BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Bahan Listrik. Bahan Magnet

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Sifat Magnet Dan Mekanik Pada Permanent Bonded Magnet Pr-Fe-B Dengan Matriks Bakelit

Gambar 2.1. momen magnet yang berhubungan dengan (a) orbit elektron (b) perputaran elektron terhadap sumbunya [1]

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar

Asyer Paulus Mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri ITS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Magnet keras ferit merupakan salah satu material magnet permanen yang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2.1 Pola garis-garis gaya magnet

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II STUDI PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBUATAN MAGNET BONDED PERMANEN PrFeB DENGAN BINDER POLYESTER DAN SILICONE RUBBER SKRIPSI HILDA AYU MARLINA

PENGARUH WAKTU DRY MILLING TERHADAP KARAKTERISTIK DAN SIFAT MAGNET PERMANEN ND-FE-B

PENGARUH WAKTU DRY MILLING TERHADAP KARAKTERISTIK DAN SIFAT MAGNET PERMANEN ND-FE-B

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN BAKU SECARA STOIKIOMETRI DAN NON STOIKIOMETRI TERHADAP SIFAT FISIS DAN MAGNET PADA PEMBUATAN MAGNET PERMANEN BaO.

Bahan Magnetik. oleh: Ichwan Yelfianhar (dirangkum dari berbagai sumber)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama yaitu isolator. Struktur amorf pada gelas juga disebut dengan istilah keteraturan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SIFAT MAGNET SKRIPSI HAFSAH KHAIRUNNISA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH VARIASI TEKANAN KOMPAKSI TERHADAP SIFAT MAGNETIK PADA PEMBUATAN SOFT-MAGNETIC DARI SERBUK BESI SKRIPSI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 STUDI PUSTAKA Magnet

Pengaruh Variasi Waktu Milling dan Penambahan Silicon Carbide Terhadap Ukuran Kristal, Remanen, Koersivitas, dan Saturasi Pada Material Iron

PENGARUH ADITIF BaCO 3 PADA KRISTALINITAS DAN SUSEPTIBILITAS BARIUM FERIT DENGAN METODA METALURGI SERBUK ISOTROPIK

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Journal of Mechanical Engineering: Piston 2 (2018) Pembuatan Hybrid Magnet Berbasis NdFeB / BaFe 12 O 19 dan Karakterisasinya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III SISTEM DAN PERSAMAAN KEADAAN

ILMU BAHAN LISTRIK_edysabara. 1 of 6. Pengantar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

4.2 Hasil Karakterisasi SEM

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Gambar 2.1. Medan Magnet Suatu Material Magnet[5]

d) Dipol magnet merupakan sebuah magnet dipol, akselerator partikel, magnet yang dibangun untuk menciptakan medan magnet homogen dari jarak tertentu.

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2

PENGARUH WAKTU MILLING TERHADAP SIFAT FISIS, SIFAT MAGNET DAN STRUKTUR KRISTAL PADA MAGNET BARIUM HEKSAFERIT SKRIPSI EKA F RAHMADHANI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Aplikasi Magnet Permanen di Indonesia: Data Pasar dan Pengembangan Material Magnet

Erfan Handoko 1, Iwan Sugihartono 1, Zulkarnain Jalil 2, Bambang Soegijono 3

KIMIA DASAR TEKNIK INDUSTRI UPNVYK C H R I S N A O C V A T I K A ( ) R I N I T H E R E S I A ( )

KIMIA. Sesi KIMIA UNSUR (BAGIAN IV) A. UNSUR-UNSUR PERIODE KETIGA. a. Sifat Umum

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KERAMIK Mimin Sukarmin, S.Si., M.Pd.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Vetran Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Karakteristik sifat..., Hendro Sat Setijo Tomo, FMIPA UI, 2010.

02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM

Unnes Physics Journal

ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN MAGNET TERHADAP VARIASI MATRIKS POLIESTER DAN SILICONE RUBBER PADA MAGNET PERMANEN BONDED Pr-Fe-B

Pembuatan dan karakterisasi magnet komposit berbahan dasar barium ferit dengan pengikat karet alam

MAGNET - Materi Ipa Fisika SMP Magnet magnítis líthos Magnet Elementer teori magnet elementer.

