II. TINJAUAN PUSTAKA A. MAKANAN ENTERAL

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL YANG BAIK (CPMEB) DAN APLIKASINYA DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA AMIROH

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1096/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG HIGIENE SANITASI JASABOGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Penyelenggaraan kegiatan pelayanan gizi di Rumah Sakit, pada dasarnya terdiri dari kegiatan pengadaan makanan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

CARA PRODUKSI PANGAN Jejaring Promosi Keamanan Pangan dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu Nasional SIAP SAJI YANG BAIK

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

Regulasi sanitasi Industri Pangan

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

Pengawetan pangan dengan pengeringan

BAB IV KURSUS HIGIENE SANITASI MAKANAN

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

WAHYU WIJIATI RAHAYU RUMAH SAKIT PUSAT PERTAMINA JAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

BAB I PENDAHULUAN. adanya makanan maka manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya. Makanan

BAB I PENDAHULUAN. pangan yang ada. Betapapun tinggi nilai gizi suatu bahan pangan atau. maka makanan tersebut tidak ada nilainya lagi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

ANALISIS CEMARAN MIKROBA PADA KUE BASAH DI PASAR BESAR KOTA PALANGKA RAYA. Susi Novaryatiin, 1 Dewi Sari Mulia

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk makanan dari jasaboga. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik

I. PENDAHULUAN. sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari

GMP (Good Manufacturing Practices) Cara Pengolahan Pangan Yang Baik

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada usia 6 bulan saluran pencernaan bayi sudah mulai bisa diperkenalkan pada

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM CEMARAN LOGAM BERAT DALAM PANGAN OLAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

PENGARUH LAMA FERMENTASI & JENIS SUMBER NITROGEN TERHADAP PRODUKTIVITAS & SIFAT FISIK NATA DE LONTAR

2017, No Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negar

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

- 5 - BAB II PERSYARATAN TEKNIS HIGIENE DAN SANITASI

ANALISIS COLIFORM PADA MINUMAN ES DAWET YANG DIJUAL DI MALIOBORO YOGYAKARTA

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

TENTANG KATEGORI PANGAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEAMANAN PANGAN UNTUK INDONESIA SEHAT. keterkaitannya dengan penyakit akibat pangan di mana masalah keamanan pangan di suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

Food SUSU SUSU. Mitos. Minum BISA PACU TINGGI BADAN? Susu BISA GANTIKAN. for Kids. Makanan Utama? pada Bumil. Edisi 6 Juni Vol

HIGIENE SANITASI PANGAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

sebagai vector/ agen penyakit yang ditularkan melalui makanan (food and milk

Inovasi Olahan dan Limbah Meningkatkan SDM dan Ekonomi Petani

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sanitasi Peralatan. Nikie Astorina YD, SKM, M. Kes Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput-rumputan. Tanaman

Air demineral SNI 6241:2015

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan air panas. Susu kedelai berwarna putih seperti susu sapi dan

BAB I PENDAHULUAN. pemilihan adalah faktor keamanan pangan. Dalam dunia industri. khususnya industri pangan, kontaminasi pada makanan dapat terjadi

Oleh: Nurul Huda Clara Meliyanti Kusharto Merry Aitonami DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN. Produksi. Pangan Olahan.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. Pengertian Makanan

PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. bisa melaksanakan rutinitasnya setiap hari(depkesri,2004).

PAPER BIOKIMIA PANGAN

4. PEMBAHASAN 4.1. Implementasi checklist SSOP dan GMP 4.2. Titik Kendali Kritis HACCP Plan

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan itu harus memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan hidup manusia.

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia

Lampiran 1. Aspek Penilaian GMP dalam Restoran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal diselenggarakan. makanan dan minuman (UU RI No.

LEMBAR KUESIONER PENILAIAN SENSORIS PRODUK SUSU UHT FULL CREAM PADA RESPONDEN DEWASA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

Analisa Mikroorganisme

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG SERTIFIKASI LAIK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi

BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN

No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara.

