PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI PO MELALUI PENYEBARAN PEJANTAN UNGGUL HASIL UNIT PENGELOLA BIBIT UNGGUL (UPBU)

PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI PO MELALUI PENYEBARAN PEJANTAN UNGGUL HASIL UNIT PENGELOLA BIBIT UNGGUL (UPBU) (The Genetic Improvement of Ongole Cattle by Distributing Bulls from the Breeding Management Unit) AINUR RASYID, L. AFFANDHY dan W.C. PRATIWI Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan, Grati, Pasuruan 67184 ABSTRACT The improvement of domestic beef production in the acceleration programme of beef self-sufficiency 2010 is to increase productivity of breeders and feedlotters by providing the bulls. The Ongole (PO) cattle of the local breed widely distributed with the highest population in Java, particular East Java. It is suspected that there is declining in the population and genetic quality. An attempt is undertaken to improve genetic quality by using the bulls from the Breeding Management Unit (BMU). The study was undertaken at the Research Station of Beef Cattle, Grati, Pasuruan for 3 years during 2006 to 2008. This study was using 30 heads female and 8 bulls of PO and kept in an open pen with a composition of 1 ( ) : 8 12 ( ). They were fed on a diet of 3% bodyweight containing 60% fodders and 40% supplement. The parameters included performance of calves, cows and bulls, and breeding value (BV). The results show that calving rate is 153% or 51%per year of cow population and neonatal mortality rate is 14% (4.3% per year). The average calf weights were 23.3 ± 2.8 kg at one day old; 108.0 ± 28.4 kg at 205 days old; 125.9 ± 22.8kg at 12 months old; 183.8 ± 34.0 kg at 18 months old and 221.3 ± 24.4 kg at 24 months old. The performance of bulls at I 3 I 4 consisted the average body weight (585.4 ± 78.6 kg) and height (143.4 ± 6.4 cm). The BV of young cattle selected as bulls were Nos. 7379; 7495 and 7307 with a total BV of 518 536 (calving weight, 12 m.o and 18 m.o). The performance of bull as a source of frozen semen for Artificial Insemination Institute (AI Institute) South Kalimantan is no. 7452, age I 3, body weight 610 kg and height 150 cm. In conclusion that population and genetic quality of PO cattle at UPBU should be improved continually by selection and limited open nucleus breeding scheme (ONBS). A supervision area of PO breeding is required for traditional farms. Key Words: UPBU, Beef Cattle, Ongole, Genetic ABSTRAK Peningkatkan produksi daging dalam negeri untuk mendukung program percepatan swasembada daging sapi (PPSDS) tahun 2010, adalah meningkatkan produktivitas bibit dan bakalan sapi potong lokal melalui penyediaan pejantan unggul. Sapi PO merupakan salah satu sapi lokal yang tersebar luas dengan populasi terbesar di pulau Jawa terutama di Jawa Timur, mengalami penurunan populasi dan mutu genetiknya. Salah satu upaya peningkatan mutu genetik sapi PO adalah pemanfaatan pejantan unggul hasil unit pengelolaan bibit unggul (UPBU) sapi potong sebagai sumber semen atau sebagai pejantan pemacek. Penelitian dilakukan selama 3 tahun (2006 2008) dikandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong, Grati Pasuruan menggunakan bibit sumber sapi PO unggul sebanyak 30 ekor induk/calon induk dan 8 ekor pejantan. Bibit unggul sapi potong PO induk ditempatkan pada kandang kelompok bersama dengan seekor pejantan yang telah ditentukan supaya terjadi perkawinan dan menjadi bunting dengan perbandingan jantan betina = 1 : 8 12 ekor. Ransum pakan diberikan sebanyak 3% dari bobot badan ternak dengan perbandingan hijauan sebesar 60% dan pakan penguat sebesar 40%. Parameter yang diukur meliputi performans pedet, induk dan pejantan; serta nilai Breeding Value (BV). Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah kelahiran sebesar 153% atau sebesar 51% /tahun dari populasi induk, kematian pedet sebesar 14% (4,3%/tahun). Rata-rata bobot lahir sebesar 23,3 ± 2,8 kg, bobot sapih (205 hari) sebesar 108,0 ± 28,4 kg dan bobot badan umur 12 bulan sebesar 125,9 ± 22,8 kg, umur 18 dan 24 bulan masing-masing 183,8 ± 34,0 dan 221,3 ± 24,4 kg. Performans ratarata tetua bibit sumber sapi pejantan umur I 3 I 4 dengan rata-rata bobot badan sebesar 585,4 ± 78,6 kg dan tinggi badan 143,4 ± 6,4 cm. Nilai BV sapi muda terpilih sebagai calon pejantan sebanyak 3 ekor yaitu nomor 7379, 7495 dan 7307 dengan total BV bobot lahir, sapih, umur 12 dan 18 bulan sebesar 518 536. 60

Performans pejantan unggul sebagai sumber semen beku di BIB Kalimantan Selatan adalah nomor 7452 umur I 3 dengan bobot badan 610 kg dan tinggi badan sebesar 150 cm. Kesimpulan bahwa populasi dan mutu genetik bibit sumber sapi PO pada UPBU terus ditingkatkan dengan seleksi dan pola open nucleus breeding scheme (ONBS) secara terbatas dari kegiatan penelitian pemuliaan. Dibutuhkan pembentukan wilayah binaan pembibitan sapi PO di peternakan rakyat. Kata Kunci: UPBU Sapi Potong, Peranakan Ongole, Mutu Genetik PENDAHULUAN Sapi peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sumberdaya genetik (SDG) utama sapi potong lokal yang perlu dilestarikan dan dikembangkan keunggulannya, untuk kepentingan pemuliaan ternak yaitu membentuk bibit unggul sesuai dengan agroekosistemnya (HARDJOSUBROTO, 2004). Sapi PO tersebar luas hampir ke seluruh wilayah sentra sapi potong, dengan populasi terbesar terdapat di pulau Jawa terutama di Jawa Timur (ASTUTI, 2004). Berdasarkan data tahun 2002 menunjukan bahwa populasi sapi potong terbesar di Indonesia berada di Jawa Timur (28,9%); dan dari sejumlah populasi tersebut sebesar 46,4% adalah sapi potong lokal. Populasi sapi lokal di Jawa Timur sebesar 33,5% adalah sapi Peranakan Ongole (ANONIMUS, 2003). Eksistensi dan populasi sapi PO saat ini semakin rendah karena keberhasilan persilangan dengan Bos taurus (Limousin dan Simmental). Hasil persilangan antara sapi PO dengan Bos taurus banyak disenangi dan dikembangkan peternak karena mempunyai produksi dan nilai jual yang lebih tinggi dibanding dengan sapi PO (SIREGAR et al., 2000; THALIB, 1991). Kondisi ini menyebabkan preferensi peternak terhadap straw sapi PO menjadi rendah. AFFANDHY et al. (2003) melaporkan bahwa penggunaan straw sapi PO pada program IB di wilayah (dataran tinggi dan rendah) Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah bahwa adalah rendah (8 17%), apabila dibandingkan dengan straw sapi Limousin (42 47%) maupun Simmental (33 51%). Pengembangan sapi PO sebagian besar berada di wilayah lahan kering yang merupakan daera marjinal. Daya beli peternak untuk straw unggul yang rendah dan keterbatasan pejantan pemacek yang bermutu baik menyebabkan terjadinya degradasi mutu genetik dan produktivitas sapi PO di peternakan rakyat. Disisi lain penggantian replacement stock induk sapi PO dengan hasil turunannya (persilangannya) akan mempercepat terjadinya penurunan populasinya. Salah satu upaya peningkatan mutu genetik sapi PO pada kondisi peternakan rakyat adalah penyebaran pejantan unggul sapi PO hasil screning di unit pengelolaan bibit unggul (UPBU) sapi potong sebagai sumber semen atau sebagai pejantan pemacek. Loka penelitian sapi potong telah menghasilkan bibit unggul sapi PO hasil kegiatan pemuliaan