program Mandiri memfasilitasi masyarakat agar terdorong bangkit bersama dalam hal merencanakan, melaksanakan hasil perencanaan, dan mengawasi hasil pelaksanaan dari rencana yang telah disusun oleh masyarakat. Proses dalam Program Mandiri merupakan proses pembelajaran masyarakat untuk hidup mandiri dalam hal nilai, kemitraan, demokratisasi, kesetaraan gender, dan ekonomi. Mulai tahun 2009, Program Mandiri mencakup seluruh kecamatan yang mendapatkan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk orang miskin dan wilayah tertinggal dalam rangka, pertama, pengembangan masyarakat, kedua BLM sebagai stimulan atau pelengkap keswadayaan masyarakat, ketiga adalah peningkatan kapasitas pemerintahan dan pelaku lokal, dan keempat, pengelolaan dan pengembangan program. Salah satu sumber pembiayaan PNPM pada tahun 2011 adalah Asian Development Fund dengan nilai US $50.00 juta untuk proyek infrastruktur perdesaan mencakup 1724,0 desa di propinsi-propinsi Jambi, Lampung, Riau, dan Sumatera Selatan. Pada Klaster-3, target grupnya adalah masyarakat yang termasuk kategori mandiri dan mampu mengembangkan diri sendiri. Kegiatan yang masuk dalam program ini adalah pemberdayaan dan pengembangan usaha. Dalam strata kemisikinan, kelompok miskin ini termasuk kategori miskin pada lapisan atas. Dengan perlakuan sedikit saja kelompok ini sudah mampu masuk kelompok tak miskin. Pada umumnya, kelompok ini mencakup masyarakat yang tergabung dalam koperasi serta usaha skala mikro, kecil, dan menengah, termasuk koperasi (KUMKM). Mengacu pada Klaster-3 ini, sasaran masyarakat miskin kemungkinannya adalah kelompok miskin pada lapisan atas atau di atas garis kemiskinan. Oleh karena itu, manakala Kementerian KUKM meluncurkan program pemberantasan kemiskinan, sasarannya adalah kelompok UMKM, khususnya pengusaha skala mikro yang jumlah entitasnya terbanyak dan lemah dalam segala hal. 48

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) Tanggungjawab pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan ditunjukkan oleh penyediaan anggaran pembangunan. Menurut Kemenko Kesra (2011), nilai alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan selalu meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2002, nilai anggaran sebesar Rp.16,5 triliun dengan jumlah orang miskin 38,4 juta orang dan menjadi Rp.94.0 triliun dengan jumlah orang miskin menjadi 31,02 juta pada tahun 2010. Selama tahun 2002 sampai 2010 secara kumulatif, total anggaran penanggulangan kemiskinan telah mencapai Rp.389,70 triliun atau rata-rata Rp.43,30 triliun per tahun. Selama periode tersebut, rasio anggaran penanggulangan kemiskinan dan jumlah orang miskin adalah sebesar Rp.1.21 juta per orang. Bila dibandingkan dengan nilai pendapatan (salary) rata-rata buruh di sektor manufaktur selama 2005-2009, rasio anggaran dan salary tersebut adalah 4.69 3. Artinya, nilai alokasi tersebut sebesar 4.69 kali salary buruh di sektor manufaktur. Kementerian KUKM termasuk lembaga pemerintah yang cakupan penanggulangan kemiskinan dalam Klaster-3. Posisi KUMKM di Indonesia sangat strategis dari jumlah pelaku dan penyerapan tenaga kerja. Menurut Kementerian KUKM (2010), pada tahun 2009, jumlah koperasi lebih dari 170 ribu unit dengan anggota lebih dari 29 juta orang atau rata-rata 245.12 per koperasi aktif. Penyerapan tenaga kerja koperasi sebesar 325.16 ribu orang atau rata-rata 2.73 orang per koperasi aktif. Sedangkan jumlah UMKM lebih dari 52 juta unit yang sebagian besarnya adalah skala usaha mikro sebanyak 98.9%, usaha kecil 1.01%, dan sisanya usaha skala menengah. Dengan penyerapan tenaga kerja UMKM mencapai 90 juta orang atau rata-rata 1.73 orang per unit usaha, UMKM adalah badan usaha utama pendukung lapangan kerja. Dengan demikian penanggulangan kemiskinan melalui jalur KUMKM sangat strategis. Itu sebabnya, pemerintah memberikan perhatian besar pada pengembangan KUMKM. Pada tahun 2005, Presiden RI telah mencanangkan Tahun Keuangan Mikro dengan meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat melalui sektor perbankan. Pada peringatan Hari Koperasi ke-63, 15 Juli 2010 di Surabaya, Presiden SBY telah memerintahkan agar pejabat pemerintah serius mengatasi masalah perkoperasian agar mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat (Sularso, 2010). Awal tahun 2011, dibangkitkan lagi oleh Presiden Gerakan Kewirausahaan Nasional. Bahkan pada setiap hari ulang tahun koperasi, selalu disertai dengan slogan bahwa koperasi itu solusi penanggulangan kemiskinan. Fungsi pemerintah dalam pembangunan 3 Menurut BPS, salary riil buruh sektor manufaktur selama 2005-2009 adalah rata-rata sebesar Rp258.03 ribu. 49

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 koperasi semestinya bersama Dewan Koperasi yang terbentuk karena perintah UU tentang perkoperasian 4. Tabel 3 Beberapa Program Penanggulangan Kemiskinan Kementerian KUKM pada Klaster-3 Kementerian KUKM sejak tahun 2003 telah mengembangkan program dalam rangka penanggulangan kemiskinan pada Klaster-3 ini. Bentuk kegiatan yang diluncurkan adalah Bantuan Langsung Sosial (BLS) untuk pembiayaan KUKM, Bantuan Pinjaman Dana Bergulir yang dilaksanakan oleh Badan Layanan Umum (BLU) dengan nama Lembaga Pembiayaan Dana Bergulir (LPDB), dan Bantuan Teknis Peningkatan Kapasitas Pengelola KUMKM. Skim BLS sepenuhnya bersumber dari Anggaran Belanja Pemerintah (APB Negara dan Daerah) yang tidak dikembalikan oleh penerima bantuan. Sedangkan pembiayaan melalui LPDB bersumber dari APBN/D dan hasil pengembalian perguliran dana sebelumnya. Sasaran BLS adalah UMKM dan Koperasi yang secara nyata belum mampu berkompetisi, sementara sasaran LPDB adalah UMKM yang tergabung dalam koperasi yang sudah mampu mengembangkan usaha tapi kategori non-bankable. Alokasi anggaran BLS telah mencapai triliunan rupiah sementara dana LPDB mencapai miliaran rupiah meskipun dana pembiayaan yang tersedia mencapai setidaknya satu triliunan rupiah. Secara teknis, pada tahun 2011, akses pembiayaan BLS semakin dipermudah oleh pemerintah dengan alasan bahwa koperasi sasaran adalah koperasi yang sangat membutuhkan dukungan dan perlindungan pemerintah. Demikian juga akses pembiayaan LPDB, namun untuk kasus pinjaman skala besar lebih menuntut administrasi dan jaminan keikutsertaan koperasi yang lebih jelas. Semua bantuan pembiayaan KUMKM disalurkan melalui lembaga koperasi sebagai badan hukum. 4 Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) menurut UU 25/1992 berfungsi sebagai wadah aspirasi gerakan koperasi. Tapi dalam realitanya, Dekopin belum berfungsi sepenuhnya. 50

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) Nilai realisasi bantuan dana bergulir selama tahun 2000-2007 di Kementerian KUKM mencapai Rp.1.4 miliar mencakup 12.273 koperasi. Khusus dana bergulir Program Agribisnis, nilai alokasi mencapai Rp.321.7 miliar yang melibatkan 448 koperasi. Program ini ingin membangkitkan koperasi sebagai lembaga keuangan mikro untuk pembiayaan UMKM. Salah satu bantuan dana bergulir yang menarik adalah Program Perkassa 5 yang diperuntukkan bagi pemberdayaan perempuan melalui koperasi. Nilai alokasi PERKASSA nasional sebesar Rp.24.7 miliar dan Koperasi Wanita (Kopwan) penerima sebanyak 247 unit. Dana bergulir Perkassa telah mampu membiayai sebanyak 6.175 orang anggota Kopwan sebagai pengusaha mikro (Anonim, 2009). Menurut Situmorang (2010a; 2010b), Program Perkassa mampu memberdayakan perempuan ibu rumah tangga sebagai pengusaha mikro. Dengan bantuan dana Rp100 juta per koperasi atau Rp.4.0 juta per anggota koperasi, Program Perkassa telah menggerakkan aktifitas ekonomi keluarga yang pada umumnya keluarga miskin di perdesaan dan memosisikan koperasi semakin kuat. Bantuan dana perbankan untuk penguatan usaha adalah melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sejak tahun 2007. Peluncuran Program KUR oleh Presiden SBY adalah sebagai tindak lanjut dari Tahun Keuangan Mikro. Skema KUR adalah kredit umum perbankan dengan pola penjaminan pemerintah sebesar 70-80% dari nilai pinjaman yang pelaksanaannya oleh PT. Askrindo dan PT. Jamkrindo dengan dukungan Lembaga Penjaminan. Sasaran program ini adalah KUMKM yang layak tapi tidak memiliki kolateral. Bank pelaksana adalah Bank BRI, Bank Mandiri, BNI, Bank BTN, Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri. Pada tahun 2008 penyaluran KUR sebesar Rp.6.88 triliun mencakup 672.284 debitur atau rata-rata Rp.10.23 juta per debitur. Pada tahun 2010, bank pelaksana bertambah menjadi 13 dengan ikutnya bank daerah. Nilai penyaluran KUR hanya Rp.17.23 triliun mencakup 1.44 juta debitur atau rata-rata Rp.11.98 juta per debitur dengan non-performance loan 6.2%. Pada tahun 2010, KUR diperluas untuk tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan nilai Rp.5-10 juta (Kemenko Ekonomi, 2011). Secara nasional, pelaksanaan KUR belum signifikan keberhasilannya karena nilai realisasi di bawah Rp.20 triliun. Dalam praktek, persyaratan administratif, seperti tuntutan atas legalitas usaha dan langkanya surat-surat ijin pengusaha KUMK sering menjadi penghambat akses KUR. Padahal, pada umumnya, skala usaha mikro hampir tidak memiliki legalitas bisnis dan perijinan. Skema BLS, LPDB, dan KUR sesungguhnya adalah untuk menanggulangi kemiskinan melalui pengembangan bisnis KUKM. Ketika 5 Program Perkassa adalah program perempuan dan keluarga sehat dan sejahtera 51

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 koperasi yang memperoleh dana perkuatan modal maka dana tersebut akan disalurkan kepada anggota koperasi. Anggota koperasi pada umumnya adalah kelompok masyarakat yang lemah usahanya dan mungkin tingkat kesejahteraannya rendah. Meskipun tingkat kesejahteraan rakyat tidak semata-mata ditentukan oleh penyaluran dana dan perkembangan usaha rakyat. Tetapi, manakala jumlah KUMKM yang sangat banyak dengan anggota koperasi yang mencapai lebih dari 29 juta orang, pada saat yang sama jumlah orang miskin juga masih sangat banyak, mencapai lebih dari 30 juta orang. Sangat menarik diungkapkan relasi pemberantasan kemiskinan dengan upaya penanggulangan kemiskinan pada Klaster-3. Dengan program penanggulangan kemiskinan oleh Kementerian KUKM, harapannya semua anggota koperasi bukan menjadi bagian dari kemiskinan. III. KOPERASI DAN KEMISKINAN INDONESIA Sebagaimana telah tertuang dalam pengantar dan permasalahan yang muncul dalam tulisan ini, relasi keberadaan koperasi sebagai lembaga yang diakui mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara agregat, perkembangan keanggotaan koperasi yang disimbolkan JAK (jumlah anggota koperasi) dan jumlah orang miskin (JOM) di Indonesia menarik untuk diungkapkan. Selama tahun 2000-2010, rata-rata per tahun jumlah orang miskin mencapai 36.23 juta orang. Pada periode yang sama, jumlah anggota koperasi mencapai 27.31 juta orang. Tiga pertanyaan mendasar atau hipotesis yang terbangun. Pertama, apakah anggota koperasi merupakan bagian dari orang miskin? Kedua, apakah anggota koperasi adalah miskin dan di luar jumlah orang miskin? Ketiga, apakah anggota koperasi adalah sudah menjadi kelompok bukan orang miskin? Pada Gambar 1 terlihat perkembangan kedua random variable tersebut dimana perkembangan orang miskin Indonesia cenderung turun dari tahun 2000 sampai 2010 sedangkan perkembangan anggota koperasi cenderung naik pada periode yang sama. Perkembangan ini seolah-olah telah menjawab pertanyaan relasi koperasi dengan penanggulangan kemiskinan. Bila itu jawabannya maka pembangunan koperasi telah sukses mengatasi kemiskinan rakyat Indonesia selama ini, sebagai jawaban pertanyaan pertama dan ketiga. Sebaliknya, bila hipotesis kedua diterima, suatu fenomena ironi pembangunan koperasi telah terjadi, bahwa keberadaan koperasi belum sepenuhnya mendukung penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Ini berarti jumlah orang miskin sesungguhnya jauh lebih besar dari angka statistik resmi pemerintah. Gambar 1 juga memperlihatkan fenomena unik perkembangan kedua random variable. Selama tahun 2000 2002, ketika jumlah anggota koperasi 52

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) turun pada tahun 2001, jumlah orang miskin turun. Pada tahun 2002, ketika jumlah anggota koperasi naik, jumlah orang miskin juga naik. Selama tahun 2002-2005, ketika anggota koperasi naik dan turun, jumlah orang miskin juga turun, sampai 35.1 juta orang. Pada tahun 2006, ketika anggota koperasi naik sedikit, jumlah orang miskin melonjak, bahkan mencapai puncaknya, sebanyak 39.30 juta orang, selama 2000-2010. Peristiwa yang menandainya adalah krisis ekonomi secara global. Pada waktu itu, daya kompetisi Indonesia berada pada peringkat 50 menurut Global Competitiveness Index. Selama tahun 2006-2010, jumlah orang miskin turun sampai 31.2 juta pada tahun 2010, sementara jumlah anggota koperasi naik sedikit, menjadi 29.12 juta orang pada tahun 2010. Kecenderungan perkembangannya adalah suatu saat perpotongan antara jumlah anggota koperasi dan jumlah orang miskin, artinya jumlah anggota koperasi sama dengan jumlah orang miskin di Indonesia. IV. METODE STUDI Relasi keberadaan koperasi dan penanggulangan kemiskinan dapat dianalisis dari berbagai model atau metode. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, relasi dalam hal ini diuraikan dengan metode probilitas berdasarkan tree analysis (analisis pohon). Metode ini sangat baik digunakan untuk menjelaskan relasi manakala cakupannya menilai kaitan situasional antara dua peristiwa secara bertahap yang mungkin mempunyai relasi satu dengan lainnya (Anderson et al, 2004; Keller, 2005). Model analisis dapat dilihat dari diagram The Venn pada Gambar 2 dengan menggunakan the Addition Law. Terlihat, ketika diketahui dua kejadian (events), A (keanggotaan koperasi) dan B (kemiskinan), kombinasi kejadian bisa terjadi, yakni union 53

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 of events (gabungan kejadian) A dan B dan intersection of events (irisan kejadian) antara A dan B. Dari Gambar 2, sangat baik menjelaskan pengetahuan probabilitas setidaknya satu dari dua kejadian, kejadian A atau B atau keduanya. Penggabungan kejadian, A atau B, dicatat sebagai A U B sedangkan irisan kejadian, A dan B dicatat sebagai A B. The Addition Law (Rule) dapat menghitung probabilitas kejadian A atau B dengan rumus P(A atau B) = P(A) + P(B) P(A dan B) (1) dimana P(A atau B) atau P(A U B) adalah probabilitas kejadian A atau B, atau keduanya. P(A) adalah probabilitas kejadian A dan P(B) adalah probabilitas kejadian B. Bila kejadian A dan B masing-masing terdiri dari tiga kategori, yakni tinggi, sedang, dan rendah, maka berbagai interaksi kejadian mungkin terjadi (Tabel 4). Tabel 4. Beberapa Interaksi Kejadian A dan B dengan Tiga Kategori Berdasarkan Tabel 4, joint, marginal, dan conditional probabilities dapat diketahui. Joint probability {P(AiBj), yakni probabilitas interseksi antar kejadian, adalah: P(AiBj) = P(Ai Bj) (2) 54

