HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan menurut Soeparno (2005) adalah perubahan ukuran yaitu perubahan berat hidup, bentuk, dan komposisi tubuh termasuk di dalamnya perubahan komponen tubuh seperti otot, tulang, dan lemak pada karkas. Komponen-komponen tubuh mengalami pertambahan bobot seiring dengan pertumbuhan hingga ternak mencapai umur dewasa dengan urutan pertumbuhan yaitu pertumbuhan tulang, otot, kemudian lemak. Hasil bobot komponen karkas ternak kerbau dan sapi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Bobot dan Persentase Komponen Karkas Berdasarkan Spesies Ternak dengan Suplemen CGKK dan Non CGKK* Parameter Perlakuan Spesies Ternak Kerbau Sapi Rataan ----------------------------kilogram-------------------------- Daging CGKK 50,44±1,20 49,32±1,04 49,88±0,80 Non CGKK 51,08±1,24 50,23±1,05 50,66±0,80 Rata-rata 50,76±0,86 49,78±0,74 Tulang CGKK 17,91±0,91 19,59±0,78 18,75±0,60 Non CGKK 17,34±0,94 19,57±0,79 18,46±0,60 Rata-rata 17,62 b ±0,65 19,58 a ±0,56 Lemak CGKK 5,64±0,54 5,08±0,47 5,36±0,36 Non CGKK 5,56±0,56 4,19±0,47 4,88±0,36 Rata-rata 5,60±0,39 4,63±0,34 -------------------------------%------------------------------- Daging CGKK 68,14±1,60 66,62±1,39 67,38±1,06 Non CGKK 69,05±1,66 67,84±1,40 68,44±1,07 Rata-rata 68,59 1,15 67,23 0,99 Tulang CGKK 24,31±1,20 26,55±1,04 25,43±0,79 Non CGKK 23,44±1,24 26,62±1,04 25,03±0,79 Rata-rata 23,87 b 0,86 26,59 a 0,74 Lemak CGKK 7,55±0,70 6,2±0,61 7,18±0,47 Non CGKK 7,51±0,73 5,54±0,62 6,52±0,47 Rata-rata 7,54 0,50 6,18 0,44 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05). *data dikoreksi berdasarkan bobot karkas kiri yang sama pada 73,99 ± 5,52 kg. 27
Hasil analisis ragam pada bobot dan persentase komponen karkas menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara spesies ternak dan perlakuan pakan terhadap komponen karkas. Perlakuan pakan tidak berpengaruh (P>0,05) nyata terhadap komponen daging, tulang, dan lemak, namun jenis ternak berpengaruh nyata (P<0,05) pada komponen tulang saja. Bobot dan persentase komponen tulang pada kerbau lebih rendah dibandingkan dengan sapi. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan pada ternak kerbau lebih lambat dibandingkan dengan sapi sehingga pertumbuhan tulangnya pun menjadi lebih lama dan pada saat dipotong rata-rata berat tulang kerbau lebih rendah dibandingkan dengan tulang sapi. Dewasa tubuh sapi yaitu umur 2-2,5 tahun (Winarti, 2011) sedangkan kerbau tiga tahun (Fahimmudin, 1975). Sedangkan, hasil bobot komponen karkas ternak kerbau dan sapi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rasio Daging/Lemak (D/L) dan Daging/Tulang (D/T) Berdasarkan Spesies Ternak dengan Suplemen CGKK dan Non CGKK* Parameter Perlakuan Spesies Ternak Kerbau Sapi Rataan Daging/Lemak CGKK 9.32±1.76 9.94±1.53 9.63±1.17 Non CGKK 8.96 b ±1.82 14.41 a ±1.54 11.68±1.17 Rata-rata 9.14±1.26 12.17±1.09 Daging/Tulang CGKK 2.84±0.19 2.54±0.16 2.69±0.12 Non CGKK 2.94±0.19 2.57±0.16 2.76±0.12 Rata-rata 2.89±0.13 2.56±0.12 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05). *data dikoreksi berdasarkan bobot karkas kiri yang sama pada 73,99 ± 5,52 kg. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan spesies ternak tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap rasio daging/lemak (D/L) dan daging/tulang (D/T). Ada interaksi antara perlakuan pakan dan perbedaan spesies ternak terhadap rasio D/L. Rataan rasio D/L pada ternak kerbau tanpa pemberian CGKK sebesar 8,96 sedangkan sapi sebesar 14,41. Rataan rasio D/L pada ternak sapi lebih tinggi dibandingkan dengan ternak kerbau. Perhitungan rasio daging/lemak dan daging/tulang penting untuk dilakukan, hal ini disebabkan karena dihubungkan dengan tingkat perototan pada karkas dan nilai daging. Perototan pada karkas yang minimal dapat menurunkan rasio daging/tulang, sedangkan perototan pada karkas yang tebal dengan lemak yang randah dapat meningkatkan rasio daging/tulang 28