BENDA WUJUD, SIFAT DAN KEGUNAANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, tujuan dari penelitian dan manfaat yang diharapkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

BAB II LANDASAN TEORI

Sifat sifat kemagnetan magnet permanen ( hard ferrite ) dipengaruhi oleh kemurnian bahan, ukuran butir (grain size), dan orientasi kristal.

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK BARIUM M-HEKSAFERRIT DENGAN DOPING ION Zn PADA VARIASI TEMPERATUR RENDAH

4 Hasil dan Pembahasan

PENGERTIAN. Kata magnet (magnit) berasal dari bahasa Yunani magnítis líthos yang berarti batu Magnesian. Apakah magnet itu?

SIDANG TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN RIGID BONDED MAGNET BERBASIS Pr-Fe-B UNTUK KOMPONEN GENERATOR LISTRIK MINI

Pengaruh Ukuran Butir (garin size) pada pembuatan Bonded Magnet NdFeB

HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis Partikel Magnetik Terlapis Polilaktat (PLA)

PENGARUH UKURAN PARTIKEL Fe 3 O 4 DARI PASIR BESI SEBAGAI BAHAN PENYERAP RADAR PADA FREKUENSI X DAN Ku BAND

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang

01 : STRUKTUR MIKRO. perilaku gugus-gugus atom tersebut (mungkin mempunyai struktur kristalin yang teratur);

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Voltametri

TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH KIMIA UNSUR UNSUR KOBALT. Disusun Oleh : Indah Ar ( )

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Pengaruh Serbuk Nikel dan Waktu Sintering Terhadap Induksi Remanen Magnetik dan Kekerasan Pada Nickel-Iron Soft Magnetic Alloys

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. karakteristik dari pasir besi sudah diketahui, namun penelitian ini masih terus

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Material Magnet Material magnet merupakan material (bahan) yang mempunyai medan magnet. Kata magnet berasal dari bahasa Yunani, magnitis lithos yang berarti batu Magnesian. Magnesia adalah nama sebuah wilayah Yunani pada masa lalu, dimana terdapat batu magnet yang ditemukan sejak zaman dulu di wilayah tersebut. Magnet selalu memiliki dua kutub yaitu kutub utara dan kutub selatan. Walaupun magnet itu dipotong-potong sampai kecil, potongan tersebut akan tetap memiliki dua kutub. Material-material magnet yang paling banyak dikenal mengandung besi metalik. Beberapa elemen atau unsur lain juga memperlihatkan sifat magnetik, dan tidak semua magnet berwujud logam. Teknologi muthakir juga memanfaatkan metalik, magnet keramik, maupun magnet komposit. Teknologi muthakir ini juga memanfaatkan elemen-elemen lain untuk meningkatkan kemampuan magnetiknya (Vlack, 2004). Magnet merupakan material maju yang sangat penting untuk beragam aplikasi teknologi canggih, berfungsi sebagai komponen pengubah energi gerak menjadi listrik dan sebaliknya, seperti otomotif, elektronik, dan energy. Peningkatan efisiensi energi seperti pada sistem generator listrik, sistem penggerak listrik/motor listrik, otomatisasi industri dan lainnya sangat ditentukan oleh sifat material magnet tersebut (Sardjono, 2012). 2.2. Sifat Intrinsik Kemagnetan Fasa Magnetik Beberapa sifat kemagnetan dasar yang penting dari fasa magnetik dapat disebutkan antara lain koersifitas intrinsik J H C, remanen J r, polarisasi total J s, medan anisotopi H A, produk energi maksimum (BH) max, dan temperatur Curie T C. Berikut ini latar belakang teori beberapa sifat kemagnetan dasar tersebut.

7 2.2.1. Loop Histeresis Remanen dan koersivitas adalah besaran kemagnetan yang dapat didefinisikan dari suatu loop histeresis magnet. Pada dasarnya loop tersebut merepresentasikan suatu proses magnetisasi dan demagnetisasi oleh suatu medan magnet luar, H. Bila besar medan magnet luar yang digunakan untuk memagnetisasi ditingkatkan dari nol, maka magnetisasi M atau polarisasi J dari magnet bertambah besar dan mencapai tingkat saturasi pada suatu medan magnet luar tertentu. Dengan melakukan sederetan proses magnetisasi yaitu penurunan medan magnet luar menjadi nol dan meneruskannya pada arah yang bertentangan, serta meningkatkan besar medan magnet luar pada arah tersebut dan menurunkannya kembali ke nol kemudian membalikkan arah seperti semula, maka magnetisasi atau polarisasi dari magnet permanen terlihat membentuk suatu loop (Manaf, 2013). Material magnetik diklasifikasikan menjadi dua yaitu material magnetik lemah atau soft magnetic materials dan material magnetik kuat atau hard magnetic materials. Penggolongan ini berdasarkan kekuatan medan koersifnya, dimana soft magnetic memiliki medan koersif yang lemah, sedangkan hard magnetic materials memiliki medan koersif yang kuat. Hal ini lebih jelas digambarkan dengan diagram histerisis atau hysteresis loop. Gambar 2.1. Kurva histerisis (Sumber: Smallman, 2000)