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) Sedangkan marginal probability, yakni probabilitas setiap kategorial kejadian A dan B karena lokasinya di luar tabel. Misalnya, probabilitas kejadian B1 {P(total B1)} dan A1 {P(total A1)} adalah: P(total B1) = AiB1 (3) P(total A1) = A1Bj (4) Hal itu berlaku juga bagi kategorial A2 dan A3 serta B2 dan B3. Untuk mengetahui conditional probability, yakni probabilitas kejadian A terkait dengan B, atau P(A B), dan kejadian B terkait dengan A, atau P(B A). Rumus conditional probability kejadian A terkait B adalah: Sedangkan rumus conditional probability kejadian B terkait A adalah: (5) Peubah yang digunakan dalam analisis ini adalah tingkat keanggotaan koperasi dan tingkat kemiskinan setiap propinsi (33 provinsi). Tingkat keanggotaan koperasi provinsi (regional membership cooperative size) merupakan ukuran relatif anggota koperasi provinsi secara nasional atau notasinya adalah Tingkat Anggota Koperasi Provinsi (TAKP). Sedangkan tingkat kemiskinan propinsi (regional poverty rate) adalah ukuran relatif kemiskinan provinsi secara nasional atau dinotasikan sebagai Tingkat Kemiskinan Provinsi (TKP). Asumsi dasarnya adalah adanya hubungan yang nyata antara keanggotaan koperasi dan kemiskinan yang hubungannya negatif. Artinya, masyarakat yang menjadi anggota koperasi adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Semakin tinggi tingkat keanggotaan koperasi semakin rendah tingkat kemiskinan. Pengkategorian setiap peubah didasarkan pada margin of error dengan selang kepercayaan 95%. Data yang yang digunakan adalah data penampang agregatif pada tahun 2009 pada Lampiran Tabel 1 dan hasil analisis statistikal pada Lampiran Tabel 2. Dengan terlebih dahulu menentukan tingkat anggota koperasi dan tingkat kemiskinan tahun 2009 sebagai tahun analisis dan setiap provinsi sebagai data penampang, kategori tingkat anggota koperasi dan tingkat kemiskinan tiap provinsi dapat (6) 55

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 ditentukan. Selanjutnya, dengan metode perhitungan probabilitas dan analisis pohon, maka probabilitas relasi koperasi dengan penanggulangan kemiskinan dapat terungkap. V. PROBABILITAS KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN: STUDI KASUS TAHUN 2009 Gambaran tingkat anggota koperasi setiap provinsi (TAKP) dan tingkat kemiskinan provinsi pada tahun 2009 tertera pada Gambar 3. Tingkat anggota koperasi provinsi (TAKP) adalah rasio jumlah anggota koperasi dengan jumlah penduduk. Semakin tinggi TAKP semakin baik, sebaliknya. Semakin rendah TAPK semakin baik, dan sebaliknya. Provinsi yang TAKP-nya tinggi semestinya akan menunjukkan tingkat kemiskinan provinsi yang rendah pula. Sedangkan provinsi yang TAPK-nya rendah akan menghasilkan tingkat kemiskinan yang tinggi. Terlihat pada Gambar 4, TAKP rata-rata Indonesia adalah 0.1145 atau jumlah anggota koperasi adalah 11.45% dari jumlah penduduk provinsi. Provinsi yang performa keanggotaan koperasinya baik, dengan TAKP di atas rata-rata, adalah sebanyak 12 provinsi. Secara berurutan dari tertinggi Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sumatera Barat karena TAKP-nya di atas rata-rata nasional, sebesar 0.1145. Selebihnya, propinsi di bawah nilai rata-rata, atau cenderung rendah. Kalau tertinggi adalah Kalimantan Timur dan terrendah adalah Papua. Ternyata juga, beberapa provinsi di P. Jawa kalah posisi dengan provinsi di luar P. Jawa. Padahal aksesibilitas P. Jawa jauh lebih baik daripada luar Jawa. Dari TAPK tersebut, provinsi-provinsi Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sumatera Barat adalah daerah yang semestinya tingkat kemiskinannya rendah. Sedangkan propinsi lainnya dengan TAKP yang rendah akan menghasilkan tingkat kemiskinan yang tinggi. Yang menarik dari Grafik 2 adalah posisi beberapa provinsi di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dimana performa TAKPnya yang rendah. Sementara Jawa Timur, meskipun TAKP-nya tinggi, masih di bawah beberapa provinsi di luar P. Jawa. Propinsi-propinsi tersebut selama ini dinyatakan sebagai propinsi yang termaju koperasinya akibat dukungan infrastruktur dan akses yang jauh lebih baik daripada propinsi di luar P. Jawa. Faktanya, dengan jumlah anggota koperasi yang terbanyak belum sepenuhnya menunjukkan perfoma kependudukannya. Hanya sebagian kecil saja dari jumlah penduduk yang banyak di propinsi tersebut yang menjadi anggota 56

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) koperasi. Dari sisi pembinaan, pemerintah (daerah) tersebut belum mampu memobilisasi penduduk menjadi anggota koperasi. Mobilisasi penduduk menjadi anggota adalah sangat perlu mengingat status koperasi sebagaimana UU 25/1992 adalah badan usaha yang merupakan kumpulan orang, bukan saham. Ini yang membedakannya dengan badan hukum perseroan terbatas (PT). Artinya, semakin banyak anggota semakin baik performa koperasi. Tingkat kemiskinan propinsi (TKP), sebagai ukuran kemiskinan daerah, adalah rasio jumlah orang miskin dan jumlah penduduk provinsi. Bagaimanakah dengan tingkat kemiskinan yang terjadi di setiap provinsi? Grafik 3 menunjukkan tingkat kemiskinan di tiap provinsi tersebut. Rata-rata TKP adalah 0.1419 atau jumlah orang miskin secara nasional adalah 14.19% dari jumlah penduduk pada tahun 2009. Bila TKP di bawah 0.1419 maka performa provinsi tersebut baik. Sebaliknya, bila TKP tinggi maka performa propinsi buruk. Sebagian besar provinsi performanya adalah baik ditinjau 57

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 dari TKP, yakni sebanyak 18 provinsi. Secara berurutan yang terbaik adalah DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Banten, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Barat, Maluku Utara, Riau, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat karena di bawah nilai rata-rata TPK sebesar 0.1419. DKI Jakarta misalnya, TKP-nya sebesar 0.0337 atau jumlah orang miskin di DKI Jakarata hanya 3.37% dari jumlah penduduk. Selebihnya, sebanyak 15 provinsi menunjukkan posisi tidak baik. Umumnya, provinsi di Indonesia bagian Timur adalah daerah yang tingkat kemiskinannya sangat tinggi. Misalnya, TKP Papua Barat sebesar 0.3375 atau sebanyak 33.75% penduduk Papua Barat adalah miskin. 58

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) Beberapa provinsi di P. Jawa juga kalah posisi dengan provinsi luar P. Jawa. Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah, TKP-nya masingmasing 0.1607, 0.1697, dan 0.1768. Posisi provinsi ini di bawah Sumatera Selatan. Penduduk miskin di daerah tersebut masih sangat banyak. Khusus Jawa Timur, fenomena menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Mengapa tingkat kemiskinan masih tinggi? Padahal Jawa Timur selalu dianggap sebagai daerah yang sangat maju dan acuan bagi daerah lainnya. Fakta ini sebenarnya menunjukkan rendahnya kapasitas Jawa Timur dalam pembangunan daerah. Fenomena ini sejalan dengan performa propinsi tersebut dalam hal menarik investasi dimana RIPI (Regional Investment Performance Index) Jawa timur dalam menarik investasi nasional dan asing adalah rendah (Situmorang 2009a dan 2009b). Artinya, ukuran ekonomi Jawa Timur yang besar tidak serta merta memiliki performa baik dalam menanggulangi kemiskinan dan atau menarik investasi di daerah tersebut. Posisi berdasarkan TAKP dan TKP tersebut dan penggunaan metode statistika estimasi interval dengan menggunakan margin of error, pada koefisien kepercayaan (coefficient of interval confidence) sebesar 95% yang terlihat pada Lampiran Tabel 2, TAKP dan TKP dapat diklasifikasikan dalam tiga kategorial, yakni rendah (R) dengan TAKP < 0.11 dan TKP < 0.13, kategori sedang (S) dengan TAKP antara 0.11-0.13 dan TKP 0.13 0.17, dan kategori tinggi (T) dengan TAKP>0.13 dan TKP>0.17. Metode pengklasifikasian tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan tingkat kepercayaan 95% atau kesalahan sebesar 5%. Hasil klasifikasi dan distribusi propinsi dapat menunjukkan relasi keanggotaan koperasi dan kemiskinan setiap provinsi, dan selanjutnya menunjukkan keterkaitan antar random variable tersebut (Tabel 5). Tabel 5. Matriks Distribusi Propinsi Berdasarkan TAKP dan TKP Ket: Distribusi dengan rata-rata 11.45%, margin of error 13.74%, dan α = 5% untuk TAKP dan rata-rata 14.19%, margin of error 17.67%, dan α = 5% untuk TKP 59

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 Pada Tabel 5 terlihat distribusi provinsi berdasarkan kedua variabel acak tersebut yang tingkat keragamannya tinggi. Sebagian besar provinsi pada tahun 2009 masuk kategori rendah berdasarkan TAKP dan TKP. Beberapa provinsi di P. Jawa masuk dalam kategori rendah, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dilihat dari TAKP. Beberapa provinsi di P. Jawa, seperti DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah masuk kategori sedang dan tinggi dalam hal kemiskinan. Masuknya beberapa provinsi di P. Jawa pada kategorial kurang baik menjadi fenomena tersendiri mengingat aksesibilitas P. Jawa jauh lebih baik daripada luar P. Jawa. Jawa Tengah dan NTB masuk dalam kategori yang sama dari sisi kemiskinan, tingkat kemiskinannya tinggi. Posisi yang terbaik dengan TAKP tinggi dan TKP rendah hanya lima provinsi, yakni Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. Posisi ini sebenarnya menjadi harapan dengan upaya penanggulangan kemiskinan dengan kehadiran koperasi sebagai lembaga perjuangan rakyat mengatasi kemiskinan. Dari distribusi provinsi berdasarkan kategorial TAKP dan TKP pada Tabel 5, maka distribusi jumlah provinsi dapat ditampilkan pada Tabel 6. Sebanyak 19 provinsi masuk kategori rendah (R) dan hanya sebanyak 9 provinsi masuk kategori tinggi (T) menurut TAKP. Sisanya, sebanyak 5 provinsi masuk dalam kategori sedang (S). Sementara itu, berdasarkan TKP, terdapat sebanyak 16 provinsi masuk kategori rendah (R) tingkat kemiskinannya dan sebanyak 12 provinsi masuk kategori tinggi (T). Sisanya, sebanyak 5 provinsi masuk kategori sedang (S). Distribusi jumlah propinsi dengan TAKP rendah dan TKP rendah adalah yang terbanyak, sebesar 9 provinsi, menyusul TAKP rendah dan TKP tinggi sebanyak 8 provinsi. Sedangkan TAKP tinggi dan TKP rendah hanya sebanyak 5 provinsi. Distribusi ini telah menggambarkan relasi yang kurang sejalan dengan harapan dimana yang semestinya adalah frekuensi terbanyak adalah ketika TAKP tinggi dan TKP rendah. Kemudian dari Tabel 5, dapat dihitung joint probability dan marginal probability antara tingkat anggota koperasi dan tingkat kemiskinan 6. 6 Joint probability adalah probabilitas interaksi dua kejadian sedangkan marginal probability adalah total probabilitas satu kejadian atau jumlah joint probabilitas 60

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) Tabel 6. Matriks Distribusi Jumlah Propinsi Berdasarkan TAKP dan TKP, Tahun 2009 Pada Tabel 7 terlihat joint probability yang merupakan interaksi antar kejadian, ditunjukkan oleh angka pada baris dan kolom sebagai interaksi TAKP dan TKP. Misalnya, angka 0.2727, 0.0606, dan seterusnya sampai angka terakhir yang juga 0.0606 adalah joint probability antara TAKP dan TKP. Angka 0.2727 adalah joint probability antara kategori TAKP rendah dengan kategori TKP rendah, dan seterusnya. Jadi, interaksi TAKP yang rendah dengan TKP yang rendah sebesar 27.27%, TAKP rendah dengan TKP sedang sebesar 6.06%, dan TAKP rendah dengan TKP tinggi sebesar 24.24%. Joint probability tertinggi adalah antara TAKP rendah dan TKP rendah, sebesar 27.27%, dan yang terendah adalah TAKP sedang dan TKP sedang sebesar 3.03%. Sedangkan marginal probability adalah probabilitas sisa yang ditunjukkan oleh baris dan kolom total. Angka pada kolom Total sebesar 0.5758, 0.1515, dan 0.2727 adalah marginal probability yang merupakan probabiltas kejadian di luar interkasi antar kejadian yang tampak dari kategori TAKP yang rendah sebesar 57.58%, sedang sebesar 15.15%, dan tinggi sebesar 27.27%. Sedangkan angka pada baris Total sebesar 0.4848, 0.1515, dan 0.3636 adalah marginal probability dari kategori TKP yang rendah sebesar 48.48%, sedang sebesar 15.15%, dan tinggi sebesar 36.36%. Marginal probability tertinggi adalah pada kejadian TAKP rendah, sebesar 0.5758. Artinya, kemungkinan menemukan propinsi dengan tingkat anggota yang rendah adalah sebesar 57.58%. Marginal probability terendah pada kejadian TAKP adalah pada kategori sedang, sebesar 0.1515. Artinya, kemungkinan ditemukan propinsi yang TAKP-nya sedang adalah sebesar 15.15%. Marginal probability TKP tertinggi adalah pada kategori rendah, yakni 0.4848. Artinya, kemungkinan ditemukan provinsi yang TKP rendah adalah sebesar 48.48%, dan terendah adalah kategori sedang, sebesar 0.1515 dimana kemungkinan ditemukan provinsi dengan kategori tingkat kemiskinan sedang adalah sebesar 15.15%. 61

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 Tabel 7. Joint dan Marginal Probability Tingkat Anggota Koperasi Propinsi dan Tingkat Kemiskinan Propinsi, 2009 Pengoperasian probabilitas untuk mengatahui seberapa jauh peluang koperasi mendukung penanggulangan kemiskinan lebih jelas terlihat dengan metode tree analysis (Analisis Pohon). Gambar 3 menampilkan analisis pohon tersebut dimana dua langkah (step) yang terbangun untuk mengetahui relasi koperasi dan penanggulangan kemiskinan. Step-1 menunjukkan probabilitas kejadian TAKP sebagaimana Tabel 6, yakni kategori rendah 0.5758, sedang 0.1515, dan tinggi 0.2727. Pada step-2, probabilitas kejadian TKP, yakni kategorial rendah, sedang, dan tinggi terkait dengan kategori rendah TAKP (conditional probabaility TKP atas TAKP) adalah masing-masing 0.4737, 0.1053, dan 0.4211. Dengan kata lain, probabilitas kategori rendah, sedang, dan tinggi pada step-2 yang terkait dengan kejadian atau kategori rendah pada step-1 adalah masing-masing sebesar 47.37%, 10.53%, dan 42.11% 7. Probabilitas pada step-2 untuk kategori rendah, sedang, dan tinggi yang terkait pada kondisi kategori sedang pada step-1 masing-masing adalah sebesar 0.4000, 0.2000, dan 0.4000. Artinya probabilitas step-2 tersebut masingmasing 40%, 20%, dan 40%. Sedangkan untuk probabilitas rendah, sedang, dan tinggi pada step-2 yang terkait pada kondisi kategori tinggi pada step-1 adalah masing-masing 55.56%, 22.22%, dan 22.22%. Hasil atau outcome dari step-1 dan step-2 terlihat ketika propinsi dengan tingkat anggota koperasi yang tinggi terkait dengan tingkat kemiskinan yang rendah hanya muncul satu hasil yang 7 Probabilitas pada step-2 merupakan conditional probability dimana probabilitas step- 2 terkait pada kondisi step-1. Contoh, Bila R* adalah kejadian rendah pada step-2 dan R adalah kejadian rendah pada step-1 (R* rendah terkait R rendah) maka rumus conditional probability R* terkait R adalah P(R*/R) = P(R*П R)/P(R). Sementara probabilitas outcome (hasil) merupakan joint probabilitas seperti terdapat pada Tabel 6. 62