(Soeparno, 2011). Hopkins dan Fogarty (1998) menambahkan bahwa konformasi tubuh ternak yang baik yaitu dengan perbandingan daging dan tulang (D/T) yang tinggi. Sifat Fisik Daging Sifat fisik daging merupakan suatu faktor penentu dari kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi sifat fisik daging antara lain faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum meliputi genetik, spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, pakan, dan stres. Faktor sesudah yaitu metode palayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, ph daging, metode penyimpanan. Daging yang digunakan dalam pengujian kualitas fisik daging yaitu daging yang berasal dari bagian otot longissimus dorsi (LD). Otot longissimus dorsi adalah otot yang memanjang dari bagian posterior ke arah rusuk daerah thoracis dan dorsal processus transverses daerah lumbar. Ada beberapa parameter dalam pengukuran sifat fisik daging antara lain ph, keempukkan, susut masak, daya mengikat air (DMA), warna daging dan warna lemak (Soeparno, 2005). Data hasil penelitian yang berupa rataan sifat fisik pada daging sapi dan kerbau dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Sifat Fisik Berdasarkan Spesies Ternak dengan Suplemen CGKK dan Non CGKK Parameter Perlakuan Spesies Ternak Kerbau Sapi Rataan ph CGKK 5,37±0,04 5,51±0,25 5,45±0,19 Non CGKK 5,30±0,06 5,39±0,13 5,35±0,11 Rata-Rata 5,34±0,06 5,45±0,19 DMA (%) CGKK 20,33±5,51 20,0±5,48 20,14±5,01 Non CGKK 24,67±2,52 22,25±7,23 23,29±5,47 Rata-Rata 22,50±4,50 21,12±6,06 Keempukan CGKK 3,49±0,94 8,94±1,04 6,60±3,06 (kg/cm 2 ) Non CGKK 3,05±1,05 8,85±2,36 6,36±3,58 Rata-rata 3,27 b ±0,92 8,90 a ±1,69 Susut Masak (%) CGKK 46,67±1,16 51,25±5,56 49,28±4,68 Non CGKK 48,00±4,36 50,00±6,32 49,14±5,24 Rata-Rata 47,33±2,94 50,62±5,55 Warna Daging CGKK 6,00±0,00 3,75±0,50 4,71±1,25 Non CGKK 5,67±0,58 4,00±0,82 4,71±1,11 Rata-Rata 5,83 a ±0,41 3,88 b ±0,64 Warna Lemak CGKK 2,00±0,00 2,75±0,50 2,43±0,53 Non CGKK 2,00±0,00 2,50±0,58 2,28±0,49 Rata-Rata 2,00 b ±0,00 2,62 a ±0,52 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama perbedaan nyata (P<0,05). menunjukkan adanya 29
Nilai ph Pengukuran nilai ph digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman suatu substansi. Nilai ph tidak dapat langsung diukur setelah proses pemotongan, akan tetapi diukur 24 setelah proses pelayuan. Pengukuran nilai ph dilakukan dengan cara menusukkan ph meter pada daging yang akan diukur. Nilai ph dapat mempengaruhi susut masak, nilai keempukan, warna daging, dan daya mengikat air oleh protein daging. Jumlah cadangan glikogen otot pada saat proses pemotongan sangat mempengaruhi nilai ph suatu daging. Faktor lainnya yang mempengaruhi yaitu spesies, tipe otot, glikogen otot, temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan, dan tingkat stres pada ternak sebelum proses pemotongan (Soeparno, 2005). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai ph daging kerbau 5,34±0,06 dan daging sapi 5,45±0,19. Rataan nilai ph daging pada perlakuan pakan CGKK mencapai 5,45±0,19 dan pakan yang non CGKK 5,35±0,11. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa spesies ternak dan perlakuan pakan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ph (p>0,05) daging sapi dan kerbau serta tidak ada interaksi antar keduanya. Hal ini disebabkan karena ternak sapi dan kerbau mendapatkan perlakuan yang sama pada saat sebelum dan sesudah pemotongan. Perlakuan yang sama sebelum pemotongan mengakibatkan tingkat stres pada kedua ternak sama, hal ini menyebabkan jumlah glikogen di dalam otot pada kedua spesies tidak berbeda sehingga asam laktat yang terbentuk pun sama dan akhirnya menghasilkan ph daging yang tidak berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa perubahan ph suatu daging dapat disebabkan oleh tingkat stres pada ternak sebelum proses pemotongan. Nilai ph daging yaitu berkisar antara 5,4-5,8. Daya Mengikat Air Daya mengikat air (DMA) atau water holding capacity (WHC) adalah kemampuan protein daging untuk mengikat airnya sendiri atau air yang ditambahkan dari luar yaitu dari proses pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 2005). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi DMA suatu daging yaitu ph, temperatur, proses pelayuan, pemasakan, serta udara kering, spesies, umur, fungsi otot, pakan, penyimpanan, jenis kelamin, perlakuan sebelum pemotongan, dan 30
lemak intramuskuler. Jumlah asam laktat yang berbeda pada daging dapat mempengaruhi ph otot dan menyebabkan DMA pada setiap daging berbeda (Soeparno, 2005). Nilai DMA suatu daging diperoleh dari persentase air bebas yang keluar dari daging, sehingga semakin besar persentase air bebasnya maka daya mengikat air daging tersebut semakin rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian CGKK dan spesies ternak yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai DMA serta tidak ada interaksi antara keduanya. Hal ini disebabkan karena nilai ph juga tidak berpengaruh. Perlakuan yang sama sebelum pemotongan mengakibatkan tingkat stres pada kedua ternak sama, hal ini menyebabkan jumlah glikogen di dalam otot pada kedua spesies tidak berbeda sehingga asam laktat yang terbentuk pun sama dan akhirnya menghasilkan ph daging yang tidak berbeda. Oleh karena itu dengan ph yang tidak berpengaruh maka menyebabkan DMA pada daging tersebut tidak berpengaruh juga. Nilai daya mengikat air dipengaruhi oleh nilai ph, jika nilai ph menurun maka DMA suatu daging juga akan menurun karena nilai ph dan DMA berbanding lurus (Soeparno, 2005). Susut Masak Susut masak daging yaitu hilangnya bobot daging setelah proses pemasakan yang dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Susut masak dinyatakan dalam persentase. Faktor yang mempengaruhi susut masak yaitu ph, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging (Soeparno, 2005). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata susut masak daging kerbau 47,33±2,94 dan daging sapi 50,62±5,55. Rataan susut masak daging pada perlakuan pakan CGKK mencapai 49,28±4,68 dan pakan yang non CGKK 49,14±5,24. Kisaran susut masak pada daging yaitu 1,5%-54,5% (Soeparno, 2005). Semua data menunjukkan bahwa susut masak yang dihasilkan masih dalam kisaran tersebut. Besarnya susut masak dapat mengindikasikan jumlah jus di dalam daging. Daging dengan persentase susut masak yang rendah memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan daging dengan persentase susut masak yang besar. Hal ini berkaitan dengan hilangnya kandungan nutrisi di dalam daging tersebut. Daging yang susut masaknya rendah 31
