I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang semakin membaik, menyebabkan permintaan pangan bertambah dalam jumlah, mutu dan keragamannya (Badan Intelijen Negara, 2012). Kenaikan penghasilan tentu saja akan mempengaruhi pola konsumsi pangan penduduk. Peningkatan penghasilan dalam keluarga akan menimbulkan pergeseran dalam pola konsumsi pangan. Dalam masyarakat yang bepenghasilan rendah, biasanya makanan mereka lebih didominasi oleh karbohidrat. Itulah hal yang menyebabkan masyarakat yang berpenghasilan rendah cukup sering mengalami kekurangan protein. Protein yang mereka konsumsi pada umumnya berasal dari protein hewani yang berkadar relatif rendah (Ancok, 2004). Situasi pangan nasional saat ini bila dikaji melalui program ketahanan pangan nasional tahun 2012, produksi komoditas sumber pangan karbohidrat strategis yang meningkat adalah padi dan jagung, sedangkan yang mengalami penurunan adalah kedelai. Sementara itu, pangan sumber protein hewani yang meningkat adalah daging sapi (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2012). Produk utama asal ternak yang sangat penting dalam memenuhi gizi masyarakat serta menjadi komoditas ekonomi yang strategis adalah daging, telur, dan susu. Dari ketiga produk pangan tersebut, komoditas daging khususnya 1
daging sapi adalah salah satu dari lima komoditas strategis yang diharapkan akan mencapai swasembada pada tahun 2014 mendatang. Hal ini dikarenakan permintaan akan komoditas ini yang cenderung berfluktuasi setiap tahunnya (Susenas BPS dalam Kementan, 2011). Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan kesadaran masyarakat, pangan yang bergizi dan berprotein semakin disadari untuk menjadi bagian dari menu sehari-hari. Protein merupakan zat gizi yang dikonsumsi paling banyak setelah karbohidrat. Keadaan ini menyebabkan kecenderungan peningkatan konsumsi protein hewani yang dipenuhi dengan mengkonsumsi berbagai jenis ikan, daging, telur, dan susu. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1. bahwa konsumsi perkapita daging, telur, dan susu mengalami perrtumbuhan 5,34 persen untuk daging, 39,78 persen untuk telur, dan 41,56 persen untuk susu. Tabel 1.1. Konsumsi Daging, Telur, dan Susu Nasional Tahun 2006-2010 Jenis Tahun Pertumbuhan 2006 2007 2008 2009 2010 (%) Konsumsi Nasional (000 ton) 1. Daging 1.457,56 1.529,30 1.643,09 1.732,64 1.671,33-3,54 2. Telur 1.205,36 1.298,15 1.453,04 1.569,81 1.737,17 10,66 3. Susu 2.534,96 2.555,27 2.125,33 2.277,20 3.947,45 73,35 Konsumsi Perkapita (kg/kapita/tahun) 4. Daging 6,35 6,27 6,43 6,60 6,95 5,34 5. Telur 4,98 5,59 5,35 5,17 7,23 39,78 6. Susu 11,06 11,70 9,51 11,60 16,42 41,56 Konsumsi Protein (gram/kapita/hari) 5,51 5,72 5,92 6,03 6,15 1,99 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011 Pemerintah memprediksi kebutuhan daging sapi tahun 2013 mencapai 500.000 ton dari tahun sebelumnya yaitu 484.000 ton. Meningkatnya kebutuhan daging sapi ini disebabkan meningkatnya populasi masyarakat Indonesia kelas menengah. Permintaan konsumsi daging sapi yang cukup besar ini membuktikan 2
bahwa daging sapi merupakan salah satu produk yang memiliki nilai perekonomian serta permintaan pasar yang tinggi (Anonim, 2013). Menurut Wibowo (2001), pola konsumsi suatu daerah dengan daerah yang lain tidak sama, perbedaan pola konsumsi antar daerah bisa disebabkan oleh perbedaan tingkat pendapatan, jumlah penduduk, harga barang-barang substitusi, komplementer, selera dan budaya. Provinsi DKI Jakarta termasuk yang paling besar jumlah penduduknya daripada berbagai kota besar lainnya di Indonesia. Hal ini berhubungan erat dengan status kota ini sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan yang bersifat ganda yaitu sebagai Ibu Kota Negara dan sekaligus Ibu Kota Provinsi. Selain itu, Provinsi DKI Jakarta juga dihadapkan pada suatu tantangan untuk menyediakan bahan pangan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai sesuai kebutuhan masyarakatnya. Keberadaan