ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN OPTIMAL SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS DAN DEMERSAL DI PERAIRAN BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR ZUL ASMAN RANDIKA

dokumen-dokumen yang mirip
II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Alam

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

3. METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN

ANALISIS POTENSI PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

REZIM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TERI DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

3 METODOLOGI PENELITIAN

ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 PENDAHULUAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS HASIL TANGKAPAN PER UPAYA PENANGKAPAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN IKAN TERI (STOLEPHORUS SPP.) DI PERAIRAN PEMALANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

MODEL ANALISIS EKONOMI DAN OPTIMASI PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN PELAGIS PADA USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI TAWANG KABUPATEN KENDAL

PENILAIAN DEPRESIASI SUMBERDAYA PERIKANAN DI SELAT MADURA PROVINSI JAWA TIMUR RIZAL BAHTIAR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

MAXIMUM ECONOMIC YIELD SUMBERDAYA PERIKANAN KERAPU DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA. Yesi Dewita Sari¹, Tridoyo Kusumastanto², Luky Adrianto³

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

Esda UC = User Cost. MCo = Kurva harga agregat dari semua firm di suatu industri (marginal extraction cost)

PENDUGAAN KELOMPOK UMUR DAN OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO

AKUATIK-Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 9. Nomor. 1. Tahun 2015 ISSN Kurniawan 1)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

ANALISIS BIOEKONOMI PERIKANAN CUMI-CUMI (Loligo sp) DI PESISIR KABUPATEN KENDAL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Bioekonomi Dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Mas (Cyprinus carpio) Di Waduk Cirata, Jawa Barat

C E =... 8 FPI =... 9 P

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI, EKSPLORASI POTENSI DAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN BENGKALIS

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KOTA AMBON

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDI BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN GABION KOTA MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung

ANALISIS BIO-EKONOMI PENGELOLAAN SUMBER DAYA KAKAP MERAH(Lutjanus sp) SECARA BERKELANJUTAN DI TANJUNGPANDAN, BELITUNG

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

KAJIAN STOK IKAN PELAGIS KECIL DENGAN ALAT TANGKAP MINI PURSE SEINE DI PERAIRAN LEMPASING, LAMPUNG. Riena F. Telussa

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN OPTIMAL SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS DAN DEMERSAL DI PERAIRAN BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR ZUL ASMAN RANDIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Bioekonomi Pemanfaaatan Optimal Sumberdaya Perikanan Pelagis dan Demersal di Perairan Balikpapan, Kalimantan Timur adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2008 Zul Asman Randika NIM C451020071

ABSTRACT ZUL ASMAN RANDIKA. Bioeconomic Analysis of Pelagic and Demersal Fisheries Optimal Resource Utilization in Balikpapan Ocean, East Kalimantan. Under the direction of AKHMAD FAUZI and MOCH. PRIHATNA SOBARI. The utilization of fisheries resource to give economic maximum advantage for human being with keep secure sustainability of resource will be an important issue in the fisheries world. The objectives of the research is to analysis optimal catch, degradation and depreciation of fisheries resource at the sea of Balikpapan city. The optimum catch were accounted: harvest, effort and benefit of fisheries resources. This research utilized time series data for the period of 1995-2006. The results based on analitycal solve using Excel and MAPLE 10 showed that the maximum sustainable yield (MSY) value of harvest for the small pelagic, big pelagic, demersal and anchovies resources are 3.725,02 ton per annum; 5.928,07 ton per annum; 1.868,42 ton per annum; 566,52 ton per annum, the MSY value of optimal effort are 2.033 trip per annum; 1.508 trip per annum; 1.795 trip per annum; 607 trip per annum, the MSY optimal value of rent are Rp20.642,30 million per annum; Rp44.207,78 million per annum; Rp15.209,71 million per annum; Rp1.370,84 million per annum. The maximun economic yield (MEY) value of harvest for the small pelagic, big pelagic, demersal and anchovies resources are 3.721,02 ton per annum; 5.926,49 ton per annum; 1.865,05 ton per annum; 557,09 ton per annum, the MEY value of optimal effort are 1.966 trip per annum; 1.483 trip per annum; 1.718 trip per annum; 529 trip per annum, the MEY optimal value of rent are Rp 20.666,06 million per annum; Rp 44.220,01 million per annum; Rp 15.239,66 million per annum; Rp1.401,62 million per annum. The open access (OA) value of harvest for the small pelagic, big pelagic, demersal and anchovies resources are 472,59 ton per annum; 381,58 ton per annum; 303,81 ton per annum; 254,74 ton per annum, the OA value of optimal effort are 3.932 trip per annum; 2.967 trip per annum; 3.437 trip per annum; 1.058 trip per annum, the OA optimal value of rent are Rp 0 per annum. The dynamic value of optimal harvest with annual continuous discount rate 2,28% aret 3.724,57 ton per annum; 5.928,03 ton per annum; 1.867,23 ton per annum; 558,85 ton per annum. The dynamic value of optimal effort are 2.010 trip per annum; 1.504 trip per annum; 1.749 trip per annum; 537 trip per annum. CPUE (catch per unit effort) optimal dinamik are 1.853,02 Kg per trip; 3.941,51 Kg per trip; 1.067,60 Kg per trip; 1.040,69 Kg per trip, the value of optimal rent are Rp742.749,60 million per tahun; Rp1.590.491,99 million per tahun; Rp548.062,86 million per tahun; Rp50.412,12 million per annum, maximum quantity of gear are 2.123 unit; 2.078 unit; 4.404 unit; 7 unit. The degradated value of the small pelagic, big pelagic, and demersal resources are 0,55; 0,45; 0,54; 0,46. The depreciated value of the small pelagic, big pelagic, and demersal resources are 0,48; 0,45; 0,46; 0,31. Key word : Bioeconomic, pelagic and demersal fisheries optimal resource utilization, Balikpapan Ocean

RINGKASAN ZUL ASMAN RANDIKA. Analisis Bioekonomi Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan Pelagis dan Demersal di Perairan Balikpapan, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan MOCH. PRIHATNA SOBARI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat pemanfaatan optimal, tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan di Perairan Balikpapan agar dapat memberikan manfaat ekonomi yang optimal pula secara berkelanjutan. Tingkat pemanfaatan optimal yang dianalisis meliputi tingkat produksi, tingkat upaya dan rente ekonomi. Penelitian ini menggunakan data cross section runtut waktu dari tahun 1995-2006. Hasil penelitian yang diperoleh dengan menggunakan pemecahan analitik melalui program Excel dan MAPLE 10 menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri pada kondsi maximun sustainable yield (MSY) berturut-turut adalah 3.725,02 ton per tahun; 5.928,07 ton per tahun; 1.868,42 ton per tahun; 566,22 ton per tahun, tingkat upaya optimal MSY secara berturut-turut adalah 2.033 trip per tahun; 1.508 trip per tahun; 1.795 trip per tahun; 607 trip per tahun, tingkat rente ekonomi MSY berturut-turut adalah Rp20.642,30 juta per tahun; Rp44.207,78 juta per tahun; Rp15.209,71 juta per tahun; Rp1.370,84 juta per tahun. Tingkat produksi pada kondsi maximun economic yield (MEY) berturutturut adalah 3.721,02 ton per tahun; 5.926,49 ton per tahun; 1.865,05 ton per tahun; 557,09 ton per tahun, tingkat upaya optimal MEY secara berturut-turut adalah 1.966 trip per tahun; 1.483 trip per tahun; 1.718 trip per tahun; 529 trip per tahun, tingkat rente ekonomi MEY berturut-turut adalah Rp 20.666,06 juta per tahun; Rp 44.220,01 juta per tahun; Rp 15.239,66 juta per tahun; Rp1.401,62 juta per tahun. Tingkat produksi pada kondsi open access (OA) berturut-turut adalah 472,59 ton per tahun; 381,58 ton per tahun; 303,81 ton per tahun; 254,74 ton per tahun, tingkat upaya optimal OA secara berturut-turut adalah 3.932 trip per tahun; 2.967 trip per tahun; 3.437 trip per tahun; 1.058 trip per tahun, tingkat rente ekonomi OA berturut-turut adalah Rp 0 per tahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan pada discount rate 2,82% menunjukkan bahwa tingkat produksi optimal dinamik sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri berturut-turut adalah 3.724,57 ton per tahun; 5.928,03 ton per tahun; 1.867,23 ton per tahun; 558,85 ton per tahun, tingkat upaya optimal dinamik secara berturut-turut adalah 2.010 trip per tahun; 1.504 trip per tahun; 1.749 trip per tahun; 537 trip per tahun, tingkat CPUE (catch per unit effort) optimal dinamik berturut-turut adalah 1.853,02 kg per trip; 3.941,51 kg per trip; 1.067,60 kg per trip; 1.040,69 kg per trip, tingkat rente ekonomi optimal dinamik berturt-turut adalah Rp742.749,60 juta per tahun; Rp1.590.491,99 juta per tahun; Rp548.062,86 juta per tahun; Rp50.412,12 juta per tahun, jumlah alat tangkap maksimal secara berturut-turut adalah 2.123 unit; 2.078 unit; 4.404 unit; 7 unit. Tingkat degradasi sumberdaya ikan secara berturut-turut, yaitu 0,55; 0,45; 0,54; 0,46. Tingkat depresiasi sumberdaya ikan secara berturut-turut, yaitu sebesar 0,48; 0,45 ; 0,46; 0,31. Kata Kunci : Bioekonomi, pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan pelagis dan demersal, Perairan Balikpapan.

Judul Tesis : Analisis Bioekonomi Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan Pelagis dan Demersal di Perairan Balikpapan, Kalimantan Timur Nama : Zul Asman Randika NIM : C451020071 Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S Prof.Dr.Ir.Chairil A Notodiputro, M.Sc Tanggal Ujian : 28 Maret 2008 Tanggal Lulus :

ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN OPTIMAL SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS DAN DEMERSAL DI PERAIRAN BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR ZUL ASMAN RANDIKA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Tarakan, Kalimantan Timur pada tanggal 17 Desember 1975 sebagai anak sulung dari pasangan Saiful Aspar dan Mariana. Pada tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tenggarong. Pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Perikanan, Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Mulawarman. Pada tahun 2002 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Sejak tahun 2005 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Mulawarman. Pada tahun 2001 penulis menikah dengan Rika Novita, S.Pd dan telah dikaruniai dua orang putri yang bernama Mutia Nur Sadida (3,5 tahun) dan Aisyah Nur Syahidah (2 tahun).

PRAKATA Alhamdulillah, segala puja dan puji serta rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia-nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah yang berjudul Analisis Bioekonomi Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan Pelagis dan Demersal di Perairan Balikpapan, Kalimantan Timur ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan September sampai dengan Bulan Desember tahun 2007. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. H. Akhmad Fauzi, M.Sc dan Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S selaku komisi pembimbing, atas kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis menyelesaikan tesis ini, juga kepada Ir. Taryono, M.Si atas kesediaannya menjadi penguji dari luar komisi pembimbing. Pada kesempatan ini, penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. H Helminuddin, MM; Gusti Haqiqiansyah, SP, M.Si; Juliani, S.Pi, M.Si dan seluruh staf pengajar pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Mulawarman atas dukungannya yang tak pernah henti, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada H Hadi Mulyadi, S.Si, M.Si; H Masykur Sarmi an, S.Pdi; H M Nurhuda Trisula, S.Ak; Sukoco, SE; Sarwono, SP; Iwan Darmawan, SE, MM; Suwarno, SE, MM; Saiful Aduar, S.Pd; H Suryadi, S.Hut atas semua bantuan dan dukungan yang luar biasa yang diberikan selama ini baik moril mau pun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga tercinta, Bapak Saiful Aspar dan Ibu Mariana (orang tua); Bapak H Achmad Soer Abbas dan Ibu Hj Aida Sofia (mertua); Rika Novita, S.Pd (isteriku tercinta), kedua putriku yang sholehah Mutia Nur Sadida dan Aisyah Nur Syahidah, kakak dan adik-adikku atas semua pengertian, pengorbanan dan do a serta kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2008 Zul Asman Randika

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah. 3 1.3 Tujuan Penelitian. 4 II TINJAUAN PUSTAKA.. 5 2.1 Sumberdaya Alam... 5 2.2 Sumberdaya Ikan. 6 2.2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis... 6 2.2.2 Sumberdaya Ikan Demersal... 7 2.2.3 Sumberdaya Ikan Teri. 8 2.3 Estimasi Stok Ikan... 8 2.4 Pengelolaan Sumberdaya Ikan 9 2.5 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan.... 10 2.6 Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan. 12 2.6.1 Model Surplus Produksi. 12 2.6.2 Model Optimasi Statik... 16 2.6.3 Model Optimasi Dinamik... 20 2.8 Kebijakan Perikanan dan Kelautan.. 22 III KERANGKA PENDEKATAN STUDI. 24 IV METODOLOGI... 26 4.1 Waktu dan Tempat... 26 4.2 Metode Penelitian. 26 4.3 Jenis dan Sumber Data. 26 4.4 Metode Pengambilan Sampel... 27 4.5 Analisis Data 27 4.5.1 Hasil Tangkapan per Unit Upaya (Catch per Unit Effort/CPUE) 27 4.5.2 Standarisasi Alat Tangkap... 28 4.5.3 Estimasi Parameter Biologi. 28 4.5.4 Estimasi Parameter Ekonomi.. 29 4.5.4.1 Estimasi Biaya Input... 29 4.5.4.2 Estimasi Harga Output 31 4.5.4.3 Estimasi Discount Rate... 31 4.5.5 Estimasi Tingkat Produksi Lestari.. 33 4.5.6 Analisis Laju Degradasi dan Depresiasi.. 35 4.5.6.1 Analisis Laju Degradasi.... 35 4.5.6.2 Analisis Laju Depresiasi. 35

Halaman 4.5.7 Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan 36 4.5.7.1 Analisis Surplus Produksi...... 36 4.5.7.2 Analisis Optimasi Statik...... 37 4.5.7.3 Analisis Optimasi Dinamik... 40 4.6 Batasan dan Pengukuran. 43 V HASIL DAN PEMBAHASAN 45 5.1 Gambaran Umum Kota Balikpapan 45 5.1.1 Letak Geografis.. 45 5.1.2 Pembagian Wilayah... 45 5.1.3 Penduduk 47 5.1.4 Perekonomian Kota Balikpapan. 48 5.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 50 5.2.1 PPI Manggar.. 50 5.2.2 Rumah Tangga Perikanan.. 50 5.2.3 Armada Penangkapan Ikan 51 5.2 4 Alat Penangkapan Ikan.. 53 5.2.5 Volume dan Nilai Produksi Perikanan... 54 5.2.6 Produksi per Jenis Alat Tangkap... 55 5.3 Catch per Unit Effort (CPUE). 58 5.4 Standarisasi Alat Tangkap.. 60 5.5 Hubungan Catch Per Unit Effort (CPUE) dan Effort.. 62 5.6 Estimasi Parameter Biologi. 67 5.7 Estimasi Produksi Lestari 70 5.8 Estimasi Parameter Ekonomi... 76 5.8.1 Estimasi Biaya Input... 76 5.8.2 Estimasi Harga Output 77 5.8.3 Estimasi Tingkat Discount Rate. 79 5.9 Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi. 79 5.9.1 Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil... 79 5.9.2 Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Besar... 81 5.9.3 Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Ikan Demersal 82 5.9.4 Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Ikan Teri.. 84 5.10 Analisis Optimasi Statik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan.. 85 5.10.1 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil... 88 5.10.2 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Besar... 91 5.10.3 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Demersal. 93 5.10.4 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Teri.. 96 5.11 Analisis Optimasi Dinamik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan. 98 5.10.1 Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil... 99 5.10.2 Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Pelagis Besar.. 100 5.10.3 Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Demersal. 101 5.10.4 Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Teri. 103 5.12 Implikasi Kebijakan... 104 VI KESIMPULAN DAN SARAN 111 DAFTAR PUSTAKA 113 LAMPIRAN... 117

DAFTAR TABEL Halaman 1. Pembagian Wilayah Berdasarkan Kelurahan 46 2. Luas Wilayah per Kecamatan, Kelurahan dan Jumlah RW, RT... 46 3. Jumlah, Penyebaran dan Pertumbuhan Penduduk di Balikpapan Tahun 2001-2005. 48 4. Perkembangan PDRB Kota Balikpapan 1994 2004.. 49 5. Distribusi PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Berlaku 2000 2004... 49 6. Perkembangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Balikpapan Tahun 1995-2006... 51 7. Perkembangan Armada Penangkapan Ikan di PPI Manggar Tahun 1995-2006.. 52 8. Perkembangan Alat Tangkap di PPI Manggar Balikpapan Tahun 1995-2006.. 53 9. Perkembangan Volume dan Nilai Produksi Perikanan di PPI Manggar Balikapapan Tahun 1995-2006. 54 10. Produksi per Jenis Alat Tangkap SDI Pelagis Kecil.. 56 11. Produksi per Jenis Alat Tangkap SDI Pelagis Besar. 57 12. Produksi per Jenis Alat Tangkap SDI Demersal 57 13 Perkembangan Produksi SDI Teri 58 14. CPUE Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil.. 59 15. CPUE Sumberdaya Ikan Pelagis Besar. 59 16. CPUE Sumberdaya Ikan Demersal 60 17. Standarisasi Alat Tangkap SDI Pelagis Kecil Tahun 1995-2006.. 61 18. Standarisasi Alat Tangkap SDI Pelagis Besar Tahun 1995-2006.. 61 19. Standarisasi Alat Tangkap SDI Demersal Tahun 1995-2006 62 20. Nilai R square Estimasi CYP dan WH..... 68 21. Hasil Regresi Sumberdaya Perikanan dengan Model CYP... 68 22. Hasil Estimasi Parameter Biologi.. 69 23. Hasil Estimasi Produksi Lestari... 70 24. Data Series Biaya Riil Input Sumberdaya Ikan. 77 25. Data Series Harga Riil Output Sumberdaya Ikan.. 78

Halaman 26. Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Pelagis Kecil.. 80 27. Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Pelagis Besar.. 82 28. Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Demersal.... 83 29 Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Teri. 84 30. Hasil Analisis Optimasi Statik Pemanfaatan SDI... 86 31. Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Pelagis Kecil.. 89 32. Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Pelagis Besar.. 91 33. Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Demersal 91 34 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Teri. 96 35. Estimasi Optimasi Dinamik pada Berbagai Tingkat Discount Rate... 98 36. Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Pelagis Kecil... 99 37. Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Pelagis Besar.. 101 38. Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Demersal 102 39 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Teri. 103 40. Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan... 107

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Model Pertumbuhan Logistik..... 13 2. Model Pertumbuhan Schaefer... 15 3. Model Gordon Schaefer. 18 4. Hubungan Discount Rate dengan Keseimbangan Stok dalam Kondisi Dinamik.. 22 5. Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi. 25 6. Hubungan antara CPUE dan Effort Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil. 63 7. Hubungan antara CPUE dan Effort Sumberdaya Ikan Pelagis Besar 64 8. Hubungan antara CPUE dan Effort Sumberdaya Ikan Demersal... 65 9. Hubungan antara CPUE dan Effort Sumberdaya Ikan Teri... 66 10. Perbandingan Produksi Aktual dengan Produksi Lestari SDI Pelagis Kecil... 71 11. Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Pelagis Kecil 72 12. Perbandingan Produksi Aktual dengan Produksi Lestari SDI Pelagis Besar... 73 13. Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Pelagis Besar.. 73 14. Perbandingan Produksi Aktual dengan Produksi Lestari SDI Demersal. 74 15. Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Demersal 75 16 Perbandingan Produksi Aktual dengan Produksi Lestari SDI Teri 75 17 Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Teri 76 18. Laju Degradasi dan Depresiasi, Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil 80 19. Laju Degradasi dan Depresiasi, Sumberdaya Ikan Pelagis Besar 81 20. Laju Degradasi dan Depresiasi, Sumberdaya Ikan Demersal.... 83 21 Laju Degradasi dan Depresiasi, Sumberdaya Ikan Teri. 85 22. Perbandingan Pemanfaatan Optimasi Statik SDI Pelagis Kecil 90 23. Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil 90 24. Perbandingan Pemanfaatan Optimasi Statik SDI Pelagis Besar 92 25. Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Besar 93 26. Perbandingan Pemanfaatan Optimasi Statik SDI Demersal... 94

Halaman 27. Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Demersal. 95 28. Perbandingan Pemanfaatan Optimasi Statik SDI Teri. 97 29. Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Teri..... 97 30. Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Pelagis Kecil... 100 31. Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Pelagis Besar.. 101 32. Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Demersal..... 102 33. Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Teri...... 104

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Wilayah Administrasi Kota Balikpapan 110 2. Peta Tata Rencana Pemanfaatan Lahan Kota Balikpapan. 111 3. Peta Tata Ruang Laut Kota Balikpapan. 112 4. Kelompok Sumberdaya Ikan yang Tertangkap di Perairan Balikpapan 113 5a. Data Produksi dan Effort Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil... 114 5b. Hasil Analisis Regresi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil 115 6a. Data Produksi dan Effort Sumberdaya Ikan Pelagis Besar 116 6b. Hasil Analisis Regresi Sumberdaya Ikan Pelagis Besar 117 7a. Data Produksi dan Effort Sumberdaya Ikan Demersal.. 118 7b. Hasil Analisis Regresi Sumberdaya Ikan Demersal... 119 8. Hasil Estimasi Biaya Riil Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil 120 9. Hasil Estimasi Biaya Riil Sumberdaya Ikan Pelagis Besar... 121 10. Hasil Estimasi Biaya Riil Sumberdaya Ikan demersal.. 122 11. Hasil Estimasi Harga Riil Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil... 123 12. Hasil Estimasi Harga Riil Sumberdaya Ikan Pelagis Besar... 123 13. Hasil Estimasi Harga Riil Sumberdaya Ikan Demersal...... 124 14. Hasil Perhitungan Tingkat Discount Rate. 125 15. Hasil Analisis Laju Koefisien Degradasi dan Koefisien Depresiasi.. 126 16 Hasil Perhitungan Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil dengan menggunakan Software MAPLE 10... 127 17 Hasil Perhitungan Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan Pelagis Besar dengan menggunakan Software MAPLE 10 134 18 Hasil Perhitungan Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan Demersal dengan menggunakan Software MAPLE 10.. 141

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur yang secara geografis berada pada 113º44 Bujur Timur dan 119º00 Bujur Barat serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang Selatan merupakan salah satu pintu gerbang pembangunan Indonesia Timur. Daerah ini memiliki luas wilayah 239.135,09 km² dengan luas daratan 198.441,17 km 2 dan luas pengelolaan laut 40.693,92 km 2, serta panjang pantai 1.567 km (BAPPEDA dan BPS Kaltim 2006). Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah terluas ke dua di Indonesia setelah Provinsi Papua yang memiliki potensi perikanan sangat besar, bahkan jika dikelola dengan baik bisa menjadi sumber baru bagi pertumbuhan ekonomi selain dari hasil sumberdaya kayu dan tambang. Potensi sumberdaya perikanan di Provinsi Kalimantan Timur diperkirakan mencapai 150.000 ton per tahun. Satu diantara wilayah di Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki sumberdaya perikanan yang cukup besar adalah Kota Balikpapan. Pada tahun 2006 produksi perikanan laut di Kota Balikpapan mencapai 12.969,7 ton atau 17% dari total produksi perikanan di Provinsi Kalimantan Timur (DKP Provinsi Kalimantan Timur 2006). Pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Balikpapan sudah berlangsung sejak lama. Pemanfaatan ini dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Kota Balikpapan. Pada tahun 2004-2005 persentase pertumbuhan jumlah penduduk Kota Balikpapan merupakan persentase pertumbuhan penduduk tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 8,99 %, sementara kabupaten/kota lainnya pertumbuhannya hanya berkisar 1,08 5,57 % (BAPPEDA dan BPS Kalimantan Timur 2006). Situasi ini kemudian berdampak kepada meningkatnya permintaan untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani yang berasal dari ikan. Meningkatnya eksploitasi sumberdaya ikan sebagai akibat meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya tersebut sudah barang tentu berdampak pada semakin tingginya tekanan terhadap keberadaan sumberdaya ikan di Perairan

2 Balikpapan. Ditambah lagi dengan sifat pemanfaatan sumberdaya laut yang secara umum bersifat open access dan common property yang berarti pemanfaatannya terbuka untuk siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum, menjadikan pemanfaatan sumberdaya ini cenderung bebas tanpa ada batasan selama masih ada manfaat/keuntungan yang diperoleh. Kondisi tersebut di atas jika tidak segera dikendalikan (manage) dengan baik, cepat atau lambat dikhawatirkan akan mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Acaman terhadap kelestarian ikan bukan tidak mungkin terjadi di Perairan Balikpapan. Pada tahun 1990 di Perairan Barat Daya Atlantik telah terjadi penurunan yang sangat drastis dari stok ikan cod, yang mengakibatkan lebih dari 40.000 nelayan kehilangan pekerjaannya di beberapa provinsi di Atlantik Canada. Lebih lanjut menurut FAO diacu dalam Fauzi A (2005), diperkirakan bahwa 47% sumberdaya perkanan dunia telah mengalami full exploited, 19% dinyatakan overexplotie, 9% diantaranya sudah depleted (terkuras). Dengan demikian 75% sumberdaya ikan sudah mengalami kritis. Selama tahun 1996-2006, armada penangkapan ikan di Perairan Balikpapan mengalami pertumbuhan rata-rata yang cukup signifikan setiap tahunnya yaitu sebesar 17,41%. Pertumbuhan aramada penangkapan ini diikuti oleh pertumbuhan produksi perikanan yang relatif kecil setiap tahunnya, yaitu hanya sebesar 0,98%. Kecilnya tingkat pertumbuhan produksi perikanan ini merupakan indikasi bahwa sumberdaya ikan di Perairan Balikpapan telah mengalami overfishing. Pemerintah Kota Balikpapan harus melakukan evaluasi dari data dan pada beberapa kasus yang terjadi dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan. Overfishing, baik secara biologi (biological overfishing) mau pun secara ekonomi (economical overfishing) dan dampak-dampak negatif lainnya, merupakan akibat dari pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak dikelola dengan baik dan benar. Untuk mengantisipasi dan mencegah dampak negatif dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan, pemerintah dalam hal ini telah mengeluarkan kebijakan pengelolaan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 3 dan pasal 6 ayat 1. Pada pasal ini dikatakan bahwa

3 pemanfaatan sumberdaya perikanan haruslah tetap memperhatikan dan menjamin kelestariannya, atau dengan kata lain pengelolaan sumberdaya ikan haruslah memberikan manfaat ekonomi yang optimal dengan tetap memperhatikan faktor biologi sumberdaya ikan. Seiring dengan hal itu, maka penelitian dengan kajian bioekonomi pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan di Perairan Balikpapan sangat diperlukan, yaitu suatu kajian yang memadukan dinamika biologi perikanan dan faktor ekonomi perikanan tangkap. Kajian bioekonomi akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengontrol tingkat eksploitasi agar tidak berlebih sekaligus mendorong melakukan upaya pemanfaatan dengan keuntungan yang optimal yang bisa dilakukan secara terus menerus. 1.2 Perumusan Masalah Ikan dalam klasifikasi sumberdaya alam termasuk dalam kelompok flows (alur). Sumberdaya flows merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable). Kuantitas fisik dari jenis sumberdaya ini berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang dapat dimanfaatkan sekarang, bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya dimasa mendatang. Regenerasi dari sumberdaya ini ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak. Regenerasi dari sumberdaya ini sangat tergantung dari proses biologi (reproduksi), akan tetapi meski pun sumberdaya ikan bisa melakukan proses regenerasi, jika titik kritis kapasitas maksimum regenerasinya sudah terlewati, sumberdaya ini akan menjadi sumberdaya yang tidak dapat diperbarui (Fauzi A 2004). Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh para nelayan selama ini lebih berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya ikan jangka pendek, para nelayan senantiasa berupaya untuk dapat menangkap ikan yang lebih banyak agar dapat memperoleh manfaat yang lebih besar tanpa pernah menghiraukan nilai yang diperoleh dalam jangka panjang. Disisi lain, jumlah nelayan terus mengalami peningkatan, sehingga memunculkan persaingan dalam mendapatkan hasil tangkapan, dengan jumlah upaya penangkapan yang semakin tak terkendali. Kondisi ini akan berdampak kepada semakin besarnya

4 preasure yang terjadi terhadap sumberdaya ikan, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi : 1) Bagaimana dengan tingkat produksi, upaya dan rente ekonomi optimal sumberdaya perikanan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan yang dapat memberikan manfaat yang optimal bagi nelayan secara terus menerus? 2) Apakah sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan sudah terdegradasi dan terdepresiasi? 3) Bagaimana alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan? 1.3 Tujuan Penelitian Dari permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Menganalisis tingkat produksi, tingkat upaya dan rente ekonomi optimal dari sumberdaya perikanan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan. 2) Menilai tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan. 3) Menentukan alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan.