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

PENGARUH PERENDAMAN DALAM LARUTAN GULA TERHADAP PERSENTASE OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT SENSORIK TEPUNG KACANG KEDELAI (Glycine max)

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. MAKANAN ENTERAL Pemberian makanan yang tepat pada pasien akan meningkatkan kualitas hidup, mencegah malnutrisi serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Ditinjau dari teksturnya makanan dapat berupa makanan padat, lunak ataupun cair. Sedangkan jalur pemberian makanan dapat melalui oral, enteral dan parenteral (Almatsier 2005). Pada kondisi tertentu kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi dalam bentuk makanan padat bahkan kadang-kadang tidak dapat melalui jalur oral yaitu jalur normal melalui mulut. Jika hal ini terjadi maka pemberian makanan enteral dapat menjadi pilihan. Menurut Escot-Stump (1998) yang dimaksud makanan enteral yaitu semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam tubuh lewat saluran cerna, baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun selang melalui lubang stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum (jejunostomi). Disamping itu, dikenal pula makanan yang diberikan melalui parenteral yaitu pemberian makanan melalui vena dalam bentuk cairan formula khusus (Almatsier 2005). Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian nutrisi enteral ialah jalur masuknya makanan, ukuran pipa makanan yang digunakan, volume formula yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasien, toleransi sistem saluran cerna dan kondisi klinis pasien (Lukito et al. 2008). Makanan enteral dapat diklasifikasikan berdasarkan penggunaan pada situasi klinik yaitu makanan enteral standar yang digunakan untuk pasien dengan fungsi saluran cerna yang normal dan makanan enteral spesifik yang digunakan pada pasien dengan kondisi penyakit yang membutuhkan nutrisi khusus misalnya kelainan ginjal, diabetes mellitus dan kondisi kritis (Lukito et al. 2008) Berdasarkan formulanya makanan enteral juga dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis formula yaitu formula rumah sakit (FRS) dan formula komersial (FK). Makanan enteral FRS, dibuat dari beberapa bahan pangan yang diracik dan dibuat di rumah sakit dengan menggunakan blender. Konsistensi larutan, kandungan zat-zat gizi, dan osmolaritas dapat berubah pada setiap

6 pembuatan dan rentan terhadap kontaminasi. Sedangkan makanan enteral FK, berupa bubuk yang siap dicairkan atau berupa cairan yang dapat segera dipakai. Nilai gizinya bermacam-macam sesuai kebutuhan; konsistensi dan osmolaritasnya tetap; praktis menyiapkannya dan tidak mudah terkontaminasi (Simadibrata 2009). Ditinjau dari jenis diet dan bahan bakunya, Simadibrata (2009) mengelompokan makanan enteral FRS menjadi: 1). Makanan cair tinggi energi dan tinggi protein dengan bahan baku terdiri dari susu full cream, susu skim, susu rendah laktosa, telur, glukosa, gula pasir, tepung beras, minyak kacang dan sari buah; 2). Makanan cair rendah laktosa dengan bahan baku terdiri dari susu rendah laktosa, telur, gula pasir, maizena dan minyak kacang; 3). Makanan cair tanpa susu (bebas laktosa) dengan bahan baku terdiri dari telur, kacang hijau, wortel jeruk, tepung beras dan gula pasir; dan 4). Makanan khusus untuk penyakit hati, rendah protein untuk penyakit ginjal, rendah purin untuk penyakit gout dan diet diabetes. Berdasarkan konsistensinya, Almatsier (2005) mengelompokkan makanan cair menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu makanan cair jernih, makanan cair penuh dan makanan cair kental. Ada dua formula makanan cair penuh yaitu formula rumah sakit (FRS) dan formula komersial (FK). Makanan cair penuh formula rumah sakit terdiri dari: 1) Formula dengan susu full cream atau skim diperuntukkan bagi pasien dengan gangguan lambung, usus halus tetapi kolon bekerja normal; 2) Makanan hasil blender bila pasien memerlukan tambahan makanan berserat; 3) Formula rendah laktosa untuk pasien yang tidak tahan terhadap laktosa (laktose intolerance); dan 4) Formula tanpa susu untuk pasien yang tidak tahan protein susu. Mahan et. al (2012) mensyaratkan makanan enteral sebagai berikut: 1) Memiliki kepadatan kalori tinggi dengan kepadatan ideal yaitu 1 kcal/ml; 2) Kandungan nutrisinya seimbang yaitu memenuhi kebutuhan energi per hari dan kebutuhan komponen gizi yang lain; 3) Osmolaritas makanan enteral sesuai dengan osmolaritas cairan tubuh; 4) Komponen penyusun bahan baku makanan enteral mudah diabsorpsi sehingga sedikit atau tanpa memerlukan pencernaan; dan 5) Tanpa atau kurang mengandung serat maupun laktosa. Sedangkan

