BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN ASAM DAN GARAM SEBAGAI UPAYA REDUKSI OKSALAT PADA TEPUNG TALAS (Colocasia esculenta (L.) Schott)

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp.

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Rendemen

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

VARIETAS UNGGUL UBIKAYU UNTUK BAHAN PANGAN DAN BAHAN INDUSTRI

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DA PEMBAHASA

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula,

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011).

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencarian

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016 Agustus 2016 di. Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro, Semarang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN PERAN BAHAN PEMUTIH NATRIUM PIROPOSPHATE (Na 2 H 2 P 2 O 7 ) TERHADAP PROSES PEMBUATAN TEPUNG UBI JALAR. Tjatoer Welasih 1) dan Nur Hapsari1 )

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

PENGARUH KONSENTRASI SENYAWA PHOSPAT DAN PERBANDINGAN AIR PEREBUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG INSTAN HANJELI (Coix lacryma-jobi L.).

HASIL DAN PEMBAHASAN. a b c. Pada proses pembentukan magnetit, urea terurai menjadi N-organik (HNCO), NH + 4,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh Pra Perlakuan dan Jenis Larutan Ekstraksi terhadap Rendemen Gelatin yang Dihasilkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong

Transkripsi:

A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan berasal dari Bogor, namun sebagai data pembanding maka dianalisis pula kadar proksimat dari umbi talas yang berasal dari Banten, Malang dan Kalimantan Barat. Dasar pemikiran yang digunakan dalam penentuan jenis talas ini dikarenakan tingginya tingkat konsumsi oleh masyarakat luas dan juga ketersediaan umbi dalam setiap tahunnya. Umbi talas yang digunakan adalah yang berumur rata-rata 6-7 bulan. Pemilihan umbi talas Bogor ini didasarkan pada ketersediaan bahan baku yang memadai, kemudahan memperoleh bahan baku serta waktu panen yang dapat dikontrol dengan mudah. Karakteristik masing-masing umbi disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Data analisis karakteristik umbi talas Talas Bogor Talas Banten Talas Kalbar Talas Malang Kadar air (% bb) 77.00 84.65 67.09 53.5 Kadar abu (% bk) 9.36 13.70 6.22 2.48 Kadar pati (% bk) 18.05 6.87 22.33 30.85 Kadar lemak (% bk) 1.15 2.17 2.26 0.67 Kadar protein (% bk) 2.59 7.17 1.99 2.73 Kadar oksalat (ppm) 8578.28 61783.75 7328.18 10887.61 Rendemen tepung(%) 28.17 12.99 25.31 31.33 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa dari berbagai jenis talas yang digunakan menunjukkan bahwa kandungankandungan dalam setiap talas memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya (Lampiran 2). Kadar air Hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa talas Malang memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan dengan kandungan talas Bogor, talas Banten, dan talas Kalbar (Tabel 4). Pemilihan bahan baku 17

dengan menggunakan kadar air sebagai parameter pengukuran dilakukan untuk mengetahui berapa banyak rendemen yang dapat dihasilkan oleh setiap bahan. Semakin tinggi kadar air bahan maka rendeman tepung yang akan dihasilkan akan menjadi semakin sedikit. Kadar abu Hasil analisis kadar abu umbi talas tertinggi dimiliki oleh talas Banten (13.70%) (Tabel 4). Kadar abu berhubungan dengan kandungan mineral suatu bahan. Sebagian besar bahan makanan yaitu sekitar 96 % terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal juga sebagai bahan anorganik atau kadar abu. Kadar pati Pati khususnya dan karbohidrat umumnya merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk dunia. Kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting tepung baik sebagai bahan pangan maupun non-pangan. Pati tersusun dari dua macam polimer polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Untuk menghasilkan tepung yang baik, bahan yang digunakan sebaiknya memiliki kandungan pati yang tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat dilihat bahwa kandungan pati pada tiap bahan berbeda beda. Kandungan pati yang tertinggi diperoleh pada talas Malang (30.85%), sedangkan pada talas Banten kandungan patinya merupakan yang paling rendah (6.87%) (Tabel 4). Kadar lemak Lemak dan minyak adalah bahan-bahan yang tidak larut dalam air, berasal dari tumbuhan dan hewan. Sebagian besar lemak dan minyak merupakan trigliserida, ester dari gliserol, dan berbagai asam lemak (Buckle,1987). Kadar lemak tertinggi hasil analisis pada tahap ini dimiliki oleh talas Kalbar (2.26%) sedangkan umbi talas yang lain hanya berkisar antara 0.67-18