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) Gambar 3. Analisis Pohon Probabilitas Anggota Koperasi dan Kemiskinan Step 1: TAKP Step 2: TKP Hasil Probabilitas Rendah 0,4737 RR 0,2727 Sedang 0,1053 RS 0,0606 Sedang Rendah Tinggi 0,4211 0,5758 RT 0,2424 SR 0,0606 Rendah 0,4000 0,1515 Sedang 0,2000 SS 0,0303 Tinggi 0,4000 Tinggi ST 0,0606 0,2727 Rendah 0,5556 Sedang TR 0,1515 0,2222 TS 0,0606 Tinggi 0,2222 TT 0,0606 disimbolkan dengan TR adalah probabilitas sebesar 0.1515. Artinya, peluang provinsi dengan tingginya anggota koperasi dan juga tingkat kemiskinan rendah hanya sebesar 15.15%. Dari 33 provinsi di Indonesia, maka hanya sebanyak 5 provinsi kemungkinannya pada posisi yang baik dimana koperasi mendukung pengurangan jumlah orang miskin. Bila digabungkan dengan kategori tinggi pada step-1 dan kategori sedang pada step-2 dengan simbol TS maka probabilitasnya menjadi 21.21%. Artinya, dari 33 provinsi yang ada hanya sebanyak 7 provinsi kemungkinannya menunjukkan performa yang baik dalam penanggulangan kemiskinan dengan hadirnya koperasi di provinsi itu. Sisanya, adalah tidak baik. Anehnya, manakala tingkat anggota koperasi rendah dan tingkat kemiskinan rendah dengan simbol RR, probabilitasnya mencapai 27.27%, jauh lebih tinggi dari TR. Ini seolah-olah suatu kondisi paradoksial. 63

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 Berdasarkan relasi probabilitas tersebut, performa pembangunan koperasi terlihat dari 33 provinsi di Indonesia, dengan tingkat anggota koperasi yang rendah mendorong rendahnya kemiskinan adalah sebanyak 9 provinsi. Bila digabungkan dengan kategori rendah TAKP dan rendah pula TKP maka probabilitas mencapai 33.33%. Artinya, kemungkinan provinsi yang rendah tingkat anggota koperasi akan mendukung penanggulangan kemiskinan adalah mencapai 11 provinsi. Dengan mengambil sampel provinsi di P. Jawa dengan enam provinsi, maka kemungkinan relasi koperasi yang mampu mendukung penanggulangan kemiskinan adalah sebanyak satu provinsi. Di Pulau Sumatera, misalnya, kemungkinannya hanya sebanyak dua provinsi dari sepuluh provinsi. Sedangkan di bagian Timur, juga hanya sebanyak dua provinsi dari 12 provinsi. Fakta ini sejalan dengan pendapat beberapa penggiat perkoperasian dalam mengamati perkembangan koperasi di era reformasi. Dalam realitas global, menurut Rahardjo (2010), dari 300 koperasi terbesar di dunia versi ICA 8, tidak termasuk koperasi Indonesia. Bahkan, koperasi besar tersebut terdapat di negara-negara kapitalis-liberal yang tidak memiliki UU perkoperasian dan kementerian yang membidangi koperasi. Sementara itu, koperasi jarang bergerak di sektor produksi, pengolahan, pemasaran, dan distribusi (Sularso, 2010). Dari hasil analisis di atas dapat dinyatakan bahwa dukungan koperasi atas penanggulangan kemiskinan masih rendah. Padahal target grup pembangunan KUKM adalah kelompok usaha skala mikro yang dianggap sebagai kelompok usaha yang sangat tertinggal di antara kelompok usaha. Mereka pada umumnya adalah anggota koperasi dimana seluruh upaya pemerintah, khususnya bantuan pembiayaan dilakukan melalui koperasi. Upaya pemerintah yang meluncurkan berbagai program penanggulangan kemiskinan memang perlu tapi tidak cukup menjadikan koperasi sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan. Partisipasi lembaga lain, khususnya Dewan Koperasi yang terbentuk berdasarkan amanah UU perkoperasian, sangat dibutuhkan sebagai mitra pemerintah. Selama ini, peran Dewan Koperasi tidak terlalu mendukung keberadaan koperasi karena Dewan Koperasi belum berperan sebagai wadah menampung aspirasi gerakan koperasi. Menurut Situmorang (2009), Dewan Koperasi Indonesia menjadi semacam koperasi juga yang menyelenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan usaha sebagaimana layaknya koperasi. Fungsi pengawasan atas implementasi prinsip koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lainnya yang mestinya menjadi kewenangan Dewan Koperasi, tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, Dewan Koperasi harus 8 ICA adalah International Cooperative Alliance yang menjadi rujukan koperasi Indonesia dan Indonesia menjadi anggotanya. 64

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) mampu melakukan transformasi struktural perkoperasian menuju lembaga yang tangguh. Relasi yang rendah tersebut juga didukung oleh keberadaan koperasi yang ambivalen. Pada satu sisi koperasi dinyatakan sebagai lembaga meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semestinya menjadi wilayah pemerintahan. Pada sisi lain koperasi dinyatakan badan usaha yang berwatak sosial. Sebagai badan usaha yang berbadan hukum, koperasi adalah sebagai perusahaan sebagaimana layaknya dunia usaha, seperti perseroan terbatas. Ketika koperasi sebagai lembaga mengatasi kemiskinan maka koperasi selayaknya adalah instrumen pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Keberadaan koperasi merupakan rekayasa pemerintah dengan melibatkan masyarakat miskin, mengingat rakyat miskin sangat tidak mungkin mampu mengorganisasikan diri sendiri dalam organisasi formal. Manakala koperasi sebagai badan hukum maka keberadaaannya murni atas pembentukan anggota yang mempunyai kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bisnis. Koperasi seperti ini lepas dari persoalan kemiskinan karena anggotanya pasti adalah kelompok masyarakat bukan miskin. VI. PENUTUP Sejalan dengan kerangka pembangunan nasional, koperasi diharapkan mampu menjadi instrumen meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kaitan antara jumlah anggota koperasi dengan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia masih rendah. Dengan kata lain jumlah koperasi dan anggota koperasi yang banyak belum memiliki relasi yang kuat dalam hal penanggulangan kemiskinan. Kualitas anggota dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masih belum terungkap secara jelas. Hal itu terlihat, misalnya penyuluhan perkoperasian yang sebenarnya faktor penting menggalang keanggotaan koperasi, tidak berjalan dan tidak ada dalam struktur pemerintahan. Keberadaan Dekopin belum mampu menjadi wadah pembawa aspirasi anggota dan lembaga koperasi. Barangkali, jumlah koperasi dan anggota koperasi yang terus meningkat lebih pada pencatatan dalam rangka memenuhi elemen utama pembentukan koperasi. Oleh karena itu, perlu meninjau kembali apakah keberadaan koperasi dan anggota koperasi benar-benar mencerminkan upaya kerjasama untuk memenuhi kepentingan dan mengatasi masalah bersama dalam bisnis dan ekonomi. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pembedaan koperasi yang jelas apakah sebagai instrumen pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan atau badan usaha berbadan hukum yang sepadan dengan perseroan terbatas. Disamping itu, tampaknya, keterlibatan semua pemangku kepentingan, khususnya keberadaan Dekopin, perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan UU perkoperasian. 65

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1996. Operasionalisasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Prosiding Lokakarya, TNPP.. 2008. Memahami Kebijakan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan Perluasan Kesempatan Kerja. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia. Nopember.. 2009. Kajian Dampak Program Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera (Perkassa). Deputi Bidang Pengkajian Bidang Sumberdaya UMKM, Kementerian KUKM. Jakarta.. 2010. Kajian Pajak Terhadap Koperasi. Bahan Pengantar Diskusi, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM, Kementerian KUKM. Jakarta, 20 September.. 2011. Realisasi Penyaluran Kredit Usaha Rakyat 2010. Tinjauan Ekonomi Keuangan, Januari.. 2011. Anggaran Penanggulangan Kemiskinan Indonesia, 2002-2010. Website Kemenko Kesra, Maret 2011. Anderson, David R., Dennis J. Sweeney, Thomas A.Williams. 2004. Essentials of Modern Business Statistics with Microsoft Excel. 2 Edition. Thomson. Ellwood, David T, Prof. 2010. 4 Syarat Hapus Kemiskinan. Presidential Lecture. Harian Kompas, 23 September 2010. Keller, Gerald. 2005. Statistics for Management and Economics, 7 Edition. International Student Edition (ISE). Rahardjo, Prof M, Dawam. 2010. Ekonomi Politik Perkoperasian Indonesia. Prosiding Seminar Ekonomi Politik Perkoeprasian Indonesia. Ibnoe Soedjono Center dan GKBI. Jakarta, 8 dan 12 Juli. Retnadi, Djoko. 2008. People Based Small-Business Loan KUR: Prospects And Challenges. Economic Review number 212, June. Situmorang, Johnny W. 2009. Performa Regional Menarik PMDN, Tahun 2006-2008. Analisis Dengan Metode RIPI. CBES-Communication Paper, Jakarta.. 2009. Performa Regional Menarik PMA, Tahun 2006-2008. Analisis Dengan Metode RIPI. CBES-Communication Paper, Jakarta. 66

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat). 2009. Tinjauan Kelembagaan Koperasi Dalam Pembangunan Nasional. Makalah untuk Inventarisasi Masalah Tindaklanjut Rencana Strategis Pembangunan Koperasi. Kemenneg KUKM, Jakarta, Mei.. 2010. Analisis Tipologi dan Posisi Koperasi Penerima Program Perkassa. Studi Kasus Koperasi Wanita di Sumatera Selatan. Jurnal Pengkajian KUKM, volume 5. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM, Kemen KUKM, Jakarta Juli.. 2010. Analisis Tipologi dan Posisi Koperasi Penerima Program Perkassa. Studi Kasus Koperasi Wanita di Jawa Timur. Proceeding PPM The 4th PPM National Conference on Management Research. Sustainable Competitive Advantage in Challenging Market Environment. PPM School of Management, Jakarta, ISSN: 2086-0390. 25 Nopember. Sularso. 2010. Presiden Instruksikan Atasi Masalah Koperasi. Peringatan Hari Koperasi Ke-63 di Surabaya, 15 Juli. 67

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 43-69 Lampiran Tabel 1. Anggota Koperasi dan Orang Miskin Indonesia, Tahun 2009 68

KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI (Johnny W. Situmorang dan Saudin Sijabat) Sumber: BPS dan Kemen KUKM, 2011 JAKP = jumlah anggota koperasi propinsi (ribu orang) JOMP = jumlah orang miskin propinsi (ribu orang) JPIP = jumlah penduduk Indonesia propinsi (ribu orang) TAKP = tingkat anggota koperasi propinsi TKP = tingkat kemiskinan propinsi Lampiran Tabel 2. Nilai Proses Statistikal Anggota Koperasi dan Orang Miskin, 2009 69

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI* Achmad H. Gopar** Abstrak Koperasi sebagai badan usaha adalah sebuah lembaga yang dinamis yang perlu terus dikembangkan lembaganya dan diperbesar usahanya. Untuk memperbesar usahanya tersebut koperasi memerlukan modal, baik yang berasal dari internal koperasi maupun yang berasal dari eksternal koperasi. Ketika modal sendiri tidak mencukupi maka koperasi harus mencari modal dari luar koperasi. Salah satu bentuk modal dari luar tersebut adalah modal penyertaan. Setidaknya ada tiga bentuk kelembagaan sebagai konsekuensi pelaksanaan modal penyertaan, yaitu: modal penyertaan langsung pada kegiatan usaha koperasi, modal penyertaan pada unit usaha otonom koperasi, dan modal penyertaan pada perseroan milik koperasi. Modal penyertaan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dilakukan langsung pada kegiatan usaha koperasi untuk menambah modal kegiatan usaha koperasi. Modal penyertaan pada model ini tidak mempunyai hak suara (nonvoting stock), karena hanya anggota yang mempunyai hak suara. Untuk mengatasi permasalahan tersebut hal yang menjadi sumber wanprestasi dinegosiasikan sejak awal dan dituangkan dalam surat perjanjian modal penyertaan (SPMKOP), dengan tingkat pendapatan tetap berupa prosentase dari keuntungan sebesar 70% untuk koperasi dan 30% untuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Ketiga bentuk kelembagaan tersebut akan mengubah sistem operasional dan prosedur yang harus dijalankan oleh koperasi. Perubahan bentuk kelembagaan maupun sistem operasional tersebut pada tingkatan tertentu mungkin tidak bisa lagi hanya diatur dengan aturan internal dan perjanjian, tapi memerlukan pengaturan pemerintah atau perundangan, baik dalam bentuk revisi Peraturan Pemerintah (PP) atau bahkan perubahan Undang Undang. Kata kunci: modal penyertaan, hak suara, hak keuntungan, investasi, saham tanpa hak suara, deviden * Artikel diterima 20 Juli 2011, peer review 25 Juli 2011, review akhir 15 September 2011 ** Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK 70

STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI (Achmad H. Gopar) Abstract Cooperative as a business entity is a dynamic institution which should strengthen its business. In strengthening the business will need capital, capital owned as well as capital borrowed. When capital owned is shortened then cooperative will have to seek capital from outside, one of them is cooperative stock (modal penyertaan). As consequences of the cooperative stock used, there are three institutional formulas; cooperative stock directed to cooperative business, to autonomous business unit of cooperative, and to investor owned firms. South Kalimantan Government has invested its owned capital to cooperatives through the first formula. The investors do not have the right to vote because only the members have it. In order to minimize disputes, the parties have made a written agreement (SPMKOP), which set dividend share of 70% for cooperative and 30% for South Kalimantan Government. The three formulas would change the institutional and the operational system of cooperative. The changes on certain level might need some revision on the regulation. It is recommended to revise the Government Regulation on cooperative stock and the related regulations. Key words: cooperative stock, votting rights, profit rights, investment, non votting stock, devidend I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Koperasi sebagai badan usaha adalah sebuah lembaga yang dinamis, perlu untuk terus mengembangkan lembaganya dan memperbesar usahanya. Untuk memperbesar usahanya tersebut koperasi memerlukan modal, baik yang berasal dari internal koperasi maupun yang berasal dari eksternal koperasi. Ketika modal sendiri tidak mencukupi, koperasi harus mencari modal dari luar koperasi. Berbagai jenis modal ditawarkan oleh pemodal dari luar koperasi maupun dari lembaga intermediasi keuangan. Salah satu bentuk modal dari luar tersebut adalah modal penyertaan. Modal penyertaan adalah sejumlah uang atau barang modal yang dapat dinilai dengan uang yang ditanamkan oleh pemodal untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan koperasi dalam meningkatkan kegiatan usahanya (PP Nomor 33 Tahun 1998). Modal penyertaan pada koperasi merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan oleh koperasi untuk mengatasi permasalahan permodalannya yang terbatas. Untuk mengembangkan usahanya, koperasi seharusnya tidak 71