7 USFDA (1995) menetapkan batas maksimum mikroba aerobik dalam pangan rumah sakit baik dalam bentuk cair maupun tepung yaitu 10 4 CFU/g dan Moffit et al. (1997) menyatakan bahwa CFU/g makanan enteral equivalen ke CFU/mL. B. PANGAN SIAP SAJI (PSS) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan menyebutkan bahwa pangan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan (BPOM 2004). Pada umumnya, pengendalian mutu dan keamanan pangan siap saji meliputi empat tahap, yaitu saat pembelian dan penerimaan bahan pangan; saat penyimpanan; penyiapan dan pengolahan; dan penyajian pangan (Rahayu 2010 ). Menurut Rahayu (2010) ada delapan prinsip penanganan pangan siap saji yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan pangannya yaitu praktek higiene karyawan yang ketat; pengendalian waktu dan suhu pengolahan; memastikan bahan pangan segar disimpan terpisah dengan pangan siap konsumsi; memastikan kebersihan dan sanitasi permukaan kerja yang kontak dengan pangan; memasak hingga atau lebih besar dari suhu internal minimum pangan; mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih dari 60 0 C atau suhu pangan dingin pada 5 0 C atau lebih rendah; mendinginkan pangan matang yang panas hingga 5 0 C dalam waktu selambatnya 4 jam; memanaskan kembali pangan untuk disajikan selama lebih dari 15 detik pada suhu internal 74 0 C dalam selang waktu dua jam. C. KEAMANAN PANGAN Definisi keamanan pangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Bahaya adalah suatu faktor yang keberadaannya pada bahan pangan dapat menimbulkan masalah kesehatan konsumen yaitu meliputi bahaya biologis, kimia atau fisik (BPOM 2004).

8 Bahaya biologis berasal dari benda hidup; umumnya mikroba, yang keberadaannya pada bahan pangan menimbulkan masalah kesehatan konsumen. Mikroba yang dimaksud adalah mikroba patogen yang dapat menyebabkan diare, sakit perut, muntah sampai gagal ginjal dan dapat menyebabkan kematian (Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011). Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi bahaya biologis yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari ph, kadar air, aktivitas air (aw), nutrien, senyawa anti mikroba, struktur biologis dan lain-lain. Faktor ekstrinsik terdiri dari suhu, kelembaban, gas (karbon dioksida, ozon, sulfur dioksida ) dan lain-lain (Winarno 2011b). Bahaya kimia adalah segala bahan kimia yang bersifat racun; sehingga mengancam kesehatan manusia. Bahaya kimia ini dapat berasal dari bahan pangan sendiri, maupun berasal dari luar. Bahaya kimia yang berasal dari bahan itu dapat berasal dari proses metabolisme bahan ataupun hasil metabolisme mikroba yang berada pada bahan pangan tersebut. Sedangkan bahaya kimia yang berasal dari luar, dapat digolongkan dalam bahan bahaya yang masuk secara sengaja (intentionally) ataupun yang secara tidak sengaja ditambahkan (non-intentionally) pada bahan pangan (Hariyadi & Dewanti- Hariyadi 2011). Bahaya fisik bisa berupa fisik bahan pangan itu sendiri ataupun bahan fisik lain yang keberadaannya dapat mengancam keselamatan konsumen. Bahaya fisik benda asing dapat berupa pecahan atau patahan tulang, logam, kaca, batang kayu yang dapat menyebabkan kesehatan atau kecelakaan bagi konsumen. Bahaya fisik yang disebabkan oleh kondisi fisik bahan pangan itu sendiri, misalnya tekstur dan ukuran produk (Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011). D. GMP (Good Manufacturing Practices) GMP adalah persyaratan minimum sanitasi dan pengolahan untuk menjamin pangan yang diroduksinya aman dan bermutu. Tujuan dan perlunya menerapkan GMP adalah untuk memberikan panduan tata cara khusus (Specific Codes) yang diperlukan bagi setiap rantai pangan, proses pengolahan, atau penanganan komoditi bahan pangan untuk mencegah terjadinya kesalahan dan meningkatkan prinsip pelaksanaan persyaratan higiene yang spesifik bagi masing-masing bidang tersebut (Winarno 2011a). Panduan tata cara khusus produksi pangan yang baik dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor

9 75/M-IND/PER/7/2010 yaitu tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices). Ruang lingkup pedoman tersebut meliputi lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi, mesin dan peralatan, bahan, pengawasan proses, produk akhir, laboratorium, karyawan, pengemas, label dan keterangan produk, penyimpanan, pemeliharaan dan program sanitasi, pengangkutan, dokumen dan catatan, pelatihan, penarikan produk dan pelaksanaan pedoman (Kementerian Perindustrian 2010). Cara produksi pangan yang baik untuk pangan siap saji menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yaitu cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan; mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan mengendalikan proses antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan serta cara penyajian (BPOM 2004). Pedoman cara produksi pangan siap saji yang baik tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Menurut peraturan tersebut jasaboga adalah usaha pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha. Pengelolaan makanan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penerimaan bahan makanan mentah atau terolah, pembuatan, pengubahan bentuk, pengemasan, pewadahan, pengangkutan dan penyajian (Kementerian Kesehatan 2011). Peraturan tersebut menggolongkan jasaboga kedalam tiga kelompok yaitu golongan A, B dan C. Jasaboga golongan A merupakan jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat umum, golongan B melayani kebutuhan masyarakat dalam kondisi tertentu dan golongan C melayani kebutuhan masyarakat di dalam alat angkut umum internasional dan pesawat udara (Kementerian Kesehatan 2011).

10 Pelayanan jasaboga golongan B meliputi a) asrama haji, asrama transito atau asrama lainnya, b) industri, pabrik, pengeboran lepas pantai, c) angkutan umum dalam negeri selain pesawat udara dan d) fasilitas pelayanan kesehatan. Jasaboga golongan ini akan mendapatkan sertifikat kelaikan fisik higiene sanitasi antara lain bila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan minimal 90,2 % dan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap pangan yang dihasilkan menunjukkan cemaran kimia pada makanan negatif; bakteri E.coli 0/gram contoh; dan tidak dijumpai adanya mikroba patogen pada penjamah makanan yang diperiksa dengan cara usap dubur/rectal swab (Kementerian Kesehatan 2011). Makanan enteral FRS diproduksi oleh unit penyelenggara makanan pada pelayanan kesehatan. Oleh karena itu pedoman cara produksi makanan enteral FRS yang baik mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga khususnya untuk jasaboga golongan B. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan teknis higiene dan sanitasi, cara pengolahan makanan yang baik dan kursus higiene sanitasi makanan bagi pengusaha/pemilik/penanggungjawab dan penjamah makanan yang bekerja di jasaboga. Persyaratan tersebut terdiri dari beberapa parameter. Parameter yang dimaksud tercantum pada Lampiran 1 yaitu uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga (Kementerian Kesehatan 2011). Berdasarkan hasil penelitian Oliveira et. al (2000) menyebutkan bahwa blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan enteral menjadi penyebab utama terjadinya kontaminasi. Oleh karena itu disarankan pencucian blender dilakukan dengan cara membongkar peralatan dan diikuti dengan sanitasi menggunakan disinfektan, setiap kali selesai proses. Sumber kontaminasi yang lain yaitu higiene karyawan, wadah makanan enteral, air atau lingkungan. Oliveira et al. (2001) juga menyebutkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan terhadap penerapan HACCP makanan enteral di rumah sakit menemukan bahwa rata-rata suhu lemari pendingin yang dipergunakan untuk menyimpan makanan enteral siap konsumsi menunjukkan suhu diatas yang disarankan, yaitu di atas 7 0 C. Menurut Jay et al. (2005) bahwa suhu untuk penyimpanan dingin idealnya adalah 4,4 0 C atau diantara 0 dan 7 0 C. Hasil

11 penelitian itu juga menyarankan agar sistem distribusi makanan enteral ke pasien dilakukan dengan sistem sentralisasi. Ruang pengolahan dibagi menjadi dua dengan jendela sebagai penghubungnya. Ruang pertama dipergunakan untuk membersihkan dan mensanitasi peralatan dan ruang kedua hanya untuk mempersiapkan dan memblender makanan enteral (Oliveira et al. 2001).