2.17% (Tabel 4). Rendahnya kadar lemak merupakan ciri bagi tepung yang berasal dari umbi-umbian. Kadar protein Hasil analisis menunjukkan bahwa umbi talas memiliki kadar protein yang cukup tinggi berkisar antara 1.99-7.17%. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa kadar protein talas umumnya memiliki kadar yang lebih tinggi (20 g/kg) dibanding umbi lain, misalnya ubi kayu dan ubi jalar yang rata-rata memiliki kadar protein sebesar 12g/kg (Margono et al., 1993). Kadar protein tertinggi dimiliki oleh umbi talas Banten dan terendah adalah umbi talas Kalbar (Tabel 4). Rendemen Rendemen merupakan persentase perbandingan antara berat tepung talas yang dihasilkan dengan berat bersih talas. Jumlah rendemen menentukan efisiensi suatu proses pengeringan, dimana semakin besar jumlah rendemen yang dihasilkan semakin efisien pula proses tersebut karena jumlah bahan yang hilang atau rusak semakin sedikit. Nilai rendemen tepung talas terbesar dimiliki oleh talas Malang sebesar 31.33% dan terendah adalah talas Banten 12.99% (Tabel 4). Perbedaan nilai rendemen disebabkan oleh jenis varietas talas serta metode yang digunakan dalam pembuatan tepung talas. Perbedaan ukuran mesh pada tepung pun dapat mempengaruhi nilai rendemen. Pada penelitian ini, tepung talas yang dihasilkan memiliki ukuran 100 mesh. Kadar air bahan pun dapat mempengaruhi nilai rendemen tepung. Kadar air bahan berkurang selama pengeringan akibat terjadinya proses penguapan. Semakin tinggi kadar air bahan maka semakin rendah nilai rendemen karena semakin banyak bahan yang menguap. Hal ini ditunjukan oleh talas Banten yang memiliki kadar air tertinggi dan juga memiliki rendemen tepung terendah. Selain itu, kehilangan lain dapat pula terjadi akibat tercecernya bahan yang menempel pada alat pengering serta bahan yang tertinggal pada saat penggilingan tepung. 19

Kadar oksalat Oksalat (C 2 O 2+ 4 ) di dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut air (asam oksalat) dan tidak larut air (biasanya dalam bentuk kalsium oksalat atau garam oksalat). Kadar oksalat pada umbi talas yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 7328.18-61783.75 ppm. Kadar oksalat tertinggi dimiliki oleh talas Banten, sedangkan kadar terendah dimiliki oleh talas Kalbar (Tabel 4). Kandungan oksalat pada talas diduga sebagai salah satu penyebab timbulnya rasa gatal saat dikonsumsi, disamping senyawa protease yang juga terdapat pada talas. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa terdapat korelasi antara kadar protein dengan kadar oksalat yang terkandung pada talas. Semakin tinggi kadar protein pada suatu bahan maka kandungan oksalat pada bahan tersebut pun akan semakin tinggi. Umbi yang memiliki kadar protein rendah akan memiliki kadar oksalat yang rendah pula, begitu sebaliknya, umbi yang memiliki kadar protein tinggi akan memiliki kadar oksalat yang tinggi pula. B. PENELITIAN UTAMA TAHAP I Penelitian utama dibagi dalam dua tahap, yaitu penelitian utama tahap I dan penelitian utama tahap II. Penelitian utama tahap I bertujuan untuk mereduksi kadar oksalat larut air yang terdapat pada sampel. Pada tahap ini, dilakukan penentuan waktu dan suhu perendaman dalam air hangat yang paling maksimum dalam mereduksi oksalat, yang selanjutnya akan digunakan pada penelitian utama tahap II. Waktu dan suhu perendaman ini diperlukan untuk mengetahui titik maksimum saat kandungan oksalat yang terdapat pada bahan dapat tereduksi secara maksimal. Berdasarkan literatur diketahui bahwa komponen oksalat terlarut dapat direduksi kadarnya dengan cara perendaman dalam air hangat (38-48ºC) selama kurang dari 4 jam tanpa menyebabkan terjadinya reaksi gelatinisasi pada pati bahan tersebut (Huang dan Hollyer, 1995). Oleh karena itu, pada penelitian tahap ini dipilih suhu perendaman sebesar 40º dan 50º C selama 1, 2, 3 dan 4 jam. 20