dan peran sektor pertanian, kelautan, perikanan, peternakan, dan kehutanan di Provinsi DKI Jakarta dalam mendukung upaya pemenuhan ketahanan pangan, pengembangan agribisnis dalam kegiatan perekonomian sangat penting menyadari bahwa DKI Jakarta tidak memiliki potensi produk-produk hasil pertanian untuk pemenuhan konsumsi masyarakat kota Jakarta. Oleh karena itu, peningkatan koordinasi dengan produsen hasil pertanian, pembinaan dan pengawasan produk-produk hasil pertanian yang dipasarkan di DKI Jakarta sangat dibutuhkan dengan harapan kegiatan tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat terhadap produk-produk hasil pertanian. Produk hasil pertanian yang dipasarkan di DKI Jakarta, selain untuk pemenuhan konsumsi masyarakat kota Jakarta juga untuk ekspatriat dan 3
wisatawan yang berkunjung ke Jakarta. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, produk-poduk hasil pertanian yang telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat harus diawasi supply dan demand-nya. Artinya, produk-produk hasil pertanian yang masuk ke DKI Jakarta mutlak memerlukan pengaturan dan penanganan secara tepat, sehingga ketahanan pangan di Provinsi DKI Jakarta dapat terjaga baik dari segi pasokan maupun kualitasnya. Pada saat ini tercatat sebanyak lebih dari 10 juta penduduk yang tinggal di Jakarta. Tingginya jumlah penduduk yang berada di wilayah kota Jakarta juga mempengaruhi tingkat konsumsi daging (sapi/kerbau/kambing/domba dan ayam). Permintaan terhadap produk pangan hewani ini cenderung terus meningkat setiap tahun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Konsumsi dari komoditi daging menempati urutan pertama dengan jumlah konsumsi 9,11 gram protein per kapita per hari, diikuti komoditi telur dengan jumlah konsumsi 6,26 gram protein per kapita perhari, dan yang terakhir adalah komoditi susu dengan jumlah konsumsi 1,79 gram protein per kapita per hari (Tabel 1.2). Selain faktor penduduk, faktor yang turut mendorong meningkatnya permintaan daging sapi adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat dari bahan pangan sumber protein nabati ke bahan pangan sumber protein hewani. Fenomena ini diperkirakan akan terus berlanjut kedepan (Rusma dan Suharyanto, 2004). 4
Tabel 1.2. Konsumsi Daging, telur, dan Susu di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2006-2010 (gram protein/kapita/hari) Komoditi Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 1. Daging 8.4 8.74 8.82 9.09 9.11 2. Telur 4.02 4.12 4.33 6.02 6.26 3. Susu 1.7 1.71 1.72 1.79 1.79 4. Protein Hewani 14.12 14.56 14.87 16.9 17.16 Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, 2012 Tingkat konsumsi daging sapi penduduk DKI Jakarta meningkat setiap tahunnya. Namun, daerah ini merupakan daerah yang ketersediaan daging sapinya tergantung dari luar Jakarta. Daerah pemasok daging sapi ke Jakarta adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan NTT. Hal ini disebabkan karena tidak ada peternakan sapi di daerah ini (Tabel 1.3). Produk peternakan seperti daging sapi pada umumnya memiliki harga yang relatif tinggi dibandingkan komoditas pangan lainnya, sehingga permintaan produk peternakan berkaitan erat dengan kemampuan dan daya beli konsumen. Semakin meningkatnya pendapatan masyarakat DKI Jakarta menyebabkan permintaan akan produk-produk bermutu tinggi semakin meningkat. Selain itu juga berkaitan dengan jumlah penduduk yang selalu meningkat akibat dari dampak perkembangan kota yang cukup pesat, sehingga terjadi arus urbanisasi yang cukup tinggi setiap tahun (Adiyoga et al., 2002). Tabel 1.3. Pangsa Konsumsi dan Produksi Sapi Potong Provinsi Populasi (%) Konsumsi (%) Jawa Timur Jawa Barat DKI Jakarta Sumatera Jawa Tengah Sulawesi Nusa Tenggara Kalimantan 36 2 0 15 16 10 14 3 25 20 16 10 10 8 6 5 Sumber : Ilham dan Yusdja, 2004 5