mengindikasikan bahwa daging tersebut tidak terlalu banyak kehilangan nutrisi selama proses pemasakan (Soeparno, 2005). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa susut masak tidak berbeda pada kedua spesies ternak, begitu pun dengan perlakuan pemberian suplemen CGKK tidak ada perbedaan, interaksinya pun tidak ada. Hal ini dikarenakan faktor yang menyebabkan susut masak yaitu ph dan DMA. Hasil penelitian menunjukkan tidak berbeda nyata antara ph dan DMA, sehingga menyebabkan susut masak tidak berbeda. Menurut Soeparno (2005), faktor yang mempengaruhi susut masak yaitu ph, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging. Nilai Keempukan Keempukan daging menurut Soeparno (2005) merupakan salah satu faktor penentu yang kemungkinan paling penting untuk menentukan kualitas suatu daging. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keempukan suatu daging yaitu faktor antemortem dan faktor postmortem. Faktor antemortem terdiri dari genetik yang termasuk di dalamnya adalah bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin serta stres. Faktor yang kedua adalah faktor postmortem, faktor ini terdiri dari metode chilling, pelayuan dan pembekuan yang termasuk di dalamnya adalah faktor temperatur dan lama penyimpanan, serta metode pengolahan yaitu metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk daging. Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai keempukan berbeda pada kedua spesies ternak, namun dengan perlakuan pemberian suplemen CGKK tidak ada perbedaan serta tidak ada interaksi antar keduanya (jenis ternak dan perlakuan pakan). Nilai keempukan yang berbeda pada kedua jenis ternak ini disebabkan karena perbedaan spesies antar keduanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyebutkan bahwa keempukan suatu daging dapat berbeda diantara spesies dan bangsa pada otot yang sama. Nilai keempukan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu nilai keempukan pada kisaran 0-3 adalah empuk, lebih dari 3-6 adalah sedang, dan lebih dari 6 adalah alot. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai keempukan daging kerbau 3.27±0.92 dan daging sapi 8.90±1.69. Rataan nilai keempukan daging pada perlakuan pakan CGKK mencapai 6,60±3,06 dan pakan yang non CGKK 6,36±3,58. Nilai rataan keempukan daging kerbau lebih rendah dibandingkan dengan daging 32
sapi. Dilihat dari kisaran nilai keempukan daging kerbau dapat dikatakan bahwa daging kerbau tersebut masuk dalam kategori sedang sedangkan daging sapi masuk dalam kategori alot. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa daging kerbau lebih empuk dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan ternak kerbau tidak banyak bergerak pada saat penggemukan secara intensif, sehingga kolagen yang terbentuk sedikit. Pergerakan yang dimaksud yaitu sapi lebih sering naik ke tempat pakan dan berkelahi dengan sapi lain, sedangkan ternak kerbau lebih banyak istirahat setelah pemberian pakan. Menurut Soeparno (2005) menyatakan bahwa perbedaan keempukan suatu daging yang sama antar spesies disebabkan oleh perbedaan jumlah kolagen dan distribusi kolagen pada otot tidak merata tergantung pada aktivitas fisik dari masing-masing otot. Darminto et al. (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa daging kerbau kebanyakan keras dan tidak disukai oleh konsumen. Hal ini dikarenakan ternak kerbau bisanya dipotong pada usia yang relatif tua yaitu pada usia 5-7 tahun dan dipelihara secara ekstensif dengan cara digembalakan. Namun, dilihat dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau yang dipelihara dengan sistem intensif yaitu dengan cara dikandangkan dan diberi pakan yang berkualitas