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 hanya bertumpu pada modal sendiri yang umumnya terbatas. Sebagaimana diketahui, modal sendiri koperasi umumnya hanya berasal dari simpanan anggota dan keuntungan usaha, biasanya sangat terbatas ketika digunakan untuk mengembangkan usaha secara cepat. Kegiatan usaha yang menguntungkan biasanya akan menarik. Namun hal tersebut tidaklah cukup bagi pemodal untuk menanamkan uang dan barang modalnya pada usaha tersebut. Beberapa hal menjadi sangat penting bagi pemodal untuk menjadi bahan pertimbangan sebelum menanamkan modalnya pada suatu usaha koperasi, misalnya kepastian usaha, transparansi pelaporan, pembagian keuntungan, dan sebagainya. Oleh karena itu koperasi harus selalu berinovasi untuk lebih menarik modal luar, terutama modal penyertaan. Inovasi tersebut dilakukan agar usaha koperasi menjadi lebih lebih menarik bagi pemodal dengan tanpa meninggalkan jati diri yang harus selalu dipegang teguh koperasi. Jangan sampai upaya pragmatis menyebabkan koperasi tidak lagi memegang teguh prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi koperasi dalam melaksanakan kegiatannya. 1.2. Identifikasi Masalah Modal penyertaan dapat berasal dari pemerintah, anggota masyarakat, badan usaha, dan badan-badan lainnya. Pemerintah dapat menjadi pelopor dalam melaksanakan modal penyertaan ini dengan menanamkan modalnya ke dalam kegiatan usaha koperasi. Selain itu pemerintah perlu mendorong dilakukannya berbagai inovasi untuk membuat modal penyertaan menjadi opsi yang lebih menarik lagi bagi pemodal untuk menanamkan modalnya pada koperasi. Dorongan inovasi itu dapat dilakukan melalui penelitian dan pengembangan, kaji tindak suatu inovasi, maupun penanaman modal secara langsung. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sejak tahun 2006 telah melaksanakan penyertaan modal kepada koperasi. Walaupun penyertaan modal Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan ini dianggap sukses, namun bukan berarti tidak ada permasalahan dan kendala. Untuk itu harus dilakukan pengkajian sudah sejauh mana modal penyertaan ini telah berkembang dan berperan dalam pengembangan koperasi. 1.3. Pembatasan Masalah Sasaran dari kajian ini mencakup sekelompok koperasi penerima dana modal penyertaan yang telah memanfaatkannya untuk pengembangan usaha koperasi. Mengingat keterbatasan sumberdaya untuk melaksanakan 72

STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI (Achmad H. Gopar) pengambilan data, maka kelompok sasaran dibatasi untuk 6 koperasi yang ditentukan secara sengaja (purposive), yaitu koperasi penerima modal penyertaan pertama kali pada tahun 2006. Keluaran dari kajian ini adalah data faktual mengenai pemanfaatan modal penyertaan oleh koperasi responden untuk mengembangkan koperasi. Data tersebut dianalisis sehingga menjadi informasi yang berguna bagi penyusunan kebijakan mengenai modal penyertaan dan referensi bagi koperasi yang akan mereplikasi pemanfaatan modal penyertaan untuk mengembangkan koperasinya. 1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup pada kajian ini dibatasi pada lingkup sebagai berikut: 1. Mengkaji kemanfaatan dan keuntungan dari pelaksanaan modal penyertaan. 2. Menghitung pembagian hasil antara koperasi dan investor modal penyertaan. 3. Mengukur dampak pemanfaatan modal penyertaan bagi koperasi. 1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dilakukannya Kajian Peranan Modal Penyertaan pada Pengembangan Koperasi ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan identifikasi permasalahan yang ada dalam rangka pemanfaatan modal penyertaan oleh koperasi. 2. Melakukan analisis peranan modal penyertaan terhadap pengembangan usaha koperasi. 3. Melakukan analisis terhadap model kelembagaan pada koperasi yang memanfaatkan modal penyertaan tersebut. Kegiatan ini pada dasarnya dapat memberikan manfaat ganda baik kepada koperasi maupun kepada pemerintah. Manfaat yang dapat diambil oleh koperasi adalah mengetahui lebih jauh lagi mengenai pemanfaatan modal penyertaan untuk mengembangkan usahanya. Bagi pemerintah, hasil analisis ini akan dapat memberikan masukan dalam perbaikan program pengembangan koperasi, khususnya dalam hal pemanfaatan modal penyertaan oleh koperasi, baik secara kelembagaan maupun sistem operasional dan prosedurnya. 73

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 II. KERANGKA PEMIKIRAN Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan dibuat untuk memacu pemanfaatan modal penyertaan untuk mempercepat pengembangan koperasi. Walaupun sudah satu dasawarsa berlalu, nyatanya penyertaan modal pada koperasi ini belumlah menggembirakan, bahkan dapat dikatakan stagnan, terutama modal penyertaan yang berasal dari anggota masyarakat, badan usaha, dan badan badan lainnya. Pemupukan modal penyertaan dilakukan berdasarkan perjanjian antara koperasi dengan pemodal (pasal 3 dan pasal 4, PP No. 33 Tahun 1998). Pasal 15 PP No. 33 Tahun 1998 tersebut menyatakan koperasi yang menyelenggarakan usaha yang dibiayai modal penyertaan wajib menyampaikan laporan berkala kepada Menteri (dalam hal ini Menteri Koperasi). Dari minimnya pelaporan mengenai penyertaan modal dalam koperasi ke Menteri Koperasi dan UKM sampai saat ini mengindikasikan masih kecilnya peranan modal penyertaan dalam pengembangan koperasi. Rendahnya pemanfaatan modal penyertaan dalam pengembangan koperasi ini diduga karena adanya berbagai permasalahan yang ada di koperasi yang menghambat masuknya modal ke koperasi.berbagai permasalahan tersebut dapat disebabkan oleh bentuk kelembagaan koperasi, usaha koperasi, manajemen koperasi, sumberdaya koperasi, dan berbagai masalah dan kendala lainnya, terutama yang berkaitan dengan peraturan internal maupun dari eksternal (pemerintah). Permasalahan tersebut tentunya harus diatasi terlebih dahulu agar pihak luar tertarik untuk menanamkan modalnya dalam koperasi. Bagi penanam modal, setelah berbagai permasalahan tersebut dapat dikurangi, tentunya mereka melihat apakah menanamkan modalnya di koperasi akan lebih prospektif dibandingkan jika mereka menanamkan modalnya di badan usaha non koperasi, karena orientasi utama penanam modal adalah keuntungan yang sebesar-besarnya untuk modal yang mereka tanamkan. Modal penyertaan pada koperasi pada kenyataannya hampir mirip jika dibandingkan dengan saham pada Perseroan Terbatas (PT) maupun perusahaan terbuka, namun memiliki keunikan sendiri karena lembaga koperasi memiliki prinsip one man one vote. Jika pada PT dan perusahaan terbuka besarnya suara ditentukan oleh besarnya modal yang disertakan di perusahaan (representasi modal/saham), maka pada koperasi suara merepresentasikan keanggotaan; setiap anggota mempunyai kekuatan suara yang sama, satu suara untuk setiap anggota. Inilah yang menjadi tantangan bagi koperasi untuk menarik modal penyertaan: bagaimana menarik modal penyertaan dari luar koperasi yang tidak merepresentasikan suara (nonvote), padahal modal tersebut menanggung risiko kerugian. Hal tersebut menjadi permasalahan 74

STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI (Achmad H. Gopar) mendasar bagi penanam modal untuk menyertakan modalnya dalam koperasi. Bagi penanam modal kendali bagi pemanfaatan modal yang mereka sertakan merupakan hal yang mutlak diperlukan. Oleh karena itu koperasi memerlukan banyak inovasi untuk menawarkan model penyertaan modal yang menarik bagi penanam modal agar menanamkan modalnya ke koperasi. Selain permasalahan internal, koperasi juga mempunyai permasalahan eksternal untuk menarik lebih banyak lagi modal penyertaan. Gerakan koperasi hingga saat ini belum mampu membangun sistem kelembagaan yang terintegrasi secara struktural. Koperasi masih bergerak secara sendirisendiri dalam unit-unit kecil yang umumnya belum mandiri. Kelebihan dan kekurangan di masing-masing unit belum terintermediasikan secara baik. Hal ini menyebabkan banyak sumberdaya di suatu unit yang menjadi mubazir, atau tidak bermanfaat secara maksimal, sedangkan di unit lainnya sebenarnya sumberdaya tersebut sangat dibutuhkan dan dapat dimanfaatkan secara optimal. Peraturan dan pengaturan mengenai penyertaan modal untuk mengembangkan koperasi masih belum memadai. Untuk lebih memacu lagi pemanfaatan modal penyertaan oleh koperasi berbagai pengaturan dan peraturan masih perlu dibuat, dan yang lebih penting lagi bagaimana peraturan tersebut disosialisasikan dan diinternalisasikan agar bisa digunakan oleh gerakan koperasi. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan Sendiri, walau sudah berusia satu dekade lebih, diduga masih belum tersosialisasikan dengan baik. Kajian ini mencoba mengidentifikasikan berbagai permasalahan tersebut, menganalisis dan menemukan kesimpulan yang diperlukan untuk merancang solusi dan saran perbaikan yang diperlukan dalam penyusunan kebijakan lebih lanjut. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metodologi kajian yang dilakukan sangatlah erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai oleh kegiatan ini dan ketersediaan data dan informasi yang didapat serta beberapa pertimbangan lainnya, seperti pemenuhan tujuan penelitian. Untuk mencapai tujuan kegiatan kajian ini dan berdasarkan kerangka acuan kegiatan yang telah ditetapkan, maka pelaksanaannya dilakukan berdasarkan metodologi penelitian studi kasus. 75

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 3.2. Lokasi Kegiatan dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Kegiatan Lokasi pengambilan data untuk analisis ini tentunya sangat tergantung dengan ketersediaan dana dan sumber daya yang ada serta ketersediaan data di lapangan. Provinsi Kalimantan Selatan dipilih sebagai lokasi penelitian karena pemerintah daerahnya telah melakukan penyertaan modal ke koperasi sejak tahun 2006, sehingga dirasakan sudah cukup waktunya untuk dilakukan analisis terhadap pelaksanaannya. 3.2.2. Waktu Penelitian Kajian dilaksanakan sesuai dengan tahapan penelitian yang biasa digunakan dalam suatu kegiatan penelitian. Tahapan kegiatan tersebut antara lain dimulai dari penyusunan dan pengajuan proposal, penyusunan dan pembahasan kerangka acuan, penyusunan dan pembahasan rancangan kajian, penyusunan dan pembahasan instrumen kajian, pengumpulan data. 3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian Pemilihan responden contoh didasarkan kepada berbagai pertimbangan pula. Pada kegiatan kajian ini koperasi contoh ditentukan secara sengaja (purposive) dari sejumlah populasi koperasi yang ada di propinsi terpilih. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kemampuan pelaksanaan, efisiensi; baik aspek transportasi maupun aspek biaya, serta representasi data yang dapat diambil dan kemungkinan fasilitasi yang tersedia di lapangan. Untuk kajian ini responden contoh adalah enam koperasi penerima modal penyertaan untuk koperasi dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006. 3.4. Teknik Analisis Data Analisis yang akan dilakukan sangatlah erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai oleh kegiatan ini dan ketersedian data dan informasi yang didapat serta beberapa pertimbangan lainnya, seperti pemenuhan tujuan penelitian. Pada kegiatan kajian ini akan digunakan metode analisis statistik deskriptif sederhana sebagaimana yang dikemukakan oleh Welch & Comer (1988). 76

STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI (Achmad H. Gopar) Untuk mengkaji perkembangan aspek keuangan dan aspek usaha dari pemanfaatan modal penyertaan oleh koperasi responden, akan dilakukan analisis rasio keuntungan dan biaya (benefit/cost ratio). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Modal penyertaan dapat berasal dari pemerintah, anggota masyarakat, badan usaha, dan badan badan lainnya. Pemupukan modal penyertaan dilakukan berdasarkan perjanjian antara koperasi dengan pemodal (pasal 3 dan pasal 4, PP No: 33 Tahun 1998). Pasal 15 PP No. 33 Tahun 1998 tersebut menyatakan: koperasi yang menyelenggarakan usaha yang dibiayai modal penyertaan wajib menyampaikan laporan berkala kepada Menteri (dalam hal ini Menteri Koperasi). Walaupun sudah lebih satu dasawarsa berlalu, nyatanya penyertaan modal pada koperasi ini belumlah menggembirakan, bahkan dapat dikatakan stagnan, terutama modal penyertaan yang berasal dari anggota masyarakat, badan usaha, dan badan badan lainnya. Modal bantuan dari pemerintah pada koperasi, khususnya dari pemerintah daerah, sebenarnya sudah banyak dilaksanakan oleh beberapa pemerintah daerah, namun tidak spesifik sebagai modal penyertaan. Untuk itu mungkin layak untuk dikaji apa yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan melaksanakan modal penyertaan kepada koperasi. Pada tahun 2006 pemerintah daerah menyertakan modalnya sebesar Rp. 1 milyar kepada 6 koperasi. Sesuai dengan PP, pelaksanaan modal penyertaan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian, Surat Perjanjian Modal Penyertaan Koperasi (SPMPKOP), yang dilakukan antara pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan keenam koperasi tersebut. Dalam SPMPKOP disebutkan modal penyertaan harus dikembalikan selama lima tahun dengan satu tahun masa tenggang (grace period), jadi sebesar 25% pertahun dimulai tahun kedua. Keuntungan usaha yang diperoleh, setelah dikurangi biaya yang berkaitan langsung dengan pengelolaan kegiatan usaha yang dibiayai oleh modal penyertaan, dibagi menjadi 30% untuk pemerintah daerah, sedangkan yang 70%nya untuk koperasi. Apabila menderita kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama secara proporsional antara koperasi dan pemerintah daerah. Proses penyertaan modal dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan kepada koperasi ini dapat diuraikan secara sederhana dengan alur proses sebagai berikut: 77

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 1. Adanya Program dari Pemerintah Provinsi untuk Modal Penyertaan Kepada Koperasi dan Badan Usaha lainnya untuk Tahun Anggaran. 2. Pembentukan Tim Fasilitasi Penyertaan Modal Pemprov untuk Tahun Anggaran. 3. Sosialisasi Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Kalimantan Selatan ke Dinas yang membidangi urusan Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota se Kalimantan Selatan. 4. Penyampaian proposal dari Koperasi ke Dinas masing-masing untuk rekomendasi dan layak untuk diprogramkan ke Pokja Fasilitasi penyertaan Modal Pemprov yang dibentuk oleh Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Kalimantan Selatan tentunya didukung oleh Dana APBD untuk kegiatan tersebut. 5. Dilakukan verifikasi oleh Tim Pokja ke Koperasi masing-masing Kab/Kota yang mengusulkan untuk mendapatkan program Modal Penyertaan. 6. Dilakukan penilaian sekaligus Scoring oleh tim atas usulan koperasi. Dimaksud untuk diproses lebih lanjut dengan nilai score yang disepakati oleh tim yang tentunya disesuaikan dengan dana yang tersedia oleh Pemerintah Daerah untuk program Tahun Anggaran yang disetujui oleh Dewan (DPRD Prov). 7. Adanya penetapan oleh tim atas koperasi-koperasi yang dicalonkan yang tentunya melalui seleksi tadi yang tentunya layak sesuai kebutuhan dan ketetapan tim. 8. Kemudian proses penetapan melalui Perda atas penyertaan modal Pemprov kepada koperasi yang sudah ditetapkan baik jumlah koperasinya maupun besaran berapa dana yang disertakan kepada masing-masing koperasi yang bersangkutan. 9. Jika Perda sudah ditetapkan, baru tim akan mengusulkan kembali kepada Gubernur Kepala Daerah agar koperasi calon penerima dibuat SK-nya oleh Gubernur. 10. Koperasi calon penerima dipanggil untuk memberitahukan keputusan Gubernur tersebut sekaligus untuk membahas Surat Perjanjian Bersama antara Gubernur dengan Pengurus Koperasi yang bersangkutan, yang didalam memuat sebagaimana perjanjian masing-masing koperasi. 78

STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI (Achmad H. Gopar) 11. Tim fasilitasi melalui Dinas yang membidangi urusan koperasi akan menyiapkan proses pencairan dana kepada rekening Bank masingmasing koperasi melalui Biro Keuangan Setda Provinsi Kalimantan Selatan. 12. Tugas dan kewajiban koperasi penerima modal penyertaan Pemprov tertuang dalam Surat Perjanjian Modal Penyertaan (SPMP) Koperasi. 13. Koperasi berkewajiban menyampaikan Laporan Perkembangan setiap bulan ke Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Kalimantan Selatan dan ditembuskan pula ke Dinas yang membidangi urusan Koperasi Kab/ Kota. 14. Dinas Koperasi merekap laporan dari Koperasi per 3 bulan (triwulan) untuk dievaluasi dan disampaikan ke Gubernur Kalimantan Selatan dan ditembuskan ke DPRD. Melihat prospek penyertaan modal dari Pemprov Kalsel tersebut cukup berhasil, program tersebut dilanjutkan pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Pada tahun 2008 Pememerintah Provinsi Kalimantan Selatan menggelontorkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp.4,750 milyar dan sebanyak Rp. 10 milyar untuk tahun 2009. Dana tersebut tentunya sudah atas persetujuan DPRD, karena dituangkan melalui Peraturan Daerah. Penyertaan modal Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Data Penyertaan Modal Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan Kepada Koperasi (30 Juni 2010) 79