II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Alam Soemarno MS (1991), mendefinisikan sumberdaya sebagai segala sumber persediaan yang secara potensial dapat didayagunakan. Dari sudut pandang ekonomi, sumberdaya mengandung arti masukan (input) dalam suatu proses produksi yang dapat menghasilkan produk yang bermanfaat, berupa barang dan jasa. Randall A (1989) mengatakan bahwa sumberdaya adalah segala sesuatu yang berguna dan bermanfaat. Sumberdaya alam dapat juga diartikan sebagai segala sumber hayati dan non hayati yang dimanfaatkan manusia sebagai sumber pangan, bahan baku dan energi. Dengan kata lain, sumberdaya alam adalah faktor produksi dari alam yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi (Fauzi A 2004). Lebih jauh Fauzi A (2004) menjelaskan bahwa, secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok stok dan kelompok flows (alur). Kelompok sumberdaya stok merupakan jenis sumberdaya yang tidak dapat diperbarui (non renewable) atau terhabiskan (exhaustible). Sumberdaya ini dianggap memiliki sumberdaya terbatas, sehingga eksploitasi terhadap jenis sumberdaya ini akan menghabiskan cadangan sumberdaya. Termasuk dalam jenis sumberdaya ini antara lain sumber daya mineral, logam, minyak, dan gas bumi. Kelompok kedua adalah flows (alur). Sumberdaya flows merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable). Kuantitas fisik sumberdaya ini berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang dapat dimanfaatkan sekarang, bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya dimasa mendatang. Regenerasi dari sumberdaya ini ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak. Ikan misalnya, regenerasi dari sumberdaya ini sangat tergantung dari proses biologi (reproduksi). Sementara energi surya, pasang surut, angin dan sebagainya tidak tergantung pada proses biologi, akan tetapi meski pun ada sumberdaya yang bisa melakukan proses regenerasi, jika titik kritis kapasitas maksimum regenerasinya sudah terlewati, sumberdaya ini akan menjadi sumberdaya yang tidak dapat diperbarui (Fauzi A 2004).

6 2.2 Sumberdaya Ikan Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1 ayat 4, ikan didefinisikan sebagai segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Dalam pengelompokkan sumberdaya alam, ikan termasuk sebagai sumberdaya flows atau sumberdaya yang bersifat dapat diperbaharui atau memperbaharui diri (renewable). Nikijuluw VPH (2001) menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open acces (akses terbuka) dimana siapa saja bisa berpartispasi memanfatkan sumberdaya tersebut tanpa harus memilikinya. Lebih lanjut Nikijuluw VPH (2001) mengemukakan 3 (tiga) sifat khusus yang dimilki oleh sumberdaya ikan, yaitu: 1) Ekskludabitas Sifat phisik ikan yang bergerak ditambah lautan yang cukup luas membuat upaya pengendalian dan pengawasan terhadap sumberdaya ikan bagi stakeholder tertentu menjadi sulit. 2) Subtraktabilitas Suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain dalam pemanfatan sumberdaya, akan tetapi berdampak negatif pada kemampuan orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya yang sama 3) Indivisibilitas Sifat ini pada hekekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdya milik bersama sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walau pun secara administratif pembagian ataupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas manajemen. 2.2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup pada lapisan permukaan perairan sampai tengah (mid layer). Ikan pelagis umumnya hidup secara bergerombol baik dengan kelompoknya mau pun jenis ikan lain. Ikan pelagis bersifat fototaxis positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Bentuk tubuh ikan menyerutu (stream line) dan merupakan perenang cepat (Mukhsin I 2002).

7 Berdasarkan ukurannya Direktorat Jenderal Perikanan (1998) diacu dalam Bakosurtanal (1998) mengelompokkan ikan pelagis menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : 1) Pelagis Besar Mempunyai ukuran 100-250 cm (ukuran dewasa), umumnya ikan pelagis besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat. Contoh dari kelompok ini antara lain ikan tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), dan tongkol (Euthynnus spp). 2) Pelagis Kecil Mempunyai ukuran 5-50 cm (ukuran dewasa), didominasi oleh 6 kelompok besar, yaitu kembung (Rastrelliger sp), layang (Decapterus sp), jenis selar (Selaroides sp dan Atale sp), lemuru (Sardinella sp) dan teri (Stolephorus sp) Ikan pelagis kecil adalah ikan yang hidup dilapisan permukaan, sampai kedalaman 30-60 m, tergantung pada kedalaman laut. Bila hidup di perairan yang secara berkala/musiman mengalami up welling (pengadukan) ikan pelagis kecil dapat membentuk biomassa yang besar (Mukhsin I 2002). 2.2.2 Sumberdaya Ikan Demersal Widodo J (1980) mengungkapkan perubahan ikan demersal berdasarkan sifat ekologinya, yaitu reproduksi yang stabil, hal ini disebabkan oleh : (1) Habitat di lapisan dasar laut yang relatif stabil, sehingga mengakibatkan daur hidup ikan demersal juga stabil. (2) Daerah ruayanya yang sempit dan ikan demersal cenderung menempati suatu daerah dengan tidak membentuk kelompok besar, oleh karena itu besar sediaannya sangat dipengaruhi oleh luas daerah yang ditempatinya. Apabila kondisi lingkungan memburuk, ikan pelagis masih mampu beruaya ke daerah perairan baru yang lebih baik kondisinya, sedangkan jenis ikan demersal tidak mampu untuk menghindar, sehingga dapat mengakibatkan penurunan stok sumberdaya ikan demersal. Ikan demersal pada umumnya dapat hidup dengan baik pada perairan yang bersubtrat lumpur, lumpur berpasir, karang dan karang berpasir (Fischer W dan PJP Whiteahead 1974)

8 2.2.3 Sumberdaya Ikan Teri Menurut Hutomo, Burhanuddin, A Djamali dan S Martosewojo (1987) ikan teri adalah semua jenis dari marga Stolephorus dari anak suku Engraulinae, anggota suku Engraulidae. Pada umumnya berukuran kecil sekitar 6-9 cm, yang berukuran relatif besar bisa mencapai 17, cm Ikan teri, Stelophorus, bersifat pelagik, menghuni perairan pesisir dan estuaria, tetapi beberapa jenis dapat hidup pada salinitas rendah antara 10-15 %. Umumnya hidup dalam gerombolan, terutam jenis-jenis yang berukuran kecil, yang terdiri atas ratusan sampai ribuan ekor. Jenis-jenis yang besar seperti Stolephorus indicus dan Stolephorus commersoni lebih bersifat soleter, sehingga tertangkap hanya dalam jumlah kecil (Hardenberg 1934 diacu dalam Hutomo et al. 1987). Laevastu T dan MI Hayes (1981) mengatakan bahwa ikan-ikan teri selama siang hari membentuk gerombolan di dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari, dimana ketebalan gerombolan ini mencapai 6-15 m. Kedalaman renang dari gerombolan teri bervariasi selama siang haridan bermigrasi kedaerah yang dangkal (permukaan) pada pagi dan sore hari. 2.3 Estimasi Stok Ikan Menurut Aziz KA (1989), suatu unit stok adalah sebuah kelompok yang berdiri sendiri, tanpa campur dari luar dan mempunyai karakteristik biologi dan dampak penangkapan seragam. Stok juga bisa didefenisikan sebagai masalah operasional, yaitu suatu sub kelompok dalam suatu spesies dapat diperlakukan sebagai stok jika perbedaan-perbedaan dalam kelompok tersebut dan pencampuran dengan kelompok lain dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang tidak absah (Gulland JA 1983 diacu dalam Sparre P and SC Venema 1999). Menurut Endroyono (2002), untuk menduga stok ikan di daerah tropis diperlukan pengetahuan tentang karakteristik dari ikan tersebut. Karekteristik tersebut meliputi keragaman spesies yang relatif banyak, sedangkan gerombolan dari tiap spesies tersebut relatif kecil dibandingkan dengan daerah tropis. Selain itu ikan tropis biasanya memijah dua kali dalam setahun.

9 Stok ikan pada suatu perairan dapat juga diduga dengan menggunakan dua metode, yaitu metode analitik dan metode holistic. Metode analitik digunakan untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data hasil tangkapan dan upaya, dengan melihat frekuensi panjang atau umur ikan. Metode holistik digunakan untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data hasil tangkapan dan upaya tanpa ada data komposisi ukuran ( Sparre P dan SC Venema 1998). Sparre P dan SC Venema (1998), menyatakan bahwa model yang sering digunakan untuk mengkaji stok ikan adalah model produksi surplus/surplus produksi, yaitu suatu model untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data produksi dan upaya. Dengan metode akan diketahui tingkat upaya optimal, suatu upaya yang dapat menghasilkan produksi (hasil tangkapan) yang lestari tanpa mempengaruhi produktifitas stok ikan dalam jangka panjang, atau yang dikenal dengan hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY). 2.4 Pengelolan Sumberdaya Ikan Pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu upaya untuk mengantisipasi terjadinya masalah-masalah yang ditimbulkan oleh penerapan kebijakan open access terhadap permasalahan ekologi dan sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Upaya ini muncul sebagai respon terhadap masalahmasalah yang terjadi dari praktek open access, berupa kerusakan sumberdaya hayati laut maupun konflik antar nelayan di wilayah perairan (Satria A 2001). Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1 ayat 7, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, implementasi, serta penegakkan hukum dari peraturan perundangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya ikan dan tujuan yang telah disepakati. Selanjutnya pada pasal 2 Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.

10 FAO (1995) mengemukakan bahwa berdasarkan status pemanfaatan, sumberdaya perikanan dibagi menjadi 6 (enam) kelompok yaitu : 1) Unexploited Stok sumberdaya ikan belum tereksploitasi (belum terjamah), sehingga aktifitas penangkapan ikan sangat dianjurkan guna memperoleh manfaat dari produksi. 2) Lightly exploited Sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit (< 25% dari MSY). Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya, dan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) masih bisa meningkat. 3) Moderately exploited Stok sumberdaya sudah tereksploitasi setengah dari MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan masih dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya. CPUE mungkin mulai menurun. 4) Fully exploited Stok sumberdaya sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan walaupin jumlah tangkapan masih bisa meningkat karena akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan. CPUE pasti menurun. 5) Over exploited Stok sumberdaya sudah menurun karena tereksploitasi melebihi MSY. Upaya penangkapan harus diturunkan karena kelestarian sumberdaya ikan sudah terganggu. 6) Depleted Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun mengalami penurunan secara drastis. Upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan karena kelestarian sumberdaya sudah sangat terancam. 2.5 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 6 menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan

11 Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Menurut Simanjuntak S (2000) konsep dasar dari sustainability adalah penggunaan sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga tidak terkuras atau rusak secara permanen. Untuk itu diperlukan pengetahuan mengenai batas kekuatan sumberdaya alam tersebut sampai seberapa jauh bisa digunakan tanpa terkuras atau rusak secara permanen Menurut World Commission on Environment and Development (WCED) (1987) diacu dalam Dahuri R (2003), pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Charles AT (2001), keberlanjutan pembangunan perikanan mengandung 4 (empat) komponen dasar yang harus terpenuhi. Komponen dasar tersebut adalah sebagai berikut : 1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability). Berhubungan dengan stok dari sumberdaya ikan, daya dukung lingkungan dan keseimbangan dari ekosistem. 2) Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability). Berhubungan dengan pemerataan kesejahteraan yang akan dan bisa diperoleh oleh generasi berikutnya dengan pemanfaatan sumberdaya ikan. 3) Keberlanjutan masyarakat (community sustainability). Berhubungan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan, sehingga dengan ini di diharapkan pengelolaan ikan secara berkelanjutan akan terus berlangsung secara turun temurun dari satu generasi kapada generasi berikutnya. 4) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability) Berhubungan dengan dukungan dari lembaga (pemerintah maupun swasta), administrasi yang baik dan keuangan sebagai prasyarat tercapainya 3 (tiga) komponen dasar sebelumnya. Dengan pendekatan ini, tampak bahwa pembangunan perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kelestarian sumberdaya ikan itu

12 sendiri atau keuntungan ekonomi saja, melainkan juga keberlanjutan masyarakat dan lembaga perikanan. 2.6 Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan 2.6.1 Model Surplus Produksi Pengelolaan sumberdaya ikan pada awalnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) atau disingkat MSY. Inti dari konsep ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Dengan kata lain konsep ini hanya mempertimbangkan faktor biologi ikan semata (Fauzi A 2004). Menurut Aziz KA (1989) model surplus produksi adalah salah satu model yang digunakan dalam pengkajian stok ikan, yaitu dengan dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah perairan adalah suatu parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang diproduksi ini diharapkan dapat mengganti bioamassa yang hilang akibat kematian, penangkapan mau pun faktor alami. Produksi yang berlebih dari kebutuhan penggantian dianggap sebagai surplus yang dapat dipanen. Apabila kuantitas biomassa yang diambil sama dengan surplus yang diproduksi maka perikanan tersebut berada dalam kondisi equilibrium atau seimbang. Fauzi A (2004) mengatakan bahwa fungsi pertambahan atau pertumbuhan atau perubahan stok biomass ikan yang pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi awal periode (terjadi secara alami), disebut sebagai density dependent growth. Hubungan ini secara matematik dinotasikan sebagai : x t + 1 x = F( x)...(2.1) dalam bentuk fungsi yang kontinyu menjadi : x = F(x) t...(2.2) Fungsi density dependent growth yang umum digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model).

13 model pertumbuhan logistik secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : dimana : x x = F( x) = rx 1.........(2.3) t K x = F(x) = perubahan stok ikan atau fungsi pertumbuhan stok ikan, t x = stok ikan r = laju pertumbuhan intrinsik ikan K = adalah kapasitas daya dukung lingkungan. F(x) 0 1 K K x 2 Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Logistik (Fauzi A 2004) Dari persamaan matemetis dan Gambar 1 tersebut di atas terlihat bahwa dalam kondisi keseimbangan yang terjadi secara alami, dimana laju pertumbuhan sama dengan nol ( x / t = 0), tingkat populasi akan sama dengan K (carrying capacity). Carrying capacity sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan instrinsik (r), dimana semakin tinggi nilai r, semakin cepat tercapainya carrying capacity. Tingkat maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity atau K/2. Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sutainable Yield atau MSY.

14 Untuk menangkap (memperoleh manfaat) sumberdaya ikan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana merupakan faktor input yang biasa disebut upaya atau effort. Aktifitas penangkapan atau produksi dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut : h = qxe.....(2.4) dimana : h = produksi q = koefisien daya tangkap x = stok ikan E = Upaya (effort) dengan adanya aktivitas penangkapan atau produksi, maka fungsi perubahan stok ikan menjadi : x t F x rx = ( ) = 1 x h K x = rx 1 qxe.. (2.5) K x dalam kondisi keseimbangan dimana = 0, maka persamaan (2.5) berubah t menjadi persamaan sebagai berikut : x qxe = rx 1......(2.6) K dari persamaan (2.6) diperoleh nilai stok ikan (x) sebagai berikut : qe x = K 1......(2.7) r dengan mensubtitusikan persamaan (2.7) ke dalam persamaan (2.4) diperoleh persamaan berbentuk kuadratik terhadap input yang disebut sebagai fungsi produksi lestari atau yang dikenal dengan yield effort curve sebagai berikut : qe h = qke 1........(2.8) r

15 Yield h MSY MSY Produksi Lestari 0 E E MSY Max Effort Gambar 2. Model Pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari) ( Fauzi A 2004; Lawson RM 1984) Persamaan (2.8) dan Gambar 2 di atas menunjukkan hubungan kuadratik antara produksi (yield) dengan upaya (effort) yang kurvanya berbentuk simetris, yang merupakan penerapan dari konsep produksi kuadartik Verhulst pada tahun 1883 yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer pada tahun 1957 untuk diterapkan pada perikanan. Hubungan ini kemudian dikenal dengan model pertumbuhan Schaefer (Lawson RM 1984) atau disebut juga dengan kurva produksi lestari (Fauzi A 2004). Dari Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan, maka produksi ikan sama dengan nol. Apabila upaya penangkapan ditingkatkan sampai mencapai titik E MSY, maka akan diperoleh produksi yang maksimum atau dikenal dengan MSY, tetapi karena sifat dari kurva produksi lestari berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang dilakukan secara terus menerus sampai melewati titik MSY, akan mengakibatkan turunnya produksi sampai mencapai titik nol pada titik upaya maksimum ( E ). Dengan membagi kedua sisi dari persamaan (2.8) dengan variabel input (E), maka akan diperoleh persamaan linear berikut ini : Max

16 qe h = qke 1 r h E h E 2 2 q KE = qke. (2.9) r 2 2 qke q KE = / E E r 2 q K = qk E....(2.10) r U = α βe...(2.11) dimana : U = produksi per unit input (CPUE) 2 α = qk, dan β = q K / r. Menurut Schaefer yang diacu dalam Fauzi (2004), dengan meregresikan variabel U dan E dari data time series produksi dan upaya (effort) akan diperoleh nilai koefisien α dan β, sehingga akan diketahui tingkat input (E) dan tingkat produksi (h) optimal dalam kondisi MSY. Dari uraian di atas tampak bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pendekatan MSY oleh Schaefer hanya dilihat dari aspek biologi saja. Pengelolaan perikanan belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan, apalagi berorientsi pada manusia. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan dengan konsep ini belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan pendapatan dan bukan semata-mata untuk menghasilkan ikan. Kritik yang paling mendasar adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi A 2004). 2.6.2 Model Optimasi Statik Dengan memperhatikan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pendekatan MSY, maka mulailah dikembangkan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Konsep ini mulai diperkenalkan pada tahun 1957

17 oleh seorang ahli ekonomi Kanada yang bernama HS Gordon yang memanfaatkan kurva produksi lestari yang dikembangkan oleh Schaefer, sehingga dalam perkembangannya pendekatan ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer yang banyak dipergunakan oleh ahli perikanan dalam melakukan analisis pengelolaan sumberdaya ikan. Menurut Gordon, pengelolaan sumberdaya perikanan haruslah memberikan manfaat ekonomi (dalam bentuk rente ekonomi). Rente tersebut merupakan selisih dari penerimaan yang diperoleh dari ekstraksi sumberdaya ikan (TR = ph) dengan biaya yang dikeluarkan (TC = ce) (Fauzi A 2004). Manfaat ekonomi tersebut dinotasikan dalam bentuk : π = ph ce... (2.10) dimana p adalah harga output dan c adalah biaya input Dengan mensubtitusikan persamaan (2.2) ke dalam persamaan (2.7) akan diperoleh penerimaan dari sisi input, secara matematis dapat ditulus sebagai : 2 π = p( αe βe ) ce...(2.11) Pemikiran dengan memasukkan unsur ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau disingkat menjadi MEY. Pendekatan ini menggunakan beberapa asumsi (Lawson RM 1984; Fauzi A 2004), yaitu : (1) Harga per satuan output adalah konstan. (2) Biaya per satuan upaya dianggap konstan. (3) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal. (4) Strukutur pasar bersifat kompetitif. (5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya).

18 Rp OA MSY MEY π max π = 0 TC Biaya, Penerimaan TR 0 E3 E 1 E 2 Effort Gambar 3. Model Gordon Schaefer ( Fauzi A 2004) Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa kurva penerimaan total (Total Revenue/TR) adalah sama dengan kurva produksi lestari, karena harga ikan diasumsikan konstan dan penerimaan total akan ditentukan langsung oleh hasil tangkapan ikan. Kurva biaya total (Total Cost/TC) berbentuk garis lurus, yang mengindikasikan bahwa besarnya biaya meningkat secara proporsional dengan meningkatnya effort (Lawson RM 1984). Pada setiap tingkat upaya yang lebih tinggi dari E 2, maka biaya total (TC) akan melebihi penerimaan total (TR), sehingga banyak pelaku perikanan yang keluar dari perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih rendah dari E 2, maka penerimaan total (TR) melebihi biaya total (TC), sehingga dalam kondisi akses terbuka, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku yang masuk dalam industri perikanan. Kondisi ini akan terus terjadi hingga manfaat ekonomi terkuras sampai titik nol, atau dengan kata lain tidak ada lagi manfaat ekonomi yang bisa diperoleh. Gordon menyebut hal ini sebagai bioeconomic equilibrium of open access fishery atau keseimbangan bioekonomi dalam kondisi akses terbuka (Fauzi A 2005).

19 Dari Gambar 3 di atas juga dapat dijelaskan bahwa keuntungan lestari yang maksimum akan diperoleh pada tingkat upaya E 3, tingkat upaya ini disebut dsebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi karena lebih efisien dalam penggunaan faktor produksi (tenaga kerja, modal) dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial karena tingkat upaya yang lebih sedikit, sehingga lebih bersahabat dengan lingkungan. Kondisi ini secara matematik dapat dinotasikan sebagai (Fauzi A 2004) : maxπ = pαe pβe 2 ce π = E pα 2 βpe c = 0...(2.12) sehingga diperoleh tingkat input yang optimal sebesar : E αp c = 2 pβ...(2.13) Dalam model bioekonomi Gordon-Schaefer di atas, tampak bahwa beberapa parameter biologi penting seperti r, q, dan K tergantikan oleh koefisien α dan β. Hal ini menyebabkan informasi mengenai perubahan biologi yang terjadi tidak akan pernah terakomodasi dalam model. Oleh karena itu diperlukan cara untuk memodifikasi model Gordon-Schaefer. Salah satu cara yang digunakan untuk mengatasi kendala tersebut adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto, dan Pooley, atau yang biasa dikenal dengan model CYP. Persamaan CYP secara matematis ditulis sebagai berikut : 2r (2 r) q ln( U t+ 1 ) = ln( qk) + ln( U t ) ( Et + Et+ 1) (2.14) (2 + r) (2 + r) ( 2 + r) dengan meregresikan tangkap per unit upaya pada periode t+1 (U t+1 ), U pada periode t, dan penjumlahn input pada periode t dan t+1, akan diperoleh nilai koefisien r,q, dan K.