Hampir semua Provinsi secara relatif dapat memenuhi kebutuhan daging sapi dari pemeliharaan sapi setempat. Namun untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta yang permintaannya sangat besar harus mendatangkan produksi dari daerah lainnya. Kegiatan mendatangkan sapi potong ini didasari oleh perilaku masyarakat yang masih menginginkan daging segar (hot meat) sehingga mengharuskan proses pemotongan sapi dilakukan di daerah sentra konsumsi. Ketergantungan DKI Jakarta akan pasokan daging dari wilayah lain juga tercermin dari harga yang selalu lebih tinggi dari wilayah lain (Bank Indonesia, 2008). Menurut Ilham dan Yusmichad (2004) selain harga produk dan produk substitusinya, permintaan daging sapi, juga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jumlah penduduk dan selera masyarakat. Untuk kondisi Indonesia, sentra konsumsi daging sapi masih berada di sekitar wilayah perkotaan. Permintaan di wilayah ini cenderung lebih tinggi, karena jumlah penduduk yang lebih padat dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah pedesaan. Data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2011) menunjukkan bahwa konsumsi daging sapi segar untuk tingkat rumah tangga di DKI Jakarta 0,36 kg/kapita/tahun. Peranan Rumah Potong Hewan (RPH) dalam pemenuhan daging sapi baik dari segi kualitas maupun kuantitas memegang peranan penting. Daging adalah produk yang dikonsumsi dan dimakan oleh manusia sehingga banyak aspek seperti kehalalan, kesehatan, dan kualitasnya yang perlu disesuaikan dengan teknologi yang dipergunakan. Dalam rangka memenuhi konsumsi daging sapi di DKI Jakarta, ternak sapi harus didatangkan dari beberapa pulau di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. 6
Menurut laporan dari PD. Dharma Jaya (2000), daerah yang memasok kebutuhan ternak sapi adalah Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan beberapa daerah lainnya. 1.2 Perumusan Masalah Seiring peningkatan pendapatan masyarakat Jakarta, jumlah masyarakat golongan menengah pun juga semakin meningkat. Adanya peningkatan perekonomian membuat permintaan akan daging sapi juga semakin meningkat, seiring dengan kesadaran masyarakat akan gizi dan kemampuan daya beli masyarakat yang meningkat. Jumlah permintaan akan daging sapi juga harus diimbangi dengan pasokan yang mencukupi. Dari segi permintaan, jumlah permintaan daging sapi tidak hanya dipengaruhi oleh harga daging sapi itu sendiri, akan tetapi juga dipengaruhi oleh harga barang-barang lain seperti harga daging ayam, harga ikan, harga minyak goreng, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan konsumen yang mencerminkan daya beli. Sehingga perlu diketahui seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap permintaan daging sapi. Hal lain yang perlu diketahui yaitu bagaimana elastisitas permintaan komoditi daging sapi dan prediksi kebutuhan daging sapi di Provinsi DKI Jakarta pada masa mendatang, serta bagaimana peran pemerintah dalam menjaga ketersediaan daging sapi demi memenuhi permintaan daging sapi di Provinsi DKI Jakarta. 7
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi di Provinsi DKI Jakarta 2. Mengetahui elastisitas harga, elastisitas pendapatan dan elastisitas harga silang terhadap permintaan daging sapi di Provinsi DKI Jakarta. 3. Memprediksi permintaan daging sapi di Provinsi DKI Jakarta pada masa mendatang. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi yang berguna bagi berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain : 1. Bagi peneliti, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan seputar daging sapi. 2. Bagi pengusaha agribisnis, diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan informasi untuk mengetahui perkembangan permintaan daging sapi pada masa mendatang serta sebagai bahan pertimbangan untuk investasi di sektor komoditi daging sapi di Provinsi DKI Jakarta. 3. Bagi pemerintah, diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan informasi mengenai kebutuhan daging sapi sehingga dapat membantu dalam merumuskan kebijakan pemenuhan kebutuhan daging sapi di Provinsi DKI Jakarta. 8