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 Untuk keperluan penelitian ini, responden yang ditetapkan adalah koperasi penerima modal penyertaan program Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006. Ada 6 responden koperasi. Penetapan ini tentunya dengan berbagai pertimbangan sebagaimana telah diulas sebelumnya, juga karena koperasi yang menjadi responden telah menjalani program ini sekitar 3 tahun, sehingga dianggap cukup waktu untuk dievaluasi. Koperasi yang menjadi responden inilah yang didalami permasalahan modal penyertaannya. Laporan keragaan tentang koperasi responden penerima modal penyertaan ini seperti terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Pada Tabel 2 dapat dilihat penyebaran dana modal penyertaan dari Pemprov Kalsel untuk ke enam koperasi penerimanya, mulai dari Rp.100 juta hingga Rp. 400 juta. Dari koperasi, dana tersebut diteruskan atau dipinjamkan kembali kepada nasabah yang juga menjadi anggota koperasi. Pemberian pinjaman kepada anggota juga tidak sama besarnya, tentunya berdasarkan kelayakan masing-masing anggota calon penerima pinjaman. Oleh karena besaran pemberian pinjaman kepada anggota bervariasi antar anggota suatu koperasi maupun antar anggota di enam koperasi penerima. Tabel 2 Modal Penyertaan Pemprov Kalsel Kepada Koperasi Tahun 2006 80

STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI (Achmad H. Gopar) Evaluasi yang dilakukan terhadap laporan akhir tahun 2008 yang dilakukan oleh Gopar (2009), menunjukkan gambaran yang menggembirakan, sebagaimana dapat dikutip adalah sebagai berikut: 1) Tingkat perputaran dana sebesar 3,34 kali (pemberian pinjaman sebesar Rp. 3.343.574.000,00 atau 334 % dari modal awal sebesar Rp.1.000.000.000,00. 2) penerimaan angsuran pinjaman sebesar Rp.2.490.547.503,00 dengan jasa yang diterima sebesar Rp.514.672.378,00 atau 51,47% dari modal penyertaan awal sebesar Rp.1 milyar. 3) Tingkat pengembalian angsuran pinjaman anggota kepada koperasi cukup lancar, belum terdaftar ada tunggakan. 4) Kewajiban pengembalian pokok pinjaman pada tahun pertama yang telah disetor oleh koperasi ke kas daerah sampai Desember 2008 sebesar Rp.325.002.000,00 sedangkan kewajiban bagi hasil yang disetor sbesar Rp. 130.803.685,00. Melihat hasil yang menggembirakan tersebut, pemerintah daerah melaksanakan lagi modal penyertaan kepada koperasi pada tahun 2008 dengan menyertakan modal sebesar Rp. 4.750.000.000,- kepada 29 koperasi. Besarnya modal penyertaan untuk setiap koperasi disesuaikan dengan kemampuan koperasi untuk menyerapnya, demikian juga masa pengembaliannya yang bervariasi antara 5 tahun dan 10 tahun dimulai terhitung Januari 2009. Kemudian untuk tahun 2009 Pemprov Kalsel menggelontorkan lagi dana sebesar Rp. 10 milyar sebagai penyertaan modal untuk 49 koperasi, dengan besaran dan masa pengembalian yang bervariasi untuk setiap koperasi. Dari tabel 3 tersebut dapat dievaluasi bahwa telah terjadi peningkatan kinerja program penyertaan modal Pemprov Kalsel pada tahun 2010 ini. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator berikut: 1) Ditinjau dari pemberian pinjaman, tingkat perputaran modalnya telah meningkat, dari 3,34 kali pada tahun 2009 menjadi sebesar 4 kali pada tahun 2010 (pemberian pinjaman sebesar Rp. 4,055 milyar). 2) Jasa yang diterima sebesar Rp. 762,1 juta, atau sebesar 76,21% dari modal penyertaan awal. Dengan masa 3 tahun berarti pendapatan jasa lebih dari 25% pertahun, jauh lebih besar dibandingkan bunga pasar. Angka ini sebenarnya jauh lebih besar jika diperhitungkan bahwa salah satu koperasi, yaitu KPN Guru-Guru, Jalan Kelayan, Banjar Selatan, sudah mengembalikan modal penyertaan yang diterimanya pada tahun pertama. 81

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 3) Bagi Pemprov Kalsel, modal penyertaan yang telah diberikannya kepada koperasi ternyata dikembalikan lagi dengan lancar. Dapat dilihat pada tabel lebih dari separoh modalnya telah kembali, tersisa hanya Rp. 456 juta, dari Rp. 1 milyar yang dijadikan modal penyertaan. 4) Selain setoran pokok modal penyertaan, Pemprov Kalsel juga menerima bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh oleh koperasi, yaitu sebesar 30% dari keuntungan. Pada Juli 2010 setoran bagi hasil yang telah diterima Pemprov Kalsel adalah sebesar Rp. 180,6 juta (sekitar 18%), atau rata rata 6% pertahun. Mengkaji investasi pemerintah daerah Kalimantan Selatan dalam bentuk modal penyertaan ini kelihatannya memang cukup berhasil. Namun jika melihat jenis koperasi dan bidang usaha yang dibiayai dengan modal penyertaan tersebut, yaitu simpan pinjam, dimana pinjaman kepada anggotanya masih dalam skala mikro, pelaksanaan modal penyertaan ini belumlah menyentuh sektor produktif yang bisa dilakukan oleh koperasi. Padahal sejarah pembangunan koperasi peternakan menunjukkan bahwa Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) untuk pembangunan cooling unit pada beberapa koperasi susu menunjukkan keberhasilan yang sangat menggembirakan, karena investasi tersebut membawa dampak kebelakang maupun dampak kedepan yang sangat baik. Tabel 3 Kinerja Penyertaan Modal Pemprov Kalsel Program Tahun 2006 (Juli 2010) 82

STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI (Achmad H. Gopar) Tabel 4 Penyetoran Bagi Hasil Oleh Koperasi Ke Pemprov Kalimantan Selatan Atas Penyertaan Modal Tahun 2006 Per 23 Juli 2010 Pada beberapa sektor, terutama pertanian dan perkebunan rakyat, yang sangat tidak diminati pemodal dan kreditor untuk menanamkam modalnya pada koperasi, pemerintah dapat melakukan pemberdayaan dengan melaksanakan modal penyertaan. Misalnya saja untuk pendirian pabrik pengolahan kelapa sawit dan karet alam. Untuk mendirikan pabrik pengolahan kedua komoditi tersebut membutuhkan dana yang sangat besar, yang tidak mungkin hanya berasal dari modal internal koperasi. Oleh karena itu dibutuhkan upaya pemerintah untuk memobilisasikan dana untuk membantu koperasi membangun pabrik pengolahan agar petani yang menjadi anggota koperasi dapat memetik nilai tambah yang dihasilkan dari pabrik pengolahan tersebut. Mobilisasi dana tersebut bisa dari sumber tunggal, misalnya dari modal penyertaan, maupun dengan mengkombinasikannya dengan sumber dana lainnya, seperti kredit, dana bergulir, dan penjualan efek. Pada tahun 2004 pernah dicoba menggunakan dana bergulir kemitraan untuk membangun pabrik pengolahan kelapa sawit mini. Dana bergulir sebesar Rp. 3 milyar tersebut tentu tidak cukup untuk membangun pabrik senilai Rp. 15 milyar. Oleh karena itu dicarikan investor swasta yang mau bermitra dengan koperasi penerima dana bergulir tersebut. Karena kemitraan berdasarkan modal, maka akan dibentuk sebuah perseroan terbatas untuk mengelola pabrik tersebut. Agar koperasi menjadi pemilik dominan (memiliki lebih dari 50% saham) maka modal koperasi ditambah dari sumber perbankan. 83

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 Bagaimana memperoleh dana kredit perbankan? Permohonan kredit diajukan oleh masing-masing anggota dengan agunan kebun sawit mereka. Dana kredit yang diperoleh diinvestasikan ke pabrik sebagai penyertaan modal dari anggota dan dikonversikan sebagai saham milik anggota. Pembayaran kredit yang diperoleh anggota dari perbankan tersebut dilakukan oleh perusahaan pengelola pabrik dengan memotongnya dari marjin harga pembelian tandan buah segar (TBS). Marjin ditentukan berdasarkan selisih harga pembelian TBS oleh pabrik dan harga TBS di pasar umum. Model Kelembagaan Untuk Modal Penyertaan Pada Koperasi Penyertaan modal kepada koperasi memberikan konsekuensi kelembagaan pada koperasi, baik pada bentuk kelembagaannya maupun pada sistem operasional dan prosedurnya. Setidaknya ada tiga bentuk kelembagaan sebagai konsekuensi pelaksanaan modal penyertaan, yaitu: modal penyertaan langsung pada kegiatan usaha koperasi, modal penyertaan pada unit usaha otonom koperasi, dan modal penyertaan pada perseroan milik koperasi. Modal penyertaan langsung pada kegiatan usaha koperasi biasanya dilakukan untuk menambah modal pada satu kegiatan usaha koperasi yang sedang berkembang. Model kelembagaan pada pelaksanaan modal penyertaan seperti ini menimbulkan konsekuensi yang paling kompleks kerena dua hal; hak suara dan hak keuntungan. Modal penyertaan pada model ini tidak mempunyai hak suara (nonvoting stock), karena hanya anggota yang mempunyai hak suara. Oleh karena itu pemodal tidak mempunyai hak untuk pengelolaan dan pengawasan, yang berakibat pada lemahnya akses untuk penentuan hak keuntungan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, hal yang menjadi sumber wanprestasi biasanya dinegosiasikan sejak awal dan dituangkan dalam surat perjanjian modal penyertaan. Mengingat kompleksitasnya biasanya koperasi menawarkan model-modal penyertaan dengan tingkat pendapatan tetap, baik berupa nilai nominal maupun berupa prosentase tertentu dari keuntungan. Modal penyertaan pada unit usaha otonom koperasi lebih mudah dan fleksibel lagi. Pada model ini pengelolaan dan administrasi dilakukan sendiri secara otonom oleh unit usaha, sehingga pemodal lebih mudah untuk mengikuti perkembangannya. Namun demikian pemodal tetap tidak bisa ikut dalam pengelolaan dan pengawasan, karena dua kegiatan tersebut dilakukan oleh dan atas nama koperasi. Pemodal dapat mengikuti perkembangannya melalui sistem pelaporan. Oleh karena itu sistem pelaporan operasional menjadi hal penting yang harus masuk dalam perjanjian. Model ketiga, yang seharusnya dapat dieksplorasikan secara maksimal oleh koperasi, adalah modal penyertaan pada badan usaha atau perseroan milik koperasi. Karena modal penyertaan dilaksanakan untuk perseroan, yang berlaku adalah 84

STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI (Achmad H. Gopar) peraturan dan undang-undang perseroan terbatas. Pada model ini, kepemilikan, pengelolaan dan pengawasan dilakukan bersama antara koperasi dan pemodal secara proporsional sesuai dengan besarnya modal yang disertakan. Oleh karena itu, agar badan usaha tersebut tetap menjadi milik koperasi, proporsi kepemilikan saham perseroan harus dijaga agar tetap dominan sehingga tetap penjadi pemilik saham pengendali. V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN 5.1. Kesimpulan Modal penyertaan pada koperasi merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan oleh koperasi untuk mengatasi permasalahan permodalannya yang terbatas. Untuk mengembangkan usahanya koperasi seharusnya tidak hanya bertumpu pada modal sendiri yang umumnya terbatas. Sebagaimana kita ketahui, modal sendiri koperasi umumnya hanya berasal dari simpanan anggota dan keuntungan usaha, biasanya sangat terbatas untuk digunakan mengembangkan usaha secara cepat. Kegiatan usaha yang menguntungkan biasanya akan menarik, namun hal tersebut tidaklah cukup bagi pemodal untuk menanamkan uangnya dan barang modalnya pada usaha tersebut. Beberapa hal menjadi sangat penting bagi pemodal untuk menjadi bahan pertimbangan sebelum menanamkan modalnya pada suatu usaha koperasi, misalnya kepastian usaha, transparansi pelaporan, pembagian keuntungan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu koperasi harus selalu berinovasi untuk lebih menarik modal luar, terutama modal penyertaan. Inovasi tersebut dilakukan agar usaha koperasi menjadi lebih menarik bagi pemodal dengan tanpa meninggalkan jati diri yang harus selalu dipegang teguh koperasi. Jangan sampai upaya pragmatis menyebabkan koperasi tidak lagi memegang teguh prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi koperasi dalam melaksanakan kegiatannya. Penyertaan modal kepada koperasi memberikan konsekuensi kelembagaan pada koperasi, baik pada bentuk kelembagaannya maupun pada sistem operasional dan prosedurnya. Setidaknya ada tiga bentuk kelembagaan sebagai konsekuensi pelaksanaan modal penyertaan, yaitu: modal penyertaan langsung pada kegiatan usaha koperasi, modal penyertaan pada unit usaha otonom koperasi, dan modal penyertaan pada perseroan milik koperasi. Modal penyertaan langsung pada kegiatan usaha koperasi biasanya dilakukan untuk menambah modal pada satu kegiatan usaha koperasi yang sedang berkembang. Model kelembagaan pada pelaksanaan modal penyertaan 85

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 seperti ini menimbulkan konsekuensi yang paling kompleks kerena dua hal; hak suara dan hak keuntungan. Modal penyertaan pada model ini tidak mempunyai hak suara (nonvoting stock), karena hanya anggota yang mempunyai hak suara. Oleh karena itu pemodal tidak mempunyai hak untuk pengelolaan dan pengawasan, yang berakibat pada lemahnya akses untuk penentuan hak keuntungan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut hal hal yang menjadi sumber wanprestasi biasanya dinegosiasikan sejak awal dan dituangkan dalam surat perjanjian modal penyertaan. Mengingat kompleksitasnya biasanya koperasi menawarkan model modal penyertaan dengan tingkat pendapatan tetap, baik berupa nilai nominal maupun berupa prosentase tertentu dari keuntungan. Modal penyertaan pada unit usaha otonom koperasi lebih mudah dan fleksibel lagi. Pada model ini pengelolaan dan dan administrasi dilakukan sendiri secara otonom oleh unit usaha, sehingga pemodal lebih mudah untuk mengikuti perkembangannya. Namun demikian pemodal tetap tidak bisa ikut dalam pengelolaan dan pengawasan, karena dua kegiatan tersebut dilakukan oleh dan atas nama koperasi. Pemodal dapat mengikuti perkembangannya melalui sistem pelaporan. Oleh karena itu sistem pelaporan operasional menjadi hal penting yang harus masuk dalam perjanjian. Model ketiga, yang seharusnya dapat dieksplorasikan secara maksimal oleh koperasi, adalah modal penyertaan pada badan usaha atau perseroan milik koperasi. Karena modal penyertaan dilaksanakan untuk perseroan, yang berlaku adalah peraturan dan undang undang perseroan terbatas. Pada model ini, kepemilikan, pengelolaan dan pengawasan dilakukan bersama antara koperasi dan pemodal secara proporsional sesuai dengan besarnya modal yang disertakan. Oleh karena itu, agar badan usaha tersebut tetap menjadi milik koperasi, proporsi kepemilikan saham perseroan harus dijaga agar tetap dominan sehingga tetap penjadi pemilik saham pengendali. Ketiga bentuk kelembagaan tersebut akan mengubah sistem operasional dan prosedur yang harus dijalankan oleh koperasi. Perubahan bentuk kelembagaan maupun sistem operasional tersebut pada tingkatan tertentu mungkin tidak bisa lagi hanya diatur dengan aturan internal dan perjanjian, tapi sudah memerlukan pengaturan pemerintah atau perundangan, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau bahkan Undang-Undang. 5.2. Rekomendasi Pemerintah dapat menjadi pelopor dalam melaksanakan modal penyertaan ini dengan menanamkan modalnya kedalam tiga model seperti telah 86