8 Pada diagram histeresis (gambar 2.1) menunjukkan kurva histeresis untuk soft magnetic materials pada gambar (a) dan hard magnetic materials pada gambar (b). H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam specimen tersisa magnetisme residual Br, yang disebut residual remanen, dan diperlukan medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah berlawanan untuk meniadakannya. Soft magnetic materials mudah dimagnetisasi serta mudah pula mengalami demagnetisasi, seperti tampak pada Gambar 2.1 (a) nilai H yang rendah sudah memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam logam, dan diperlukan medan Hc yang kecil untuk menghilangkannya. Soft magnetic materials dapat mengalami magnetisasi dan tertarik ke magnet lain, namun sifat magnetiknya hanya akan bertahan apabila magnet berada dalam suatu medan magnetik. Soft magnetic materials tidak mengalami magnetisasi yang permanen. Perbedaan antara magnet permanen atau magnet keras, dengan magnet lunak jelas terlihat pada loop histeresis seperti pada Gambar 2.1. Magnet keras menarik material lain yang mengalami magnetisasi menuju dirinya. Magnet jenis ini dapat mempertahankan kemagnetannya dalam waktu yang sangat lama. Ketika suatu material magnetik dimasukkan ke dalam suatu medan magnetik, H, garis garis gaya yang berdekatan dihimpun dalam meterial tersebut sehingga meningkatkan densitas fluks. Atau dengan istilah yang lebih teknis, terjadi peningkatan induksi magnetik, B. Tentu saja, besarnya induksi bergantung pada medan magnetik dan pada jenis material. Namun, peningkatan induksi yang terjadi tidak linear tetapi mengikuti hubungan B H yang melonjak ke level yang lebih tinggi, dan kemudian bertahan mendekati konstan di dalam medan magnetik yang tetap lebih kuat. Kurva histeresis dari suatu magnet permanen memperlihatkan perbedaan yang sangat mencolok. Ketika medan magnetik dihilangkan, sebagian besar induksi dipertahankan agar menghasilkan induksi remanen, B r. Medan terbalik, disebut medan koersif, -H c, diperlukan sebelum induksi turun menjadi nol. Sama

9 dengan loop lengkap dari suatu magnet lunak, loop lengkap suatu magnet permanen mempunyai simetri 180. Karena hasil-kali antara medan magnetik (A/m) dan induksi (V.s/m 2 ) adalah energi persatuan volume, daerah terintegrasi di dalam loop histeresis adalah energi yang diperlukan untuk menyelesaikan satu siklus magnetisasi dari 0 ke +H ke H ke 0. Energi yang diperlukan magnet lunak sangat kecil, sedangkan magnet keras memerlukan energi yang cukup besar dan pada kondisi ruang demagnetisasi tidak akan terjadi. Magnetisasinya adalah magnetisasi yang permanen. Untuk itu, magnet keras (hard magnetic) dapat juga disebut sebagai magnet permanen. Beberapa sifat dari magnet permanen dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Sifat Beberapa Magnet Keras Material Magnetik Remanensi B r (V.s/m 2 ) Medan Koersif -H c (ka/m) Hasil Kali Demagnetisasi Maksimum BH maks (kj/m 3 ) Baja karbon-biasa 1,0 4 1 Alnico V 1,2 55 34 Feroxdur (BaFe 12 O 19 ) 0,4 150 20 RE Co * 1,0 700 200 Nd 2 Fe 14 B 1600 * Tanah jarang kobalt, khususnya samarium Sumber: Vlack, 2004 Kepermanenan magnet dapat ditandai dari medan koersif, -H c, diperlukan untuk mengembalikan induksi ke nol. Suatu nilai sebesar -H c = 1000 A/m sering digunakan untuk memisahkan magnet lunak dan magnet keras (permanen). BH maks merupakan satu ukuran yang lebih baik, karena hasil-kali ini menunjukkan hambatan energi kritis yang harus dilampaui agar demagnetisasi bisa terjadi (Vlack, 2004).