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perendaman potongan umbi dalam air hangat menunjukkan nilai persentase reduksi oksalat yang cukup baik, hal ini diduga karena adanya peristiwa difusi oksalat larut air yang terdapat dalam bahan ke air perendaman, sehingga oksalat larut air akan larut dan terbuang bersama air perendaman. Akibatnya kandungan oksalat yang terdapat dalam bahan akan tereduksi oleh air perendaman. Persentase pengurangan kadar oksalat akibat proses perendaman dengan air hangat dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil persentase pengurangan kadar tertinggi ditunjukan pada hasil perendaman dengan suhu 40 C selama 3 jam (81.96%). Hal ini diduga karena pada titik ini merupakan titik yang paling maksimal saat granula pati mulai mengalami proses pengembangan, dan pada saat yang bersamaan oksalat larut air yang terdapat di dalam granula terekstrak dan larut bersama air perendaman kemudian keluar dari granula tersebut. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan perendaman yang kemudian dilakukan pada penelitian utama tahap I adalah perendaman dalam suhu 40 C selama 3 jam. Gambar 5. Histogram persentase reduksi total oksalat hasil perendaman air hangat C. PENELITIAN UTAMA TAHAP II Penelitian utama tahap II dilakukan dengan tujuan mereduksi senyawa oksalat yang berikatan dengan senyawa lain yang tidak dapat larut dalam air, 21

misalnya kalsium oksalat. Pada tahap ini dilakukan pengamatan mengenai pengaruh perlakuan perendaman dalam larutan asam dan garam terhadap kadar oksalat menggunakan jenis umbi sesuai hasil penelitian pendahuluan, yaitu umbi talas Bogor dan direndam dalam air hangat pada suhu 40ºC selama 3 jam (hasil penelitian utama tahap I). Analisis yang dilakukan meliputi kadar oksalat, kadar air, dan derajat warna, kemudian untuk proses perendaman terbaik akan dilakukan analisis lebih lanjut yang meliputi kadar pati, Water Soluble Index (WSI) dan Water Absorption Index (WAI), viskositas pasta, dan sifat amilografi. 1. Kadar Oksalat Pengukuran kadar oksalat dilakukan terhadap umbi talas setelah melalui proses perendaman dalam suhu 40ºC selama 3 jam, dan dilakukan perendaman dalam larutan asam (klorida (HCl) atau asam sitrat) atau garam NaCl (pada tiga taraf konsentrasi dan dua taraf waktu perendaman). Analisis kadar oksalat ini dilakukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatograph), dan hasilnya berupa peak dengan luas area tertentu yang kemudian dikonversi dalam satuan ppm kadar oksalat. Hasil chromatogram dapat dilihat pada Lampiran 4. Dengan adanya perlakuan proses perendaman dalam larutan asam dan garam diharapkan kadar oksalat yang dihasilkan akan lebih rendah dibandingkan sampel tanpa perlakuan maupun pada perlakuan perendaman dalam air hangat. Asam Klorida (HCl) Proses perendaman dalam larutan HCl mampu mereduksi kadar oksalat pada bahan hingga 98.59% (97.87 ppm). Nilai ini diperoleh pada perlakuan dengan konsentrasi 0.5 M selama 5 menit, sedangkan nilai reduksi oksalat terendah diperoleh pada perlakuan perendaman dengan konsentrasi 0.1 M selama 5 menit yaitu sebesar 2.91% (Lampiran 5 dan Gambar 6). Persentase reduksi oksalat akibat proses perendaman dalam larutan asam HCl pada konsentrasi 0.1, 0.3, dan 0.5 M selama 5 dan 10 menit menghasilkan nilai reduksi oksalat yang 22

cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan, begitu pula dengan lama perendaman menghasilkan rata-rata nilai reduksi yang cenderung meningkat. Reaksi antara asam klorida dan kalsium oksalat akan membentuk asam oksalat yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium klorida. Hal ini disebabkan oleh sifat asam klorida yang termasuk jenis asam kuat (pk a =-8,0) yang dapat terdisosiasi penuh dalam air, sehingga mampu melarutkan kalsium oksalat menjadi asam oksalat (Lide, 1980-1981 dan Perry et al.,1984). Menurut Suharso (1997), semakin tinggi konsentrasi suatu zat maka jumlah partikel yang terdapat pada zat tersebut akan semakin banyak. Oleh karena itu semakin banyak jumlah ion asam klorida maka semakin banyak pula reaksi yang terjadi dengan partikel oksalat yang terdapat dalam bahan. Hal tersebut dapat menyebabkan kandungan oksalat yang tersisa dalam bahan semakin sedikit. Asam Sitrat Pada proses perendaman dalam larutan asam sitrat, persentase reduksi oksalat mencapai titik maksimal pada konsentrasi 0.3 M dengan nilai persentase reduksi rata-rata sebesar 78.79%, namun pada konsentrasi 0.5 M nilai ini kembali menurun dengan rata-rata sebesar 26.61% (Lampiran 6). Penurunan nilai persentase reduksi ini dapat disebabkan karena partikel oksalat yang terdapat pada sampel tidak berikatan dengan sempurna dengan partikel yang terdapat dalam asam sitrat, sehingga masih banyak oksalat yang tertinggal dalam sampel. Hal ini dapat disebabkan karena adanya kejenuhan pada senyawa oksalat untuk dapat berikatan lagi dengan asam sitrat. Hasil sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) (Lampiran 7) untuk larutan asam klorida dan asam sitrat menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman dan tingkat konsentrasi larutan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai persentase reduksi oksalat, dengan nilai rata-rata reduksi oksalat pada larutan HCl sebesar 62.33% dan 23

pada larutan asam sitrat sebesar 45.42%. Namun interaksi antara lama perendaman dan konsentrasi larutan terhadap persentase reduksi oksalat menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan perendaman dalam asam klorida yang mampu mereduksi oksalat tertinggi ditunjukkan pada konsentrasi 0.5 M (85.08%), sedangkan pada asam sitrat terdapat pada perlakuan 0.3 M (78.79%) (Gambar 6). Uji lanjut Duncan yang dilakukan (Lampiran 7) untuk interaksi antara faktor konsentrasi dan waktu perendaman menunjukkan bahwa nilai rata-rata reduksi oksalat tertinggi dimiliki oleh perlakuan perendaman pada larutan asam klorida 0.5 M selama 5 menit (98.59%), nilai ini berbeda nyata dengan nilai persentase reduksi oksalat pada setiap perlakuan lainnya. Bila dibandingkan dengan rata-rata persentase reduksi oksalat dengan perlakuan larutan asam klorida, perlakuan dengan asam sitrat memiliki nilai rata-rata persentase reduksi oksalat yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan kekuatan sifat asam sitrat yang juga lebih rendah yaitu pka1=3.15; pka2= 4.77; dan pka3= 5.19 (Wikipedia, 2009) dibanding asam klorida yang memiliki nilai pka=-8,0. Hal ini berhubungan dengan hasil pengukuran ph larutan asam klorida dan asam sitrat pada saat proses perendaman. Asam klorida pada konsentrasi 0.1, 0.3, dan 0.5 M berturut-turut memiliki nilai ph sebesar 4.1, 3.9, dan 3.8. Sedangkan ph asam sitrat pada proses perendaman dengan konsentrasi yang sama memiliki nilai berturut-turut sebesar 5.7, 5.5, dan 5.2. Semakin kecil nilai ph larutan menunjukkan bahwa semakin tinggi pula tingkat keasaman larutan tersebut. 24

e b b b d d f c c c a a Gambar 6. Histogram persentase reduksi oksalat setelah proses perendaman dalam larutan asam Garam Natrium (NaCl) Perendaman pada larutan garam (NaCl) menunjukkan nilai persentase reduksi oksalat yang cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan, begitu pula pada proses lama perendaman memiliki nilai persentase reduksi yang cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu perendaman. Hal ini dapat dilihat pada perendaman yang menghasilkan nilai reduksi tertinggi terdapat pada larutan garam 10% selama 60 menit sebesar 96.83% sedangkan nilai terendah terdapat pada larutan garam 7.5% selama 30 menit yaitu sebesar 62.73% (Lampiran 8 dan Gambar 7). Hasil sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa proses perendaman dengan tiga konsentrasi larutan dan lama waktu perendaman menunjukkan nilai yang berpengaruh nyata terhadap persentase reduksi oksalat. Begitu pula dengan interaksi antara konsentrasi larutan dengan waktu perendaman menunjukkan nilai yang berpengaruh nyata terhadap hasil persentase reduksi oksalat. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 8) nilai rata-rata reduksi oksalat tertinggi dimiliki oleh perlakuan perendaman 25