STUDI KASUS PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KE KOPERASI (Achmad H. Gopar) dibahas sebelumnya. Selain itu pemerintah perlu mendorong dilakukannya berbagai inovasi untuk membuat modal penyertaan menjadi opsi yang lebih menarik lagi bagi pemodal untuk menanamkan modalnya pada koperasi. Dorongan inovasi itu dapat dilakukan melalui penelitian dan pengembangan, kaji tindak suatu inovasi, maupun penanaman modal secara langsung. Penelitian dan pengembangan mengenai modal penyertaan ini masih sangat sedikit, sehingga belum banyak inovasi yang bisa dieksplorasi maupun dieksploitasi untuk pengembangan permodalan koperasi melalui pemanfaatan modal penyertaan. Perhatian terhadap pengembangan koperasi melalui pemanfaatan modal penyertaan ini selayaknya lebih ditingkatkan lagi, apalagi jika dikaitkan dengan program pemerintah untuk mewujudkan 100 koperasi besar saat ini. Program pembangunan 100 koperasi besar selayaknya akan lebih baik lagi jika melalui pengkajian penerapan inovasi modal penyertaan pada beberapa koperasi. Sudah dimaklumi, secara teori maupun praktek, jika mau membesarkan suatu usaha maka yang diperlukan adalah modal, dan salah satu sumber permodalan murah yang dapat dimanfaatkan koperasi adalah modal penyertaan. Langkah terbaik yang dapat dilakukan pemerintah adalah melakukan penyertaan modal langsung kepada koperasi yang memiliki prospek usaha bagus namun tidak memiliki modal yang cukup. Dengan pendampingan yang cukup, telah terbukti penyertaan modal kepada koperasi dapat membangun koperasi dengan baik, bahkan menjadi koperasi yang besar. Koperasi susu mungkin tidak akan bisa membangun cooling unit dan pabrik pengolahan susu jika tidak ada penyertaan modal dari pemerintah. Hal yang mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah adalah memperbaharui PP 33 Tahun 1998 yang sudah berumur lebih satu dasawarsa namun masih kurang ditengok. Pembaharuan PP hendaknya agar PP lebih operasional dan lebih berorientasi keluar, artinya penekanan tidak hanya pada hal-hal yang berhubungan dengan penyertaan modal ke koperasi, namun juga pada hal-hal yang menyangkut bagaimana caranya koperasi dapat menyertakan modalnya kepada usaha-usaha yang menguntungkan, terutama yang ada di koperasi lain. 87

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 70-88 DAFTAR PUSTAKA Draper, N.R. and H. Smith.1981. Applied Regresion Analysis, New York: John Wiley & Sons. Gilbert, N. and H. Specht. 1977. Planning for Social Welfare; Issues, Model, and Tasks, New Jersey: Pretice-Hall, Inc. Gopar, A.H. 2009. Modal Penyertaan pada Koperasi, paper, Hotel Mirah, Bogor, 28 April 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1998 tentang Penyertaan Modal pada Koperasi. Pusat Informasi Perkoperasian. Majalah, Edisi Mei 2008: HTTP://www.majalahpip.com/majalah. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 1992. Jakarta: Pemerintah Koperasi. Welch, S. and J. Comer. 1988. Quantitative Methods for Public Administration, Techniques and Applications, Chicago: The Dorsey Press. 88

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN* Indra Idris dan Saudin Sijabat** Abstrak Kajian ini bertujuan menganalisis pembangunan ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan dan peran KUMKM dalam rangka pengentasan kemiskinan. Penelitian dilakukan di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan NTT. Potensi daerah perbatasan yang bisa dikembangkan berdasarkan analisa Location Quotient (LQ), AHP dan hasil FGD di Kupang dan Pontianak disepakati komoditi potensial/unggulan yang perlu dikembangkan dalam peningkatan peran KUMKM di kawasan perbatasan Kabupaten Belu (NTT) adalah: komoditi sapi dan jagung, sedangkan untuk Kabupaten Sanggau (Kalbar) adalah komoditi lada dan kakao. Potensi KUMKM perbatasan Sanggau terhadap Kabupaten Sanggau untuk koperasi memberikan share sebesar 2%, usaha mikro sebesar 5% dan usaha kecil sebesar 2%. Pada kawasan perbatasan Kabupaten Belu dengan Timor Leste potensi koperasi memberikan share sebesar 1,7%, usaha mikro sebesar 3,2%, usaha kecil sebesar 2,3% dan usaha menengah sebesar 3%. Peran KUMKM, terutama Koperasi masih kecil dalam pemberdayaan kawasan perbatasan, dan belum berfungsi dengan baik untuk pemberdayaan masyarakat perbatasan. Untuk peningkatan peran KUMKM telah dirancang, model yang diharapkan dapat meningkatkan share KUMKM kawasan perbatasan dalam jangka waktu 5 tahun kedepan untuk Kabupaten Sanggau dengan Malaysia dari 5% menjadi 15%, sedangkan untuk kawasan perbatasan Kabupaten Belu dengan Timor Timur dari 3% menjadi 10%. Model yang dirancang sesuai dengan skenario kecenderungan masyarakat yang hanya menjual bahan baku tanpa pengolahan dengan menciptakan barang setengah jadi atau produk akhir. Untuk penerapan model ini sebaiknya terlebih dahulu dibuat pilot proyek oleh pihak-pihak terkait. Kata kunci: model KUMKM, potensi daerah tertinggal, dan kawasan perbatasan * Artikel diterima 20 Juli 2011, peer review 25 Juli 2011, review akhir 15 September 2011 ** Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK 89

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 Abstract This study aims to analyze the economic development of communities in the border region and the role of cooperatives and SMEs in order to alleviate poverty. Research conducted in the west Kalimantan border area and NTT. Potential border areas that can be developed based on analysis of Location Quotient (LQ), AHP and FGD results in Kupang and Pontianak, agreed on a potential commodity to be developed in the role of increases in the border region cooperatives and SMEs Belu (NTT) is cattle and corn, while for Sanggau District (West Kalimantan) is pepper and cocoa. Potential cooperatives and SMEs in Sanggau border area against Sanggau district for cooperatives contribute to 2% shares, micro business contributes to 5% and small business contributes to 2%. In border areas between Belu district and Timor Leste, cooperatives that are potential contributes to1.7% shares, micro business 3.2% shares, small business 2.3% shares, and middle business to 3% shares. The role of cooperatives and SMEs, especially Cooperative in empowering border areas is still small and has not been functioning properly for the empowerment of border communities. To increase the role of KUMKM, a role model has been designed to increase KUMKM shares in border areas within next 5 years for border areas between Sanggau district and Malaysia, from 5% to 15% of shares contribution. Meanwhile shares contribution for border areas between Belu district and Timor Leste increase from 3% to 10%. This model is designed in accordance with the trend scenario for people who only sell raw materials without processing by creating a semi-finished goods or final products. Key words: SMEs model, disadvantage areas and border region I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan peran Koperasi dan UMKM di daerah tertinggal merupakan bagian dari upaya mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, khususnya daerah pedesaan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Sungguhpun sebagian besar masyarakat di daerah tertinggal di perbatasan hidup dari sektor pertanian, namun dalam membangun daerah tertinggal bukan semata hanya ditujukan untuk mengembangkan sektor pertanian saja, melainkan mencakup kegiatan sosial ekonomi masyarakat. 90

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) Pembangunan ekonomi daerah tertinggal mestinya bisa dirajut melalui pendekatan keterpaduan pengembangan dan pertumbuhan antar sektor yang ada. Perlunya penekanan pembangunan daerah tertinggal tidak lain untuk menjaga perimbangan pembangunan dengan daerah lain yang lebih maju dan dinamis. Dewasa ini pengembangan wilayah perbatasan menjadi perhatian pemerintah karena memiliki arti penting dan strategis terkait dengan otonomi daerah, perdagangan bebas, dan bahkan terkait dengan kedaulatan Negara. Kawasan perbatasan di Indonesia masih ditandai dengan kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga, kemiskinan yang tinggi, keterisolasian, kualitas sumber daya yang rendah, serta sarana prasarana yang minimum. Wilayah perbatasan umumnya merupakan daerah tertinggal dengan kondisi rawan baik dari aspek ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Fenomena yang sangat menonjol adalah maraknya kegiatan illegal logging, illegal trading, arus migrasi ilegal (illegal traficking), serta bergesernya patok-patok pembatas antar negara. Kawasan perbatasan seyogyanya menjadi wilayah terdepan dalam pengembangan ekonomi. Dalam konteks inilah, pembangunan ekonomi lokal dengan peningkatan peran KUMKM dapat menjadi salah satu alternatif penting bagi pengembangan kawasan perbatasan. Pemberdayaan KUMKM di kawasan perbatasan negara semestinya dilaksanakan secara simultan dalam kerangka kerja yang komprehensif dengan berbagai upaya lain seperti pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan sosial, dan penyediaan infrastruktur yang diarahkan untuk mendukung kedaulatan nasional. 1.2. Permasalahan Peran KUMKM dalam mendayagunakan potensi ekonomi daerah tertinggal dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Hal ini karena KUMKM umumnya terdiri dari petani, pedagang, pengrajin atau bentuk usaha produktif lainnya dapat berpartisipasi dalam pembangunan daerah. Dalam konteks ini, maka permasalahan dalam kajian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana mengembangkan potensi daerah melalui peningkatan peran KUMKM di daerah tertinggal di kawasan perbatasan? 2. Rancangan/alternatif model pemberdayaan seperti apa yang dapat dengan cepat mengembangkan KUMKM di perbatasan? 91

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 1.3. Tujuan dan Manfaat Tujuan kajian adalah : 1. Mengetahui potensi ekonomi daerah tertinggal di kawasan perbatasan yang bisa ditangani KUMKM. 2. Menyusun rancangan model pemberdayaan KUMKM dalam pengembangan sektor ekonomi daerah tertinggal di kawasan perbatasan. Sedangkan manfaat yang diharapkan adalah sebagai masukan bagi pengembangan kebijakan dalam peningkatan peran KUMKM dalam pembangunan daerah tertinggal di kawasan perbatasan. 1.4. Ruang Lingkup Lingkup kajian terdiri atas analisis perkembangan kondisi makro dan mikro yang ditujukan untuk melihat faktor kelemahan, kekuatan, tantangan, dan peluang KUMKM untuk bisa memanfaatkan potensi ekonomi daerah, sebagai pijakan bagi penyusunan model peningkatan peran KUMKM. Untuk itu, lingkup kajian ini dikelompokkan sebagai berikut: 1. Identifikasi dan analisis potensi ekonomi daerah, antara lain: sektor pertanian, sektor perdagangan, dan lain-lain. 2. Identifikasi dan analisis potensi KUMKM yang dapat dikembangkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. 3. Penyusunan model KUMKM dalam pengembangan ekonomi daerah tertinggal. II. KERANGKA PIKIR DAN METODOLOGI 2.1 Kerangka Pikir Pembangunan daerah tertinggal adalah upaya terencana untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan sarana fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya (KPDT, 2006). Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah tertinggal di perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan 92

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) nasionalisme. Tidak jarang daerah perbatasan sebagai pintu masuk atau tempat transit pelaku kejahatan dan teroris. Oleh sebab itu, banyak kalangan menginginkan perubahan paradigma pembangunan daerah tertinggal di perbatasan. Dari sisi pemberian anggaran, prioritas perlu dilihat tidak sebagai membangun halaman belakang negara tapi membangun halaman depan negara. Pembangunan kawasan perbatasan melalui peningkatan peran KUMKM berarti mendorong partisipasi masyarakat di perbatasan dalam pembangunan daerahnya terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pemberdayaan KUMKM dalam menangani potensi daerah merupakan suatu alternatif bagi pengembangan daerah tertinggal pada konteks kompleksitas kawasan perbatasan. Pengembangan ekonomi kawasan perbatasan mestinya dilaksanakan secara simultan dalam kerangka kerja yang komprehensif dengan berbagai upaya lain seperti: pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan sosial, penyediaan infrastruktur dan lainnya. Oleh sebab itu, dalam penyusunan model peningkatan peran KUMKM di daerah tertinggal di kawasan perbatasan disusun kerangka pikir sebagai berikut : Gambar 1. Kerangka Pikir Kajian Penyusunan Model Peningkatan UMKMK di Daerah Tertinggal 93

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 2.2. Metodologi Metodologi kajian sangatlah erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai dan ketersediaan data dan informasi yang didapat. Untuk mengidentifikasikan berbagai permasalahan yang ada serta membahas solusinya. Kajian ini menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD). FGD dilaksanakan bersama pengambilan data primer di lokasi penelitian. 2.2.1. Kerangka Analisis Kajian Langkah awal dari kajian ini dimulai dari menelaah dan menganalisis kembali kebijakan yang terkait dengan peningkatan peran KUMKM secara umum dan kebijakan tentang pengembangan daerah tertinggal. Kemudian mencermati fakta penerapan di lapangan secara situasional berdasarkan dukungan data primer (survey lapangan) dan masukan dari diskusi terbatas (FGD) tahap awal. Langkah kerja dan kerangka analisis sebagai berikut: Gambar 2. Kerangka Analisis Model Peningkatan Peran KUMKM di Daerah Tertinggal 94

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) Analisis terhadap kondisi eksisting dilakukan untuk mengetahui potensi ekonomi daerah dan permasalahannya, serta potensi KUMKM yang dapat dikembangkan dan bentuk kelembagaan KUMKM sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya dilakukan analisa deskriptif, AHP dan IQ Share terhadap hasil pengolahan data awal. Hasil analisis dijadikan sebagai penentuan sektor dan produk KUMKM prioritas. Melalui pertimbangan kelayakan potensi dan prospek pengembangannya maka dibawa ke forum FGD untuk dibahas. Hasil pengujian di forum FGD menjadi landasan untuk penyempurnaan rancangan model yang akan dibuat. 2.2.2. Pengumpulan Data dan Informasi Data sekunder dikumpulkan dari studi literatur melalui berbagai sumber dan hasil penelitian sebelumnya, termasuk melalui jaringan internet yang terkait dengan ekonomi pembangunan, pembangunan wilayah, pembangunan pedesaan dan berbagai hasil penelitian dan dari instansi terkait di daerah: (1) Kantor Statistik provinsi dan kabupaten, (2) Kantor Koperasi propinsi dan kabupaten, (3) Instansi terkait di daerah meliputi: Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, Perbankan, BKPM, (4) Gerakan Koperasi. Data primer, diambil langsung dari lapangan baik melalui wawancara maupun melalui daftar pertanyaan (kuesioner); Focus Group Discussion, dengan instansi terkait di daerah, perguruan tinggi, pemerhati pembangunan daerah, LSM, dan KUMKM. 2.2.3. Lokasi Kajian Kajian dilaksanakan di dua provinsi yaitu: Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur. Lokasi kajian dipilih daerah tertinggal yang berada di daerah perbatasan pada 2 (dua) lokasi di atas, yaitu Kabupaten Sanggau (Kalbar) dan Kabupaten Belu untuk NTT. Pemilihan lokasi dengan pertimbangan bahwa daerah perbatasan tersebut memerlukan perhatian untuk dikembangkan mengingat keduanya berada di perbatasan antar negara. Pada masing-masing kabupaten diambil satu kecamatan sebagai sampel untuk penelitian. 2.2.4. Sampel Sampel dari penelitian ini adalah stakeholder di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Belu. Penarikan sampel dilakukan secara 95