10 2.2.2. Polarisasi Total Fasa Magnetik Polarisasi total J s atau magnetisasi total M s dari suatu fasa didefinisikan sebagai jumlah total momen magnet atom-atom yang terdapat di dalam fasa magnetik perunit volume sebagaimana didefinisikan melalui persamaan (2.1) berikut ini. M s = i=n i 1 µ i. V 1 (2.1) dengan: M s = jumlah total momen magnet atom-atom yang terdapat di dalam fasa magnetik perunit volume (A.m -1 ), µ i = momen magnet per atom i (Bohr magneton), 1 µ B = 9,273 x 10-24 J.T -1 V = volume sel satuan fasa, dan n = jumlah jenis atom pada sel satuan fasa. Sedangkan J s mengambil bentuk seperti persamaan (2.2) dan memiliki satuan Tesla (T). J s = µ o M s (2.2) dengan: µ o = permeabilitas udara (1 µ o = 4 π x 10-7 H.m -1 ), dan J s = polarisasi total (tesla). 2.2.3. Medan Anisotropi (Anisotropy Field) Fasa Magnetik Anisotropi magnet dapat muncul dari berbagai sebab seperti bentuk magnet, struktur kristal, efek stress, dan lain sebaginya. Kebanyakan material feromagnetik memiliki anistropi kristal yang disebut magnetocrystalline anisotropy, dimana kristal memiliki arah magnetisasi yang disukai dan disebut sebagai arah mudah. Bila magnetisasi dilakukan searah dengan sumbu mudah ini, maka keadaan jenuh dapat tercapai pada medan magnet luar yang relatip kecil. Sebaliknya, bila magnetisasi dilakukan searah sumbu keras, keadaan saturasi

11 dapat dicapai pada aplikasi medan magnet yang relatip tinggi. Oleh karena itu, untuk menimbulkan sifat anisotropi, magnet dibuat agar memiliki arah yang disukai tersebut (preferred direction). Pada keadaan stabil, arah momen magnet atau magnetisasi kristal adalah sama dengan arah sumbu mudah. Pada konfigurasi keaadan stabil ini energi total dalam magnet adalah minimum. Sumbu kristal yang lain disebut sumbu keras, dimana pemagnetan pada arah ini meningkatkan energi kristal karena diperlukan suatu energi untuk mengubah arah vektor magnetisasi yang tadinya searah dengan sumbu mudah. Energi yang diperlukan untuk mengarahkan arah momen magnet menjauhi sumbu mudahnya disebut magnetocrystalline energy atau anisotropy energy, E A. 2.2.4. Produk Energi Maksimum (BH) max (BH) max merupakan sifat yang paling utama dari suatu magnet permanen yang menunjukkan energi persatuan volume magnet yang dipertahankan di dalam magnet. Besaran ini diturunkan dari kurva kuadran (kurva demagnetisasi) dari loop histeresis sehingga diperoleh kurva (BH) yaitu perkalian antara B dan H sebagai fungsi H. Jadi, kurva (BH) sebagai fungsi H tersebut tidak lain adalah tempat kedudukan titik titik luasan di bawah kurva demagnetiasi. Secara skematik, penentuan kurva (BH) dari kurva demagnetisasi ditunjukkan pada gambar 2.2. Gambar 2.2. Penentuan Nilai (BH) max dari Kuadran ke-ii Loop Histerisis (Sumber: Manaf, 2013)

12 Nilai intrisnik dari (BH) max dapat dihitung secara mudah dengan menggunakan persamaan produk energi (BH) yang dinyatakan seperti persamaan berikut ini. BH = μ o H 2 + JH (2.3) Persamaan (2.3) adalah suatu persmaan kuadrat, sehingga plot antara kurva (BH) dan H mengambil bentuk parabola seperti ditunjukkan pada gambar 2.2. Nilai maksimum dari kurva (BH) tersebut ditentukan oleh syarat (BH)/ H = 0 atau BH H = 2μ oh + J = 0 (2.4) dengan: µ o = permeabilitas udara (1 µ o = 4 π x 10-7 H.m -1 ) H = medan magnet luar (Oe), dan J = polarisasi (tesla). Sehingga diperoleh persamaan Hc = -J s / 2μ o (2.5) dengan: H c = medan magnet demagnetisasi kritis (Oe), dan J s = polarisasi total (tesla). Jadi, dengan mensubstitusikan H pada persamaan (2.4) dengan H = H c dari persamaan (2.5), maka diperoleh persaman sebagai berikut. (BH) max = J s 2 (2.6) 4μ o dengan: (BH) max = nilai energi produk maksimum dari suatu magnet (J.m -3 ) Sejak ditemukan fasa magnetik ReFeB pada tahun 1983, telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mencapai nilai (BH) max tertinggi. Berbagai usaha

