PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada ternak penghasil susu yaitu sapi perah. Menurut Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia (2010), kesadaran masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan susu sebagai komoditas ekonomi dengan nilai yang sangat strategis. Namun, permintaan susu yang semakin meningkat ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi susu. Industri Pengolahan Susu (IPS) memprediksi bahwa konsumsi susu masyarakat Indonesia pada tahun 2020 adalah 6 milyar liter susu segar atau 16,5 juta liter per hari. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai target konsumsi susu dibutuhkan minimal 1.325.000 ekor sapi laktasi atau populasi sapi perah sebesar 2,6 juta ekor (Ma sum, 2012), sedangkan produksi susu segar dalam negeri sendiri baru mampu memenuhi sekitar 30% kebutuhan nasional dengan sisanya didapatkan dengan cara impor (DITJEN PKH, 2009). Kesenjangan antara pertumbuhan konsumsi dengan produksi susu menyebabkan jumlah impor susu Indonesia terus meningkat dimana bila kondisi ini tidak diwaspadai akan terjadi kesenjangan kemandirian dan kedaulatan pangan yang mengakibatkan pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia menjadi sangat bergantung dari kondisi pasar negara eksportir (Farid dan Sukesi, 2011). 1
2 Peningkatan produktivitas sapi perah tidak hanya dilakukan melalui perbaikan lingkungan, namun diperlukan pula mengenai peningkatan mutu genetik melalui program seleksi. Makin et al. (1985) menyatakan keberhasilan peningkatan mutu genetik sangat bergantung pada dua hal, yaitu proses penentuan kualitas genetik superior dari sapi perah yang akan digunakan dan efektivitas sifat superior tersebut untuk dilakukan pengembangan lebih lanjut. Sapi perah Friesian Holstein (FH) cenderung mengalami penurunan performan produksi ketika dipelihara pada kondisi yang berbeda, seperti perbedaan budidaya peternak rakyat dan adanya cekaman iklim tropis di Indonesia. Sapi betina atau pejantan FH memiliki variasi yang luas dari kemampuan genetiknya dalam menghasilkan atau mewariskan produksi susu, sehingga hal ini memberi peluang dalam memperbaiki genetik melalui proses seleksi. Seleksi menjadi salah satu cara pemuliaan yang perlu dilakukan untuk memproduksi sapi perah bibit dengan tingkat kemampuan produksi susu yang tinggi sehingga target konsumsi susu masyarakat Indonesia pada tahun 2020 dapat tercapai (Anggraeni, 2012). Susu segar di dalam negeri sebagian besar dihasilkan oleh sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) dengan sentra budidaya sapi perah berpusat di Pulau Jawa. Budidaya sapi perah di Pulau Jawa ini menyebar pada tiga provinsi terpadat, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat (Anggraeni, 2012; DITJEN PETERNAKAN, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya suatu usaha seleksi mengenai keragaman genetik dan penyebaran sapi PFH di Indonesia sehingga dapat dilakukan peningkatan mutu genetik dari sapi perah. Identifikasi keragaman genetik dan penyebaran sapi lebih banyak
3 dilakukan melalui analisis kartu recording dan survey lapangan dari produksi susu dibandingkan dengan identifikasi pada tingkat genetik molekuler. Identifikasi keragaman genetik pada tingkat molekuler dapat dilakukan melalui analisis protein dan variasi DNA mitokondria (mt.dna). Identifikasi keragaman genetik melalui analisis protein tidak memberikan hasil yang maksimal akibat polimerfisme protein yang rendah. Polimerfisme protein yang rendah akan menyebabkan ketidakmampuan protein mempengaruhi mobilitas maupun produk yang dihasilkan. Faktor polimorfisme protein yang rendah dipengaruhi oleh adanya perbedaan pada sekuen DNA yang mengkode asam-asam amino bermuatan netral, kesamaan substitusi asam amino, ketidakpastian hasil dari substitusi nukleotida pada basa ketiga kodon dan adanya sekuen-sekuen DNA yang tidak mampu mengkode protein seperti pada sekuen intron atau daerah sisi pengapit lain (spacer) yang merupakan daerah hypervariable sebagai penanda DNA. Hasil yang tidak maksimal pada proses identifikasi keragaman genetik melalui analisis protein menyebabkan beberapa peneliti mengalihkan proses identifikasi berdasarkan variasi DNA mitokondria (mt.dna) (Solihin, 1994). DNA mitokondria merupakan penanda genetik berdasarkan silsilah maternal (haploid) pada sapi yang dapat menunjukkan sejarah kawanannya (Ascunce et al., 2007). Solihin (1994) menyatakan pemilihan mt.dna sebagai penanda genetik pada proses identifikasi keragaman genetik didukung oleh beberapa faktor, yaitu jumlah kopi yang tinggi dalam mt.dna, ukuran mt.dna yang relatif kecil (14-39 kb) sehingga dapat dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh dan bagian-bagian dalam genom mt.dna memiliki kecepatan evolusi yang
4 berbeda sehingga dapat digunakan sebagai penanda DNA pada proses identifikasi. Faktor tingginya jumlah kopi dalam mt.dna berpengaruh terhadap kemudahan proses isolasi dan purifikasi dalam analisis genom. Widayanti (2006) menyatakan mt.dna terbagi menjadi fragmen penyandi protein (coding) dan bukan penyandi protein (non coding). Fragmen coding dalam genom mitokondria terdiri dari Cytochrome b (Cyt b), Cytochrome oxidase-c dan gen lain yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi hubungan spesies dari genus atau famili yang sama. Fragmen non coding di dalam genom mitokondria adalah fragmen Displacement loop (D-Loop). Fragmen D-Loop sering digunakan untuk melakukan identifikasi genetik dan hubungan kekerabatan antar spesies hewan karena sifat mutasi yang tinggi sehingga perubahan runutan dari basa nukleotida tidak hanya terjadi pada tingkatan inter-spesies namun hingga intraspesies. Abdullah et al. (2008) menyatakan fragmen D-Loop memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi dalam menggambarkan keragaman genetik. Penggunaan penanda genetik D-Loop diharapkan dapat digunakan sebagai dasar klasifikasi genetik sapi FH yang berasal dari Kabupaten Sleman dan Kabupaten Purwokerto sehingga peningkatan mutu genetik dari sapi perah Indonesia dapat terpenuhi demi tercapainya target konsumsi susu di Indonesia tahun 2020.
5 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan kekerabatan sapi perah PFH yang berasal dari Kabupaten Sleman dan Kabupaten Purwokerto pada tingkat molekuler berdasar sekuen gen penyandi D-Loop. Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang gambaran klasifikasi dasar genetik hubungan kekerabatan sapi perah PFH yang berasal dari Kabupaten Sleman dan Kabupaten Purwokerto. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk melakukan seleksi bibit sapi perah terbaik sehingga peningkatan mutu genetik sapi perah PFH di Indonesia dapat tercapai.