dengan konsentrasi 10% (93.62%), nilai ini saling berbeda nyata dengan konsentrasi 5% dan 7.5%. Nilai rata-rata persentase reduksi oksalat tertinggi yang dihasilkan pada taraf konsentrasi 10% ini menunjukkan, bahwa semakin banyak partikel Na + dan Cl - yang terdapat dalam larutan maka semakin banyak pula ikatan yang dapat terjadi dengan partikel Ca 2+ 2- dan C 2 O 4 yang menghasilkan natrium oksalat yang larut dalam air sehingga kadar oksalat pada sampel dapat tereduksi secara maksimal melalui air perendaman yang terbuang. Perendaman dalam garam (NaCl) dapat mengurangi kandungan oksalat yang terdapat dalam umbi talas. Penurunan kadar oksalat terjadi karena reaksi antara natrium klorida (NaCl) dan kalsium oksalat (CaC 2 O 4 ). Garam (NaCl) dilarutkan dalam air terurai menjadi ion-ion Na + dan Cl -. Ion-ion tersebut bersifat seperti magnet. Ion Na + menarik ion yang bermuatan negatif dan Ion Cl - menarik ion yang bermuatan positif. Pada reaksi ini ion Na + mengikat ion C 2 O 2-4 membentuk natrium oksalat (Na 2 C 2 O 4 ) yang dapat larut dalam air dengan nilai kelarutan dalam air 3,7 g/100 ml pada suhu 20ºC dan 6,25 g/100 ml pada suhu 100ºC, dan ion Cl - mengikat Ca 2+ membentuk endapan putih kalsium diklorida (CaCl 2 ) yang mudah larut dalam air. Reaksi yang terjadi antara NaCl dan CaC 2 O 4 yang menghasilkan CaCl 2 dan Na 2 C 2 O 4 disebut dengan reaksi penggaraman. Garam-garam tersebut terdiri dari logam dan sisa asam. Pertukaran ikatan yang terjadi pada reaksi ini dapat disebabkan oleh nilai energi ionisasi yang dimiliki oleh Na (495.8 kj/mol) yang lebih rendah dibanding Cl (1251.2 kj/mol) (Wikipedia, 2010). Hal ini menyebabkan unsur Na + memiliki sifat untuk mudah melepaskan satu elektron dan membentuk ion bermuatan +1 bersama C 2 O 2-4, dan bila dilihat dari nilai keelektronegatifan dari unsur Cl - yang lebih tinggi (3.16) dibanding Na + (0.93) berdasarkan skala Pauling, maka Cl - memiliki sifat yang cenderung mudah untuk menerima elektron membentuk ion negatif bersama Ca 2+. Pertukaran elektron inilah yang kemudian menyebabkan pertukaran ikatan pada 26

reaksi yang terjadi. Reaksi antara NaCl dengan kalsium oksalat dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut ini: NaCl + CaC 2 O 4 Na 2 C 2 O 4 + CaCl 2 a b bd d e c Gambar 7. Histogram persentase reduksi oksalat setelah proses perendaman dalam garam (NaCl) Kesimpulan 2. Kadar Air Berdasarkan hasil penelitian proses perlakuan perendaman dari tiga jenis larutan yang digunakan pada tiga taraf konsentrasi dan dua taraf lama perendaman diketahui bahwa rata-rata persentase reduksi oksalat tertinggi didapat pada hasil perendaman dengan larutan NaCl. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 8) yang dilakukan, nilai ini memiliki hasil yang berbeda nyata dengan larutan HCl dan asam sitrat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perlakuan perendaman terbaik sebagai upaya reduksi oksalat pada tepung talas dapat dilakukan dengan perendaman umbi talas pada larutan NaCl. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya tahan bahan tersebut. Untuk memperpanjang daya tahan bahan maka sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan cara yang sesuai 27