13 teknik preparasi telah dikembangkan dan disain mikrostruktur dioptimalkan. Namun, nilai (BH) max dari magnet permanen Nd-Fe-B tertinggi yang pernah dicapai pada skala laboraturium baru mencapai ~ 400 kj.m -3, yaitu kira-kira 78% dari nilai intrinsiknya. Jelaslah, penelitian tentang magnet Re-Fe-B masih terus berlanjut meskipun pada saat ini magnet permanen kelas ini telah diproduksi secara komersial. 2.2.5. Temperatur Curie Fasa Magnetik Temperatur Curie T C dapat didefinisikan sebagai temperatur kritis dimana terjadi perubahan dari keteraturan feromagnetik menjadi paramagnetik. Dengan kata lain, di atas T C, material memiliki magnetisasi yang terlalu rendah bagi magnet. Dengan demikian T C juga merepresentasikan kekuatan interaksi pertukaran antar spin-spin elektron atom. Suatu magnet diharpakan memiliki ketahanan yang baik terhadap temperatur, terutama pada aplikasi-aplikasi dinamik, seperti motor dan generator. Dalam kasus ini perubahan temperatur diharapkan tidak mengurangi sedikitpun magnetisasi magnet agar unjuk kerja magnet tetap tinggi. Hal ini mungkin dapat terjadi apabila magnet tersebut memiliki T C yang tinggi (Manaf, 2003). 2.3. Magnet Pr 2 Fe 14 B Magnet Praseodymium Iron Boron (PrFeB) merupakan jenis material magnet ReFeB yang ditemukan pada tahun 1980-an. PrFeB merupakan magnet rare earth atau material magnetik jenis logam tanah jarang karena terbentuk oleh 2 atom dari suatu unsur logam tanah jarang Praseodymium (Pr), 14 atom besi (Fe), dan 1 atom boron (B), sehingga rumus molekul yang terbentuk adalah Pr 2 Fe 14 B (Deswita, 2007). Praseodymium adalah suatu unsur kimia yang memiliki lambang Pr dan nomor atom 59. Praseodymium merupakan jenis lantanida. Pada tahun 1841, kimiawan Swedia, Carl Gustav Mosander, mengekstraksi residu oksida tanah jarang yang disebut didymium dari residu yang lantana, lalu dipisahkan dari garam cerium. Pada tahun 1885, kimiawan Austria, Baron Carl Auer von Welsbach, memisahkan didymium menjadi dua garam warna yang berbeda, yaitu