20 2.6.3 Model Optimasi Dinamik Clark CW (1985) diacu dalam Fauzi A (2004) menyatakan bahwa, pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan statik yang telah banyak digunakan untuk memahami sumberdaya ikan dalam kurun waktu yang cukup lama memiliki beberapa kelemahan mendasar yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pemahaman realitas sumberdaya ikan yang dinamis. Faktor mendasar dari kelemahan pendekatan statik adalah karena sifat statik itu sendiri yang tidak memasukkan faktor waktu di dalamnya. Hal ini lebih disebabkan karena sumberdaya ikan memerlukan waktu untuk memulihkan diri dan tumbuh dalam kondisi perairan tertentu maupun terhadap kondisi eksternal yang terjadi di sekitarnya (Cunningham 1981 diacu dalam Fauzi A 2004). Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang mampu secara tepat menangkap perubahan-perubahan eksogenous yang terjadi pada parameter-parameter biologi dan ekonomi dari sumberdaya ikan. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan dengan menggunakan model dinamis. Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menggunakan pendekatan dinamis sudah dimulai sejak tahun 1970, namun pendekatan ini berkembang sepenuhnya dan banyak digunakan sebagai analisis setelah publikasi artikel Clark CW dan Munro (1975). Dalam artikel tersebut terungkap bahwa Clark CW dan Munro (1975) menggunakan pendekatan kapital untuk memahami aspek intertemporal dari pengelolaan sumberdaya ikan (Fauzi A 2004). Aspek pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan model dinamik bersifat intertemporal, maka aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate, sehingga dalam konteks dinamik, pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal merupakan perhitungan tingkat upaya dan panen yang optimal yang menghasilkan discounted present value (DPV) surplus sosial yang paling maksimum. Surplus sosial ini diwakili oleh rente ekonomi dari sumberdaya (resource rent) (Fauzi A 2004). Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dengan menggunakan formula model dinamik dalam bentuk fungsi yang kontinyu ditulis sebagai berikut : t= 0 δt maxπ ( t) = π ( x( t), h( t)) e dt....(2.15)

21 dengan kendala : x. = x = F( x( t)) h( t) t 0 h h max dengan menggunakan teknik Hamiltonian, maka model kontinyu di atas menghasilkan Golden Rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan yang secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi A 2004) : dan F π / x + = δ x π / h....(2.16) F ( x) = h (2.17) dimana, π / x adalah rente marjinal akibat perubahan biomass, π / h adalah rente marjinal akibat perubahan tangkap (panen), F / x produktifitas dari π / x biomass. Dalam kondisi = 0, maka persamaan (36) menjadi F / x = δ π / h yang merupakan golden rule dari teori kapital, dimana kapital harus dimanfaatkan sampai manfaat marjinalnya sama dengan biaya oportunitas (interest rate). Dalam konteks ini, ketika ( π / x ) = 0 yang identik dengan kondisi MEY, kondisi pengelolaan mengikuti kaidah teori kapital, dimana stok akan dipelihara pada tingkat laju pertumbuhannya sama dengan manfaat yang diperoleh dari investasi (dalam hal ini interest rate). Kondisi ini dapat juga dijelaskan sebagaimana Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat bahwa jika discount rate meningkat yang ditunjukkan oleh pergeseran slope ke arah yang berlawanan dengan arah jarum jam, maka stok akan mengalami penurunan (Fauzi A 2004).

22 F(x) Slope = δ F Slope = x F(x) 0 x x Gambar 4 Hubungan Discount Rate dengan Keseimbangan Stok dalam Kondisi Dinamik (Fauzi A 2004) 2.7 Kebijakan Perikanan dan Kelautan Menurut Parson W (2001), kebijakan adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik, dan merupakan manivestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Menurut Simatupang P (2001), kebijakan pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu kebijakan privat dan kebijakan publik. Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat (individu mau pun lembaga swasta). Hogwood dan Gunn (1986) diacu dalam Suyasa IN (2007) menambahkan bahwa, ciri-ciri kebijakan publik yaitu : 1) Dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintah atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan pemerintah. 2) Bersifat memaksa, berpengaruh terhadap tindakan privat (masyarakat luas atau publik)

23 Dari uraian di atas, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan ke dalam kebijakan publik, yaitu suatu keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan, guna mewujudkan pembangunan nasional. Perumusan kebijakan perikanan dan kelautan menurut Kusumastanto T (2002) meliputi tiga tingkatan, yaitu tingkatan politis (kebijakan) yang terdiri atas lembaga eksekutif dan lembaga legislatif; tingkatan organisasi (institusi, aturan main) yang terdiri atas lembaga departemen dan non departemen yang memiliki tugas dan fungsi yang memiliki keterkaitan koordinatif dan saling mendukung; dan tingkatan implementasi (evaluasi, umpan balik) yang terdiri atas unsur nelayan, petani, pengusaha dan sebagainya yang berperan dalam implementasi kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan Pada sidang negara-negara FAO di Roma, Italia tahun 1995, telah ditetapkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sebagai petunjuk umum dalam melaksanakan perikanan yang bertanggung jawab. FAO (1995) menyatakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab tersebut, yaitu : 1) Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan, dan hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggung jawab. 2) Negara harus mencegah terjadinya tangkap lebih (overfishing) dan menjaga agar penangkapan sesuai dengan daya lingkungan (carrying capacity). 3) Pengelolaan perikanan harus menjamin tersedianya perikanan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. 4) Pelaksanaan pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan pendekatan kehati-hatian. 5) Kebijakan pengelolaan perikanan harus didasarkan pada adanya bukti ilmiah terbaik yang tersedia. 6) Perlunya dilakukan perlindungan dan upaya rehabilitasi terhadap habitat perikanan yang kritis. 7) Negara harus menjamin pengelolaan perikanan yang transparan, mendorong adanya konsultasi dan partisipasi dari para pengguna sumberdaya ikan. 8) Negara harus menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam pelaksanaan pengelolaan.

III KERANGKA PENDEKATAN STUDI Kegiatan penangkapan sumberdaya ikan yang semakin meningkat di Perairan Balikpapan telah memberikan tekanan yang hebat terhadap keberadaan sumberdaya ikan. Peningkatan ini membuat para nelayan saling berlomba untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang sesuai dengan harapannya. Kondisi ini akhirnya menimbulkan persaingan dengan tujuan jangka pendek yang mengarah pada eksploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan. Untuk menghindari dan mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang tak terkendali, perlu kiranya dibuat sebuah kebijakan yang mengarah pada pemanfaatan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab, sehingga diperoleh manfaat ekonomi yang optimal dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Untuk itulah diperlukannya kajian bioekonomi sumberdaya ikan, yaitu suatu kajian yang memadukan dinamika biologi perikanan dan faktor ekonomi perikanan tangkap. Kajian bioekonomi akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengontrol tingkat eksploitasi agar tidak berlebih sekaligus mendorong melakukan upaya pemanfaatan dengan keuntungan yang optimal yang bisa dilakukan secara terus menerus. Kajian bioekonomi pada penelitian ini diawali dengan observasi lapang, melihat secara langsung kondisi perikanan di Perairan Balikpapan. Setelah itu, melakukan identifikasi terhadap data sekunder dan informasi lainnya yang mendukung dari tahun 1995-2006. Data sekunder ini meliputi, data rumah tangga nelayan, armada, alat tangkap, produksi dan upaya penangkapan. Proses selanjutnya adalah melakukan tabulasi data, dilanjutkan dengan melakukan analisis data dengan menggunakan model estimasi parameter Clark, Yoshimoto and Pooley (CYP). Dari estimasi ini diperoleh data parameter biologi berupa carrying capacity (K), coefficient of catchability (q) dan instrinsic growth rate (r) dari sumberdaya ikan. Kemudian mengolah data primer untuk mendapatkan parameter ekonomi yang meliputi data harga output (p), biaya input (c), discount rate (δ) Berikutnya melakukan analisis bioekonomi, dengan cara melakukan perhitungan terhadap data parameter biologi dan ekonomi untuk mendapatkan

25 tingkat degradasi dan depresiasi serta pengelolaan optimal sumberdaya ikan. Hasil analisis bioekonomi ini kemudian menjadi bahan pembahasan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat bagi pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Balikpapan. Pendekatan studi pada penelitian ini dapat juga dijelaskan sebagaimana terlihat pada Gambar 5 Observasi Lapang Data Sekunder Data Primer Parameter Biologi : r, q, K MAPLE dan Excel Parameter Ekonomi :,c,δ p Analasis Data Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan Pelagis dan Demersal Alternatif Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Pelagis dan Demersal Gambar 5 Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi

IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada Bulan September sampai dengan Bulan Desember 2007. Lokasi penelitian adalah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Manggar Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. 4.2 Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan metode analisis data sekunder. Analisis data sekunder adalah penelitian yang bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut data yang sudah tersedia agar diperoleh sesuatu yang berguna (Singarimbun M dan S Effendi 2000). Setelah itu, dilakukan analisis dengan menggunakan metode deskriptif berupa penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data. 4.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuntitatif. Data kualitatif adalah data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan 1984 diacu dalam Sitorus MTF 1998). Data kualitatif terbagi dalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan, hasil pembicaraan dan bahan tertulis. Data kuantitatif adalah data yang nilainya berbentuk numerik atau angka, bersifat ringkas, sederhana, sistematis, terbakukan dan mudah disajikan (Sitorus MTF 1998) Berdasarkan sumbernya, data penelitian in terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini berupa data-data cross section yang diperoleh dengan cara penelusuran bahan tertulis (literature), hasil penelitian, jurnal, surat kabar, majalah, bulletin, dan lain sebagainya yang berhubungan dan menunjang kelengkapan data pada penelitian ini (data silang). Data sekunder pada penelitian ini berupa data series. Data series yang digunakan adalah time series data pada tahun

27 1995-2006. Data ini diperoleh data statistik perikanan Kota Balikpapan mau pun data statistik perikanan Provinsi Kalimantan Timur. 4.4 Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel (sampling) pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling atau pemilihan responden dengan sengaja dan dengan pertimbangan bahwa responden mampu berkomunikasi dengan baik dalam pengisian kuesioner yang diajukan kepada responden. Sampel yang diambil adalah nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Manggar Balikpapan dan dianggap mewakili dari keseluruhan nelayan yang menggunakan alat tangkap payang, pancing tonda, dan jaring insang. Jumlah sampel yang diambil masing-masing alat tangkap sebanyak 5, sehingga jumlah total sampel pada penelitian ini sebanyak 20. 4.5 Analisis Data 4.5.1 Catch per Unit Effort (CPUE) Setelah data produksi dan upaya (input atau effort) disusun dalam bentuk urut waktu menurut jenis alat tangkap dan masing-masing target dari sumberdaya perikanan yang akan diteliti, langkah selanjutnya adalah mencari nilai hasil tangkapan per unit upaya (CPUE). Menurut Gulland JA (1983), penghitungan CPUE bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu daerah perairan tertentu. Nilai CPUE dapat dinotasikan sebagai berikut : dimana : catch t CPUE t =. (4.1) effortt t = 1,2,...n = CPUE hasil tangkapan per upaya penangkapan pada tahun ke-t Catch t = hasil tangkapan pada tahun ke-t effort t = upaya penangkapan pada tahun ke-t

28 4.5.2 Standarisasi Alat Tangkap Standarisasi dilakukan karena alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap target sumberdaya perikanan beragam, sehingga sangat dimungkinkan satu spesies ikan tertangkap oleh dua alat tangkap yang berbeda. Standarisasi dilakukan dengan maksud untuk bisa menjumlahkan input upaya secara agregat karena kedua alat tangkap tersebut memiliki kemampuan daya tangkap yang berbeda. Alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap yang memiiiki produktivitas yang tinggi (dominan) dalam menangkap sumberdaya perikanan yang menjadi objek penelitian atau memiliki nilai rata-rata CPUE terbesar pada suatu periode waktu dan memiliki nilai faktor daya tangkap (Fishing Power Indeks) sama dengan satu (Gulland JA 1983). Secara matematis menurut Fauzi A (2004), input alat tangkap yang akan distandarisasi merupakan perkalian dari fishing power indeks dengan input (upaya/effort) dari alat yang distandarisasi. E std = ϕ E...(4.2) i i ϕ i = U U i std...(4.3) dimana : E std U i std = Effort standar = CPUE = Cacth per Unit Effort tangkap ke-i U = CPUE std = CPUE yang dijadikan standar 4.5.3 Estimasi Parameter Biologi Fauzi A (2004) menyatakan, estimasi parameter biologi dari model surplus produksi dapat dilakukan dengan teknik pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clark,Yoshimoto dan Pooley atau yang dikenal dengan model CYP. Secara matematis model CYP ditulis sebagai berikut :

29 2r (2 r) q ln( U t+ 1 ) = ln( qk) + ln( U t ) ( Et + Et+ 1).(4.4) (2 + r) (2 + r) ( 2 + r) dengan meregresikan tangkap per unit upaya pada periode t+1 (U t+1 ), U pada periode t, dan penjumlahn input pada periode t dan t+1, akan diperoleh nilai koefisien r, q, dan K. Ada pun besaran koefisen r, q, dan K dalam model CYP diperoleh dengan cara sebagai berikut : 2 2β1 r = 1+ β1..(4.5) β 2 q = (2 + r)..(4.6) K e = β (2 r) 0 + 2r q..(4.7) 4.5.4 Estimasi Parameter Ekonomi Parameter ekonomi dalam penelitian ini berupa harga output (p) per kg atau per ton dari produksi sumberdaya ikan dan biaya input (c) dari aktivitas upaya per trip atau per hari melaut. Semua data harga dan biaya dikonversi ke dalam nilai riil dengan cara menyesuaikannya dengan indeks harga konsumen (IHK), sehingga pengaruh inflasi dapat dieliminir (Fauzi A dan S Anna 2005). 4.5.4.1 Estimasi Biaya Input Dalam kajian bioekonomi biaya penangkapan didasarkan atas asumsi hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan, sehingga biaya penangkapan dapat didefinisikan sebagai variabel per hari operasi dan dianggap konstan. Pada penelitian ini data biaya penangkapan masing-masing alat tangkap diperoleh dari wawancara terhadap responden yang menggunakan alat tangkap pukat kantong (payang), jaring insang (Gill net), pancing dan data sekunder yang ada di PPI

30 Manggar Balikpapan, yang kemudian dikonversi ke pengukuran riil dengan cara menyesuaikannya dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang berlaku di Kota Balikpapan, guna mengeliminir pengaruh inflasi. Biaya riil pada tahun t diperoleh dari proses perkalian antara biaya riil pada t std (didapatkan dari hasil perkalian rata-rata biaya effort per tahun dengan share dari produksi sumberdaya) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada tahun t. Biaya per unit upaya standar per tahun alat tangkap adalah : C pj = biaya trip trip proporsi produksi alat tangkap adalah : C pj h = h pj z 1 t maka biaya standar dinotasikan sebagai : C = C C std ( pj pj ) /1000000 sehingga diperoleh nilai biaya riil sebagai berikut : C = ( C IHK) / IHK.. (4.8) t std n dimana: C pj C t C std = biaya produksi = biaya pada tahun t = biaya standar h = produksi total alat tangkap ke j pj IHK t = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t h z = produksi total t = 1,2,3 n IHK n = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar

31 4.5.4.2 Estimasi Harga Output Data harga output penangkapan masing-masing alat tangkap diperoleh dari wawancara terhadap responden yang menggunakan alat tangkap pukat kantong (payang), Gill net (jaring insang), pancing dan data sekunder yang ada di PPI Manggar Balikpapan, yang kemudian dikonversi ke pengukuran riil dengan cara menyesuaikannya dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang berlaku di Kota Balikpapan, guna mengeliminir pengaruh inflasi. Pendekatan untuk mendapatkan data series harga ikan pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengalikan rasio harga ikan saat ini (P t ) dan Indeks Harga Konsumen (IHK t ) tahun ini dengan IHK t+1. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : P n = n n n i = 1...n P i P t = P n IHK......(4.9) t IHK n dimana : i = jumlah produksi ikan P t = Harga ikan pada tahun t P n = Harga ikan berlaku IHK n = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar IHK t = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t 4.5.4.3 Estimasi Discount Rate Proses discounting merupakan cerminan dari bagaimana masyarakat berprilaku terhadap ekstraksi sumberdaya alam dan bagaimana masyarakat menilai sumberdaya alam itu sendiri (Hanley and Splash 1995 diacu dalam Fauzi A 2004). Dalam ekonomi sumberdaya alam, kegagalan memahami konsep ini akan berdampak pada persepsi yang keliru terhadap sumberdaya alam (Fauzi A 2004). Discount rate

32 dalam penilaian ekonomi-ekologi sumberdaya alam akan sangat berbeda dengan discount rate yang biasa digunakan dalam analisis finansial (Wahyudin Y 2005). Discount rate adalah menyangkut nilai yang diukur, sehingga menyebabkan terjadinya variasi untuk nilai discount rate. Variasi discount rate terjadi oleh karena adanya faktor inflasi yang sangat berkolerasi erat dengan discount rate. Atas dasar faktor-faktor inilah, pengukuran discount rate harus diukur dalam nilai riil, dimana nilai ini diukur dari nilai discount rate nominal dikurangi laju inflasi (Fauzi A 2004). Berdasarkan uraian di atas, discount rate yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada beberapa pendekatan yang ada, yaitu pendekatan nilai discount rate berbasis pasar (market discount rate) dan pendekatan nilai real discount rate Kula (1984) berbasis Ramsey diacu dalam Anna S (2003) Pendekatan nilai market discount rate yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan nilai tengah discount rate yang umum digunakan untuk sumberdaya alam, yaitu sebesar 15%, sebagaimana yang pernah digunakan oleh Fauzi A (1998). Nilai discount rate (r) dengan teknik Kula (1984) diacu dalam Anna (2003) didefinisikan sebagai : r = ρ γ.g (4.10) dimana ρ adalah pure time preference, γ adalah elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam, g adalah pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan teknik Kula (1984), yaitu dengan cara meregresikan : ln Ct α 0 α1 = ln (4.11) t dengan t sebagai periode waktu dan C t sebagai konsumsi per kapita pada periode t. Hasil dari regresi ini akan menghasilkan formula elastisitas dimana : ln C α t 1 = ln t secara matemetis persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi :

33 ΔC t g = C Δt (4.12) t Berdasarkan pendekatan yang dilakukan oleh Brent (1990) diacu dalam Anna S (2003) nilai standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya (γ ) adalah 1, sedangkan nilai pure time preference (ρ ) yang dihitung berdasarkan kemungkinan bertahan hidup tidak tersedia di lapangan, sehingga nilai ( ρ ) sebagaimana yang dilakukan oleh Anna S (2003) diasumsikan sama dengan nominal discount rate saat ini dari Ramsey sebesar 15%. Nilai discount rate (r) ini kemudian dijustifikasi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui : δ = ln( 1+ r).(4.13) 4.5.5 Estimasi Tingkat Produksi Lestari Salah satu fungsi pertumbuhan yang umum digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (Fauzi A 2004). Pada kondisi dimana perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode (terjadi secara alami), model pertumbuhana logistik secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : x x = F( x) = rx 1.......(4.14) t K dimana : x = F(x) = perubahan stok ikan/ fungsi pertumbuhan stok ikan t x = stok ikan, r = laju pertumbuhan intrinsik ikan. K = kapasitas daya dukung lingkungan.

34 Untuk menangkap (memperoleh manfaat) sumberdaya ikan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana merupakan faktor input yang biasa disebut upaya atau effort. Aktivitas penangkapan atau produksi dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut : dimana : h = produksi q = koefisien daya tangkap x = stok ikan E = Upaya (effort) h = qxe (4.15) dengan adanya aktivitas penangkapan atau produksi maka fungsi perubahan stok ikan menjadi : x x F x rx = ( ) = 1 h t K x = rx 1 qxe....(4.16) K x dalam kondisi keseimbangan dimana = 0, maka persamaan (4.16) berubah t menjadi persamaan sebagai berikut : x qxe = rx 1....(4.17) K dari persamaan (4.17) diperoleh nilai stok ikan (x) sebagai berikut : qe x = K 1....(4.18) r sehingga dengan mensubtitusikan persamaan (4.18) ke dalam persamaan (4.15) diperoleh fungsi produksi lestari atau yang dikenal dengan yield effort curve sebagai berikut :

35 qe h = qke 1.... (4.19) r 4.5.6 Analisis Laju Degradasi dan Depresiasi 4.5.6.1 Analisis Laju Degradasi Menurut Fauzi A dan S Anna (2005), degradasi dapat diartikan sebagai tingkat atau laju penurunan kualitas atau kuantitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) atau dengan kata lain, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbaharukan untuk melakukan regenerasi sesuai kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alam maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Degradasi sumberdaya alam dapat dihitung berdasarkan Anna S (2003) : φ DG = 1 1+ e dimana : φ DG = laju degradasi h = produksi lestari pada periode t δ ο h h h = produksi aktual pada periode t δ ο (4.20) 4.5.6.2 Analisis Laju Depresiasi Analisis depresiasi sumberdaya ditujukan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam, atau dengan kata lain depresiasi merupakan pengukuran degradasi yang dirupiahkan. Menurut Anna S (2003) formula pengukuran depresiasi sumberdaya dapat dinotasikan sebagai berikut : φ DP = 1 + 1 e π π δ ο....(4.21)

36 dimana : φ DP = laju depresiasi h = rente lestari pada periode t δ h = rente aktual pada periode t ο 4.5.7 Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan Analisis optimal sumberdaya perikanan pada penelitian ini menggunakan pendekatan optimal dinamik. Sebagai pembanding dan juga untuk memperkaya khasanah pada penelitian ini, maka dilakukan pula perhitungan nilai optimal pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan surplus produksi atau maximum sustainable yield (MSY) dan pendekatan optimal statik (maximum economic yield/mey dan open acces/oa) dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa parameter biologi yang digunakan untuk melakukan analisis bioekonomi pada penelitian ini adalah hasil dari pendugaan koefisien model CYP. 4.5.7.1 Analisis Surplus Produksi h E = 0 Nilai MSY diperoleh dengan menurunkan persamaan (2.9) terhadap E, atau, sehingga diperoleh nilai E MSY sebagai berikut : E MSY α = 2β qkr E MSY = 2 2Kq r E MSY =....(4.22) 2q α dengan mensubtitusikan persamaan E MSY = ke dalam persamaan (2.9), maka 2β diperoleh nilai tingkat produksi yang dinotasikan sebagai berikut :

37 h MSY 2 α α α β 2β 4β = 2 2 2 2 α K q r h MSY = = = 2 4 β 4Kq Kr 4....(4.23) sedangkan stok ikan pada tingkat MSY diperoleh dengan mensubtitusikan persamaan α E MSY = ke dalam persamaan (4.18), yang dapat dinotasikan sebagai berikut : 2β x MSY q α = K 1 r 2β q rqk = K 1 r 2q K x MSY 2 K x MSY =...(4.24) 2 4.5.7.2 Analisis Optimasi Statik Dengan asumsi bahwa kurva permintaan bersifat elastis sempurna, maka rente sumberdaya perikanan dapat dinotasikan sebagai berikut : π = ph ce...(4.25) dimana : π = rente sumberdaya perikanan p = harga ikan h = produksi /tangkapan lestari c = biaya per unit upaya E = upaya/effort Dengan mensubtitusikan persamaan (2.9) ke dalam persamaan (4.25), sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : π = ph ce

38 2 π = p( αe βe ) ce...(4.26) π dengan menurunkan persamaan (4.26) terhadap variabel input (E), dimana = 0 E maka diperoleh nilai E MEY, yang secara matematis dinotasikan sebagai berikut : π = E = p( α 2β ) c 2 q K p qk 2 c r pqk c = r 2 2 pq K r c E = MEY 1 2q pqk....(4.27) dengan asumsi bahwa sistem dalam kondisi keseimbangan (lestari) dimana h = F(x), maka dengan mensubtitusikan persamaan (4.14) dan fungsi upaya h / qx dari persamaan (4.15) ke dalam persamaan (4.25) kemudian membuat fungsi turunannya π atau = 0, maka diperoleh fungsi stok ikan (x) pada kondisi MEY : x π = pf( x) ce rx x prx c 1 = 1 K qx x K c = p rx 1 qx x K

39 = prx prx K 2 2 crx crx + qx qxk π = x 2 prx cr 2crx pr + K q qk x pr 2 = 1 + K = 2 prx pr + K crx qk crx qk K c x MEY = 1 + 2 pqk... (4.28) kemudian dengan mensubtitusikan diperoleh nilai h MEY sebagai berikut : E MEY dan x MEY ke dalam persamaan (4.15) akan h = qxe K c r c = q 1 + 1 2 pqk 2q pqk rk c c h = MEY 1 + 1 4 pqk pqk....(4.29) Tingkat upaya dalam kondisi open access (akses terbuka) dapat dilakukan dengan menghitung rente ekonomi yang hilang, dimana π = 0 maka : π = pf( x) ce rx 1 x prx = c 1 K qx x K c x OA = (4.30) pq

40 nilai produksi optimal ( h OA ) pada kondisi open access dapat ditentukan dengan cara mensubtitusikan persamaan (4.30) ke dalam persamaan (4.14) : h x = F( x) = rxoa K OA 1 OA rc c = 1 (4.31) pq Kpq sedangkan tingkat upaya optimal ( E OA ) pada kondisi open access ditentukan h berdasarkan fungsi upaya dari persamaan (4.15), yaitu : qx E = OA = h qx OA rc pq OA c 1 Kpq qc pq r c = 1 (4.32) q Kpq 4.5.7.3 Analisis Optimasi Dinamik Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dengan menggunakan formula model dinamik dalam bentuk fungsi yang kontinyu ditulis sebagai berikut : dengan kendala : t= 0 δt maxπ ( t) = π ( x( t), h( t)) e dt...(4.33)

41 x. = x = F( x( t)) h( t) t 0 h h max dengan menggunakan teknik Hamiltonian, maka model kontinyu di atas menghasilkan Golden Rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan yang secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi A 2004) : dan F π / x + = δ x π / h....(4.34) F ( x) = h (4.35) dimana, π / x adalah rente marjinal akibat perubahan biomass, π / h adalah rente marjinal akibat perubahan tangkap (panen), Dengan menyatakan fungsi rente sumberdaya sebagai : F / x produktifitas dari biomass. π ( x, h) = ph c h qx = p c qx h dan fungsi pertumbuhan sebagaimana pada persamaan (4.14), maka dengan melakukan penurunan sesuai kaidah pada pada persamaan (4.34) menghasilkan : F x = r 1 2....(4.36) x K π ch 2 x = qx....(4.37) π = h p c qx (4.38) dengan mensubtitusikan persamaan-persamaan (4.36), (4.37), (4.38) ke dalam persamaan (4.34), maka diperoleh :

42 = δ + qx c p qx ch K x r 2 / 2 1 = qx c p qx K x r ch 2 2 1 δ = K x r c pqx c x h 2 1 ) ( δ (4.39) kemudian persamaan (4.14), (4.34) disubtitusikan ke dalam persamaan (4.39), sehingga menghasilkan solusi untuk nilai stok ikan optimal, yaitu : = K x r c pqx c x K x rx 2 1 ) ( 1 δ + + + + = Kpqr c r Kpq c r Kpq c x δ δ δ 8 1 1 2 (4.40) dengan diketahuinya nilai stok dan produksi optimal, maka nilai upaya dapat diketahui sebagai berikut : = qx h E (4.41)

43 4.6 Batasan dan Pengukuran a) Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran. b) Lingkungan sumberdaya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumberdaya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya. c) Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. d) Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. e) Effort adalah upaya untuk menangkap ikan dengan menggunakan teknologi penangkapan tertentu yang dinyatakan dalam satuan trip. f) Produksi adalah hasil tangkapan ikan yang dinyatakan dalam satuan berat. g) Perikanan open access adalah kondisi dimana setiap nelayan dapat ikut terlibat dalam memanfaatkan atau mengeksploitasi ikan tanpa adanya kontrol atau pembatasan. h) Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah tingkat pemanfaatan yang maksimum dengan tetap menjaga kelestarian dari sumberdaya ikan. i) Maximum Economic Yield (MEY) adalah tingkat pemanfaatan maksimum yang memberikan rente ekonomi yang tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan. j) Pemanfaatan sumberdaya ikan berlebih (over fishing) secara biologi adalah kondisi dimana pemanfaatan ikan telah melebihi potensi maksimum lestari (MSY). k) Pemanfaatan sumberdaya ikan berlebih (over fishing) secara ekonomi adalah kondisi dimana penerimaan total dari hasil penangkapan sama dengan biaya penangkapan, sehingga keuntungan yang diperoleh sama dengan nol ( π = 0). l) Kapal/armada perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi

44 penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan m) Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. n) Biaya penangkapan ikan (cost per unit effort) adalah biaya operasional yang dikeluarkan untuk melakukan penangkapan ikan per tahun per unit effort. o) Nilai rente adalah selisih antara harga produk sumberdaya ikan dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi sumberdaya ikan tersebut. p) Pemanfaatan sumberdaya ikan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal (kestabilan ekosistem perairan dan faktor eksternal (pencemaran lingkungan), dalam penelitian ini kedua faktor tersebut dianggap tidak mempengaruhi analisis pemodelan. q) Jenis-jenis sumberdaya ikan pelagis kecil yang menjadi objek penelitian adalah ikan Layang, Selar, Kembung, dan Tembang r) Jenis-jenis sumberdaya ikan pelagis besar yang menjadi objek penelitian adalah ikan Tongkol, Tenggiri, dan Cakalang. s) Jenis-jenis sumberdaya ikan demersal yang menjadi objek penelitian adalah ikan Kakap, Kakap Merah, Bawal, Kerapu, Manyung, Peperek, Kurisi, Pari, Gerotgerot.