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 purposive, sedangkan sebagai responden adalah: usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, koperasi, dinas/instansi, dan expert. Penyebaran sampel dan responden dapat dilihat pada Tabel: Tabel 1. Penyebaran Sampel untuk Survei Lapangan dan FGD 2.2.5. Pengolahan dan Analisa Data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan banyak ditentukan atas dasar pengamatan dari objek yang diteliti. Adapun analisa data yang digunakan dalam kajian ini adalah: 1. Analisis deskriptif untuk memberikan gambaran umum tentang data yang diperoleh. Untuk analisis data primer digunakan metode analisis statistik sederhana sebagaimana yang dikemukakan oleh Welch & Comer (1998). Perlakuan dan pengolahan akan dilakukan terhadap distribusi frekuensi, tendensi pemusatan dan penyebaran (Draper & Smith,1981). Teknik ini digunakan karena sederhana dan dapat menggambarkan kecenderungan yang terdapat pada suatu populasi. 2. Analisis AHP untuk melihat pengembangan potensi KUMKM. Menurut Saaty (1975), AHP merupakan teori pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala ratio dari perbandingan pasangan yang diskret maupun kontinue. Pengukurannya bisa secara aktual atau dari suatu skala dasar yang mencerminkan perasaan dan preferensi. Sedangkan prinsip yang digunakan pada AHP adalah: 1) dekomposisi, 2) pendapat yang bersifat komperatif, 3)sentisis terhadap prioritas, dan 4) konsestensi dalam pemikiran 3. Analisis Location Quotient (LQ) untuk mengetahui sejauhmana sektor-sektor di suatu daerah atau sektor-sektor apa saja yang merupakan sektor basis atau leading sector. Hasil dari analisis ini akan memperlihatkan sektor yang berperan secara dominan sebagai sektor basis dan sektor yang tidak berperan secara dominan disebut sebagai sektor non basis. Pengelompokan sektor 96

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) basis dan non basis berdasarkan besaran LQ yang diperoleh dari hasil analisis adalah sebagai berikut: LQ < 1, berarti sektor tersebut memiliki potensi yang kecil untuk menjadi sektor basis wilayah. LQ = 1, berarti sektor tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan lokalnya dan dapat berpotensi sebagai kegiatan basis ekonomi wilayah. LQ > 1, berarti sektor tersebut merupakan sektor basis ekonomi wilayah. III. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3.1. Permasalahan Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah Kawasan Perbatasan Masalah perbatasan masih dinilai belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah, hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang masih kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan. Potensi sumber daya alam yang berada di kawasan perbatasan, baik di wilayah darat maupun laut cukup besar, namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara optimal. Potensi sumber daya alam yang memungkinkan dikelola di sepanjang kawasan perbatasan, antara lain sumber daya kehutanan, pertambangan, perkebunan, pariwisata, dan perikanan. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan pada Kabupaten Belu dan Kabupaten Sanggau terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi masyarakat di kawasan perbatasan. Secara umum permasalahan yang dihadapi pada dua kabupaten yang berbatas dengan Negara Timur Leste dan Malaysia masih terkait dengan kemampuan SDM, modal kerja, penguasaan teknologi, sarana produksi dan tingkat pemanfaatan lahan. Sungguhpun demikian intensitas permasalahan yang ditemukan pada kedua daerah perbatasan berbeda. Intensitas masing-masing permasalahan pada ke dua kabupaten perbatasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 97

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 1) Permasalahan dalam Pengembangan Potensi Daerah Kabupaten Belu sebagai salah satu kabupaten di provinsi NTT memiliki potensi yang cukup besar, seperti pada sektor pertanian, sektor peternakan, dan sektor lain. Walaupun sektor tersebut berkembang seiring dengan pertumbuhan pembangunan, akan tetapi perkembangannya mengalami berbagai permasalahan yang cukup berarti. Setelah melakukan identifikasi, ditemukan 6 (enam) permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengembangan potensi daerah yaitu: kemampuan SDM, modal kerja, penguasaan teknologi, sarana produksi, prasarana dan sarana penunjang dan tingkat pemanfaatan lahan. Berdasarkan hasil depth interview yang dilakukan Tim, akumulasi permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan potensi daerah di Kabupaten Belu dapat digambarkan pada gambar 3. Gambar 3. Grafik Permasalahan Pengembangan Potensi Daerah Kabupaten Belu Permasalahan modal kerja merupakan masalah yang paling krusial menurut persepsi responden (30,47%), kemudian diikuti sarana dan prasarana pendukung (20.67 %), penggunaan benih dan sarana produksi (15,55%), kemampuan SDM (15,46%), penguasaan teknologi (10%) dan tingkat pemanfaatan lahan (8%). Sedangkan di Kabupaten Sanggau (Provinsi Kalimantan Barat) permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam pemanfaatan potensi daerah tidak jauh berbeda hanya tingkat kadar permasalahan yang intensitasnya tidak sama sebagaimana terlihat pada Gambar 4 berikut: 98

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) Gambar 4. Grafik Permasalahan Pengembangan Potensi Daerah Kabupaten Sanggau Permasalahan modal kerja di Kabupaten Sanggau masih merupakan masalah yang utama (39%), selanjutnya diikuti penguasaan teknologi (29%), kemampuan SDM (18%), pemanfaatan lahan (7%), prasarana dan sarana pendukung (4%), dan tingkat pemanfaatan lahan (3%). 2) Potensi Ekonomi Daerah Kawasan Perbatasan Potensi ekonomi terkait dengan produk potensial untuk dikembangkan KUMKM dalam suatu kawasan (desa atau kecamatan) dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia setempat, serta mendatangkan pendapatan bagi masyarakat sebagai pelaku usaha dan pemerintah. Produknya memiliki daya saing, berorientasi pasar dan ramah lingkungan, sehingga mempunyai keunggulan kompetitif dan bisa bersaing di pasar global. Komoditi potensial bisa juga disebut dengan produk unggulan kawasan perbatasan yang bisa dikembangkan masyarakat setempat dan mempunyai prospek pasar yang bagus. Upaya pemberdayaan tentunya difokuskan pada pengoptimalan pengusahaan produk terutama yang banyak melibatkan stakeholder masyarakat. Penentuan produk potensial/unggulan dilakukan dengan 4 (empat) langkah, yaitu: 1). berdasarkan persepsi stakeholder; 2). kalkulasi LQ melalui perbandingan PDRB masing-masing kabupaten dengan subsektor dominannya; 3) analisis AHP; dan 4) diuji melalui forum FGD. Langkah awal dilakukan terlebih dahulu pemilihan sejumlah komoditas yang volume/skala produksi aktualnya tertinggi (data 99

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 sekunder). Tahap berikutnya mengidentifikasi produk unggulan daerah berdasarkan kontribusinya bagi pendapatan daerah. Alat ukur utama adalah dengan memperhatikan PDRB dan subsektor dominannya. Setelah teridentifikasi sebagai agregat dari produk potensial daerah maka informasi ini didiskusikan dengan stakeholder setempat melalui kegiatan FGD. Persepsi dan preferensi masing-masing. stakeholder juga dapat diminta untuk membandingkan keunggulan masing-masing produk tersebut. Karakteristik khas kawasan pedesaan seperti, keterbatasan infrastruktur, perilaku ekonomi lintas daerah, interaksi sosial lintas daerah, diperkirakan juga akan mempengaruhi pola atau konsep pengembangan produk potensial/unggulan daerah. (1) Potensi Daerah Kabupaten Belu Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa penentuan potensi potensial atau potensi unggulan daerah dilakukan secara metodologi mengikuti 3 (tiga) langkah dan terakhir diuji dan dilengkapi berdasarkan diskusi terbatas pada lokasi kajian. Hasil dari pengujian berdasarkan langkah dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut: (1.1) Penentuan Berdasarkan Persepsi Stakeholder Stakeholder dalam penelitian ini mencakup dinas terkait, pelaku usaha, dan expert. Pemilihan stakeholder ini karena mereka mengetahui tentang kondisi daerah, pelaku usaha yang menggeluti bidang usaha potensial dan expert sebagai pengamat perkembangan ekonomi, pembangunan daerah dan pemuka masyarakat setempat. Pendapat stakeholder tentang potensi daerah Kabupaten Belu dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5. Potensi Daerah Potensial Kabupaten Belu Berdasarkan Persepsi Stakeholders 100

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sektor ekonomi yang dianggap potensial untuk dikembangkan KUMKM berdasarkan persepsi stakeholders adalah peternakan dan pertanian. Hal ini dinyatakan oleh 50% jawaban responden untuk sektor peternakan, 43% untuk sektor pertanian dan 7% untuk sektor perdagangan umum. (1.2) Penentuan Berdasarkan Perhitungan LO Penghitungan LQ dalam analisis ini didasarkan atas data PDRB Kabupaten Belu dan Provinsi NTT tahun 2008 atas dasar harga berlaku tahun 2000. Dari hasil perhitungan, tampak hanya ada tiga sektor kegiatan pembangunan yang memiliki nilai lebih besar dari 1 (satu) yaitu sektor pertanian (1.38), sektor pengangkutan dan komunikasi (1.17), serta sektor keuangan dan perbankan (1.29). Artinya masing-masing sektor tersebut selain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di Kabupaten Belu juga memiliki peluang untuk memenuhi kebutuhan wilayah lainnya. (1.3) Penentuan Potensi Berdasarkan Analisis AHP Penghitungan potensi unggulan menggunakan analisis AHP didasarkan pada hasil hitungan LQ yang didasarkan pada persepsi stakeholder daerah mulai dari dinas terkait, pelaku usaha, tokoh masyarakat dan expert. Pemilihan alternatif potensi potensial/unggulan daerah dengan menggunakan kriteria bahan baku, pangsa pasar, SDM, pelaku usaha, pelayanan, dan nilai ekonomis. Kriteria tersebut merupakan dasar pertimbangan dalam penentuan alternatif potensi potensial/unggulan daerah yang bisa dikembangkan KUMKM. Penetapan kriteria yang berpengaruh didasarkan atas berbagai studi sebelumnya. Garis-garis yang menghubungkan kotak-kotak antar level merupakan hubungan yang perlu diukur dengan perbandingan berpasangan dengan arah ke level yang lebih tinggi. Adapun penghitungan analisis AHP dengan menggunakan bantuan software expert choice dapat dilihat pada gambar berikut: 101

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 Gambar 6. Penghitungan Potensi Unggulan Expert Choice di Kabupaten Belu Menggunakan Pada gambar 6 dapat disimpulkan bahwa potensi peternakan yaitu sapi merupakan potensi yang dianggap prioritas dan unggulan dengan nilai 43.2 %. Sedangkan alternatif kedua yaitu potensi jagung merupakan potensi pertanian yang juga diunggulkan dengan nilai sebesar 30.3%, sementara sisanya adalah angkutan darat dengan bobot nilai 14.4%, jasa perbankan dengan bobot nilai 12%. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa potensi prioritas atau unggulan untuk dikelola masyarakat atau KUMKM di Kabupaten Belu adalah sapi dan jagung. Kedua komoditi tersebut merupakan potensi potensial yang harus diperhatikan untuk dikembangkan KUMKM. (2) Potensi Daerah Kabupaten Sanggau Sebagaimana pengujian yang dilakukan di Kabupaten Belu, maka untuk melihat potensi potensial di Kabupaten Sanggau dilakukan dengan langkah yang sama, berdasarkan persepsi stakeholder, perhitungan/kalkulasi LQ, analisis AHP dan kemudian diuji dan dilengkapi berdasarkan diskusi terbatas pada lokasi kajian. Hasil dari pengujian yang telah dilakukan dapat dikemukakan sebagai berikut : (2.1) Penentuan Berdasarkan Persepsi Stakeholder Penentuan potensi potensial atau unggulan Kabupaten Sanggau yang dilakukan dengan pendapat stakeholders daerah, dapat dilihat pada gambar 7: 102

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) Ganbar 7. Penentuan Potensi Unggulan Kabupaten Sanggau Berdasarkan Persepsi Stakeholders Potensi yang dianggap unggulan berdasarkan persepsi stakeholders adalah peternakan dan pertanian, hal ini dinyatakan 46% responden (dinas terkait, pelaku usaha, expert), pada sisi lain 46% responden juga menyatakan bahwa potensi potensial/unggulan di Kabupaten Sanggau adalah perdagangan umum dan hanya 7% responden menyatakan sektor peternakan sebagai sektor potensial/ unggulan. Dari klasifikasi potensi potensial/unggulan tersebut dapat dilihat bahwa potensi UMKM pertanian dan UMKM perdagangan di Kabupaten Sanggau dinilai responden berimbang sebagai potensi yang bisa dikembangkan KUMKM. Pada lokasi kawasan perbatasan sudah terbentuk kegiatan usaha disektor tersebut yang mulai berkembang dan selama ini telah digeluti masyarakat setempat. (2.2) Penentuan Potensi Berdasarkan Penghitungan LQ Dalam menentukan potensi potensial/unggulan Kabupaten Sanggau yang dilakukan dengan menggunakan penghitungan LQ. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan terdapat beberapa sektor kegiatan pembangunan yang perlu mendapat perhatian dan pengembangan yaitu sektor pertanian, pertambangan, sektor keuangan dan perbankan karena memiliki nilai lebih besar dari 1 (satu) yang berarti bahwa masing-masing sektor tersebut selain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di Kabupaten Sanggau, memiliki peluang untuk memenuhi kebutuhan wilayah lainnya. 103

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 (2.3) Penentuan Potensi Berdasarkan Analisis AHP Penghitungan potensi potensial/unggulan Kabupaten Sanggau dengan menggunakan analisis AHP dengan cara dan persyaratan sebagaimana pada Kabupaten Belu, hasilnya berdasarkan penghitungan analisis AHP dengan menggunakan bantuan software expert choice dapat dilihat pada gambar: Gambar 8. Penghitungan Potensi Unggulan Kabupaten Sanggau Pada gambar 8 hasil perhitungan menunjukkan potensi potensial/unggulan di Kabupaten Sanggau yang perlu mendapat prioritas untuk ditangani adalah komoditi lada dengan nilai 38.5%, sedangkan alternatif kedua adalah komoditi kakao dengan nilai expert choice sebesar 30.3%, berikutnya pertambangan tanpa migas dengan bobot nilai 12%, sewa bangunan dengan bobot nilai 9.7% dan jasa sosial kemasyarakatan dengan bobot nilai sebesar 9.5 %. Justifikasi tim menyimpulkan bahwa potensi prioritas/ unggulan untuk ditangani KUMKM dalam pemberdayaan pembangunan masyarakat kawasan perbatasan Kabupaten Sanggau adalah Lada dan Kakao. Kedua komoditi tersebut merupakan potensi yang harus diperhatikan pemangku kepentingan dan pihak-pihak terkait untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat Kabupaten Sanggau. 104

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) 3) Hasil FGD di Lokasi Kajian Peserta dipilih dengan selektif terdiri dari unsur: Bappeda, Dinas Instansi Terkait di daerah, Perguruan Tinggi, Perbankan, Tokoh Masyarakat, Pemerhati/Peneliti dan LSM. Diskusi terbatas/fgd telah diselenggarakan pada 2 tempat, yaitu: Kupang (Provinsi Nusa Tenggara Timur) membahas hasil temuan tim untuk lokasi penelitian Kabupaten Belu dan Pontianak (Kalimantan Barat) membahas hasil temuan tim untuk Kabupaten Sanggau. Adapun tanggapan dan masukan dari peserta diskusi terbatas/fgd untuk kedua daerah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. KUMKM penting dan sangat diperlukan mengambil peran ikut menggerakkan ekonomi masyarakat kawasan perbatasan melalui pendekatan institusi kelembagaan Koperasi sebagai penggerak. Oleh sebab itu, pada kawasan perbatasan perlu dibentuk Koperasi yang ideal yang bisa menjalankan fungsinya dengan baik. 2. Peningkatan peran KUMKM untuk menangani pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan produk potensial/ungulan kawasan perbatasan Kabupaten Belu yaitu: Sapi dan Jagung, serta kawasan perbatasan Kabupaten Sanggau yaitu: Lada dan Kakao dapat disepakati, walaupun tidak tertutup untuk pengembangan produk atau komoditi lainnya, seperti untuk kawasan Belu: cendana, kemiri, dan asam jawa, serta kawasan Sanggau: buah buahan, jagung, dan kelapa. 3. Pemberdayaan masyarakat kawasan perbatasan melalui peningkatan peran KUMKM memerlukan bantuan pemerintah dan stakeholders lainnya baik daerah maupun pusat terutama dalam permodalan dan pengembangan SDM tanpa ada komitmen ini dipastikan upaya dan langkah yang akan dilaksanakan akan gagal. 4. Rancangan model kemitraan dengan menempatkan posisi sentral koperasi sebagai institusi kelembagaan petani/ peternak yang diusulkan untuk pengembangan potensi potensial/unggulan di masing-masing lokasi sudah sesuai dengan kebutuhan dan bisa diterima forum diskusi. Diusulkan Kementerian Koperasi dan UKM bersama dengan Kementrian Pengembangan Daerah Tertinggal 105