14 praseodymium dan neodymium. Praseodymium berasal dari bahasa Yunani, prasinos yang berarti hijau, dan didymos yang berarti kembar. Unsur kedua pada Pr 2 Fe 14 B yaitu Fe atau Besi, yang merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi ini, yang membentuk 5% daripada kerak bumi. Karakter endapan besi ini berupa endapan yang berdiri sendiri, namun seringkali ditemukan berasosiasi dengan mineral logam lainnya. Terkadang besi dengan kandungan logam tanah (residual) memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kebanyakan besi ini hadir dalam berbagai jenis oksida, endapan besi yang ekonomis umumnya berupa Magnetite, Hematite, Limonite, dan Siderite. Dari mineral mineral bijih besi magnetite adalah mineral dengan kandugan Fe paling tinggi, tetapi terdapat dalam jumlah kecil. Sementara hematite merupakan mineral bijih utama yang dibutuhkan dalam industri besi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, PrFeB terdiri dari Boron, yang merupakan unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang B dan nomor atom 5. Boron banyak terdapat di batu borax. Ada dua alotrop boron, yaitu boron amorfus (serbuknya berwarna coklat) dan boron metalik (berwarna hitam). Bentuk metaliknya keras dan konduktor yang buruk dalam suhu ruang. Tidak pernah ditemukan bebas dalam alam. Boron yang telah dimurnikan adalah padatan hitam dengan kilap logam. Sel satuan kristal boron mengandung 12, 50, atau 105 atom boron, dan satuan struktural ikosahedral B 12 terikat satu sama lain dengan ikatan 2 pusat 2 elektron dan 3 pusat 2 elektron antar atom boron. Boron bersifat sangat keras dan menunjukkan sifat semikonduktor. 2.3.1. Struktur Kristal Pr 2 Fe 14 B Sama halnya dengan Nd 2 Fe 14 B, sel satuan Pr 2 Fe 14 B yang juga merupakan jenis ReFeB memiliki struktur kristal tetragonal yang kompleks (Kurniawan, 2013). Struktur kristal tetragonal merupakan struktur kristal nonkubik, yang setiap sel satuannya memiliki lima atom, baik pusat di permukaan sisi maupun pusat selnya tidak setara dengan sudut sel (Vlack, 2004). 2.3.2. Sifat Pr 2 Fe 14 B Sifat-sifat Pr 2 Fe 14 B dapat dilihat pada tabel 2.2.

15 Tabel 2.2. Sifat Pr 2 Fe 14 B Curie Temperature ( ) 291 Maximum Operating Temperature ( ) 80 120 Energy Product atau BH max (MGOe) 14,3 16,3 Koersivitas H C (koe) 5,50 Density (g/cm 3 ) 7,61 Temperature Coefficient of Br (%/ ) -0,12 Temperature Coefficient of ihc (%/ ) -0,52 Sumber: MQP Specification Product, 2013 2.3.3. Karakteristik terhadap Temperatur Magnet PrFeB mudah didemagnetisasi pada temperatur tinggi, ini artinya mudah hilang sifat kemagnetannya pada temperatur tinggi. Sifat kemagnetannya akan turun pada temperatur tinggi, tetapi akan meningkat pada temperatur rendah. Beberapa cara yang dapat mempengaruhi agar magnet ini dapat digunakan pada temperatur tinggi yaitu bentuk geometri. Magnet dengan bentuk yang lebih tipis akan mudah didemagnetisasi dibandingkan dengan magnet dengan ukuran yang lebih tebal. Bentuk magnet piring datar dan yokes lebih direkomendasikan untuk digunakan pada temperatur tinggi. 2.3.4. Ketahanan Terhadap Korosi Magnet permanen jenis RE-Fe-B (RE = Nd, Pr) hingga saat ini merupakan jenis magnet permanen yang memiliki kualitas terbaik dengan energi produk yang mencapai 55 MGOe. Namun demikian, selain memiliki sifat magnet terbaik tersebut, magnet berbasis RE-Fe-B tersebut memiliki kekurangan diantaranya adalah temperatur Curie yang rendah dan rentan teroksidasi sehingga mudah terkorosi. Rendahnya ketahanan korosi tersebut disebabkan adanya fasa RE-Rich yang ada di batas butir (grain boundaries) dan merupakan zat aktif yang dapat bereaksi dengan oksigen pada lingkungan yang humid (Kurniawan, 2013). Untuk itu, dalam penggunaannya selalu dilakukan coating / pelapisan dengan nikel, seng, dan tembaga untuk meningkatkan ketahanan korosinya.