dengan jenis bahan, seperti cara pengeringan. Pengeringan pada tepung mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dapat dihambat. Bahan yang mempunyai kadar air tinggi biasanya lebih cepat busuk dibandingkan dengan bahan yang berkadar air rendah, karena adanya aktivitas mikroorganisme. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tetap tumbuh adalah 14-15% (Fardiaz,1986). Berdasarkan hasil penelitian kadar air yang dihasilkan tepung talas setelah mengalami perlakuan perendaman dalam larutan asam dan garam berkisar antara 5.8-7.59 % (bb) (Lampiran 9). Kadar air yang rendah berperan penting dalam menjaga keawetan suatu bahan pangan. Kadar air umumnya berbanding lurus dengan a w, yaitu semakin kecil kadar air, maka semakin kecil a w sehingga semakin awet bahan pangan tersebut. Kadar a w yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba pada bahan pangan sehingga bahan pangan menjadi lebih awet (Winarno, 1997). Hasil sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dalam larutan asam klorida, asam sitrat, dan garam (NaCl) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air yang dihasilkan. 3. Derajat Warna Derajat warna tepung talas diukur menggunakan sistem Hunter. Tingkat kecerahan (L) yang dimiliki oleh tepung talas tanpa perlakuan memiliki nilai rata-rata 84.54 nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai L pada tepung setelah mengalami proses perlakuan perendaman dengan larutan asam maupun garam. Nilai L tertinggi dihasilkan oleh tepung yang mengalami perlakuan perendaman dengan larutan NaCl 5% selama 60 menit (96.49). Hasil pengukuran warna tepung talas dapat dilihat pada Lampiran 10. Untuk analisis nilai a, seluruh produk menunjukkan nilai positif dengan nilai a tertinggi pada tepung tanpa perlakuan (2.66) dibanding tepung hasil perlakuan, nilai terendah dimiliki oleh tepung hasil perendaman dengan NaCl 5% selama 30 menit (0.33). Untuk analisis nilai 28

b, seluruh produk juga menunjukkan nilai positif dengan nilai terbesar tetap pada tepung tanpa perlakuan (11.92) dan nilai terendah pada tepung hasil perendaman dengan NaCl 5% 60 menit (5.03). Dengan demikian dapat dilihat bahwa tepung talas hasil perendaman dengan larutan NaCl 5% 60 menit memiliki warna kuning yang paling cerah diantara tepung talas lainnya. Penampakan dari tepung talas hasil perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil pengukuran nilai total derajat warna (ΔE) dengan menggunakan standar putih, didapat hasil ΔE terkecil terdapat pada perlakuan dengan perendaman dalam larutan NaCl 5% selama 60 menit (6.08) sedangkan nilai tertinggi terdapat pada tepung tanpa perlakuan (19.80). Berdasarkan nilai ini dapat diketahui bahwa semakin kecil nilai ΔE menandakan bahwa tepung yang dihasilkan pun semakin putih mendekati warna standar yang digunakan. Hasil sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) terhadap nilai ΔE (Lampiran 10) menunjukkan bahwa warna tepung hasil perlakuan perendaman dengan jenis larutan pada konsentrasi dan lama waktu tertentu menghasilkan nilai yang tidak berpengaruh nyata, begitu pula interaksi antara konsentrasi larutan dengan lama waktu perendaman menunjukkan nilai yang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ΔE yang dihasilkan pada tepung hasil perlakuan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan larutan NaCl memiliki nilai yang berbeda nyata (α<0.05) dengan perlakuan perendaman dalam larutan asam (HCl dan asam sitrat). Namun perlakuan dengan dua jenis larutan asam menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (α>0.05). Perendaman dalam larutan NaCl yang menghasilkan warna tepung lebih putih dapat disebabkan oleh salah satu sifat senyawa natrium yang berfungsi sebagai garam natrium dari asam lemak yang mampu mengikat kotoran, sehingga air rendaman akan bebas dari kotoran dan menyebabkan sampel hasil perendaman pun memiliki tingkat kebersihan yang lebih tinggi. Natrium klorida pun merupakan bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan 29

klorin. Klorin merupakan salah satu unsur yang berfungsi sebagai bahan pemutih (wikipedia, 2010). Berdasarkan hasil analisis mengenai proses perendaman terbaik dalam upaya reduksi oksalat dan meningkatkan kualitas warna tepung maka dapat disimpulkan bahwa proses perendaman terbaik adalah dengan larutan NaCl pada konsentrasi 10% selama 60 menit. Hal ini dilihat dari berbagai pertimbangan dan salah satunya menitikberatkan pada nilai persentase reduksi oksalat. Berdasarkan faktor persentase reduksi oksalat dan derajat warna pada tepung diketahui bahwa perlakuan perendaman terbaik terdapat pada larutan garam NaCl. Bila dilihat berdasarkan persentase reduksi oksalat dari larutan NaCl, konsentrasi larutan yang mampu mereduksi oksalat paling maksimal terdapat pada konsentrasi 10% dengan waktu perendaman selama 60 menit. Begitu pula dengan derajat warna tepung yang dihasilkan memiliki tingkat yang lebih cerah rata-rata pada perendaman selama 60 menit. 4. Kadar Pati Pada tahap penelitian ini, analisis kadar pati dilakukan sebagai upaya untuk melihat seberapa besar pengaruh penambahan larutan perendaman terbaik dalam hal ini NaCl 10% selama 60 menit, terhadap tepung talas yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa dengan perlakuan perendaman larutan NaCl kadar pati yang dihasilkan cenderung menurun dibanding kadar pati pada tepung tanpa perlakuan. Perlakuan perendaman yang dilakukan memiliki hasil yang berpengaruh nyata setelah diuji keragamannya pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 12). Berdasarkan uji lanjut Duncan, kadar pati pada tepung tanpa perlakuan memiliki nilai yang berbeda nyata dengan kadar pati tepung hasil perendaman dengan rata-rata nilai sebesar 31.31%. Penurunan kadar pati pada tepung ini dapat disebabkan karena adanya proses perendaman dalam air, sehingga pati yang terdapat pada sampel terekstrak keluar dan akhirnya ikut terbuang bersama air rendaman. Penurunan kadar pati tepung talas dapat dilihat pada Gambar 8. 30