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gambaran Umum Kota Balikpapan 5.1.1 Letak Geografis Secara geografis wilayah Kota Balikpapan berada antara 01 24 00"-1,5 00 00" LS dan 116 5 00" 118 38 00" BT, yang luasnya sekitar 50.330,57 Ha atau sekitar 503,3 Km² dengan batas-batas sebagai berikut (Sekdakot Balikpapan 2000) : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Makassar. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara. Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 1996 tentang Pembentukan 13 (tiga belas) Kecamatan di Wilayah Kabupaten Kutai, Kabupaten Berau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Pasir, Kota Samarinda dan Kota Balikpapan dalam Wilayah Provinsi Kalimantan Timur, maka sejak tanggal 24 Pebruari 1997 Kota Balikpapan resmi dimekarkan dari 3 (tiga) Kecamatan menjadi 5 (lima) Kecamatan yaitu : Kecamatan Balikpapan Timur Kecamatan Balikpapan Selatan Kecamatan Balikpapan Tengah Kecamatan Balikpapan Utara Kecamatan Balikpapan Barat 5.1.2 Pembagian Wilayah Sehubungan dengan pemekaran wilayah kecamatan tersebut di atas, maka melalui Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur No. 19 Tahun 1996 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah, maka sejak tanggal 15 Oktober 1996 ditetapkan 7 (tujuh) kelurahan persiapan menjadi kelurahan definitif dan pada tanggal 17 Mei 1996 ditetapkan pula melalui Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur perubahan status Desa Manggar Baru menjadi Kelurahan Manggar Baru secara definitif. Dengan demikian maka

46 pada saat ini wilayah Kota Balikpapan terdiri atas 27 (dua puluh tujuh) kelurahan (Pemkot Balikpapan 1997), sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1. Table 1. Pembagian Wilayah Berdasarkan Kelurahan No Kelurahan No Kelurahan No Kelurahan 1 Manggar 10 Gunung Sari Ilir 19 Baru Ilir 2 Manggar Baru 11 Gunung Sari Ulu 20 Margo Mulyo 3 Lamaru 12 Mekar Sari 21 Marga Sari 4 Teritip 13 Karang Rejo 22 Baru Tengah 5 Prapatan 14 Sumber Rejo 23 Baru Ulu 6 Klandasan Ulu 15 Karang Jati 24 Kariangau 7 Klandasan Ilir 16 Gunung Samarinda 25 BAtu Ampar 8 Damai 17 Muara Rapak 26 Sepinggan 9 Gunung Bahagia 18 Batu Ampar 27 Karang Joang Sumber : Pemerintah Daerah Kota Balikpapan Dari 27 kelurahan tersebut terdapat 369 RW dan 1.143 RT. Ini berarti bahwa jumlah RW sebelum dan sesudah pemekaran tidak berubah sedangkan RT mengalami penambahan sebanyak 62 buah, sehingga berubah dari jumlah 1.081 menjadi 1.143 buah RT. Luas wilayah per kecamatan, kelurahan dan jumlah RW, RT dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas Wilayah per Kecamatan, Kelurahan dan Jumlah RW, RT. Kecamatan Luas Wilayah ( Ha ) Sebelum Setelah Pemekaran (buah) Pemekaran (buah) Perairan/Laut Darat RW RT RT RW Balikpapan Timur 9.242 13.715,80 22 77 24 93 1. Manggar 3.525,50 5 22 6 30 2. Manggar Baru 383,60 7 24 7 26 3. Lamaru 4.855,50 4 13 54 13 4. Teritib 4.951,20 6 18 7 24 Balikpapan Selatan 20.03 4.795,57 90 355 101 379 1. Perapatan 314,12 21 71 11 36 2. Telaga Sari 253,48 - - 10 38 3. Kelandasan Ulu 89,00 12 45 13 53 4. Kelandasan Ilir 143,50 14 57 13 57 5. Damai 601,75 28 123 14 51 6. Gunung Bahagia 891,72 - - 23 76 7. Sepinggan 2.502,00 15 59 17 68

47 Lanjutan Tabel 2. Kecamatan Luas Wilayah ( Ha ) Sebelum Setelah Pemekaran (buah) Pemekaran (buah) Perairan/Laut Darat RW RT RT RW Balikpapan Tengah 997 1.107,38 86 268 84 285 1. Gn. Sari Ilir 114,10 19 61 21 69 2. Gn. Sari Ulu 182,52 21 58 11 34 3. Mekar Sari 128,66 - - 12 35 4. Karang Rejo 120,50 33 109 14 66 5. Sumber Rejo 220,50 - - 13 44 6. Karang Jati. 341,10 13 40 13 37 Balikpapan Utara 13.216,62 50 273 55 227 1. Gn. Samarinda 573,80 29 117 12 44 2. Muara Rapak 352,72 - - 21 87 3. Batu Ampar 2,980,70 11 46 12 54 4. Karang Joang 9.309,40 10 40 12 42 Balikpapan Barat 3.749 17.995,20 61 208 68 223 1. Baru Ilir 58,90 32 119 18 62 2. Margo Mulyo 184,53 - - 10 39 3. Marga Sari 66,50 - - 10 30 4. Baru Tengah 57,04 11 41 11 43 5. Baru Ulu 95,48 15 40 15 40 6. Kariangau 17.532,75 3 8 4 9 Kota Balikpapan 16.01 50.330,57 309 1.081 334 1.207 Sumber : Bagian Pemerintahan Desa Sekdakot Balikpapan 5.1.3 Penduduk Pertumbuhan penduduk Balikpapan dari tahun 2001-2005 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bahkan pada tahun 2004-2005, pertumbuhan penduduk Kota Balikpapan merupakan pertumbuhan penduduk yang tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 8,99% (BAPPEDA dan BPS Kaltim 2006). Kota Balikpapan merupakan daerah dengan jumlah penduduk terbanyak ke tiga di Provinsi Kalimantan Timur setelah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Apabila dilihat dari tingkat kepadatan (rasio dari luas wilayah dengan jumlah penduduk), maka Kota Balikpapan dengan tingkat kepadatan sebesar 609 jiwa per Km 2 merupakan daerah terpadat ke dua setelah Kota Samarinda dengan tingkat kepadatan 800 jiwa per Km 2 (BAPPEDA dan BPS Kaltim 2006).

48 Tabel.3 Jumlah, Penyebaran dan Pertumbuhan Penduduk di Balikpapan Tahun 2001-2005 Tahun Kaltim Balikpapan Penyebaran Pertumbuhan (jiwa) (jiwa) (%) (%) 2001 2.494.625 412.045 16,55 2002 2.558.572 421.330 16,47 2,25 2003 2.704.851 428.819 15,85 1,78 2004 2.750.369 431.113 15,67 0,53 2005 2.840.874 469.884 16,54 8,99 Sumber : Bagian Pemerintahan Desa Sekdakot Balikpapan 5.1.4 Perekonomian Kota Balikpapan Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Balikpapan atas dasar harga berlaku cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, PDRB Kota Balikpapan dengan migas mencapai 17,29 milyar, sedangkan PDRB tanpa migas mencapai 9,22 milyar atau terdapat selisih sekitar 8,07 milyar. Besarnya selisih tersebut menggambarkan masih besarnya peranan sektor migas dalam pembentukan PDRB Kota Balikpapan. Apabila diukur berdasarkan harga konstan tahun 1993, PDRB Kota Balikpapan dengan migas mencapai 4,57 milyar, sedangkan tanpa migas sebesar 2,58 milyar atau mempunyai selisih hampir 2 milyar rupiah. PDRB Kota Balikpapan atas dasar konstan mengalami peningkatan 4,34 %, dan tanpa migas kenaikannya 6,61 %. Pada tahun 2002, laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan tampak mulai menurun, penurunan laju pertumbuhan tersebut tampaknya diakibatkan oleh turunnya laju pertumbuhan sebagian besar sektor ekonomi yang menunjang pembentukan PDRB. Sektor-sektor yang paling tajam penurunannya adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian dan sektor bangunan. Tahun 2003 terjadi peningkatan pertumbuhan PDRB. Distribusi PDRB sektoral atas dasar harga berlaku dengan migas masih didominasi oleh peranan sektor-sektor yang ada kaitannya dengan migas. Peranan terbesar dengan persentase sebesar 43,27 persen diperoleh dari sektor industri pengolahan. Besarnya peranan sektor industri pengolahan ini sebagian besar sumbangan dari produksi pengilangan minyak oleh Pertamina. Sementara itu sektor perdagangan, hotel dan restoran juga mempunyai peranan terbesar kedua setelah sektor industri

49 pengolahan, sedangkan sektor terendah dalam peranannya adalah sektor listrik, gas dan air bersih dengan peranan sebesar 0,85 persen. Distribusi PDRB sektoral atas dasar harga berlaku tanpa migas diperoleh dari sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan peranan sebesar 54,92 persen, selanjutnya sektor pengangkutan dan komunikasi dengan peranan sebesar 13,10 persen dan sektor bangunan dengan peranan sebesar 12,22 persen. Ketiga sektor yang mempunyai peranan terbesar di atas dapat dikategorikan pada sektor jasa, sehingga tidak salah, apabila salah satu visi Kota Balikpapan berupaya sebagai kota jasa dan perdagangan (BPS Kota Balikpapan 2006). Tabel 4 Perkembangan PDRB Kota Balikpapan 1994 2004 Dengan Migas (Juta Rupiah) Tanpa Migas (Juta Rupiah) Tahun Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan 1994 3.235.397 10 2.975.043,98 1.146.524,90 1.086.686,19 1995 3.620.375,63 3.112.911,07 1.479.135,79 1.346.421,28 1996 4.119.867,80 3.521.350,34 1.857.761,60 1.521.297,37 1997 4.372.382,29 3.607.189,67 2.115.207,15 1.646.748,38 1998 7.897.236,44 3.580.101,53 3.177.485,11 1.623.743,67 1999 7.890.785,04 3.572.181,44 4.164.035,68 1.702.498,06 2000 8.550.645,57 3.722.532,88 4.705.903,71 1.802.397,73 2001 11.158.505,56 4.049.104,28 6.516.162,78 2.066.198,69 2002 13.257.932,42 4.289.937.,83 7.458.811,64 2.228.078,23 2003 14.089.948,25 4.382.263,80 8.405.989,91 2.424.730,18 2004 17.285.198,44 4.566.718,09 9.217.146,79 2.583.529,32 Sumber : BPS Kota Balikpapan Tahun 2006 Tabel 5 Distribusi PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Berlaku (Dalam %) 2000 2004 Sektor Periode 2000 2001 2002 2003 2004 Tanpa Tanpa Tanpa Tanpa Tanpa Migas Migas Migas Migas Migas Migas Migas Migas Migas Migas Pertanian 4,76 2,62 4,02 2,35 3,26 1,84 3,42 2,04 3,42 1,82 Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih 0,07 6,47 0,06 5,99 0,06 5,45 0,06 5,94 0,06 5,34 4,80 41,17 3,81 37,12 3,56 40,33 3,59 36,58 3,56 43,28 1,19 0,66 1,06 0,62 1,12 0,63 1,55 0,93 1,60 0,85 Bangunan 12,63 6,95 11,80 6,90 11,26 6,34 11,45 6,83 12,22 6,53 Perdagangan, Hotel dan Restoran 50,82 27,97 55,95 32,70 56,61 31,85 56,55 33,74 54,92 29,28

50 Lanjutan Tabel 5 Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Persewaan Periode 2000 2001 2002 2003 2004 Tanpa Migas Migas Tanpa Migas Migas Tanpa Migas Migas Tanpa Migas Migas Tanpa Migas Migas 16,06 8,84 13,99 8,18 14,17 7,97 13,62 8,13 13,10 6,98 4,03 2,22 4,40 2,57 4,89 2,75 4,85 2,90 5,90 3,14 Jasa jasa 5,64 3,11 4,91 3,57 5,06 2,85 4,90 2,92 5,22 2,78 Total PDRB 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPS Kota Balikpapan Tahun 2006 5.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 5.2.1 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Manggar Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Manggar terletak di Kecamatan Balikpapan Timur, sekitar 30 km dari pusat Kota Balikpapan. PPI Manggar berdiri di atas areal seluas 104 x 40 meter. PPI Manggar berfungsi untuk keperluan berlabuhnya kapal, bongkar muat hasil tangkapan nelayan, pelelangan ikan dan aktivitas lainnya. Secara umum fasilitas di PPI Manggar masih sangat kurang bahkan memprihatinkan sekali, selain berupa dermaga sepanjang 40 meter dan ruang kantor yang sangat sederhana, karena sangat jauh dari kondisi standar minimal sebuah kantor baik dari segi administrasi, perlengkapan maupun bentuk fisik bangunan, tidak ada fasilitas pendukung lainnya guna mendukung kelancaran aktivitas perikanan. Hal ini diakui sendiri oleh beberapa petugas yang ada di PPI Manggar, sehingga perlu kiranya bagi Pemerintah Kota Balikpapan untuk segera melakukan evaluasi dan pembenahan PPI Manggar menjadi lebih baik, agar pembangunan perikanan dan kelautan di Balikpapan dapat berjalan dengan lebih baik lagi. 5.2.2 Rumah Tangga Perikanan Rumah Tangga Perikanan (RTP) adalah rumah tangga yang melakukan penangkapan ikan atau binatang lainnya atau tanaman air dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual. Perkembangan RTP di Balikpapan selama

51 periode 1995-2006 mengalami peningkatan yang cukup berarti, rata-rata setiap tahunnya bertambah 17,77 %. Peningkatan RTP mencapai puncaknya pada tahun 1998, dimana peningkatan jumlah RTP mencapai 185,5 %. Pada periode 2001-2006, jumlah RTP kembali mengalami penurunan. Penurunan yang drastis terjadi pada periode 2001-2002, mencapai 70%. Lebih lengkap mengenai perkembangan RTP di Balikpapan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kota Balikpapan Tahun 1995-2006 Tahun Jumlah RTP (orang) Pertumbuhan (%) 1995 781-1996 1.235 58.13 1997 1.341 8.58 1998 3.825 185.23 1999 4.334 13.31 2000 4.420 1.98 2001 4.592 3.89 2002 1.374-70.08 2003 1.082-21.25 2004 1.131 4.53 2005 1.259 11.32 2006 1.257-0.16 Rataan 17.77 Sumber: Data diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 1995-2006 Dinas Perikanan dan Kelautan Kalimantan Timur 5.2.3 Armada Penangkapan Ikan Armada penangkapan ikan yang berpangkalan di PPI Manggar dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan, baik dari sisi jumlah mau pun teknologi yang digunakan. Perkembangan armada ini rata-rata setiap tahunnya selama periode 1996-2006 mencapai 17,41%. Armada penangkapan ikan yang digunakan adalah perahu tanpa motor, perahu motor tempel, kapal motor. Perahu tanpa motor yang sempat hilang dari peredaran, mulai kembali digunakan oleh nelayan pada tahun 2003-2006. Perahu jenis ini terdiri atas jukung dan perahu papan. Perahu motor tempel mengalami penurunan rata-rata sebesar 3,4% pada tahun 1995-2000, lalu secara signifikan mengalami kenaikan sebesar 240% pada tahun 2001. Kemudian kembali mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Diduga penurunan jumlah nelayan perahu motor tempel disebabkan

52 banyaknya nelayan yang sebelumnya menggunakan perahu motor tempel beralih menggunakan armada kapal motor. Pada periode tahun 1995-1998 secara keseluruhan pertumbuhan jumlah armada penangkapan ikan sebesar 1 sampai dengan 9%. Pada periode tahun 2000-2001, jumlah armada mengalami peningkatan yang sangat fantastis, hingga mencapai 240,25%. Pada periode selanjutnya, yaitu tahun 2002-2006, pertumbuhan armada secara keseluruhan cenderung mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2002, jumlah armada turun drastis hingga mencapai 70%. Diduga penurunan ini dikarenakan meningkatnya jumlah armada pada tahun sebelumnya yang cukup fantastis, sehingga berdampak kepada meningkatnya effort dan persaingan dalam penangkapan ikan. Meningkatnya effort dan persaingan ini berdampak langsung pada keberadaan biomass ikan, dimana biomass ikan akan semakin berkurang, yang pada akhirnya mengurangi produksi perikanan dan pendapatan para nelayan. Data mengenai perkembangan armada penangkapan ikan di Balikpapan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan Armada Penangkapan Ikan di PPI Manggar Balikpapan Tahun 1995-2006 Tanpa Motor Jumlah Kapal Motor (unit) Tahun Motor Tempel Total Pertumb (unit) (unit) < 5 GT 5-10 GT 10-20 GT (unit) (%) 1995 0 485 463 186 0 1.134 1996 0 435 572 229 0 1.236 8,99 1997 0 400 275 422 253 1.350 9,22 1998 0 385 707 283 0 1.375 1,85 1999 0 380 656 286 7 1.329-3,35 2000 0 380 656 291 7 1.334 0,38 2001 0 1.121 2.395 986 37 4.539 240,25 2002 0 377 655 277 15 1.324-70,83 2003 115 47 485 446 131 1.224-7,55 2004 123 60 521 450 131 1.285 4,98 2005 52 60 707 417 163 1.399 8,87 2006 35 2 727 455 162 1.381-1,29 Rataan 17,41 Sumber : Laporan Statistik Perikanan Tangkap KotaBalikpapan dan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 1995-2006

53 5.2.4 Alat Penangkapan Ikan Berbagai macam jenis alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di PPI Manggar Balikpapan, pada tahun 1996 jumlahnya 4.445 unit, namun pada tahun 2006 jumlah alat penangkapan ikan sudah mencapai 7.455 unit alat penangkapan. Jenis alat penangkapan ikan tersebut antara lain payang (term. lampara), dogol (danish seine), jaring insang hanyut (drift gillnet), bagan perahu (boat net), pancing tonda (troll lines), sebagaimana terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perkembangan Alat Tangkap di PPI Manggar Balikpapan Tahun 1995-2006 Tahun Pk Ptn Ji Ptn Bgn Ptn Pcg Ptn Lainnya Total Ptn (unit) ( %) (unit) ( %) (unit) ( %) (unit) ( %) (unit) (unit) ( %) 1996 1.239 1.783 21 722 680 4.445 1997 740-40 2.150 21 20-5 700-3 835 4.445 0 1998 1.388 88 1.996-7 44 120 786 12 809 5.023 13 1999 875-37 2.522 26 172 291 853 9 803 5.225 4 2000 880 1 2.540 1 175 2 865 1 830 5.290 1 2001 533-39 2.316-9 270 54 994 15 750 4.863-8 2002 447-16 2.333 1 279 3 994 0 768 4.821-1 2003 368-18 4.134 77 184-34 256-74 174 5.116 6 2004 486 32 4.361 5 62-66 284 11 1.869 7.062 38 2005 442-9 3.874-11 62 0 86-70 2.455 6.919-2 2006 411-7 3.969 2 21-66 261 203 2.793 7.455 8 Rataan -5 11 30 10 6 Sumber : Data diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Kota Balikpapan dan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 1995-2006 Ket : Pk (Pukat kantong: payang, dogol, pukat pantai); Ji (Jaring insang: hanyut, klitik, Lingkar, tetap, trammel net); Bgn (bagan); Pcg (pancing); Ptn (pertumbuhan). Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa perkembangan jumlah total atau keseluruhan alat tangkap di PPI Manggar Balikpapan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, rata-rata sebesar 6% per tahun. Selama tahun 1996-2006 tercatat hanya sekali mengalami penurunan yaitu pada tahun 2005, setelah itu perkembangan jumlah alat tangkap kembali mengalami peningkatan. Jumlah total keseluruhan alat tangkap pada tahun 2006 sebanyak 7.455 unit, meningkat 8% dari tahun 2005. Data pada Tabel 8 juga menjelaskan bahwa selama periode 1996-2006, alat tangkap pukat kantong menunjukkan penurunan, yaitu rata-rata sebesar 5% setiap tahun, sementara perkembangan alat tangkap jaring insang rata-rata setiap tahunnnya meningkat sebesar 11%. Alat tangkap pancing dan bagan mengalami

54 fluktuasi. Jika dibandingkan pada tahun 1996 dengan tahun 2006, maka terlihat bahwa alat tangkap bagan tidak mengalami perkembangan atau pertumbuahan karena jumlahnya sama, 21 unit, tetapi sebenarnya sepanjang tahun 1996-2006 pertumbuhan rata-rata alat tangkap bagan sebesar 30%. Begitu pula dengan alat tangkap pancing, jika dibandingkan dari jumlah alat tangkap pancing tahun 1996 dengan tahun 2006, maka alat tangkap pancing tampak mengalami penurunan, tetapi secara prosentase alat tangkap ini mengalami pertumbuhan yang fluktuatif rata-rata sebesar 10% setiap tahun selama periode 1996-2006. 5.2.5 Volume dan Nilai Produksi Perikanan Perkembangan produksi dan nilai perikanan yang didaratkan di PPI Manggar Balikpapan selama rentang waktu 1996-2006, secara umum setiap tahunnya mengalami peningkatan, sebagaimana terlihat pada Tabel 9, peningkatan tersebut tampak dari prosentase rata-rata pertumbuhan secara keseluruhan produksi perikanan, yaitu sebesar 0,98% per tahun, sedangkan prosentase pertumbuhan nilai produksi perikanan secara keseluruhan sebesar 31,82% setiap tahunnya. Tabel 9 Perkembangan Volume dan Nilai Produksi Perikanan di PPI Manggar Balikapapan Tahun 1996-2006 Tahun Produksi Ptn Nilai Ptn (ton) (%) (Rp) (%) 1996 12.034,00 19.543.700,00 1997 12.376,00 2,84 20.145.000,00 3,08 1998 12.735,00 2,90 26.546.600,00 31,78 1999 12.599,00-1,07 26.546.600,00 0,00 2000 12.609,00 0,08 86.914.600,00 227,40 2001 12.788,00 1,42 132.265.310,00 52,18 2002 12.752,00-0,28 151.925.500,00 14,86 2003 12.986,00 1,84 157.165.500,00 3,45 2004 15.152,00 16,68 204.910.450,00 30,38 2005 13.118,00-13,42 101.693.200,00-50,37 2006 12.969,00-1,14 107.233.100,00 5,45 Rataan 12.919,82 0,98 100.834.296,00 31,82 Sumber : Data Diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 1996-2006 Ket : Ptn (pertumbuhan)

55 Dari data yang disajikan pada Tabel 9, terlihat bahwa pada tahun 1999-2000 produksi perikanan di Kota Balikpapan mengalami penurunan secara kuantitas, akan tetapi dari segi nilai, penurunan kuantitas produksi tidak memberikan dampak negatif pada nilai produksi, bahkan terjadi peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 66%. Hal ini tidak lain disebabkan karena ikan yang didaratkan pada tahun-tahun tersebut merupakan jenis-jenis ikan yang secara ekonomi memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga walau pun secara kuantitas produksi perikanan mengalami penurunan, tapi dari segi nilai produksi mengalami peningkatan. Selama periode tahun 1996-2006, produksi perikanan tertinggi terjadi pada tahun 2004, yaitu sebesar 15.152,50 ton dengan nilai mencapai Rp204.910.450,00 sementara produksi perikanan terendah terjadi pada tahun 1996, yaitu sebesar 12.034,60 ton dengan nilai sebesar Rp19.543.700,00. 5.2.6 Produksi per Jenis Alat Tangkap Produksi pada prinsipnya merupakan output dari kegiatan penangkapan (effort), sedangkan effort yang diperlukan pada prinsipnya adalah merupakan input dari kegiatan penangkapan itu sendiri. Perbandingan antara output dengan input dalam istilah ekonomi merupakan tingkat efisiensi teknis dari setiap penggunaan input, atau dengan kata lain hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort atau CPUE) dapat dijadikan sebagai indikator tingkat efisiensi teknik dari pengerahan effort, dimana semakin tinggi nilai CPUE, maka tingkat efisiensi penggunaan effort semakin baik, yang juga berarti produktivitas semakin tinggi. Tabel 10 menunjukkan bahwa secara umum produksi sumberdaya perikanan pelagis kecil mengalami peningkatan setiap tahunnnya, kalau pun terjadi penurunan jumlahnya hanya sedikit, hal ini seiring dengan kondisi jumlah alat tangkap yang setiap tahunnya juga mengalami penambahan secara kuantitas. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebanyak 5.182 ton, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 1995 sebesar 1705 ton. Jenis sumberdaya ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan diantaranya adalah jenis ikan layang, kembung, selar dan tembang.