16 2.3.5. Fabrikasi Magnet PrFeB biasanya dibuat dengan cara teknologi logam serbuk (powder metallurgy). Sebenarnya magnet ini dapat dibuat dengan 3 cara, yaitu sebagai berikut. 1. Teknik Sintering Teknik sintering yaitu teknologi logam serbuk dengan cara milling, dicetak, sintering, surface treatment, magnetisasi, dan dihasilkan produk akhir. Magnet yang dihasilkan dengan teknik ini mengahasilkan energi produk (BH max ) yang paling tinggi. 2. Teknik Compression Bonded Teknik compression bonded yaitu dilakukan dengan cara mencampurkan serbuk PrFeB dengan suatu binder/pelumas, dikompaksi, dan kemudian dipanaskan. Energi produk yang dihasilkan dengan teknik ini lebih rendah bila dibandingkan dengan teknik sintering. 3. Teknik Injection Molding Teknik injection molding yaitu teknik mencampurkan serbuk PrFeB dengan suatu binder/pelumas dan kemudian diinjeksi. Energi produk yang dihasilkan dengan teknik ini lebih rendah jika dibandingkan dengan teknik sintering dan compression bonded. 4. Bonded Magnet PrFeB Bonded magnet merupakan magnet komposit yang dibuat dari serbuk magnet yang dicampur dengan bahan matriks (pengikat/binder) yang bersifat non magnet. Adapun fungsi dari matriks adalah untuk menyatukan butiran serbuk magnet menjadi satu kesatuan dalam bentuk komposit. Selain itu, bahan matriks sangat berpengaruh terhadap sifat mekanik, listrik, maupun stabilitas termal dari magnet komposit (Deswita, 2006). Banyak material magnet kuat juga digunakan untuk membuat magnet komposit, seperti menggunakan logam atau matriks polimer. Tentunya pemakaian logam lebih mahal daripada matriks polimer. Magnet ini biasanya memainkan peran yang penting dan terus berkembang diantara magnet permanen komersial yang tersedia saat ini.

17 Pada bonded magnet ini, serbuk magnet diikat dengan polimer. Biasanya serbuk magnet yang sering digunakan adalah strontium atau barium ferrit dan neodymium-besi-boron atau samarium-kobalt. Sedangkan polimer yang digunakan adalah resin atau bahkan logam dengan suhu leleh rendah. Bonded magnet ini memiliki kelemahan pada hasil material magnetnya. Hal itu dikarenakan oleh magnet isotropik memiliki sifat yang lebih rendah daripada magnet yang disintering. Akan tetapi, di samping kelemahan tersebut, hasil dari bonded magnet ini memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut. 1. Sederhana dan biaya produksi rendah 2. Mudah dibentuk dan variasinya juga beragam 3. Ketahanan mekanik yang cukup baik Bonded magnet dengan campuran logam transisi tanah jarang mempunyai sifat magnet unggul dibandingkan sifat magnetik bonded ferrit. Hal tersebut terlihat secara signifikan, karena magnet bonded ferrit mempunyai koefisien temperatur positif terhadap Hc yang berarti koersifitas meningkat dengan peningkatan temperatur. 2.5. Binder Polyester dan Sillicone Rubber Penggunaan resin sebagai binder dalam bonded magnet telah banyak dilakukan oleh para peneliti, termasuk paten yang dikeluarkan. Berberapa sifat dan kelebihan yang dimiliki oleh resin sebagai matriks dalam komposit antara lain ketahanannya terhadap pelarut organik, panas, oksidasi dan kelembaman; ringan; adhesive; sifat mekanik; serta mudah dimodifikasi dalam pembuatannya. Binder yang digunakan adalah berupa resin polyester dan silicone rubber. 2.5.1. Polyester Polyester resin merupakan polimer yang banyak digunakan sebagai salah satu bahan dalam pembuatan komposit. Polyester merupakan bahan termoseting yang banyak beredar dipasaran karena harganya yang relatif murah dan dapat diaplikasikan untuk berbagai macam penggunaan. Istilah polyester berawal dari reaksi asam organik dengan alkohol membentuk suatu ester.

18 Beberapa sifat dan kelebihan polyester antara lain tahan terhadap panas dan kelembaban, sifat mekanik yang baik, tahan terhadap bahan kimia, sifat insulator, sifat adhesifnya yang baik terhadap berbagai bahan, dan mudah diproses (Deswita, 2007). Sifat mekanik polyester dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3. Sifat Fisik dan Mekanik Polyester Densitas (g/cm 3 ) *1 1,1 1,4 T ( ) *2 225 Kuat tarik (MPa) *2 58 Kuat tekan (MPa) *2 90 Kekerasan Rockwell (RHN) *2 97 Sumber: *1 Stuart, 2003; *2 Black, 1998 2.5.2. Sillicone Rubber Silicone rubber (SiR) adalah bahan yang tahan terhadap temperatur tinggi, yang biasanya digunakan untuk isolasi kabel dan bahan isolator tegangan tinggi. Sifat fisik bahan ini dapat diperbaiki dengan mencampurkan bahan pengisi seperti pasirsilika. Silicone rubber aman digunakan pada temperatur -55º sampai 200º C. Bahan ini memiliki hambatan yang baik terhadap ozone, korona, air, dan memiliki ketahanan yang baik terhadap alkohol, garam, dan minyak (Asy ari, 2008). Silicone rubber merupakan elastomer (sama halnya dengan material karet) polimer berupa silikon, dimana silikon tersebut mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen. Karet silikon banyak digunakan dalam industri dan beberapa formulasi. Karet silikon biasanya terdiri dari satu atau dua bagian polimer dan berisi pengisi untuk meningkatkan sifat atau mengurangi biaya. Karena sifat-sifat kemudahan pembuatan dan pembentukan, karet silikon dapat ditemukan dalam berbagai macam produk, termasuk aplikasi otomotif, memasak, bahan pengembang, dan penyimpanan produk (seperti penyimpan makanan, pakaian olahraga, alas kaki, elektronik, peralatan medis dan implan), dan dalam perbaikan rumah serta perangkat keras dengan produk seperti silikon sealants. Struktur kimia sillicone rubber yang terdiri dari suatu punggung silikon yang lebih fleksibel dibandingkan polimer lainnya. Jarak ikatan Si O sekitar 1,64 o A yang lebih panjang dibandingkan jarak ikatan C C sekitar 1,5 o A yang