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 untuk membuat pilot proyek sebagai langkah konkret untuk menindaklanjuti rancangan tersebut. 5. Perlu konsensus umum tentang perubahan paradigma koperasi dan pengembangan koperasi perbatasan dalam kontek sebagai pembina kelompok/petani, Quality Control hasil produksi, marketing agent, arranger kemitraan, dan mitra perbankan. 6. Perlu konsensus umum tentang optimalisasi peran Badan Pembangunan Perbatasan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap SOP Investasi, Lembaga yang Meng Up Date kondisi internal dan eksternal kawasan perbatasan, marketing agent terhadap potensi ekonomi kawasan perbatasan, memberikan masukan kepada pemerintah (Pusat, Provinsi dan Kabupaten) terhadap kemajuan KUMKM di kawasan perbatasan, berkoordinasi dan merangkul pengusaha dan investor untuk memajukan kawasan perbatasan. 3.2. Kontribusi dan Karateristik KUMKM 1) Kontribusi KUMKM Kontribusi KUMKM di kawasan perbatasan perlu dilihat untuk mengetahui gambaran seberapa besar peran KUMKM dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Semakin besar peran KUMKM maka semakin besar pula aktivitas perekonomian masyarakat kawasan perbatasan tumbuh dan berkembang melalui dukungan KUMKM. Indikator yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar potensi KUMKM dalam perekonomian masyarakat kawasan perbatasan adalah melalui share KUMKM kecamatan perbatasan terhadap KUMKM kabupaten baik itu di Kabupaten Belu maupun Kabupaten Sanggau. Gambaran tentang hal tersebut dapat dilihat pada gambar 9. 106

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) Share KUMKM Kecamatan Tasifeto Timur Terhadap Kabupaten Belu Gambar 9. Share KUMKM Pada Dua Kecamatan Kawasan Perbatasan Berdasarkan gambar 9 diketahui share KUMKM di Kecamatan Tasifeto Timur terhadap Kabupaten Belu masih dibawah 5%, dan Kecamatan Entikong terhadap Kabupaten Sanggau masih berada dibawah 6%. Peran KUMKM di kawasan perbatasan ternyata masih sangat kecil terutama peran koperasi, sedangkan kedua daerah tersebut merupakan pintu lintas batas ke negara tetangga dimana pergerakan barang dan jasa cukup tinggi. Sebenarnya kedua daerah memiliki 107

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 potensi yang baik untuk ditangani KUMKM dan pemberdayaan masyarakat kedua kawasan perbatasan tersebut cukup signifikan untuk dikembangkan melalui peningkatan peran KUMKM. Untuk mengetahui kontribusi KUMKM pada pengembangan potensi ekonomi di lokasi kajian dapat dijelaskan sebagai berikut: (1.1) Ketersediaan Koperasi Pendukung di Kabupaten Belu dan Kabupaten Sanggau Ketersediaan Koperasi pendukung di Kabupaten Belu dan Kabupaten Sanggau merupakan salah satu indikator yang dapat dilihat terkait dengan eksistensi usaha yang akan dikembangkan. Pendapat responden dari dinas terkait, expert dan pelaku usaha dikemukakan pada gambar 10. Gambar 10. Ketersediaan Koperasi Pendukung di Kabupaten Belu dan Sanggau Pada gambar di atas, 76% responden menyatakan bahwa di Kabupaten Belu terdapat Koperasi pendukung yang mengelola usaha anggota yang bergerak menangani sektor peternakan dan pertanian khususnya untuk peternakan sapi dan tanaman jagung, hanya 24% responden yang menyatakan bahwa koperasi pendukung belum ada untuk kedua komoditi tersebut. Sedangkan di Kabupaten Sanggau 65% responden menyatakan belum terdapat Koperasi pendukung yang menaungi petani dalam budidaya tanaman Lada dan Kakao, sedangkan 35% responden menyatakan sudah ada koperasi yang membantu petani dalam aktivitas pertanian tanaman Lada dan Kakao. Responden yang menyatakan ada mungkin melihat adanya aktivitas kelompok tani yang dibantu oleh Dinas Pertanian setempat dalam bentuk kredit dan PNPM Mandiri dari Dinas Sosial. Dari kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pada Kabupaten Belu ternyata Koperasi telah berperan dalam mendukung aktivitas perekonomian masyarakat setempat yang didasarkan 108

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) pada potensi ekonomi daerah, sedangkan di Kabupaten Sanggau keberadaan Koperasi dalam membantu petani belum begitu kelihatan. Koperasi disini lebih cenderung bergerak pada sektor perdagangan dan jasa, hanya terdapat satu Koperasi yang mendukung sektor pertanian dan perkebunan di Kecamatan Entikong yaitu koperasi yang mengumpulkan hasil perkebunan kakao masyarakat. (1.2) Ketersediaan UMKM Pendukung di Kabupaten Belu dan Kabupaten Sanggau Ketersediaan UMKM juga merupakan indikator yang cukup penting untuk mengetahui potensi berkembang tidaknya UMKM dalam menangani produk potensial/unggulan daerah di kawasan perbatasan baik yang sudah berlangsung maupun kepentingan dimasa yang akan datang Adapun ketersediaan UMKM pendukung dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 11. Ketersediaan UMKM Pendukung di Kabupaten Belu dan Kabupaten Sanggau 109

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 Dari data di atas tidak ada barrier to entry pada aktivitas bisnis UKM, baik dari aspek teknologi, investasi, manajemen, dan perlindungan hak intelektual, maka sangat mudah bagi masyarakat untuk masuk ke dalam berbagai industri sebagai UMKM. Untuk usaha mikro lebih dari 50% responden menyatakan kelompok ini memainkan peranan yang cukup signifikan di masingmasing Kabupaten baik Belu maupun Sanggau mereka adalah kelompok petani dan peternak. Sayangnya mereka melakukan usaha hanya sebatas untuk kebutuhan hidup tanpa sentuhan teknologi dan pola pertanian dan peternakan yang maju. Untuk kelompok usaha kecil masih sangat terbatas apalagi untuk usaha menengah, walaupun banyak yang ingin masuk sebagai pelaku bisnis UKM dalam sektor dan kegiatan bisnis tertentu, namun kendala permodalan dan pasar sulit untuk mereka atasi, pada satu sisi kebanyakan UKM hanya sebagai produsen yang menghadapi kekuatan monopsonis. (2). Karakteristik Hubungan UMKM Karakteristik hubungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah merupakan gambaran mengenai bagaimana UMKM di lokasi kajian memanfaatkan jaringan yang dimiliki. Adanya jaringan hubungan antara pelaku usaha dapat mempermudah penyusunan model pengembangan UMKM di lokasi kajian. Untuk mengetahui gambaran karakteristik hubungan UMKM di lokasi kajian dapat dikemukakan sebagai berikut: (2.1) Karakteristik UMKM di Kabupaten Belu Pada Kabupaten Belu terdapat usaha mikro, kecil dan menengah, sebagai penggerak ekonomi masyarakat, yang memberi kontribusi cukup signifikan bagi pendapatan daerah dan memegang peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Adapun jenis usaha yang menggerakkan perekonomian Kabupaten Belu dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Perusahaan/Usaha dan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha di Kabupaten Belu 110 Sumber : Sensus Ekonomi 2006, BPS

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) Dari tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah usaha mikro dan usaha kecil sangat dominan, disamping usaha menengah dan besar dalam perekonomian Kabupaten Belu. Bagaimana karakteristik hubungan UMKM di Kabupaten Belu akan dilihat dari sisi hubungan usaha mikro dengan UKM dan hubungan UMKM dengan berbagai instansi Pembina. Selain jejaringan dengan pemasok dan konsumen yang telah tercipta, UMKM juga membina jejaring dengan berbagai instansi terkait. Dari observasi yang telah dilakukan, ternyata UMKM sebagian besar pernah memiliki dan membina jejaring dengan Perguruan Tinggi, dan instansi-instansi pemerintah seperti Departemen dan/atau Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, dan/atau dengan berbagai asosiasi UMKM, dengan perbankan, dan juga pernah berhubungan dengan BUMN seperti: PLN dan Jasa Raharja. Selain itu, UMKM juga mempunyai jejaringan dengan biro perjalanan, hotel, atau restoran yang terkait dengan aktivitas kepariwisataan. Karakteristik hubungan UMKM yang bergerak dalam bidang usaha peternakan sapi dan pertanian jagung dengan instansi terkait di Kabupaten Belu berdasarkan hasil observasi terhadap UMKM dapat dilihat pada gambar 12. Gambar 12. Karakteristik Hubungan UMKM dengan Instansi Terkait di Kabupaten Belu Memperhatikan gambar 12, dapat diketahui bahwa 45% dari UMKM telah pernah berhubungan dengan instansi pemerintah, 37% dengan asosiasi UMKM, 12% dengan Bank dan 5% dengan BUMN seperti PLN dan Jasa Raharja. 111

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 (2.2) Karakteristik UMKM di Kabupaten Sanggau Sama dengan pembahasan sebelumnya maka karakteristik hubungan UMKM di Kabupaten Sanggau juga akan dilihat dari sudut pandang hubungan usaha mikro dengan UKM dan hubungan UMKM dengan berbagai instansi terkait. Melalui gambar berikut dapat diidentifikasi bahwa UMKM yang bergerak di sektor pertanian dan perkebunan yaitu lada dan kakao memiliki karakteristik hubungan yang saling mengkait diantara mereka mulai dari tingkat produsen (petani) sampai pada pemasaran hasil pertanian/perkebunan. Adapun bentuk dan karakteristik hubungan antara UMKM tersebut dapat dilihat pada gambar 13. Grambar 13. Karakteristik UMKM Sektor Pertanian dan Perkebunan di Kabupaten Sanggau Gambar di atas menunjukkan UKM yang bergerak di sektor pertanian dan perkebunan memperoleh pasokan dari petani atau usaha mikro di masing masing lokasi. Masyarakat atau petani merupakan supply hasil pertanian dari perkebunan (kakao dan lada) yang dipasarkan ke Sanggau, Malaysia dan daerah lainnya di Indonesia. Petani dan UKM disini telah memiliki pangsa pasar yang jelas dan dengan dukungan infrastrukturnya, namun dalam kondisi ini yang banyak memperoleh manfaat dari alur distribusi yang telah tercipta adalah UKM karena mereka merupakan pedagang pengumpul, agen dan distributor, sedangkan petani tetap memperoleh nilai tambah yang kecil. 112

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) Karakteristik hubungan UMKM dengan berbagai Instansi di Kabupaten Sanggau dapat dilihat dari jejaringan yang telah dibina selama ini dengan dinas-dinas terkait yang ada seperti: Kementerian atau Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, dan/atau dengan berbagai asosiasi UMKM, lembaga perbankan, dan BUMN. Karateristik hubungan UMKM dengan instansi terkait di Kabupaten Sanggau digambarkan pada gambar 14. Gambar 14. Karakteristik Hubungan UMKM dengan Instansi Terkait di Kabupaten Belu Dari data di atas dapat diketahui bahwa instansi pemerintah (69%) masih merupakan institusi yang paling dominan dalam mendukung perkembangan UMKM di Kabupaten Sanggau. Pembinaan, pelatihan, bantuan perkuatan baik dalam bentuk phisik maupun pendanaan sangat dirasakan UKMK. Berbagai dinas terkait seperti pertanian, peternakan, koperasi dan UKM, perdagangan, perindustrian dan dinas-dinas lainnya setiap tahun mengalokasikan pendanaan dan melakukan pembinaan serta berbagai pelatihan dalam rangka pemberdayaan UKMK. Menurut pendapat UKMK peran lembaga perbankan (16%) sudah mulai menunjukkan keberadaannya yang semakin baik dalam mendukung UKMK, diikuti asosiasi UMKM (12%) dan BUMN (3%). 3.3. Model Peningkatan Peran KUMKM Kawasan Perbatasan Besarnya potensi sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan baik dilihat dari ketersediaan lahan maupun kesiapan masyarakat dalam mengelola 113

JURNAL VOLUME 6 - SEPTEMBER 2011 : 89-123 komoditi tersebut pada lokasi kajian (Kabupaten Belu dan Kabupaten Sanggau) merupakan hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah pusat maupun daerah dan pihak-pihat terkait lainnya untuk mendayagunakan potensi yang ada melalui upaya pemberdayaan masyarakat dengan menangani potensi lokal tersebut secara baik dan terencana. Bila hal ini bisa dilakukan setidaknya akan menjadi langkah awal pemberdayaan masyarakat di kawasan perbatasan melalui pendekatan KUMKM yang selama ini tidak banyak didorong. Pembangunan masyarakat kawasan perbatasan seolah-olah terbelenggu dan sulit dilakukan bila infrastruktur tidak terlebih dahulu disiapkan atau dibangun. Melalui pemberdayaan KUMKM ekonomi masyarakat diharapkan bisa berkembang dan maju sehingga timbul efek ganda yang mendorong pemerintah pusat dan provinsi untuk segera membangun infrastruktur pendukung. Penyusunan model harus bersifat dinamis dan melindungi kepentingan petani sebagai produsen atau penghasil komoditi. Untuk itu, kelembagaan petani/peternak/pedagang perlu diperkuat mulai dari pemberdayaan kelompok sampai pada pembentukan kelembagaan Koperasi sebagai wadah atau lembaga bisnis dimana mereka biasa mengelola usaha dengan baik. Oleh sebab itu, model ini dirancang supaya bisa digunakan atau dioperasionalkan di daerah atau tempat lain sejauh persyaratan dasar dan bersifat teknis sesuai dengan temuan lokasi kajian bisa dipenuhi. Adapun hal-hal yang mendasari penyusunan model antara lain : 1. Model merupakan suatu proses yang mesti dilakukan dalam upaya pemberdayaan KUMKM. 2. Model merupakan acuan bagi pihak-pihak terkait dalam pemberdayaan KUMKM. 3. Model dibuat terutama untuk melindungi kepentingan Usaha Mikro dan Kecil (petani, peternak dan pedagang kecil) yang selama ini selalu berada pada pihak yang dirugikan (mendapatkan nilai tabah paling kecil). 4. Model harus memberikan manfaat/keuntungan yang wajar dan terukur bagi KUMKM (objek yang disimulasikan) untuk diperankan dalam pemberdayaan potensi lokal/unggulan lokal. 5. Perancangan dan penerapan model berorientasi pada kepentingan pengguna (User-Centered-Design) dalam hal ini adalah KUMKM. Memperhatikan hal-hal yang dikemukakan di atas maka disusun rancangan Model Peningkatan Peran KUMKM di Kawasan Perbatasan seperti gambar 15. 114

MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN PERBATASAN (Indra Idris dan Saudin Sijabat) Gambar 15. Rancangan Model Peningkatan Peran KUMKM di Kawasan Perbatasan Model yang disusun sebagaimana terlihat pada gambar di atas biasa diimplementasikan dalam bentuk pilot proyek yang dikelola secara khusus dalam arti semua stakeholder harus tunduk pada ketentuan dan kesepakatan yang dibuat bersama yang tujuannya adalah untuk pemberdayaan potensi lokal dan pemberantasan kemiskinan, dimana dalam pengelolaan proyek keuntungan financial bukanlah merupakan tujuan utama. Rancangan model pada gambar 15 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Model ini ditujukan untuk peningkatan peran KUMKM dalam mengelola komoditi potensial daerah atau komoditi unggulan. Koperasi merupakan wadah kelembagaan yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan posisi tawar anggota (petani/peternak/ pedagang) sebagai kelompok usaha mikro dalam berbisnis dengan Usaha Kecil dan Usaha Menengah. Keberadaan koperasi tentunya diharapkan memberikan manfaat atau keuntungan yang optimal kepada anggotanya. Peran pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten diharapkan masih besar karena tanpa dukungan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten baik dalam kebijakan maupun pendanaan masih sulit untuk mendorong pembangunan kawasan perbatasan termasuk dalam pemberdayaan KUMKM. Pemerintah pusat diharapkan memberikan dukungan pendanaan dalam bentuk modal investasi, infrastruktur dan peningkatan capacity building dan disalurkan atau berkoordinasi dengan Badan Otoritas Pengelola 115