a b b Gambar 8. Histogram kadar pati tepung talas 5. Sifat Amilografi Menurut Greenwood et.al. (1973), jika suspensi pati dipanaskan, maka granulanya akan mengembang. Semakin meningkat suhu pemanasan, pengembangan granula semakin besar. Pengembangan tersebut akan kembali ke bentuk semula apabila belum tercapai suhu gelatinisasi. Dalam penelitian ini suhu gelatinisasi tepung talas lebih rendah dibanding tepung terigu yaitu sebesar 78ºC (Tabel 5), nilai ini sesuai dengan hasil penelitian Ridal (2003). Pada proses pengembangan granula akan terjadi penekanan antar granula sehingga viskositas pasta akan naik. Pengembangan granula dibatasi oleh fraksi amilosa karena amilosa dapat memperkuat integritas granula. Pengembangan granula tersebut akan memperlemah gaya kohesif sehingga integritas granula berkurang (Greenwood et al., 1973). Menurut Leach (1965), setiap granula pati tidak selalu mengembang pada suhu yang sama. Komponen protein, lemak dan gula pada tepung juga mempengaruhi suhu awal gelatinisasi. Berdasarkan hasil analisis, suhu awal gelatinisasi tepung talas lebih rendah dibanding tepung terigu, hal ini dapat disebabkan oleh kadar lemak yang dikandung oleh masing-masing tepung. Tepung terigu memiliki kadar lemak sebesar 1.3% sedangkan tepung talas sebesar 0.71%. Semakin tinggi kadar lemak yang dikandung suatu tepung, maka akan semakin tinggi pula suhu awal gelatinisasi yang dicapai. 31

Tepung Menurut Glicksman (1969), lemak mampu berperan sebagai penkompleks amilosa dengan membentuk endapan yang tidak larut sehingga akan menghambat pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian diperlukan energi yang lebih besar untuk melepaskan amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi. Nilai viskositas puncak tepung talas yang dihasilkan berada pada titik 160 BU. Pada titik ini granula pati akan mengembang pecah dan diikuti dengan penurunan viskositas dan pada saat yang bersamaan granula pati pun telah kehilangan sifat birefringence. Suhu dimana viskositas puncak tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi. Tabel 5. Perbandingan sifat amilograf tepung talas dengan tepung terigu Suhu awal gelatinisasi Suhu puncak viskositas Viskositas puncak (BU) Viskositas 93ºC (BU) Viskositas 93ºC/20 (BU) Viskositas 50ºC (BU) Terigu 81.0 - - 130 170 270 Talas 78.0 93.0 160 160 150 310 Pendinginan pasta tepung umbi dari suhu 93ºC ke suhu 50ºC meningkatkan viskositas pasta. Menurut Wurzburg (1968), kenaikan viskositas pada pendinginan disebabkan terjadinya ikatan hidrogen antara molekul amilosa. Jika pada saat pemanasan terjadi pemecahan granula, maka jumlah amilosa yang keluar dari granula semakin banyak sehingga kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi pada pasta meningkat. Viskositas akhir pada tepung talas memiliki hasil yang lebih tinggi dibanding tepung terigu. Hal ini menandakan bahwa tepung talas akan mengalami retrogradasi yang lebih cepat dibanding tepung terigu. 6. Viskositas pasta Viskositas tepung ditentukan oleh tipe, prosedur pemasakan, dan konsentrasi produk tepung tersebut. Seiring dengan meningkatnya suhu larutan tepung, granula pati membesar dan meningkatkan viskositas pasta pati. Proses ini berlanjut hingga tercapai puncak viskositas. Puncak viskositas merupakan pengukuran dari kekuatan kekentalan suatu pati. Pada 32