19 banyak ditemukan pada polimer organik. Kemudian susunan ikatan Si O Si (180 o θ) 143 o lebih terbuka dibandingkan dengan ikatan tetrahedral biasa (~110 o ) yang berperan untuk meningkatkan keseimbangan, dengan demikian rantai mampu melakukan suatu bentuk yang rapat ketika dalam keadaan tergulung acak, dan rantai silikon yang terdapat gugus metil mampu meluruskan sendiri untuk bersekutu menghasilkan hidrofobik pada permukaannya. Silicone rubber memiliki sifat isolasi sangat baik seperti loss tangen (tan δ 3 3 x 10 3 ), konstanta dielektrik ε r = 2 4, tahanan jenis ρ = 10 15 Ωm dalam keadaan tanpa bahan pengisi, tahanan terhadap cahaya pada daerah λ > 300 nm gugus metilnya menyerap sinar dan stabil hingga suhu 250 o C dengan mempertahankan sifat kenyalnya pada suhu rendah karena memiliki temperatur transisi gelas sampai 120 o C (stabilitas termalnya panjang). Namun, dalam kaitan ini kekuatan mekanik silicone rubber tanpa bahan pengisi memiliki kekuatan yang rendah karena gaya antar molekulnya yang rendah. Untuk meningkatkan kekuatan tarik dan kekerasan, dapat ditambah bahan silika. Sedangkan untuk meningkatkan ketahanan erosi dan keretakan (tracking) dapat dikombinasikan dengan bahan pengisi dan jenis aluminatrihydrate. Dibandingkan dengan karet organik, karet silikon memiliki kekuatan tarik yang sangat rendah. Bahan silikon ini juga sangat sensitif terhadap kelelahan dari beban siklik. Karet silikon merupakan bahan yang sangat inert dan tidak bereaksi dengan sebagian besar bahan kimia (Keller et al., 2007). Sifat-sifat fisik dan mekanik silicone rubber dapat dilihat pada rabel 2.4. Tabel 2.4. Sifat Fisik dan Mekanik Silicone Rubber Densitas (g/cm 3 ) *1 0,8 T ( ) *2-55 - 200 Kuat tarik (MPa) *3 4,4-9 Kuat tekan (MPa) *4 10-30 Hardness Vickers (VHN) *5 15 Sumber: *1 Stuart, 2003; *2 Asy ari, 2008; *3 Product Information Silastic 94-595 Liquid Silicone Rubber, 2002; *4 Azom.com The A to Z of Materials, 2013; *5 Liquid RTV Silicone Rubber, 2013

20 Selama proses pembuatan silicone rubber, panas sangat diperlukan untuk vulkanisir (mengatur dan memperbaiki) silikon ke dalam bentuk seperti karet. Hal ini biasanya dilakukan dalam dua proses pada titik pembuatan ke dalam bentuk yang diinginkan. Dalam hal ini dapat dilakukan proses injeksi (injection molded). Pada suhu ekstrim, kekuatan tarik, elongasi, kekuatan sobek, dan kompresi dapat jauh lebih unggul daripada karet konvensional, meskipun relatif lebih rendah untuk bahan lainnya, sedangkan karet silikon merupakan salah satu pilihan jenis elastomer untuk lingkungan yang ekstrim (Keller et al., 2007).