56 Dari sejumlah alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan di Perairan Balikpapan, tampak bahwa alat tangkap yang dominan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil adalah payang dan jaring insang. Proporsi produksi dari masing-masing alat tangkap tersebut terhadap total produksi perikanan pelagis kecil secara berturut-turut adalah 38% dan 14%, sedangkan alat tangkap lainnya (pancing, bagan, bubu, purse seine, dan lain-lain) sebesar 47%. Tabel 10 Produksi per Jenis Alat Tangkap Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Tahun Produksi Aktual (ton) Payang Jaring Insang Lainnya (ton) Total (ton) 1995 342 204 1159 1705 1996 874 256 881 2011 1997 1668 350 120 2138 1998 657 991 630 2278 1999 1076 370 731 2177 2000 1086 372 739 2197 2001 1829 317 63 2209 2002 1668 328 212 2208 2003 1758 318 144 2220 2004 291 792 5798 6881 2005 1571 725 2124 4420 2006 756 84 4342 5182 Total 1131,33 425,58 1411,92 2968,83 Persentase (%) 38,11 14,34 47,56 100 Sumber : Data Diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 1995-2006 Demikian halnya dengan sumberdaya perikanan pelagis besar, dari data yang tersaji pada Tabel 11 memperlihatkan bahwa alat tangkap yang dominan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis besar adalah jaring insang dan pancing. Proporsi produksi dari masing-masing alat tangkap secara berturut-turut adalah 41,27% dan 44,80%, sedangkan alat tangkap lainnya (payang, bagan, purse seine) sebesar 13,93%. Pada Tabel 11 juga terlihat bahwa, produksi sumberdaya perikanan pelagis setiap tahunnya mengalami fluktuasi, dimana produksi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 1.653,98 ton, sedangkan produksi tertinggi terjadi pada tahun 1995 sebesar 8.543 ton. Ada pun jenis sumberdaya perikanan pelagis besar yang dominan tertangkap dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan diantaranya adalah jenis ikan tenggiri, cakalang, dan tongkol, sementara untuk jenis pelagis besar yang lain jumlahnya hanya sedikit.

57 Tabel 11 Produksi per Jenis Alat Tangkap Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Tahun Produksi Aktual (ton) Jaring Insang Pancing Lainnya (ton) Total (ton) 1995 3.546,00 3.664,00 1.333,00 8.543,00 1996 1.041,00 1.008,00 330,00 2.379,00 1997 1.095,16 1.100,81 50,00 2.245,97 1998 1.231,00 1.548,00 94,00 2.873,00 1999 309,00 1.241,00 1.216,00 2.766,00 2000 312,00 1.298,00 1.221,00 2.831,00 2001 1.206,00 1.676,97 227,00 3.109,97 2002 2.646,91 3.043,14 209,00 5.899,05 2003 1.230,00 1.704,14 230,00 3.164,14 2004 1.491,00 1.126,46 742,00 3.359,46 2005 3.288,67 1.825,68 106,00 5.220,36 2006 779,00 496,38 378,60 1.653,98 Total 1.514,65 1.644,38 511,38 3.670,41 Persentase (%) 41,27 44,80 13,93 100,00 Sumber : Data Diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 1996-2006 Tabel 12 Produksi per Jenis Alat Tangkap Sumberdaya Ikan Demersal Tahun Produksi Aktual (ton) Pancing Jaring Insang Lainnya (ton) Total (ton) 1995 593,00 1.039,00 625,00 2.257,00 1996 328,00 357,00 535,00 1.220,00 1997 793,00 834,00 213,00 1.840,00 1998 748,00 622,00 330,00 1.700,00 1999 613,00 570,00 507,00 1.690,00 2000 481,00 570,00 510,00 1.561,00 2001 728,00 329,00 648,00 1.705,00 2002 1.153,00 687,00 641,00 2.481,00 2003 732,00 334,00 664,00 1.730,00 2004 399,00 211,00 378,20 988,20 2005 637,00 267,00 465,00 1.369,00 2006 280,10 75,30 632,60 988,00 Total 623,76 491,28 512,40 1.627,43 Persentase (%) 38,33 30,19 31,49 100,00 Sumber : Data Diolah dari Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 1996-2006 Pada Tabel 12 terlihat bahwa sepanjang tahun 1995-2006 produksi sumberdaya ikan demersal mengalami fluktuasi, produksi tertinggi perikanan demersal terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah produksi sebanyak 2.481 ton, sementara tahun 2006 merupakan produksi terendah dengan jumlah produksi sebanyak 988 ton. Jenis sumberdaya perikanan demersal yang dominan tertangkap

58 dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan diantaranya adalah jenis ikan kakap, bawal, manyung, peperek dan gerot-gerot. Tabel 12 juga menunjukkan bahwa alat tangkap yang dominan untuk sumberdaya ikan demersal di Perairan Balikpapan adalah pancing dan jaring insang. Proporsi produksi dari alat tangkap pancing dan jaring insang secara berturut-turut adalah 38,33% dan 30,19%, sedangkan alat tangkap lainnya (lampara, bagan, dan purse seine) sebesar 31,49%. Pada Tabel 13 menunjukkan perkembangan produksi ikan teri yang diperoleh dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan. Terlihat bahwa selama rentang waktu dari tahun 1995 sampai dengan 2006 produksi sumberdaya ikan teri mengalami peningkatan yang sangat tajam dan merupakan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebesar 10.009,80 ton, sedangkan produksi yang paling rendah dalam rentang waktu yang sama terjadi pada tahun 2002 dan 2003, yaitu sebesar 89 ton. Sebagian besar alat tangkap yang digunakan nelayan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan teri di Perairan Balikpapan adalah alat tangkap bagan. Tabel 13. Perkembangan Produksi Sumberdaya Ikan Teri Tahun Produksi Aktual (ton) Upaya (trip) 1995 83,00 8.912 1996 91,00 2.342 1997 82,00 312 1998 91,00 7 1999 91,00 42 2000 136,50 57 2001 91,00 103 2002 89,00 146 2003 89,00 288 2004 453,00 61 2005 810,00 1.710 2006 1.099,80 5.699 Sumber : Laporan Statistik Perikanan Tangkap Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 1996-2006. 5.3 Catch Per Unit Effort (CPUE) Besaran atau nilai dari catch per unit effort (CPUE) menggambarkan atau mencerminkan tingkat produktivitas dari upaya penangkapan (effort). Nilai CPUE

59 semakin tinggi menunjukkan bahwa tingkat produktivitas alat tangkap yang digunakan semakin tinggi pula. Pada Tabel 14 terlihat bahwa alat tangkap yang dominan digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil yaitu payang dan jaring insang memiliki tingkat produktivitas berturut-turut sebesar 3,19 dan 1,32. Dengan demikian alat tangkap payang lebih produktif dari pada alat tangkap jaring insang. Tabel 14 CPUE Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Payang Jaring Insang Tahun Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) 1995 342,00 13.538,00 0,03 3.546,00 15.478,00 0,23 1996 874,00 6.979,00 0,13 1.008,00 7.746,00 0,13 1997 1.668,00 4.966,00 0,34 1.100,81 3.138,00 0,35 1998 657,00 257,00 2,56 1.548,00 527,00 2,94 1999 1.076,00 180,00 5,98 1.241,00 514,00 2,41 2000 1.086,00 141,00 7,70 1.298,00 411,00 3,16 2001 1.829,00 165,00 11,08 1.676,97 386,00 4,34 2002 1.668,00 384,00 4,34 3.043,14 2.377,00 1,28 2003 1.758,00 562,00 3,13 1.704,14 2.410,00 0,71 2004 291,00 130,00 2,24 1.126,46 22.692,00 0,05 2005 1.571,00 2.730,00 0,58 1.825,68 26.470,00 0,07 2006 756,00 5.616,00 0,13 496,38 2.930,00 0,17 Rataan 1.131,33 2.970,67 3,19 1.634,55 7.089,92 1,32 Sumber : Data diolah Tabel 15 CPUE Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Pancing Jaring Insang Tahun Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) 1995 3.664,00 7.283,00 0,50 3.546,00 15.478,00 0,23 1996 1.041,00 2.449,00 0,43 1.008,00 7.746,00 0,13 1997 1.095,16 552,00 1,98 1.100,81 3.138,00 0,35 1998 1.231,00 251,00 4,90 1.548,00 527,00 2,94 1999 309,00 298,00 1,04 1.241,00 514,00 2,41 2000 312,00 273,00 1,14 1.298,00 411,00 3,16 2001 1.206,00 286,00 4,22 1.676,97 386,00 4,34 2002 2.646,91 320,00 8,27 3.043,14 2.377,00 1,28 2003 1.230,00 214,00 5,75 1.704,14 2.410,00 0,71 2004 1.491,00 197,00 7,57 1.126,46 22.692,00 0,05 2005 3.288,67 3.342,00 0,98 1.825,68 26.470,00 0,07 2006 779,00 3.409,00 0,23 496,38 2.930,00 0,17 Rataan 1.329,98 1.053,73 3,32 1.460,78 6.327,36 1,42 Sumber : Data diolah

60 Pada Tabel 15 menunjukkan bahwa alat tangkap yang dominan digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis besar yaitu pancing dan jaring insang memiliki tingkat produktivitas berturut-turut sebesar 3,32 dan 1,42. Dengan demikian alat tangkap pancing lebih produktif dari pada alat tangkap jaring insang. Tabel 16 CPUE Sumberdaya Ikan Demersal Pancing Jaring Insang Tahun Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton) 1995 593 7.283,00 0,08 1039 15.478,00 0,07 1996 328,00 2.449,00 0,13 357,00 7.746,00 0,05 1997 793,00 552,00 1,44 834,00 3.138,00 0,27 1998 748,00 251,00 2,98 622,00 527,00 1,18 1999 613,00 298,00 2,06 570,00 514,00 1,11 2000 481,00 273,00 1,76 570,00 411,00 1,39 2001 728,00 286,00 2,55 329,00 386,00 0,85 2002 1153,00 320,00 3,60 687,00 2.377,00 0,29 2003 732,00 214,00 3,42 334,00 2.410,00 0,14 2004 399,00 197,00 2,03 211,00 22.692,00 0,01 2005 637,00 3.342,00 0,19 267,00 26.470,00 0,01 2006 280,10 3.409,00 0,08 75,30 2.930,00 0,03 Rataan 623,76 1572,83 1,69 491,28 7089,92 0,45 Sumber : Data diolah Pada Tabel 16 terlihat bahwa alat tangkap yang dominan digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan demersal yaitu pancing dan jaring insang memiliki tingkat produktivitas berturut-turut sebesar 1,69 dan 0,45. Dengan demikian alat tangkap pancing lebih produktif dari pada alat tangkap jaring insang. 5.4 Standarisasi Alat Tangkap Dalam melakukan analisis bioekonomi untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan, dibutuhkan data total input agregat (total effort) dari sumberdaya perikanan yang dianalisis. Mengingat karakteristik perikanan di Indonesia yang bersifat multi-spesies ( spesies yang beragam) dan multi-gears (alat penngkapan ikan yang beragam), maka sangat dimungkinkan setiap unit alat tangkap mempunyai kemampuan yang berbeda, baik terhadap jenis mau pun jumlah spesies yang tertangkap. Oleh karena itu dilakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang dominan dari masing-masing sumberdaya ikan.

61 Pada penjelasan sebelumnya yaitu pada Tabel 10, diketahui bahwa alat tangkap yang dominan untuk sumberdaya ikan pelagis adalah alat tangkap payang dan jaring insang, sehingga standarisasi dilakukan terhadap kedua alat tangkap tersebut, dimana alat tangkap jaring insang distandarkan ke alat tangkap payang, karena alat tangkap payang ternyata memiliki produktivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang (Tabel 14). Hasil standarisasi dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Standarisasi Alat Tangkap Perikanan Pelagis Kecil Tahun 1995-2006 Tahun Produksi Aktual (ton) Upaya Aktual (trip) Indeks Std Total Std P ayang J Insang Total Payang J Insang J Insang J Insang effort 1995 342,00 204,00 546,00 13.538 15.478 0,52 8.075 21.613 1996 874,00 256,00 1.130,00 6.979 7.746 0,26 2.044 9.023 1997 1.668,00 350,00 2.018,00 4.966 3.138 0,33 1.042 6.008 1998 657,00 991,00 1.648,00 257 527 0,74 388 645 1999 1.076,00 370,00 1.446,00 180 514 0,12 62 242 2000 1.086,00 372,00 1.458,00 141 411 0,12 48 189 2001 1.929,00 317,00 2.246,00 165 386 0,07 27 192 2002 1.668,00 328,00 1.996,00 384 2.377 0,03 76 460 2003 1.758,00 318,00 2.076,00 562 2.410 0,04 102 664 2004 291,00 792,00 1.083,00 130 22.692 0,02 354 484 2005 1.571,00 725,00 2.296,00 2.730 26.470 0,05 1.260 3.990 2006 756,00 84,00 840,00 5.616 2.930 0,21 624 6.240 Rataan 1.139,67 425,58 1.565,25 2.971 7.090 0,21 1.175 4.146 Sumber : Data Diolah Tabel 18 Standarisasi Alat Tangkap Perikanan Pelagis Besar Tahun 1995-2006. Produksi Aktual (ton) Upaya Aktual (trip) Indeks Std Total Std Tahun Pancing J Insang Total Pancing J Insang J Insang J Insang effort 1995 3.664,00 3.546,00 7.210,00 7.283 15.478 0,46 7.048 14.331 1996 1.041,00 1.008,00 2.049,00 2.449 7.746 0,31 2.371 4.820 1997 1.095,16 1.100,81 2.195,97 552 3.138 0,18 555 1.107 1998 1.231,00 1.548,00 2.779,00 251 527 0,60 316 567 1999 309,00 1.241,00 1.550,00 298 514 2,33 1.197 1.495 2000 312,00 1.298,00 1.610,00 273 411 2,76 1.136 1.409 2001 1.206,00 1.676,97 2.882,97 286 386 1,03 398 684 2002 2.646,91 3.043,14 5.690,05 320 2.377 0,15 368 688 2003 1.230,00 1.704,14 2.934,14 214 2.410 0,12 296 510 2004 1.491,00 1.126,46 2.617,46 197 22.692 0,01 149 346 2005 3.288,67 1.825,68 5.114,36 3.342 26.470 0,07 1.855 5.197 2006 779,00 496,38 1.275,38 3.409 2.930 0,74 2.172 5.581 Rataan 1.524,48 1.634,55 3.159,03 1.572,83 7.089,92 0,73 1.488,44 3.061,28 Sumber : Data diolah

62 Dari penjelasan sebelumnya yaitu pada Tabel 11 diketahui bahwa alat tangkap yang dominan terhadap sumberdaya ikan pelagis besar adalah pancing dan jaring insang, sehingga dilakukan standarisasi terhadap kedua alat tangkap tersebut. Alat tangkap yang menjadi standar adalah alat tangkap pancing karena lebih produktif dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang (Tabel 15). Hasil standarisasi dari kedua alat tangkap tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 19 Standarisasi Alat Tangkap Perikanan Demersal Tahun 1995-2006. Tahun Produksi Aktual (ton) Upaya Aktual (trip) Indeks Std Total Std Pancing J Insang Total Pancing J Insang J Insang J Insang effort 1995 593,00 1.039,00 1.632,00 7.283,00 15.478,00 0,82 12.760,60 20.044 1996 328,00 357,00 685,00 2.449,00 7.746,00 0,34 2.665,53 5.115 1997 793,00 834,00 1.627,00 552,00 3.138,00 0,19 580,54 1.133 1998 748,00 622,00 1.370,00 251,00 527,00 0,40 208,72 460 1999 613,00 570,00 1.183,00 298,00 514,00 0,54 277,10 575 2000 481,00 570,00 1.051,00 273,00 411,00 0,79 323,51 597 2001 728,00 329,00 1.057,00 286,00 386,00 0,33 129,25 415 2002 1.153,00 687,00 1.840,00 320,00 2.377,00 0,08 190,67 511 2003 732,00 334,00 1.066,00 214,00 2.410,00 0,04 97,64 312 2004 399,00 211,00 610,00 197,00 22.692,00 0,00 104,18 301 2005 637,00 267,00 904,00 3.342,00 26.470,00 0,05 1.400,81 4.743 2006 280,10 75,30 355,40 3.409,00 2.930,00 0,31 916,45 4.325 Rataan 626,55 441,48 1.068,04 1.053,73 6.327,36 0,28 626,76 1.680 Sumber : Data diolah Dari penjelasan sebelumnya yaitu pada Tabel 12 diketahui bahwa alat tangkap yang dominan terhadap sumberdaya ikan demersal adalah pancing dan jaring insang, sehingga dilakukan standarisasi terhadap kedua alat tangkap tersebut. Alat tangkap yang menjadi standar adalah alat tangkap pancing karena lebih produktif dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang (Tabel 16). Hasil standarisasi dari kedua alat tangkap tersebut dapat dilihat pada Tabel 19. 5.5 Hubungan Catch Per Unit Effort (CPUE) dan Effort Pada Gambar 6 terlihat bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan pelagis kecil digambarkan dalam persamaan y = 0,0003x + 4,592, dari persamaan ini diperoleh nilai intersep (α ) sebesar 4,592 dan nilai slope (β ) sebesar -0,0003. Hal ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) akan menurunkan produktivitas hasil

63 tangkapan (CPUE). Kondisi ini mengindikasikan sumberdaya ikan pelagis kecil telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing).. Gambar 6 Hubungan antara CPUE dan Effort untuk Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Tahun 1995-2006 Dari Gambar 6 terlihat trendline untuk sumberdaya ikan pelagis kecil yang menggambarkan kondisi dimana semakin bertambah jumlah effort, maka CPUE akan semakin berkurang. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schaefer dimana 2 h = α / 4β dan MSY E MSY = α / 2β, maka diperoleh besaran nilai tingkat produksi lestari ( h MSY ) ikan pelagis kecil sebesar 17.556,75 ton per tahun dengan tingkat effort ( EMSY ) sebanyak 7.650 trip, sedangkan tingkat produksi dan effort aktual ikan pelagis kecil berturut-turut sebesar 1.565 ton per tahun dan 4.146 trip per tahun. Hasil ini tidak mendukung keterangan sebelumnya, karena meningkatnya effort ternyata tidak menurunkan tingkat peroduksi atau atau sumberdaya ikan pelagis kecil belum terindikasi overfishing.

64 Gambar 7 Hubungan antara CPUE dan Effort untuk Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Tahun 1995-2006 Hubungan antara CPUE dan effort untuk sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilihat pada Gambar 7. Terlihat bahwa CPUE juga mengalami penurunan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah effort. Scatter pelagis besar membentuk linear line, semakin bertambah jumlah effort, maka CPUE akan semakin berkurang. Pada Gambar 7 terlihat juga bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan pelagis besar digambarkan dalam persamaan y = 0,0004x + 4,3568, dari persamaan ini diperoleh nilai intersep (α ) sebesar 4,3568 dan nilai slope (β ) sebesar -0,0004. Sama halnya dengan sumberdaya ikan pelagis kecil, dari persamaan tersebut di atas dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan pelagis besar akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Kondisi ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan pelagis besar telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schaefer diketahui bahwa tingkat produksi lestari ( h MSY ) ikan pelagis besar sebesar 11.863,56 ton per tahun dengan tingkat effort ( EMSY ) sebanyak 5.446 trip, sedangkan tingkat produksi dan effort aktual ikan pelagis besar berturut-turut

65 sebesar 3.159 ton per tahun dan 3.061 trip per tahun, lebih kecil dari tingkat produksi mau pun effort lestari. Hasil ini tidak mendukung keterangan sebelumnya, karena meningkatnya effort ternyata tidak menurunkan tingkat peroduksi atau atau sumberdaya ikan pelagis besar belum terindikasi overfishing. Gambar 8 menunjukkan bahwa CPUE sumberdaya ikan demersal juga mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya effort. Scatter sumberdaya ikan demersal membentuk linear line, yang menunjukkan kecenderungan penurunan dari nilai CPUE jika effort terus mengalami peningkatan. Dari Gambar 8 diketahui bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan teri digambarkan dalam persamaan y = 0,0001x + 2, 1714, dari persamaan ini diperoleh nilai intersep (α ) sebesar 2,1714 dan nilai slope (β ) sebesar -0,0001. Kondisi ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan demersal akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan demersal telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambar 8 Hubungan antara CPUE dan Effort untuk Sumberdaya Ikan Demersal Tahun 1995-2006 Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schaefer diketahui bahwa tingkat produksi lestari ( h MSY ) ikan demersal

66 sebesar 11.787,45 ton per tahun dengan tingkat effort ( EMSY ) sebanyak 10.857 trip, sedangkan tingkat produksi dan effort aktual ikan demersal berturut-turut sebesar 1.068 ton per tahun dan 1.680 trip per tahun, lebih kecil dari produksi mau pun effort lestari. Hasil ini berbeda dengan keterangan sebelumnya, karena kecilnya jumlah produksi aktual yang diperoleh dibandingkan dengan produksi lestari tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh peningkatan effort aktual yang melebihi kapasitas effort lestari, atau sumberdaya ikan demersal belum terindikasi overfishing. Gambar 9 Hubungan antara CPUE dan Effort untuk Sumberdaya Ikan Teri Tahun 1995-2006 Gambar 9 memperlihatkan bahwa CPUE sumberdaya ikan teri mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya effort. Scatter sumberdaya ikan teri membentuk linear line, yang menunjukkan kecenderungan penurunan dari nilai CPUE jika effort terus mengalami peningkatan. Dari Gambar 9 diketahui bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan teri digambarkan dalam persamaan y = 0,0005x + 3, 1005, dari persamaan ini diperoleh nilai intersep (α ) sebesar 3,1005 dan nilai slope (β ) sebesar -0,0005. Kondisi ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan teri akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan teri mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing).

67 Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schaefer diketahui bahwa tingkat produksi lestari ( h MSY ) ikan teri sebesar 4.806,55 ton per tahun dengan tingkat effort ( EMSY ) sebanyak 3.100 trip, sedangkan tingkat produksi dan effort aktual ikan teri berturut-turut sebesar 267,19 ton per tahun dan 1.640 trip per tahun, lebih kecil dari produksi mau pun effort lestari. Hasil ini berbeda dengan keterangan sebelumnya, karena kecilnya jumlah produksi aktual yang diperoleh dibandingkan dengan produksi lestari tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh peningkatan effort aktual yang melebihi kapasitas effort lestari, atau sumberdaya ikan teri belum terindikasi overfishing. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa parameter biologi seperti r, q, dan K dalam model surplus produksi Schaefer telah tergantikan oleh nilai koefisien α dan β, sehingga informasi mengenai perubahan biologi yang terjadi tidak terakomodir dalam pemodelan. Konsekuensi dari masalah ini adalah biasnya hasil perhitungan dengan teori dan kenyataan yang ada, sebagaimana yang terjadi pada kasus sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri pada penelitian ini. 5.6 Estimasi Parameter Biologi Ada beberapa model estimasi yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi parameter biologi, yaitu model estimasi yang dikembangkan oleh Walter- Hilborn (1976), dan Clark,Yoshimoto dan Pooley (1992). Pada penelitian ini, model estimasi yang digunakan adalah model estimasi yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto dan Pooley (1992) atau yang lebih dikenal dengan istilah model estimasi CYP. Penggunaan model estimasi in karena nilai R square dari model estimasi CYP untuk semua kelompok sumberdaya ikan dalam penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan model estimasi Walter-Hilborn (WH), seperti terlihat pada Tabel 20. Menurut Pindyck RS and DL Rubinfeld (1998), nilai determinasi atau R square lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R square menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik.