elevasi suhu pemasakan dan pengadukan yang lebih jauh, gaya kohesi pada granula yang membengkak menjadi lemah secara luas dan struktur pasta hancur. Granula yang membengkak akan mudah pecah, hancur, dan mengecil, sebagai hasil dari fragmentasi granula dibawah gaya gunting. Berdasarkan hasil analisis, viskositas pasta dilakukan pada konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50 %. Analisis dilakukan pada tepung talas tanpa perlakuan, dengan perlakuan dalam air hangat (40ºC, t=3 jam), perlakuan dengan perendaman dalam larutan terbaik (NaCl 10%, t=60 menit) dan juga pada tepung terigu sebagai pembanding. Faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran viskositas yaitu perlakuan penyiapan pasta, kecepatan pengadukan, konsentrasi tepung yang digunakan, dan ukuran partikel tepung. Hasil pengukuran viskositas pasta pada tepung terigu maupun tepung talas baik dengan perlakuan atau tanpa perlakuan menunjukkan nilai yang berbeda-beda (Gambar 9). Nilai viskositas pada tepung talas hasil perlakuan menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan nilai viskositas pada tepung terigu. Hal ini menandakan bahwa perlakuan perendaman yang dilakukan pada proses pembuatan tepung mampu memperbaiki sifat tepung yang dihasilkan. Nilai yang ditunjukkan pada uji ini cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi pasta, dengan semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan pasta tersebut sehingga nilai yang ditunjukkan pada alat viskosimeter Brookfield semakin besar. Viskositas yang dimiliki oleh tepung tanpa perlakuan (umbi) memiliki tingkat viskositas yang tinggi dibanding tepung yang mengalami perlakuan perendaman dalam air hangat. Hasil ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan literatur yang menyatakan bahwa granula pati akan mengalami proses pembengkakan dalam air dan meningkatkan viskositas pasta pati seiring dengan meningkatnya larutan tepung, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik-menarik pati di dalam granula pati (Winarno,1997). 33

Gambar 9.Histogram perbandingan viskositas pasta tepung talas dengan tepung terigu (cp) 7. Water Soluble Index (WSI) dan Water Absorption Index (WAI) Water Soluble Index (WSI) merupakan index kelarutan air yang digunakan untuk mengukur nilai penurunan degradasi pati pada suatu sampel. Semakin kecil nilai WSI menunjukkan bahwa molekul pati yang dapat larut pun semakin rendah (Hernandez, et. al., 2007). Nilai WSI ini erat hubungannya dengan nilai viskositas tepung. Semakin tinggi nilai WSI akan menyebabkan proses dekstrinisasi pada granula pati terus berlanjut (proses pemecahan molekul pati) sehingga nilai viskositas yang dihasilkan pun semakin rendah. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa kadar WSI pada tepung tanpa perlakuan cenderung memiliki nilai lebih rendah (0.055) dibanding tepung yang mengalami proses perlakuan perendaman baik perendaman dalam air hangat (0.047) maupun perendaman dalam larutan NaCl (0.075) (Tabel 6). Bila dilihat dari kadar WSI dan nilai viskositas pada tepung talas baik dengan perlakuan maupun tanpa perlakuan, kedua faktor ini menunjukkan nilai yang berbanding terbalik. Water Absorption Index (WAI) merupakan index penyerapan air yang digunakan sebagai indikator kemampuan suatu tepung dalam menyerap air, 34

nilai ini bergantung pada ketersediaan kelompok hidrofil yang mampu mengikat molekul air dan kapasitas makromolekul yang dapat membentuk gel. Nilai WAI yang dihasilkan pada tepung talas berkisar antara 3.76-3.91. Semakin rendah kemampuan tepung untuk menyerap air (WAI) maka semakin tinggi kemampuan tepung tersebut untuk mengalami proses degradasi pati (WSI). Hal ini disebabkan karena pati menjadi bersifat lebih hidrofobik, sehingga kemungkinan terjadinya pembentukan ikatan hidrogen antar kelompok-kelompok hidroksil pada pati dan air semakin kecil (Thiebaud et al., 1997). Tabel 6. Data kadar WAI dan WSI tepung talas Sampel tepung WAI WSI Tanpa perlakuan 3.81 0.055 Perendaman air hangat 3.76 0.047 Perendaman larutan NaCl 3.91 0.075 35