baik, daging kerbau ternyata lebih empuk dibandingkan dengan daging sapi walaupun dagingnya hanya masuk ke dalam kategori daging sedang. Hal ini dikarenakan tingkah laku kerbau saat dikandangkan cenderung tidak banyak bergerak. Oleh karena itu dapat mempengaruhi kandungan kolagen yang ada dijaringan ikat pada otot sehingga dapat mempengaruhi tingkat keempukan dari daging yang dihasilkan. Warna Daging dan Lemak Salah satu parameter dalam penentuan kualitas fisik daging yaitu warna daging dan lemak. Warna daging dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress, nilai ph dan oksigen. Namun, faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin. Faktor lain yang memiliki peranan yang paling besar dalam menentukan warna daging yaitu tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi fisik dan kimia komponen lain yang terkandung di dalam daging (Lawrie, 2003). 33
Penelitian ini menunjukkan bahwa spesies ternak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna daging yang dihasilkan, namun tidak berpengaruh nyata pada perlakuan pemberian CGKK dan tidak ada interaksi antara keduaanya (spesies dan perlakuan pemberian CGKK). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai warna daging kerbau 5.83±0.41 dan daging sapi 3.88±0.64. Rataan nilai warna daging pada perlakuan pakan CGKK mencapai 4,71±1,25 dan pakan yang non CGKK 4,71±1,11. Nilai rata-rata warna daging kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Dilihat dari skala warna daging tersebut daging kerbau dapat dikatakan bahwa daging kerbau tersebut masuk dalam kategori daging yang memiliki warna merah tua sedangkan daging sapi masuk dalam kategori daging berwarna merah cerah. Hal ini menunjukkan bahwa daging kerbau lebih berwarna gelap dibandingkan dengan daging sapi dikarenakan perbedaan spesies antara sapi dan kerbau yang menyebabkan konsentrasi mioglobin yang berbeda sehingga warna daging antara sapi dan kerbau berbeda. Soeparno (2005) menjelaskan spesies ternak adalah salah satu faktor penentu warna daging. Setiap spesies memiliki konsentrasi mioglobin yang berbeda-beda, oleh karena itu pada setiap spesies memiliki warna daging yang berbeda-beda. Kadar mioglobin daging sapi muda 1-3 mg/gr, daging sapi dewasa 4-10 mg/gr, dan lebih dari 6-20 mg/gr untuk daging sapi tua (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai warna lemak daging kerbau 2,00±0,00 dan daging sapi 2,62±0,52. Rataan nilai warna lemak daging pada perlakuan pakan CGKK mencapai 2,43±0,53 dan pakan yang non CGKK 2,28±0,49. Dilihat dari skala warna lemak daging tersebut daging kerbau dapat dikatakan bahwa daging kerbau tersebut masuk dalam kategori daging yang memiliki warna lemak kuning pucat sedangkan daging sapi masuk dalam kategori daging berwarna putih agak kekuning-kuningan. Hasil analisis ragam menyebutkan bahwa spesies ternak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna lemak daging namun perlakuan pemberian CGKK tidak berpengaruh nyata (P>0,05) dan tidak ada interaksi antara keduanya. Rata-rata warna lemak daging kerbau lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan daging sapi, artinya bahwa lemak daging kerbau lebih putih dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rukmana (2003), lemak kerbau berwarna lebih putih dan apabila diraba akan lebih melekat pada jari jika 34
dibandingkan dengan daging sapi. warna lemak daging sapi lebih kuning dibandingkan dengan lemak daging kerbau. Hal ini disebabkan karena konsentrasi pigmen karotenoid yang larut di dalam lemak (Soeparno, 2011). 35