68 Tabel 20 Nilai R square Estimasi CYP dan WH Sumberdaya Ikan R square CYP R square WH Pelagis Kecil 0,67 0,08 Pelagis Besar 0,58 0,22 Demersal 0,55 0,25 Teri 0,57 0,18 Sumber : data diolah Parameter biologi yang akan diestimasi meliputi daya dukung lingkungan (K), koefisien daya tangkap (q), dan tingkat pertumbuhan intrinsik (r). Dengan meregresikan tangkap per unit input (upaya), yang disimbolkan dengan U pada periode t+1, dan dengan U pada periode t, serta penjumlahan input pada periode t dan t+1 akan diperoleh nilai koefisien r, q, dan K secara terpisah (Fauzi A 2005). Pada Tabel 21 disajikan hasil regresi dari masing-masing sumberdaya perikanan dengan menggunakan model estimasi CYP. Data yang digunakan sebagai dasar melakukan regresi dapat dilihat pada Lampiran 5a-8b. Tabel 21 Hasil Regresi Sumberdaya Perikanan dengan Model CYP Sumberdaya Parameter Coefficients Standard Error t Stat F R 2 Ikan Regresi Pelagis β 0 0,972976684 0,8409296 1,15702517 8,13 0,67 Kecil β 1 0,250889006 0,4826524 0,51981305 β 2-9,21E-05 9,92E-05-0,9288047 Pelagis β 0 1,4696578 0,5481237 2,68125194 5,62 0,58 Besar β 1 0,007895195 0,3172288 0,02488801 β 2-0,000164478 6,16E-05-2,6680141 β 0 0,622941194 0,5130107 1,21428499 5,03 0,55 Demersal β 1 0,150699472 0,4159306 0,3623188 β 2-0,000118315 7,99E-05-1,4817224 β 0-0,621791503 0,350436-1,774338 5,29 0,57 Teri β 1-0,106040338 0,354237-0,299348 β 2-0,000141949 6,21E-05-2,286111 Sumber : Hasil analisis Model Ordinary Least Squares (OLS) dari Tabel 20 untuk masing-masing sumberdaya ikan adalah sebagai berikut : Y pk = 0,972976684 + 0,250889006 U t - 9,21312E-05 E t (0,840929572) (0,482652384) (9,91933E-05) R 2 0,67

69 Y pb = 1,4696578 + 0,007895195 U t - 0,000164478 E t (0,548123725) (0,317228784) (6,16481E-05) R 2 0,58 Y dm = 0,622941194 + 0,150699472 U t - 0,000118315 E t (0,5130107) (0,415930587) (7,985E-05) R 2 0,55 Ytr = -0,621791503-0,106040338 U t - 0,000141949 E t R 2 0,57 (0,350436) (0,354237) (2,286111) dimana, Y t = ln(u t+t ) U t+1 = produksi per unit upaya (CPUE) pada waktu t+1 U t = produksi per unit upaya pada waktu t = tingkat upaya pada waktu t E t 2 Dari data yang terdapat pada Tabel 21, terlihat bahwa besaran nilai R dari sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri secara berturutturut adalah 0,67; 0,58; 0,55, 0,57, hal ini mengindikasikan bahwa variabel independent dalam persamaan memiliki pengaruh dan keterkaitan yang kuat terhadap variabel dependent. Begitu pula dengan besaran nilai F-test, nilai F hitung untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, dan demersal secara berturutturut adalah 8,13; 5,62; 5,03; 5,29, sedangkan nilai F ( 2,8)0,05 = 4, 26, maka F hitung > F tabel, hal ini mengandung pengertian bahwa persamaan regresi untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri tersebut di atas bisa digunakan untuk melakukan prediksi dan estimasi. Data pada Tabel 21 kemudian diolah untuk mendapatkan besaran nilai dari parameter biologi masingmasing sumberdaya ikan. Hasil perhitungan dari parameter biologi dapat dilihat pada Tabel 22. tabel Tabel 22 Hasil Estimasi Parameter Biologi Parameter Biologi Sumberdaya Ikan r (ton per tahun) q (ton per trip) K (ton per tahun) Pelagis Kecil 1,20 0,0003 12.440,32 Pelagis Besar 1,97 0,001 12.044,85 Demersal 1,48 0,0004 5.062,96 Teri 1,68 0,0013 1.346,54 Sumber : Hasil analisis

70 Berdasarkan data yang diperoleh sebagaimana yang disajikan pada Tabel 22, koefisien pertumbuhan alami (r) sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 1,20 yang berarti sumberdaya ikan pelagis kecil akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam mau pun kegiatan manusia dengan koefisien sebesar 1,20 ton per tahun. Koefisien alat tangkap (q) sebesar 0,0003, mengindikasikan bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan akan berpengaruh sebesar 0,0003 ton per trip terhadap hasil tangkapan sumberdaya ikan pelagis kecil. Daya dukung lingkungan (K) sebesar 12.440,32, ini menunjukkan bahwa lingkungan mendukung produksi sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 12.440,32 ton per tahun dari aspek biologinya, diantaranya kelimpahan makanan, pertumbuhan populasi dan ukuran ikan. Begitu pula yang terjadi dengan sumberdaya ikan pelagis besar, demersal dan teri. 5.7 Estimasi Produksi Lestari Estimasi produksi lestari dilakukan dengan cara mensubtitusikan parameter biologi yang telah didapat ke dalam persamaan (4.19), kemudian dari data ini akan diperoleh kurva produksi lestari (sutainable yield-effort curve). Hasil estimasi produksi lestari dari masing-masing sumberdaya ikan setiap tahunnya selama tahun 1995-2006 secara ringkas disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil Estimasi Produksi Lestari Tahun Produksi (ton) Pelagis kecil Pelagis besar Demersal Teri Aktual Lestari Aktual Lestari Aktual Lestari Aktual Lestari 1995 546,00-341.912,82 7.210,00-422.764,53 1.632,00-191.343,68 83-105.395,99 1996 1.130,00-40.328,70 2.049,00-22.675,52 685,00-4.526,28 91,00-4.057,04 1997 2.018,00-10.521,54 2.195,97 5.508,63 1.627,00 1.614,14 82,00 432,60 1998 1.648,00 1.988,03 2.779,00 3.618,07 1.370,00 834,66 91,00 12,99 1999 1.446,00 833,81 1.550,00 5.927,62 1.183,00 1.005,64 91,00 75,66 2000 1.458,00 661,48 1.610,00 5.902,41 1.051,00 1.035,68 136,50 101,36 2001 2.246,00 670,84 2.882,97 4.156,84 1.057,00 764,64 91,00 175,89 2002 1.996,00 1.493,78 5.690,05 4.174,91 1.840,00 912,07 89,00 239,67 2003 2.076,00 2.035,28 2.934,14 3.334,31 1.066,00 592,59 89,00 409,95 2004 1.083,00 1.562,18 2.617,46 2.407,29 610,00 574,52 453,00 108,10 2005 2.296,00 271,89 5.114,36-29.555,53 904,00-3.174,48 810,00-1.301,83 2006 840,00-12.232,73 1.275,38-37.325,41 355,40-1.847,78 1.099,80-39.265,64 Rataan 1.565,25-32.956,54 3.159,03-39.774,24 1.115,03-16.129,86 267,19-12.372,02 Sumber : Data diolah

71 Dari hasil estimasi produksi lestari sebagaimana yeng terlihat pada Tabel 23, rata-rata produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan balikpapan selama tahun 1995-2006 sebesar -32.956,25. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan dalam rentang waktu dari tahun 1995-2006 terindikasi mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing. Gambar 10 menunjukkan perbandingan kontras antara produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil yang ditangkap dan didaratkan di PPI Manggar Balikpapan. Sepanjang tahun 1995-2002 grafik dari produksi aktual mengalami fluktuasi. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan volume produksi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil menjadi 2.296 ton dari tahun sebelumnya 2004 sebesar 1.083 ton. Peningkatan yang cukup tajam ini membuat kondisi produksi lestari turun menjadi 271,89 ton dari tahun sebelumnya 2004 sebesar 1.562,18 ton, bahkan penurunan volume produksi aktual yang terjadi pada tahun 2006 tidak serta merta diikuti oleh meningkatnya volume produksi lestari sebagaimana yang terjadi pada tahun sebelumnya. Jika tidak segera diambil tindakan yang tepat maka bukan tidak mungkin masyarakat Balikpapan pada masa yang akan datang sangat sulit memperoleh ikan pelagis kecil, kalau pun ada, harganya bisa jadi sangat mahal, karena ikan pelagis kecil menjadi sejenis hewan langka di Balikpapan. Gambar 10 Perbandingan Produksi Aktual dengan Produksi Lestari SDI Ikan Pelagis Kecil

72 Pada Gambar 11 terlihat dengan jelas bahwa sepanjang tahun 1995-2006 sebagian besar volume produksi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil berada di luar kurva produksi lestari. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan terindikasi mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambar 11 Kurva Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Pelagis Kecil Rata-rata produksi lestari sumberdaya ikan pelagis besar selama tahun 1995-2006 sebesar -39.774,24 (Tabel 23). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan terindikasi mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing. Dari Gambar 12 tampak bahwa sepanjang tahun 1995-2004 produksi aktual dan produksi lestari mengalami fluktuasi, dimana meningkatnya volume produksi aktual pada satu waktu diikuti oleh peningkatan volume produksi lestari, dan pada waktu yang lain meningkatnya produksi aktual diikuti oleh menurunnya produksi lestari. Pada periode tahun 2005-2006, peningkatan volume produksi aktual yang terjadi pada tahun 2005 menjadi 5.114,36 ton diikuti oleh penurunan volume produksi lestari menjadi -29.555,53 ton, bahkan penurunan produksi aktual pada tahun 2006 menjadi 1.275,38 diikuti penurunan produksi lestari menjadi -37.325,41 ton.

73 Gambar 12 Perbandingan Produksi Aktual dengan Produksi Lestari SDI Ikan Pelagis Besar Gambar 13 Kurva Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Pelagis Besar Dari Gambar 13 terlihat bahwa dari tahun 1996-2006 cukup banyak volume produksi aktual sumberdaya ikan pelagis besar berada di luar kurva atau trendline produksi lestari. Kondisi ini mengindikasikan bahwa, kemampuan sumberdaya ikan pelagis besar untuk perbaharuan atau memperbaharui diri sudah berkurang, sehingga walau pun produksi aktual menurun, produksi lestarinya

74 tetap menurun, sehingga dapat dikatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan terindikasi mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Pada kasus sumberdaya ikan demersal, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 23 dan Gambar 14, rata-rata produksi lestari selama tahun 1995-2006 sebesar -16.129,86. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal di Perairan Balikpapan selama rentang waktu dari tahun 1995-2006 terindikasi mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing, karena kemampuan sumberdaya ikan demersal untuk melakukan perbaharuan atau memperbaharui diri sudah berkurang, sehingga walau pun produksi aktual menurun, produksi lestarinya tetap menurun. Gambar 14 Perbandingan Produksi Aktual dan Produksi Lestari SDI Ikan Demersal Kondisi di atas dapat juga dijelaskan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 15. Dari Gambar 15 terlihat dengan jelas bahwa pada tahun 1995-2006 volume produksi aktual sumberdaya ikan demersal sebagian besar berada di atas trendline produksi lestari, terutama pada produksi aktual yang dihasilkan pada tahun 1995, 2005, dan 2006.

75 Gambar 15 Kurva Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Demersal Produksi lestari sumberdaya ikan teri selama tahun 1995-2006, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 23 dan Gambar 16, rata-rata sebesar - 12.372,02. Hal ini juga menunjukkan bahwa sumberdaya ikan teri di Perairan Balikpapan selama rentang waktu dari tahun 1995-2006 terindikasi mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing. Gambar 16 Perbandingan Produksi Aktual dan Produksi Lestari SDI Ikan Teri

76 Dari Gambar 17 terlihat bahwa dari tahun 1995-2006 sebagian besar volume produksi aktual sumberdaya ikan teri berada di luar kurva atau trendline produksi lestari. Kondisi ini mengindikasikan bahwa, kemampuan sumberdaya ikan teri untuk perbaharuan atau memperbaharui diri sudah berkurang, sehingga walau pun produksi aktual menurun, produksi lestarinya tetap menurun, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan terindikasi mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambar 17 Kurva Hubungan Produksi Lestari, Produksi Aktual dan Effort SDI Teri 5.8 Estimasi Parameter Ekonomi 5.8.1 Estimasi Biaya Input Pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh data series biaya input pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan persamaan (4.8), yaitu : C = ( C * IHK ) / IHK t dimana, C t = biaya pada tahun t, C std = biaya standar, IHK t = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t IHKn = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar std Hasil estimasi secara keseluruhan dari biaya input masing-masing sumberdaya ikan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 24. t n

77 Dari Tabel 24 secara berturut-turut dapat diketahui besaran rata-rata biaya riil dari sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri, yaitu Rp 0,71 juta per ton; Rp 0,99 juta per ton; Rp 0,79; Rp 0,79 juta per ton. Data lengkap mengenai hasil dari estimasi biaya input dapat dilihat pada Lampiran 9-12. Dari Tabel 24 juga dapat diketahui bahwa biaya input tertinggi dan biaya input terendah untuk melakukan eksploitasi sumberdaya ikan selama tahun 1996-2006 pada masing-masing sumberdaya ikan terjadi pada tahun yang sama yaitu tahun 2006 untuk biaya input tertinggi dan tahun 1995 untuk biaya input terendah. Secara berturut-turut biaya input teringgi dan terendah untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri adalah sebagai berikut Rp1,15 juta per ton, Rp0,27 juta per ton; Rp1,60 juta per ton, Rp0,38 juta per ton; Rp1,27 juta per ton, Rp0,30 juta per ton; Rp0,30 juta per ton, Rp1,27 juta per ton. Tabel 24 Data Series Biaya Riil Input Sumberdaya Ikan Tahun IHK Pelagis Kecil (Rp juta per ton) Pelagis Besar (Rp juta per ton) Demersal (Rp juta per ton) Teri (Rp juta per ton) 1995 30,96 0,27 0,38 0,30 0,30 1996 31,96 0,28 0,39 0,31 0,31 1997 31,28 0,28 0,38 0,31 0,30 1998 53,58 0,47 0,66 0,52 0,52 1999 64,69 0,57 0,80 0,63 0,63 2000 86,47 0,76 1,06 0,84 0,84 2001 98,39 0,87 1,21 0,96 0,96 2002 100,00 0,88 1,23 0,98 0,97 2003 109,70 0,97 1,35 1,07 1,07 2004 120,51 1,06 1,48 1,17 1,17 2005 110,43 0,98 1,36 1,08 1,08 2006 129,88 1,15 1,60 1,27 1,27 Rataan 85,17 0,71 0,99 0,79 0,79 Sumber : data diolah 5.8.2 Estimasi Harga Output Pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh data series biaya input pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan persamaan (4.9), yaitu : P n P t = IHK IHK n t

78 dimana, Pt Pn IHK n IHK t = Harga ikan pada tahun t = Harga ikan berlaku = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun standar = Indeks Harga Konsumen komoditas ikan pada tahun t Hasil estimasi secara keseluruhan dari harga output masing-masing sumberdaya ikan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 25. Data lengkap mengenai harga output dapat dilihat pada Lampiran 13-16. Dari Tabel 25 secara berturut-turut dapat diketahui besaran rata-rata dari harga output dari sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri yaitu Rp5,93 juta per ton, Rp7,71 juta per ton, Rp8,90 juta per ton, Rp3,26 juta per ton. Harga output tertinggi dan terendah selama tahun 1995-2006 untuk masing-masing sumberdaya ikan terjadi pada tahun yang sama yaitu tahun 2006 untuk harga output tertinggi dan tahun 1995 untuk harga output terendah. Secara berturut-turut harga output tertinggi dan terendah untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri adalah sebagai berikut Rp 9,55 juta per ton, Rp. 2,28 juta per ton; Rp 13 juta per ton, Rp 2.28 juta per ton; Rp 15 juta per ton, Rp 3,42 juta per ton; Rp5,25 juta per ton, Rp1,25 juta per ton. Tabel 25 Data Series Harga Riil Output Sumberdaya Ikan Tahun IHK Pelagis Kecil (Rp juta per ton) Pelagis Besar (Rp juta per ton) Demersal (Rp juta per ton) Teri (Rp juta per ton) 1995 30,96 2,28 2,96 3,42 1,25 1996 31,96 2,35 3,06 3,53 1,29 1997 31,28 2,30 2,99 3,45 1,27 1998 53,58 3,94 5,12 5,91 2,17 1999 64,69 4,76 6,18 7,13 2,62 2000 86,47 6,36 8,27 9,54 3,50 2001 98,39 7,23 9,41 10,85 3,98 2002 100,00 7,35 9,56 11,03 4,04 2003 109,70 8,07 10,49 12,10 4,44 2004 120,51 8,86 11,52 13,29 4,87 2005 110,43 8,12 10,56 12,18 4,47 2006 129,88 9,55 12,42 14,33 5,25 Rataan 136,00 5,93 7,71 8,90 3,26 Sumber : Data diolah

79 5.8.3 Estimasi Tingkat Discount Rate Dengan mengacu pada pembahasan sebelumnya mengenai tingkat discount rate, yaitu pada persamaan (4.10) sampai dengan (4.15) diperoleh nilai laju pertumbuhan (ekonomi) PDRB Kota Balikpapan sebesar 0,121812 atau g = 12,18% dan nilai nominal discount rate saat ini sebesar 15%, sehingga dengan menggunakan pendekatan Kula (1984) diacu dalam Anna S (2003) diperoleh nilai riil discount rate sebesar 2,82%. Nilai riil discount rate ini kemudian dijustifikasi untuk mendapatkan nilai riil discount rate dalam bentuk annual continues discount rate dengan menggunakan persamaan δ = ln( 1+ r), sehingga diperoleh nilai annual continues discount rate sebesar 2,78% (Lampiran 17) 5.9 Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Degradasi dan depresiasi sumberdaya dapat diartikan sebagai penurunan nilai dari sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas dan manfaat secara ekonomi sebagai dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Jika nilai koefisien degradasi dan depresiasi suatu sumberdaya berada pada kisaran nilai toleransi yaitu, 0-0,5, maka sumberdaya tersebut belum mengalami degradasi dan depresiasi. Hasil analisis laju degradasi dan depresiasi keseluruhan sumberdaya ikan dapat dilihat pada Lampiran 18. 5.9.1 Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Pada sumberdaya ikan pelagis kecil, koefisien laju degradasi dan laju depresiasi tiap tahun secara berturut-turut rata-rata mencapai 0.55 dan 0.48. Nilai dari laju degradasi sumberdaya ikan pelagis kecil lebih besar dari nilai toleransi koefisien laju degradasi, sebagaimana terlihat pada Tabel 26. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan telah terdegradasi tetapi tidak terdepresiasi. Sebenarnya sejak tahun 1998-2005 sumberdaya ikan pelagis kecil berada dalam zona aman, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien laju degradasi yang berada di bawah nilai koefisien standar, namun demikian pada tahun 2006 nilai koefisien laju degradasi sumberdaya ikan pelagis kecil semakin tinggi, hingga melewati batas ambang toleransi, sebagaimana terlihat pada Gambar 15, hal ini diduga sebagai akibat dari pemanfaatan aktual yang melebihi pemanfaatan yang

80 optimal. Kondisi ini mendukung data sebelumnya dimana tingkat effort aktual untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan telah melebihi tingkat effort optimal yang seharusnya. Tabel 26 Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Pelagis Kecil Tahun Produksi (ton) RenteEkonomi (Rp juta) Laju Persentase Laju Persentase (%) (%) Aktual Lestari Aktual Lestari Degradasi Depresiasi 1995 546,00-341.912,82 (4.671,19) (784.383,23) 1,00 0,00 1996 1.130,00-40.328,70 107,00 (97.334,82) 1,00 0,00 1,00 100,00 1997 2.018,00-10.521,54 2.980,93 (25.863,19) 0,99-0,54 1,00-0,02 1998 1.648,00 1.988,03 6.186,82 7.526,33 0,23-76,84 0,23-77,14 1999 1.446,00 833,81 6.739,32 3.827,57 0,36 56,16 0,36 58,26 2000 1.458,00 661,48 9.125,19 4.061,00 0,39 8,00 0,39 7,97 2001 2.246,00 670,84 16.082,26 4.686,32 0,43 9,63 0,43 9,50 2002 1.996,00 1.493,78 14.270,39 10.577,56 0,32-24,59 0,32-24,53 2003 2.076,00 2.035,28 16.101,97 15.773,50 0,27-15,06 0,27-15,42 2004 1.083,00 1.562,18 9.080,93 13.326,82 0,19-29,93 0,19-31,38 2005 2.296,00 271,89 14.749,46 (1.686,04) 0,47 146,09 0,53 182,17 2006 840,00-12.232,73 859,83 (123.988,77) 1,00 112,57 1,00 89,20 Rataan 1.565,25-32.956,54 7.634,41-81.123,08 0,55 16,86 0,48 27,15 Sumber : data diolah Gambar 18 Grafik Laju Degradasi dan Laju Depresiasi, Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil

81 Pada Gambar 18 terlihat pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil yang hampir sama, karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien laju degardasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien laju depresiasi, ini artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan pelagis kecil akan sangat berpengaruh pada tingkat ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan. 5.9.2 Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Dari Gambar 19 terlihat bahwa sumberdaya ikan pelagis besar punya track record terdegradasi dan terdepresiasi pada tahun 1995, kemudian pada tahuntahun berikutnya 1997-2004 sumberdaya ini berada pada zona aman, dengan nilai koefisien laju degradasi dan laju depresiasi yang berada di bawah koefisien standar. Pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan besar hampir sama, karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien degardasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien depresiasi, ini artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan demersal akan sangat berpengaruh pada tingkat rente ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan. Gambar 19 Grafik Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Besar

82 Pada sumberdaya ikan pelagis besar, nilai koefisien laju degradasi dan koefisien laju depresiasi rata-rata selama tahun 1996-2006 berturut-turut sebesar 0.45 dan 0.45. Hal ini menunjukkan bahwa laju degradasi dan laju depresiasi yang terjadi pada sumberdaya ikan pelagis besar masih dalam batas toleransi, namun demikian, jika tidak segera dilakukan tindakan preventif terhadap pemanfaatan sumberdaya ini, maka dikhawatirkan nilai degradasi dan depresiasi akan semakin tinggi, gejala ke arah itu sudah terlihat pada tahun 2005-2006. Pada kedua tahun ini nilai koefisien laju degradasi dan laju depresiasi sudah mencapai angka 1, yang berarti lebih tinggi dari nilai koefisien degradasi dan depresiasi stándar. Hasil analisis laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Pelagis Besar Tahun Produksi (ton) Rente ekonomi (Rp juta) Laju Persentase Laju Persentase Degradasi (%) Depresiasi (%) Aktual Lestari Aktual Lestari 1995 7.210,00-422.764,53 15.884,25 (1.256.774,52) 1,00 1,00 1996 2.049,00-22.675,52 4.366,12 (71.178,05) 1,00 0,00 1,00 0,00 1997 2.195,97 5.508,63 6.140,95 16.046,88 0,08-92,47 0,07-93,17 1998 2.779,00 3.618,07 13.858,41 18.155,42 0,21 184,12 0,21 211,09 1999 1.550,00 5.927,62 8.395,06 35.462,69 0,02-90,01 0,01-93,21 2000 1.610,00 5.902,41 11.809,41 47.287,45 0,02 16,71 0,02 24,17 2001 2.882,97 4.156,84 26.287,81 38.268,90 0,19 666,92 0,19 955,81 2002 5.690,05 4.174,91 53.544,41 39.061,38 0,32 69,60 0,33 72,01 2003 2.934,14 3.334,31 30.078,92 34.275,03 0,24-25,09 0,24-25,48 2004 2.617,46 2.407,29 29.637,98 27.216,99 0,29 17,30 0,29 17,69 2005 5.114,36-29.555,53 46.929,45 (319.039,22) 1,00 249,77 1,00 250,12 2006 1.275,38-37.325,41 6.921,36 (472.322,92) 1,00 0,31 1,00 0,11 Rataan 3.159,03-39.774,24 21.154,51 (155.295,00) 0,45 90,65 0,45 119,92 Sumber : data diolah 5.9.3 Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Demersal Dari Tabel 28 dapat dijelaskan bahwa nilai rata-rata koefisien laju degradasi dan koefisien laju depresiasi sumberdaya ikan demersal selama rentang waktu dari tahun 1995-2006 secara berturut-turut sebesar 0,54 dan 0,46, yang berarti bahwa secara umum selama rentang waktu 1995-2006 sumberdaya ikan demersal telah terdegradasi tetapi tidak terdepresiasi.

83 Tabel 28 Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Demersal Produksi (ton) Rente ekonomi (Rp juta) Persentase Persentase Tahun Degradasi Depresiasi Aktual Lestari Aktual Lestari (%) (%) 1995 1.632,00-191.343,68 (477,64) (659.529,69) 1,00 0,00 1996 685,00-4.526,28 821,00 (17.551,38) 1,00-0,13 1,00 1997 1.627,00 1.614,14 5.268,33 5.223,96 0,27-72,91 0,27-72,94 1998 1.370,00 834,66 7.855,21 4.691,89 0,35 30,22 0,35 31,18 1999 1.183,00 1.005,64 8.077,34 6.812,00 0,30-14,99 0,30-15,25 2000 1.051,00 1.035,68 9.520,36 9.374,28 0,27-9,22 0,27-9,59 2001 1.057,00 764,64 11.072,38 7.899,61 0,33 20,17 0,33 20,91 2002 1.840,00 912,07 19.796,22 9.561,68 0,38 15,89 0,38 16,03 2003 1.066,00 592,59 12.564,47 6.836,59 0,36-3,71 0,37-3,75 2004 610,00 574,52 7.753,70 7.282,11 0,28-23,04 0,28-23,46 2005 904,00-3.174,48 5.903,97 (43.770,97) 0,97 246,14 1,00 255,57 2006 355,40-1.847,78 386,36 31.947,87 0,99 2,42 1,00 0,06 Rataan 1.115,03-16.129,86 7.378,47-52.601,84 0,54 17,35 0,46 19,87 Sumber : data diolah Hanya saja gejala bahwa sumberdaya ini akan terdegradasi dan terdepresiasi lebih jauh lagi sudah terlihat pada tahun 2005-2006. Pada kedua tahun ini nilai koefisien degradasi dan depresiasi sudah mencapai angka 1, lebih tinggi dari nilai koefisien standar, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 28, sehingga perlu kiranya dilakukan upaya-upaya pencegahan agar sumberdaya ini tidak mengalami penurunan yang lebih jauh baik secara biologi maupun ekonomi, seperti yang terlihat pada Gambar 20. Gambar 20 Grafik Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Demersal

84 Pergerakan pola grafik dari laju degradasi dan laju depresiasi sebagaimana yang disajikan pada Gambar 20, sejak tahun 1995-2006 tampak memiliki pola gerakan yang hampir sama. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien degardasi akan senantiasa diikuti pula oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien depresiasi, hal ini mengindikasikan bahwa, kondisi biologi sumberdaya ikan demersal akan sangat berpengaruh pada tingkat rente ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan. 5.9.4 Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Teri Dari Tabel 27 dapat dijelaskan bahwa nilai rata-rata koefisien laju degradasi dan koefisien laju depresiasi sumberdaya ikan teri selama rentang waktu dari tahun 1995-2006 secara berturut-turut sebesar 0,46 dan 0,31, yang berarti bahwa secara umum selama rentang waktu 1995-2006 sumberdaya ikan teri belum terdegradasi dan belum terdepresiasi. Gejala bahwa sumberdaya ini akan terdegradasi dan terdepresiasi mulai terlihat pada tahun 2005-2006. Pada kedua tahun ini nilai koefisien degradasi dan depresiasi sudah mencapai angka 1, lebih tinggi dari nilai koefisien standar, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 29, sehingga perlu kiranya dilakukan upayaupaya pencegahan agar sumberdaya ini tidak mengalami penurunan yang lebih jauh baik secara biologi maupun ekonomi, seperti yang terlihat pada Gambar 21. Tabel 29 Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi SDI Teri Produksi (ton) Rente ekonomi (Rp juta) Persentase Persentase Tahun Degradasi Depresiasi Aktual Lestari Aktual Lestari (%) (%) 1995 83-105.395,99-2.583,876-134.669,193 1,00 0,00 1996 91,00-4.057,04-611,512-5.973,617 1,00-0,13 1,00 1997 82,00 432,60 8,675 452,237 0,27-72,91 0,27-72,94 1998 91,00 12,99 193,511 24,483 0,35 30,22 0,35 31,18 1999 91,00 75,66 211,591 171,456 0,30-14,99 0,30-15,25 2000 136,50 101,36 429,315 306,452 0,27-9,22 0,27-9,59 2001 91,00 175,89 263,391 601,172 0,33 20,17 0,33 20,91 2002 89,00 239,67 217,722 827,058 0,38 15,89 0,38 16,03 2003 89,00 409,95 87,118 1.510,959 0,36-3,71 0,37-3,75 2004 453,00 108,10 2.136,052 455,232 0,28-23,04 0,28-23,46 2005 810,00-1.301,83 1.778,139-7.653,139 0,97 246,14 1,00 255,57 2006 1.099,80-39.265,64-1.432,759-213.459,049 0,99 2,42 1,00 0,06 Rataan 267,19-12.372,02 58,11-29.783,83 0,46 17,35 0,31 19,87 Sumber : data diolah

85 Pergerakan pola grafik dari laju degradasi dan laju depresiasi sebagaimana yang disajikan pada Gambar 21, sejak tahun 1997-2006 tampak memiliki pola gerakan yang hampir sama. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien degradasi akan senantiasa diikuti pula oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien depresiasi, hal ini mengindikasikan bahwa, kondisi biologi sumberdaya ikan teri akan sangat berpengaruh pada tingkat rente ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan. Gambar 21 Grafik Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Teri 5.10 Analisis Optimasi Statik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Berdasarkan sediaan data yang ada, maka analisis optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan dalam beberapa kondisi yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu model optimasi statis yang meliputi open access (OA), sole owner atau maximum economic yield (MEY) dapat ditentukan, dengan menggunakan alat pemecahan analitik melalui program Excell dan MAPLE (Lampiran 16-18). Analisis optimasi dari setiap kondisi pengelolaan pada masing-masing sumberdaya ikan pada penelitian ini menggunakan persamaan-persamaan yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yaitu pada persamaan (4.25) sampai dengan persamaan (4.32). Hasil analisis optimasi statik berikut hasil analisis surplus produksi secara ringkas disajikan pada Tabel 30.

86 Tabel 30 Hasil Analisis Optimasi Statik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Sumberdaya Model Pengelolaan Biomass (x) Produksi (h) Effort (E) Ikan (SDI) SDI (ton) (ton) (trip) π (Rp juta) Open Access (OA) 407,95 472,59 3.932 0,00 Pelagis Sole Owner/MEY 6.424,14 3.721,02 1.966 20.666,06 kecil MSY 6.220,16 3.725,02 2.033 20.642,30 Open Access (OA) 197,05 381,58 2.967 0,00 Pelagis Sole Owner/MEY 6.120,95 5.926,49 1.483 44.220,01 besar MSY 6.022,42 5.928,07 1.508 44.207,78 Open Access (OA) 214,94 303,81 3.437 0,000 Demersal Sole Owner/MEY 2.638,95 1.865,05 1.718 15.239,66 MSY 2.531,48 1.868,42 1.795 15.209,71 Open Access (OA) 174,06 254,74 1.058 (0,00) Teri Sole Owner/MEY 761,30 557,09 529 1.401,62 MSY 674,27 566,52 607 1.370,84 Sumber : Data diolah Berdasarkan data pada Tabel 30, diketahui bahwa untuk sumberdaya ikan pelagis kecil, tingkat biomass pada kondisi open access, MEY, dan MSY berturutturut adalah 407,95 ton per tahun; 6.424,14 ton per tahun; 6.220,16 ton per tahun. Tingkat produksi teringgi (h) terjadi pada kondisi MSY yaitu sebesar 3.725,02 ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi MEY sebesar 3.721,02 ton per tahun, dan OA sebesar 472,59 ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari tingkat yang tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil secara berturut-turut adalah sebagai berikut OA sebanyak 3.932 trip per tahun, MSY sebesar 2.033 trip per tahun, MEY sebanyak 1.966 trip per tahun. Tingkat rente tertinggi dari hasil optimasi terjadi pada kondisi MEY sebesar Rp20.666,06 juta per tahun, MSY sebesar Rp20.642,30 juta per tahun, OA sebesar Rp0 juta per tahun. Pada sumberdaya ikan pelagis besar, tingkat biomass pada kondisi open access, MEY, dan MSY berturut-turut adalah 197,05 ton per tahun; 6.120,95 ton per tahun; 6.022,42 ton per tahun. Tingkat produksi tertinggi (h) terjadi pada kondisi MSY yaitu sebesar 5.928,07 ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi MEY sebesar 5.926,49 ton per tahun, dan OA sebesar 381,58 ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berturut-turut adalah sebagai berikut OA sebanyak 2.967 trip per tahun, MSY sebanyak 1.508 trip per tahun,

87 MEY sebanyak 1.483 trip per tahun. Tingkat rente tertinggi dari hasil optimasi untuk sumberdaya ikan pelagis besar, terjadi pada kondisi MEY sebesar Rp44.220.01 juta per tahun, MSY sebesar Rp44.207,78 juta per tahun, OA sebesar Rp 0 juta per tahun. Pada sumberdaya ikan demersal, tingkat biomass pada kondisi open access, MEY, dan MSY berturut-turut adalah 214, 94 ton per tahun; 2.638,95 ton per tahun; 2.531,48 ton per tahun. Tingkat produksi tertinggi (h) terjadi pada kondisi MSY yaitu sebesar 1.868,42 ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi MEY dan OA sebesar 1.865,05 ton per tahun dan 303,81 ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berturut-turut adalah sebagai berikut : OA sebanyak 3.437 trip per tahun, MSY sebanyak 1.795 trip per tahun, MEY sebanyak 1.718 trip per tahun. Tingkat rente tertinggi dari hasil optimasi untuk sumberdaya ikan demersal, terjadi pada kondisi MEY sebesar Rp15.239,66 juta per tahun, MSY sebesar Rp 15.209,71 juta per tahun, OA sebesar Rp0 juta per tahun. Pada sumberdaya ikan teri, tingkat biomass pada kondisi open access, MEY, dan MSY berturut-turut adalah 174,06 ton per tahun; 761,30 ton per tahun; 674,27 ton per tahun. Tingkat produksi tertinggi (h) terjadi pada kondisi MSY yaitu sebesar 566,52 ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi MEY dan OA sebesar 557,09 ton per tahun dan 254,74 ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berturut-turut adalah sebagai berikut : OA sebanyak 1.058 trip per tahun, MSY sebanyak 607 trip per tahun, MEY sebanyak 529 trip per tahun. Tingkat rente tertinggi dari hasil optimasi untuk sumberdaya ikan demersal, terjadi pada kondisi MEY sebesar Rp1.401,62 juta per tahun, MSY sebesar Rp 1.370,84 juta per tahun, OA sebesar Rp0 juta per tahun. Dari hasil analisis data yang tersaji pada Tabel 30 diketahui pula bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pada kondisi open access cenderung akan merusak kelestarian sumberdaya ikan yang ada, hal ini ditunjukkan oleh jumlah tingkat effort yang sangat tinggi, rente ekonomi yang diperoleh pada kondisi open access sama dengan nol, karena keuntungan yang diperoleh sama dngan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penangkapan. Pemanfaatan sumberdaya ikan pada

88 kondisi MEY tampak lebih bersahabat dengan lingkungan bahkan memberikan tingkat rente yang lebih besar dibanding pemanfaatan pada kondisi open access dan MSY. Untuk mengetahui kondisi pengelolaan sumberdaya ikan yang terjadi di Perairan Balikpapan, terutama yang berhubungan dengan tingkat produksi, tingkat upaya dan tingkat rente, maka dilakukan perbandingan antara kondisi pemanfaatan aktual dengan kondisi pemanfaatan hasil analisis optimasi statik dari masing-masing kelompok sumberdaya ikan dalam penelitian ini. 5.10.1 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Dari data perbandingan status pemanfaatan, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 31 diketahui bahwa rata-rata tingkat effort (E) aktual sumberdaya ikan pelagis kecil selama periode 1995-2006 lebih besar dari tingkat effort optimal dalam berbagai kondisi dari hasil optimasi statik pada penelitian ini. Rata-rata tingkat effort aktual ikan pelagis kecil dalam rentang waktu dari tahun 1995-2006 sebesar 4.146 trip per tahun sedangkan hasil analisis terhadap effort optimal dengan menggunakan pendekatan optimasi statik adalah 3.932 trip per tahun (open access), 1.966 trip per tahun (MEY), 2.033 trip per tahun (MSY). Kondisi ini kemudian berdampak langsung pada hasil tangkapan para nelayan. Pada Tabel 31 tampak bahwa tingkat produksi (h) optimal ikan pelagis kecil memiliki nilai yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada kondisi aktual. Rata-rata tingkat produksi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil selama rentang waktu 1995-2006 adalah sebesar 1.565,25 ton per tahun, sedangkan tingkat produksi optimal dalam berbagai kondisi pengelolaan adalah 3.721,02 ton per tahun (MEY), 3.725,02 ton per tahun (MSY). Tingkat produksi aktual yang jauh lebih kecil dari tingkat produksi optimal yang seharusnya bisa dihasilkan nelayan disebabkan tingginya tingkat aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil, sehingga stok sumberdaya ikan pelagis kecil semakin berkurang. Dengan berkurangnya atau menurunnya stok sumberdaya maka produksi pun menurun. Dari hasil analisis juga diketahui bahwa tingkat keuntungan atau rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp20.666,06 juta per tahun pada kondisi MEY, dan Rp20.642,30 juta per tahun pada kondisi MSY,

89 tetapi kondisi di lapangan terlihat bahwa tingkat keuntungan aktual yang diperoleh hanya sebesar Rp7.634,41 juta per tahun. Selisih jumlah rente yang sangat kontras ini disebabkan oleh menurunnya jumlah produksi hasil tangkapan, sementara tingkat effort semakin tinggi. Dengan kata lain biaya yang dikeluarkan untuk melakukan aktivitas penangkapan sumberdaya ikan pelagis kecil tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil sudah mengalami overfishing baik secara biologi (biological overfishing) mau pun secara ekonomi (economical overfishing). Upaya penangkapan harus segera diturunkan, karena kelestarian sumberdaya ikan pelagis kecil sudah terganggu. Tabel 31 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Statik SDI Pelagis Kecil Pemanfaatan Aktual MSY OA MEY Prod (h) (ton) Effort (E) (trip) Rente (π) (Rp juta) Sumber : data diolah Pelagis Kecil 1.565,25 3.725,02 472,59 3.721,02 4.146 2.033 3.932 1.966 7.634,41 20.642,30 0,00 20.666,06 Perbandingan status pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil dalam kondisi aktual dan optimasi statik lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 22. Pada Gambar 22 tampak bahwa rente ekonomi optimal untuk sumberdaya ikan pelagis kecil dengan pendekatan optimasi statik diperoleh pada kondisi MEY, hal ini ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya yang merupakan jarak terbesar. Gambar 23 juga menjelaskan bahwa keseimbangan open access membutuhkan tingkat effort yang jauh lebih besar dari tingkat effort pada kondisi MSY dan MEY, sehingga kondisi ini akan menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi optimal MEY tampak lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY. Dengan demikian tingkat upaya pada titik keseimbangan MEY terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan MSY (Hannesson 1993 diacu dalam Fauzi A 2004).

90 Gambar 22 Grafik Perbandingan Pemanfaatan Optimasi Statik SDI Pelagis Kecil TR π max E MEY E MSY E OA TC Gambar 23 Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil

91 5.10.2 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Pada kasus sumberdaya ikan pelagis besar, tingkat effort (E) aktual lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat effort (E) optimal hasil analisis dalam berbagi kondisi pendekatan. Sebagaimana terlihat pada Tabel 32, rata-rata effort aktual selama tahun 1995-2006 adalah sebanyak 3.061 trip per tahun, sementara pada kondisi optimal tingkat effort sebanyak 1.508 trip per tahun (MSY); 2.967 trip per tahun (OA); 1.483 trip per tahun (MEY). Tingkat effort aktual yang melampaui tingkat effort optimal hasil analisis pada penelitian ini berdampak langsung pada produksi aktual yang diperoleh. Berdasarkan data pada Tabel 32, produksi aktual rata-rata selama tahun 1995-2006 sebesar 3.159,03 ton per tahun, sedangkan tingkat produksi optimal pada kondisi MSY sebesar 5.928,07 ton per tahun; OA sebesar 381,58 ton per tahun; MEY sebesar 5.926,49 ton per tahun. Hal tersebut diatas kemudian berpengaruh pada tingkat rente yang diperoleh para nelayan. Dari data yang tersaji pada Tabel 32, rente aktual yang diperoleh untuk sumberdaya ikan pelagis besar selama rentang waktu dari tahun 1995-2006 rata-rata sebesar Rp21.154,51 juta per tahun, sementara rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp44.220,01 juta per tahun pada kondisi MEY dan Rp44.207,78 juta per tahun pada kondisi MSY. Tabel 32 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Pelagis Besar Pemanfaatan Aktual MSY OA MEY Prod (h) (ton) 3.159,03 566,52 254,74 557,09 Effort (E) (trip) 3.061 607 1.058 529 Rente (π) (Rp juta) 21.154,51 1.370,84 (0,00) 1.401,62 Sumber : Data diolah Pelagis Besar Gambaran dari perbandingan status pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dapat juga dijelaskan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 20. Kecilnya jumlah rente yang diperoleh disebabkan karena tingginya jumlah effort, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk eksploitasi sumberdaya menjadi lebih banyak dan pada akhirnya berdampak pada minimnya rente yang diperoleh, atau dengan kata

92 lain pada kasus pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar telah terjadi overfishing baik secara biologi (biological overfishing) mau pun ekonomi (economical overfishing). Upaya penangkapan harus segera diturunkan, karena kelestarian sumberdaya ikan pelagis besar sudah terganggu. Gambar 24 Grafik Perbandingan Pemanfaatan Optimal Statik SDI Pelagis Besar Sama akan halnya dengan sumberdaya ikan pelagis kecil, pada Gambar 24 terlihat bahwa rente ekonomi optimal untuk sumberdaya ikan pelagis besar dengan pendekatan optimasi statik diperoleh pada kondisi MEY, yang ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar. Gambar 25 juga menjelaskan bahwa keseimbangan open access membutuhkan tingkat effort yang jauh lebih besar dari tingkat effort pada kondisi MSY dan MEY, sehingga kondisi ini akan menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi optimal MEY tampak lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY. Dengan demikian tingkat upaya pada titik keseimbangan MEY terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan MSY.

93 TR π max E MEY E MSY E OA TC Gambar 25 Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Pelagis Besar 5.10.3 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Demersal Kondisi yang sama juga terjadi pada kasus pengelolaan sumberdaya ikan demersal, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 33. Tingkat upaya atau effort aktual selama kurun waktu dari tahun 1995-2006 sebanyak 3.211 trip per tahun diperoleh produksi sebesar 1.115,03 ton per tahun dengan tingkat rente sebesar Rp7.378,47 juta per tahun. Dari hasil analisis optimasi statik terhadap sumberdaya ikan demersal diketahui bahwa tingkat produksi, tingkat effort dan tingkat rente yang optimal pada kondisi MSY, OA dan MEY secara berturut-turut adalah sebagai berikut 1.868,42 ton per tahun, 303,81 ton per tahun, 1.865,05 ton per tahun; 1.795 trip per tahun, 3.437 trip per tahun, 1.718 trip per tahun; Rp15.209,71 juta per tahun, Rp0 per tahun, Rp15.239,66 juta per tahun, sebagaimana tersaji pada Tabel 33. Dari uraian data di atas terlihat bahwa tingkat upaya aktual untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan demersal lebih banyak atau telah melewati tingkat upaya optimal, tingkat produksi aktual lebih sedikit dari tingkat produksi optimal, rente ekonomi aktual jauh lebih kecil dibanding rente ekonomi optimal,

94 atau dengan kata lain pada kasus pemanfaatan sumberdaya ikan demersal telah terjadi overfishing baik secara biologi (biological overfishing) mau pun ekonomi (economical overfishing). Upaya penangkapan harus segera diturunkan, karena kelestarian sumberdaya ikan demersal sudah terganggu. Tabel 33 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Demersal Pemanfaatan Aktual MSY OA MEY Prod (h) (ton) 1.115,03 1.868,42 303,81 1.865,05 Effort (E) (trip) 3.211 1.795 3.437 1.718 Rente (π) (Rp juta) 7.378,47 15.209,71 0,000 15.239,66 Sumber : data diolah Demersal Gambaran dari perbandingan status pemanfaatan sumberdaya ikan demersal dalam kondisi aktual dan optimasi statik lebih jelas dapat dilihat pada grafik perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 26. Gambar 26 Grafik Perbandingan Pemanfaatan Optimal Statik SDI Demersal

95 Pada Gambar 27 terlihat bahwa rente ekonomi optimal untuk sumberdaya ikan demersal dengan pendekatan optimasi statik diperoleh pada kondisi MEY, yang ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar. Gambar 27 juga menjelaskan bahwa keseimbangan open access membutuhkan tingkat effort yang jauh lebih besar dari tingkat effort pada kondisi MSY dan MEY, sehingga kondisi ini akan menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi optimal MEY tampak lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY. Dengan demikian tingkat upaya pada titik keseimbangan MEY terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan MSY. TR π max TC E MEY E MSY E OA Gambar 27 Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Demersal

96 5.10.4 Hasil Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Teri Pada kasus pengelolaan sumberdaya ikan teri, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 34. Tingkat upaya atau effort aktual selama kurun waktu dari tahun 1995-2006 sebanyak 1.640 trip per tahun diperoleh produksi sebesar 267,19 ton per tahun dengan tingkat rente sebesar Rp 58,11 juta per tahun. Dari hasil analisis optimasi statik terhadap sumberdaya ikan teri diketahui bahwa tingkat produksi, tingkat effort dan tingkat rente yang optimal pada kondisi MSY, OA dan MEY secara berturut-turut adalah sebagai berikut 566,52 ton per tahun, 254,74 ton per tahun, 557,09 ton per tahun; 607 trip per tahun, 1.058 trip per tahun, 529 trip per tahun; Rp1.370,84 juta per tahun, Rp0 per tahun, Rp1.401,62 juta per tahun, sebagaimana tersaji pada Tabel 34. Tabel 34 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal SDI Teri Pemanfaatan Aktual MSY OA MEY Prod (h) (ton) 267,19 566,52 254,74 557,09 Effort (E) (trip) 1.640 607 1.058 529 Rente (π) (Rp juta) 58,11 1.370,84 (0,00) 1.401,62 Sumber : data diolah Teri Dari uraian data di atas terlihat bahwa tingkat upaya aktual untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan teri lebih banyak atau telah melewati tingkat upaya optimal, tingkat produksi aktual lebih sedikit dari tingkat produksi optimal, rente ekonomi aktual jauh lebih kecil dibanding rente ekonomi optimal, atau dengan kata lain pada kasus pemanfaatan sumberdaya ikan teri telah terjadi overfishing baik secara biologi (biological overfishing) mau pun ekonomi (economical overfishing). Upaya penangkapan harus segera diturunkan, karena kelestarian sumberdaya ikan teri sudah terganggu. Gambaran dari perbandingan status pemanfaatan sumberdaya ikan teri dalam kondisi aktual dan optimasi statik lebih jelas dapat dilihat pada grafik perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 28.

97 Gambar 28 Grafik Perbandingan Pemanfaatan Optimal Statik SDI Teri TR π max TC E MEY E MSY E OA Gambar 23 Kurva Optimasi Statik Sumberdaya Ikan Teri Pada Gambar 23 terlihat bahwa rente ekonomi optimal untuk sumberdaya ikan teri dengan pendekatan optimasi statik diperoleh pada kondisi MEY, yang

98 ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar. Gambar 23 juga menjelaskan bahwa keseimbangan open access membutuhkan tingkat effort yang jauh lebih besar dari tingkat effort pada kondisi MSY dan MEY, sehingga kondisi ini akan menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi optimal MEY tampak lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY. Dengan demikian tingkat upaya pada titik keseimbangan MEY terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan MSY. 5.11 Analisis Optimasi Dinamik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Aspek pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pendekatan model dinamik bersifat intertemporal, maka untuk menganalisanya aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate. Tingkat discount rate yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 2,82%, 12,18%, dan 15%. Tabel 35 Hasil Estimasi Optimasi Dinamik pada Berbagai Tingkat Discount Rate Kelompok SDI δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% x (ton) 6.289,08 5.876,45 5.749,81 Pelagis Kecil h (ton) 3.724,57 3.713,65 3.703,72 E (trip) 2.010 2.145 2.186 π (Rp juta) 742.749,60 180.843,76 146.008,46 x (ton) 6.038,69 5.786,07 5.708,16 Pelagis Besar h (ton) 5.928,03 5.918,94 5.911,93 E (trip) 1.504 1.567 1.587 π (Rp juta) 1.590.491,99 388.945,63 314.858,92 x (ton) 2.595,23 2.461,57 2.420,55 Demersal h (ton) 1.867,23 1.866,99 1.864,83 E (trip) 1.749 1.844 1.873 π (Rp juta) 548.062,86 141.244,23 114.212,49 x (ton) 752,73 726.72 718.80 Teri h (ton) 558,85 563,09 564,05 E (trip) 537 560 567,13 π (Rp juta) 50.412,12 12.324.88 9.976.11 Sumber : data diolah

99 Nilai discount rate ini kemudian digunakan untuk menghitung tingkat pemanfaatan optimal dinamik pada masing-masing kelompok sumberdya ikan pada penelitian ini. Hasil estimasi tingkat discount rate pada masing-masing sumberdaya ikan disajikan pada Tabel 35. 5.11.1 Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Pada Tabel 36 tampak perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil pada kondisi aktual dan pada kondisi optimal dinamik dengan tingkat discount rate yang berbeda. Dilihat dari sisi tingkat volume produksi, maka tingkat volume produksi yang bisa diperoleh jika pemanfaan menggunakan pendekatan optimal dinamik akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada pemanfaatan aktual. Dari sisi tingkat effort, maka effort yang dilakukan jauh lebih sedikit dari tingkat effort aktual. Apalagi jika dilihat dari sisi rente ekonomi yang diperoleh, maka rente ekonomi pada kondisi pemanfaatan optimal dinamik sangat jauh lebih besar dari rente ekonomi pada kondisi aktual. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan sudah terjadi overfishing baik biological overfishing maupun economical overfishing, sehingga upaya penangkapan (effort) harus segera dikurangi karena sudah mengganggu kelestarian sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Balikpapan. Tabel 36 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pengukuran Optimal Dinamik Aktual δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 1.565,25 3.724,57 3.713,65 3.703,72 Effort (E) (trip) 4.146 2.010 2.145 2.186 (π ) (Rp juta) 7.634,41 742.749,60 180.843,76 146.008,46 Sumber : data diolah Pada pendekatan optimal dinamik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 30 terlihat bahwa tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort, sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan

100 memperlambat laju tingkat effort. Pada Gambar 30 juga terlihat bahwa semakin tinggi tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin kecil, sebaliknya semakin rendah tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin tinggi. Gambar 30 Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Pelagis Kecil 5.11.2 Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Pada Tabel 37 tampak perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar pada kondisi aktual dan pada kondisi optimal dinamik. Dilihat dari sisi tingkat volume produksi, maka tingkat volume produksi yang bisa diperoleh jika pemanfaan menggunakan pendekatan optimal dinamik lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada pemanfaatan aktual. Dari sisi tingkat effort, maka tingkat effort optimal dinamik yang dilakukan jauh lebih sedikit dari tingkat effort aktual. Apabila dilihat dari sisi rente ekonomi, maka rente ekonomi yang diperoleh pada kondisi pemanfaatan optimal dinamik sangat jauh lebih besar dari rente ekonomi pada kondisi aktual. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan sudah terjadi overfishing baik biological overfishing mau pun economical overfishing, sehingga upaya penangkapan (effort) untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis besar harus segera dikurangi karena sudah mengganggu kelestarian sumberdaya ikan pelagis besar di Perairan Balikpapan.

101 Tabel 37 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Pelagis Besar Pelagis Besar Pengukuran Optimal Dinamik Aktual δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 3.159,03 5.928,03 5.918,94 5.911,93 Effort (E) (trip) 3.061 1.504 1.567 1.587 (π ) (Rp juta) 21.154,51 1.590.491,99 388.945,63 314.858,92 Sumber : data diolah Gambar 31 Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Pelagis Besar Pada sumberdaya ikan pelagis besar sebagaimana terlihat pada Gambar 34, terlihat bahwa tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort, sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Pada Gambar 25 juga dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin kecil, sebaliknya semakin rendah tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin tinggi. 5.11.3 Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Demersal Pada Tabel 38 tampak perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal pada kondisi aktual dan pada kondisi optimal dinamik. Dilihat dari sisi tingkat volume produksi, maka tingkat volume produksi yang bisa diperoleh jika

102 pemanfaan menggunakan pendekatan optimal dinamik akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada pemanfaatan aktual. Apabila dilihat dari sisi rente ekonomi yang diperoleh, rente ekonomi pada kondisi pemanfaatan optimal dinamik sangat jauh lebih besar dari rente ekonomi pada kondisi aktual. Dari sisi tingkat effort, maka effort aktual yang dilakukan berada di atas atau telah melewati tingkat effort optimal, sehingga upaya penangkapan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan demersal harus segera dikurangi karena sudah mengganggu kelestarian sumberdaya ikan demersal di Perairan Balikpapan. Tabel 38 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Demersal Demersal Pengukuran Optimal Dinamik Aktual δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 1.115,03 1.867,23 1.866,99 1.864,83 Effort (E) (trip) 3.211 1.749 1.844 1.873 (π ) (Rp juta) 7.378,47 548.062,86 141.244,23 114.212,49 Sumber : data diolah Gambar 32 Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Demersal Pada kasus sumberdaya ikan demersal seperti yang tampak pada Gambar 35, tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort, sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju

103 tingkat effort. Dari Gambar 32 juga dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin kecil, sebaliknya semakin rendah tingkat discount rate, maka rente ekonomi yag diperoleh akan semakin tinggi. 5.11.4 Hasil Optimasi Dinamik Sumberdaya Ikan Teri Sama halnya dengan sumberdaya ikan sebelumnya, Dari Tabel 39 tampak perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan teri pada kondisi aktual dan pada kondisi optimal dinamik. Dilihat dari sisi tingkat volume produksi, maka tingkat volume produksi yang bisa diperoleh jika pemanfaan menggunakan pendekatan optimal dinamik akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada pemanfaatan aktual. Apabila dilihat dari sisi rente ekonomi yang diperoleh, rente ekonomi pada kondisi pemanfaatan optimal dinamik sangat jauh lebih besar dari rente ekonomi pada kondisi aktual. Dari sisi tingkat effort, maka effort aktual yang dilakukan berada di atas atau telah melewati tingkat effort optimal, sehingga upaya penangkapan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan teri harus segera dikurangi karena sudah mengganggu kelestarian sumberdaya ikan teri di Perairan Balikpapan. Tabel 39 Perbandingan Pemanfaatan Aktual dan Optimal Dinamik SDI Teri Teri Pengukuran Optimal Dinamik Aktual δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 267,19 558,85 563,09 564,05 Effort (E) (trip) 1.640 537 560 567,13 (π ) (Rp juta) 58,11 50.412,12 12.324,88 9.976,11 Sumber : data diolah Gambar 33 tampak bahwa tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort, sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Dari Gambar 33 juga dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin kecil, sebaliknya semakin rendah tingkat discount rate, maka rente ekonomi yag diperoleh akan semakin tinggi.

104 Gambar 33 Hubungan Tingkat Discount Rate dan Rente Ekonomi Optimal Dinamik SDI Teri Dari hasil analisis dengan beberapa tingkat discount rate di atas, pada masing-masing sumberdaya ikan tampak bahwa semakin tinggi tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin kecil, begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fauzi A (2004); Clark CW (1976) bahwa apabila nilai discount rate sangat tinggi dan mendekati tak hingga, maka net price atau rente sumberdaya akan sama dengan nol, hal ini identik dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam kondisi akses terbuka (open access). Sebaliknya, jika nilai discount rate sama dengan nol, maka rente sumberdaya akan semakin besar, hal ini identik dengan maksimasi rente sumberdaya dalam kondisi MEY. 5.11 Implikasi Kebijakan Tujuan pengelolaan perikanan termasuk di dalamnya perikanan tangkap sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan mengandung beberapa makna, diantaranya adalah melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, serta meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perikanan nasional

105 Sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access dan common property, artinya pemanfaatan ikan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum, tanpa ada pengelolaan. Konsekuensi dari sifat sumberdaya seperti ini adalah munculnya gejala eksploitasi berlebih (over exploitation), investasi berlebih (over investment) dan tenaga kerja berlebih (over employment). Dalam kondisi seperti ini, jika tidak segera diambil kebijakan yang tepat, maka sulit rasanya untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang telah digariskan di atas. Begitu pula dengan yang terjadi pada sumberdaya ikan di Perairan Balikpapan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akses negatif dari pengelolaan ikan selama kurun waktu dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2006 sudah nampak, hal ini diketahui dari kecenderungan menurunnnya produksi sumberdaya ikan dari tahun ke tahun, karena tingginya tingkat aktivitas penangkapan (overfishing). Kondisi ini kemudian menimbulkan dampak berupa inefisiensi ekonomi (economic inefficiency), karena selain menghilangkan potensi rente ekonomi sumberdaya, juga terjadi kondisi berlebihnya faktor produksi yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Model pendekatan MSY merupakan model pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan dalam perspektif biologi yang hanya memperhatikan aspek biologi saja. Penggunaan pendekatan model MSY dalam pemanfaatan sumberdaya ikan memiliki beberapa kelemahan yang cukup mendasar sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam perspektif bioekonomi, pemanfaatan sumberdaya ikan bertujuan untuk memaksimumkan manfaat ekonomi dengan tetap menjaga kelestariaan sumberdaya ikan atau dengan kata lain bagaimana manfaat ekonomi dari ekstraksi sumberdaya ikan dapat diperoleh secara berkelanjutan. Analisis bioekonomi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan statik dan pendekatan dinamik. Pendekatan statik adalah pendekatan yang menggabungkan parameter biologi dan ekonomi dalam analisisnya, tetapi tidak memasukkan faktor waktu. Pendekatan dinamis adalah pendekatan yang sama dengan pendekatan statik, tetapi memasukkan faktor waktu dalam analisisnya. Pendekatan statik, seperti MEY memiliki kelemahan yang cukup serius dalam analisisnya, kelemahan

106 mendasar dari pendekatan optimasi statik, karena tidak memasukkan faktor waktu dalam analisisnya, hal ini bisa menyebabkan masalah serius dalam penegelolaan sumberdaya ikan, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Hasil perbandingan dari beberapa model optimasi diatas, diperoleh data bahwa model optimasi dinamik memberikan rente ekonomi yang lebih tinggi dari model optimasi yang lain pada semua jenis sumberdaya ikan dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlangsungan dari sumberdaya ikan. Dari hasil perhitungan nilai optimal pemanfaatan masing-masing sumberdaya ikan dengan pendekatan optimasi dinamik pada tingkat discount rate sebesar 2,82%, 12,18%, 15% diperoleh data pemanfaatan pengelolaan optimal sumberdaya perikanan, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 40. Dari data tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan dengan pendekatan dinamik sangat dipengaruhi oleh discount rate yang berlaku, dimana semakin rendah discount rate, maka pemanfaatan sumberdaya ikan akan lebih bersahabat dengan lingkungan, dan semakin meningkatkan rente ekonomi yang diperoleh. Sebaliknya, semakin tinggi discount rate yang digunakan, maka berdampak pada semakin tingginya tingkat effort, sehingga akan menurunkan produksi dan rente ekonomi yang bisa diperoleh. Pada Tabel 40 terlihat bahwa rente ekonomi optimal pada masingmasing sumberdaya ikan diperoleh pada tingkat discount rate sebesar 2,82%. Pada sumberdaya ikan pelagis kecil, volume produksi optimal sebesar 3.724,57 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak 2.010 trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 1.853,02 kg per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp742.749,60 juta per tahun. Jumlah total alat tangkap yang optimal sebanyak 2.123 unit, dengan perincian 199 unit setingkat payang dan 1.924 unit setingkat jaring insang. Tingkat produksi optimal sumberdaya ikan pelagis besar 5.928,03 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak 1.504 trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 3.941,51 kg per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp1.590.491,99 juta per tahun. Jumlah total alat tangkap yang optimal sebanyak 2.078 unit, dengan perincian 128 unit setingkat pancing tonda dan 1.950 unit setingkat jaring insang.

107 Tabel 40 Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Aktual Optimal Dinamik δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 1.565,25 3.724,57 3.713,65 3.703,72 Effort (E) (trip) 4.146 2.010 2.145 2.186 CPUE (Kg per trip) 377,53 1.853,02 1.731,31 1.694,29 Rente (π ) (Rp juta) 7.634,41 742.749,60 180.843,76 146.008,46 Alat Tangkap (unit) 4.380 2.123 2.266 2.309 Pelagis Besar Aktual Optimal Dinamik δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 3.159,03 5.928,03 5.918,94 5.911,93 Effort (E) (trip) 3.061 1.504 1.567 1.587 CPUE (Kg per trip) 1.032,03 3.941,51 3.777,24 3.725,22 Rente (π ) (Rp juta) 21.154,51 1.590.491,99 388.945,63 314.858,92 Alat Tangkap (unit) 4.230 2.078 2.165 2.193 Demersal Aktual Optimal Dinamik δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 1.068,04 1.867,23 1.866,99 1.864,83 Effort (E) (trip) 1.680 1.749 1.844 1.873 CPUE (Kg per trip) 635,74 1.067,60 1.012,47 995,64 Rente (π ) (Rp juta) 7.378,47 548.062,86 141.244,23 114.212,49 Alat Tangkap (unit) 4.230 4.404 4.643 4.716 Teri Aktual Optimal Dinamik δ = 2,82% δ = 12,18% δ = 15% Produksi (h) (ton) 267,19 558,85 563,09 564,05 Effort (E) (trip) 1.640 537 560 567 CPUE (Kg per trip) 162,92 1.040,69 1.005,52 994,80 Rente (π ) (Rp juta) 58,11 50.412,12 12.324.88 9.976.11 Alat Tangkap (unit) 21 7 7 7 Sumber : Data diolah Tingkat produksi optimal sumberdaya ikan demersal sebesar 1.867,23 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak 1.749 trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 1.067,60 kg per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp548.062,86 juta per tahun. Jumlah total alat tangkap yang optimal untuk ekstraksi sumberdaya ikan demersal adalah sebanyak 4.404 unit, dengan perincian 272 unit setingkat alat tangkap pancing dan 4.132 unit setingkat alat tangkap jaring insang.

108 Pada sumberdaya ikan teri, tingkat produksi optimal sumberdaya ikan teri sebesar 558,85 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak 537 trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 1.040,69 kg per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp58,11 juta per tahun. Jumlah total alat tangkap yang optimal untuk ekstraksi sumberdaya ikan teri adalah sebanyak 7 unit setingkat alat tangkap bagan. Dari data tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan di Perairan Balikpapan selama ini belum berjalan dengan optimal, sehingga berdampak pada minimnya produksi dan manfaat ekonomi yang diperoleh nelayan. Oleh karena itu, pemerintah Kota Balikpapan harus segera melakukan pembenahan, membuat kebijakan antisipatif dan strategis sebagai solusi dari permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan di Perairan Balikpapan. Sehubungan dengan hal itu, dengan berdasar pada hasil penelitian ini, berikut beberapa rekomendasi alternatif kebijakan yang diajukan, yaitu : 1) Membuat dan Menetapkan regulasi tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis dan demersal di Perairan Balikpapan yang meliputi tingkat effort optimal, volume produksi optimal, CPUE optimal dengan mengacu pada pendekatan optimal dinamik pada tingkat discount rate yang rendah, sehingga tercapainya rente ekonomi yang optimal sebagaimana yang dihasilkan dalam penelitian ini. 2) Membuat regulasi tentang rasionalisasi jumlah alat tangkap. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari jumlah alat tangkap yang berlebih, juga dari alat tangkap yang bersifat destruktif. Kebijakan ini memiliki cost dan resistensi yang cukup tinggi, karena dengan kebijakan mengurangi alat tangkap dan membatasi alat tangkap, apabila memang sudah berlebih, berarti menuntut harus ada yang dikorbankan, kondisi ini sama halnya dengan menghalangi seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 3) Penetapan kuota atas produksi. Pembatasan produksi akan mengurangi tingkat upaya, sehingga akan mencegah terjadinya biological dan economical overfishing, implikasinya akan menurunkan suplai ikan di pasar, sehingga dapat meningkatkan harga ikan. Dengan meningkatnya harga ikan, maka pendapatan nelayan akan meningkat, sehingga akan mendorong kembali peningkatan upaya.

109 4) Menciptakan daerah-daerah perlindungan laut (marine protected areas). Opsi ini adalah kunci keberhasilan pengelolaan perikanan berbasis lingkungan. Sama halnya dengan makhluk hidup lainnya, di mana diperlukan tempat yang aman dari pemangsaan, demikian pula halnya dengan populasi ikan di laut. Dengan diciptakannya daerah-daerah (zones) yang aman di dalam daerah perlindungan laut dari penangkapan (partial no-take zones), maka diharapkan populasi ikan yang telah mengalami tangkap lebih akan pulih. 5) Penetapan schedule of catch. Kebijakan penetapan jadwal penangkapan ikan dilatarbelakangi oleh banyaknya kendala dalam implementasi kebijakan untuk mengurangi dan mengontrol peningkatan jumlah alat tangkap. Dengan kebijakan ini diharapkan tidak ada yang dikorbankan terutama para nelayan, karena masih bisa melaut. Penjadwalan ini diatur sedemikian rupa, sehingga tingkat produksi effort dan manfaat rente yang diperoleh tetap dalam kondisi yang optimal. 6) Melakukan monitoring, controlling dan law enforcement (penegakkan hukum), kebijakan ini bertujuan agar produksi aktual yang dihasilkan tidak melebihi kapasitas dari produksi optimal yang seharusnya dihasilkan, juga untuk meminimalkan praktek pencurian ikan, hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported catch), penangkapan yang merusak ekosistem (destructive fishing). 7) Kebijakan terakhir sebagai pelengkap dan penyempurna dari kebijakan tersebut di atas adalah kebijakan human development, mengingat manusia adalah pelaku utama dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan. Kebijakan sehebat apa pun atau sebagus apa pun seringkali terlihat mentah di lapangan, tidak memberikan dampak apa-apa sebagaimana tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut, jika tidak didukung sendiri oleh para pelaku utama dari kebijakan tersebut, baik pembuat kebijakan atau pun yang harus melaksanakan kebijakan. Kebijakan ini ditujukan bagi peningkatan kualitas dan profesionalitas para pemegang kebijakan dan pengelola perikanan, juga ditujukan kepada para nelayan dalam bentuk memberikan penyadaran, sosialisasi, pemahaman, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab akan pentingnya pembangunan perikanan yang berkelanjutan bagi kehidupan

110 dikemudian hari, pentingnya memanfaatkan sumberdaya ikan agar memberikan manfaat ekonomi yang optimal secara terus menerus. Selain rekomendasi tersebut di atas, dalam hal pengelolaan perikanan, Pemerintah Kota Balikpapan diharapkan juga mengacu pada kode etik pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF) yang telah dicanangkan oleh badan dunia yang menangani pangan dan pertanian (Food and Agriculture Organization, FAO) pada tahun 1995. Banyak hal penting yang perlu menjadi perhatian dalam mengaplikasikan pengelolaan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab di Perairan Balikpapan sebagaimana terkandung dalam butir-butir isi CCRF, antara lain : 1) Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan, dan hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggung jawab. 2) Negara harus mencegah terjadinya tangkap lebih (overfishing) dan menjaga agar penangkapan sesuai dengan daya lingkungan (carrying capacity). 3) Kebijakan pengelolaan perikanan harus didasarkan pada adanya bukti ilmiah terbaik yang tersedia.

VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1) Tingkat produksi optimal sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan secara berturut-turut adalah 3.724,57 ton per tahun; 5.928,03 ton per tahun; 1.867,23 ton per tahun; 558,85 ton per tahun. 2) Tingkat effort optimal sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan secara berturut-turut adalah sebanyak 2.010 trip per tahun; 1.504 trip per tahun; 1.749 trip per tahun; 537 trip prt tahun. 3) Tingkat CPUE optimal sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan secara berturut-turut adalah sebesar 1.853,02 kg per trip; 3.941,51 kg per trip; 1.067,60 kg per trip; 1.040,69 kg per trip. 4) Rente ekonomi optimal yang bisa diperoleh pada pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan secara berturut-turut adalah mencapai Rp742.749,60 juta per tahun; Rp1.590.491,99 juta per tahun; Rp548.062,86 juta per tahun; Rp50.412,12 juta per tahun. 5) Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri secara berturut-turut sebesar 0.55 dan 0,48 (terdegradasi dan tidak terdepresiasi); 0,45 dan 0,45(tidak terdegradasi dan tidak terdepresiasi); 0,54 dan 0,46 (terdegradasi dan tidak terdepresiasi); 0,46 dan 0,31 (tidak terdegradasi dan tidak terdepresiasi). 6) Jumlah alat tangkap maksimal untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan teri di Perairan Balikpapan secara berturutturut adalah 2.123 dengan perincian 199 unit setingkat payang dan 1.924 unit setingkat jaring insang; 2.078 unit, dengan perincian 128 unit setingkat pancing tonda dan 1.950 unit setingkat jaring insang; 4.404 unit, dengan perincian 272 unit setingkat alat tangkap pancing dan 4.132 unit setingkat alat tangkap jaring insang; 7 unit setingkat bagan. 7) Sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar demersal, dan teri di Perairan Balikpapan telah mengalami biological overfising dan economical overfishing.

112 8) Alternatif kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan demersal di Perairan Balikpapan diantaranya : (1). Membuat regulasi pemanfaatan optimal, yang meliputi produksi optimal, upaya optimal, CPUE optimal; (2). Membuat regulasi tentang rasionalisasi alat tangkap; (3). Penetapan kuota atas produksi; (4). Menciptakan marine protected area; (5). Membuat dan menetapkan schedule of catch; (6). Monitoring, controlling dan law enforcement; (7). Human development. 6.2 Saran 1) Membuat kebijakan-kebijakan yang tepat sebagaimana rekomendasi alternatif kebijakan dari penelitian ini guna terciptanya pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal, sehingga dapat mengurangi dan mencegah terjadinya overfishing, degradasi dan depresiasi dari sumberdaya ikan di Perairan Balikpapan 2) Menerapkan sistem monitoring dan evaluasi serta pendataan yang baik dan sistematis, sehingga tersedia data yang akurat mengenai status pemanfaatan sumberdaya ikan. 3) Pembangunan sistem informasi, peningkatan sarana dan prasarana perikanan dan kelautan di pelabuhan (PPI Manggar) yang menunjang dan berkaitan dengan informasi mengenai stok ikan di laut, fishing ground, musim penangkapan, perkembangan harga dan kerusakan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan- Pencemaran. [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Program Pascasaejana. 371 hal. Aziz KA.1989. Dinamika Populasi Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.Bogor: Institut Pertanian Bogor. 115 hal. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 1998. Indonesia Atlas Sumberdaya Kelautan. Bogor. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 2006. Kalimantan Timur Dalam Angka 2006. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 412 hal. [BPN] Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur. 2000. Ruang Lingkup Penyusunan dan Penyajian Pengembangan Pusat Data Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah. Provinsi Kalimantan Timur. Charles AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. United Kingdom: Blackwell Science Ltd. 370 p Clark CW and JM Conrad. 1987. Natural Resource Economic: Notes and Problem. United States of America: Cambridge University Press. 231 p Endroyono. 2002. Upaya-Upaya Pengontrolan dan Kuota Hasil Tangkapan dan Aspek Ekonomi Hasil Tangkapan. Bahan Pengajaran (tidak dipublikasikan) Bogor: Institut Pertanian Bogor. 37 hal. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 233 hal. [Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Timur. 1996-2006. Laporan Statistik Perikanan Tangkap. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. 1996-2006 [Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Madya Balikpapan. 1996-2006. Laporan Statistik Perikanan dan Kelautan Kota Balikpapan. Pemerintah Kota Madya Balikpapan. 1996-2006

114 [FAO] Food and Agricultural Organization. 1995. Tatalaksana untuk Perikanan yang Bertanggung Jawab. Tim Deptan, Penerjemah; Jakarta; FAO, Deptan, JICA. Terjemahan dari: Code of Conduct for Resposible Fisheries. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 hal.. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis, dan Gagasan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 185 hal. Fauzi A dan S Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal Fischer W and PJP. Whiteahead (eds), 1974. FAO Species Identification Sheet for Fishery Purpose, Eastern Indian Ocean (Fishing Area 57) and Western Central Pacific (Fishing Area 71) Rome. FAO, Volume 1. (unpaged). Gullan JA.1983. Fish Stock Assesment: Manual of Basic Method. New York: Wiley and Sons Inter-sience. Volume 1, FAO/Wileys Series on Food and Agricultural. 233 p Hutomo M, Burhanuddin, A Djamali dan S Martosewojo. 1987. Sumberdaya Ikan Teri di Indonesia. Seri Sumberdaya Alam, 137. Jakarta. 80 Hal. Laevastu T and ML Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Book Ltd. Farnham. 201 p Lawson RM. 1984 Economics of Fisheries Development. London: Frances Pinter (Publisher). 281 hal. Mukhsin I. 2003. Pengelolaan sumberdaya Hayati Pesisir dan Laut. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 80 hal. Nikijuluw VPH. 2001. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo. Nyibakken JW. 1989. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 488 hal. Parsons W. 2001. Public Policy: An Introduction to the theory and Practice of Policy Analysis. (Terjemahan). Edward Elgar Publishing, Ltd. Pindyick RS and DL Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic Forecast. Singapore: McGraw-hill Book Co-Singapore. Fourth Edition. 634 p.

115 Randall A. 1987. Resource Economics: An Economic Approach to Natural Resource and Environmental Policy. Canada: John Wiley and Sons, Inc. Second Edition. 434 p Saanin H. 1994. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bandung: Bina Cipta. 85 hal. Satria A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Humaniora Utama Press. Bandung. 153 hal. [Sekdakot] Sekretaris Desa Kota Balikpapan. 2000. Ruang Lingkup Penyusunan dan Penyajian Pengembangan Pusat Data Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (berdasarkan penjabaran UU No 22 Tahun 1999 dan UU 4799) Bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur. Pemerintah Daerah Balikpapan. Simanjuntak S. (2000). Platform Riset Ekonomi Sumberdaya Perikanan. Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan. DKP. Simatupang P. 2001. Konsepsi Teoritis Analisi Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Laporan Forum Sosial Ekonomi Kelautan I. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Singarimbun M dan S Effendi. 2000. Metode Peneltian Survey. Jakarta : [LP3ES] Lembaga Penyelidikan, Penelitian Pengembangan Ekonomi dan Sosial. 336 hal. Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hal. Soemarno MS. 1992. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Lingkungan Hidup. Malang: Pusat Penerbitan Institut Pertanian Malang Sparre P dan Venema SC, 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1:manual. Kerjasama Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Badan Penelitian Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: FAO dan Deptan. Terjemahan dari: Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. 438 hal. Suyasa IN. 2007. Keberlanjutan dan Produktivitas Perikanan Pelagis Kecil yang Berbasis di Pantai Utara Jawa. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 380 hal

116 Wahyudin Y. (2005). Alokasi Optimum Sumberdaya Perikanan di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 166 hal. Widodo J. 1980. Nilai Hasil Tangkapan Ikan Demersal, Hubungannya dengan Beberapa Faktor Abiotik di Laut Jawa. Buletin Penelitian Perikanan. Jakarta. Hal 7-26.

L A M P I R A N

Lampiran 1 Peta Wilayah Administrasi Kota Balikpapan PPI Manggar Balikpapan 118

Lampiran 2 Peta Tata Ruang Kota Balikpapan 119

Lampiran 3 Peta Tata Ruang Laut Kota Balikpapan PPI Manggar Balikpapan 120