sebagai bibit sumber penghasil pejantan unggul. Populasi dan produktivitasnya terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Dalam makalah ini diuraikan pengelolaan bibit sumber sapi PO dan upaya peningkatan mutu genetik sapi potong lokal di peternakan rakyat. MATERI DAN METODE Kegiatan ini dilakukan di kandang percobaan (off farm research ) Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan selama 3 tahun (2006 2008) dengan menggunakan bibit unggul sapi PO hasil screening sebanyak 30 ekor induk dan 8 ekor pejantan. Kegiatan ini meliputi pengembangbiakan bibit unggul, seleksi dan penyebaran pada stakeholder. Pengembangbiakan dilakukan dengan menggunakan kandang kelompok kawin, dengan menempatkan seekor pejantan unggul bersama calon induk/induk supaya terjadi perkawinan dan menjadi bunting dengan rasio 1 pejantan melayani 8 12 betina. Sapi induk yang telah bunting 7 8 bulan dipindah ke kandang individu (beranak) sampai dengan menyusui pedetnya selama 2 bulan. Selanjutnya dari kandang individu sapi induk beserta pedetnya kembali dipindahkan ke kandang kelompok kedua yang sapi pejantannya berbeda dengan sebelumnya, agar segera kembali terjadi kebuntingan (Gambar 1). Penyapihan pedet segera dilakukan umur 61

Kandang kelompok I Kandang individu (kandang beranak) Kandang kelompok II Induk tidak bunting s/d bunting 7 8 bulan Induk bunting 7 8 bulan s/d laktasi 2 bulan Induk laktasi 2 bulan s/d bunting 7 8 bulan Gambar 1. Skema model pengaturan perkandangan sapi induk sekitar 7 bulan, untuk dipelihara dikandang pembesaran. Pemberian bahan kering ransum untuk sapi pejantan di kandang individu dan sapi induk bibit di kandang kelompok sebanyak 3% dari bobot badan ternak. Perbandingan hijauan dan penguat untuk sapi induk sebanyak 60 : 40%. Pakan hijauan yang diberikan berupa rumput Gajah dan jerami padi secara ad-libitum terkontrol. Pakan penguat menggunakan nutrisi standar PK ± 12% dan TDN ± 65%, yang disusun dari bahan limbah industri pengolahan pertanian seperti tumpi jagung, kulit kopi/tepung gaplek, dedak padi, mineral dll. Bibit sumber dan hasil turunannya harus bebas penyakit strategis, dan untuk calon pejantan terpilih dilakukan uji pemeriksaan penyakit strategis sebelum disebarkan pada pengguna. Seleksi dilakukan berdasarkan nilai pemuliaan (BV = breeding value). Pada sapi pejantan bibit sumber, BV didasarkan pada performans bobot lahir anak yang dihasilkannya dengan rumus: BV = h 2 (n) (P 1 P 2 ) + P 2 BV pada pedet calon pejantan didasarkan pada performans saudara-saudaranya, dengan rumus: BV = h 2 (f) (P 1 P 2 )+P 2 dimana: h 2 (n) = angka pewarisan berdasar performans anak- anaknya h 2 (f) = angka pewarisan berdasar performans saudara-saudaranya P 1 = rerata performans individu = rerata performans populasi P 2 Sumber: HARDJOSUBROTO (1994) Seleksi calon pejantan selanjutnya berdasarkan nilai kumulatif dari beberapa parameter dengan persamaan: Y = X 1 + X 2 + X 3 + X 4 dimana: Y : Nilai pemuliaan individu XI : BV parameter bobot lahir X2 : BV parameter robot sapih X3 : BV parameter bobot 12 bulan X4 : BV parameter bobot 18 bulan Parameter diukur meliputi performans bibit sumber induk: bobot badan dan skor kondisi tubuh saat melahirkan, menyapih dan bunting; performans pejantan, calon pejantan terpilih dan hasil turunannya meliputi: bobot lahir; bobot badan, tinggi badan, panjang badan dan lingkar dada saat sapih, umur 12, 18 dan 24 bulan. Analisis data menggunakan nilai ratarata dan disajikan secara diskriptif. HASILDAN PEMBAHASAN Tugas dan fungsi UPBU Unit pengelolaan bibit sumber/unggul (UPBS/UPBU) merupakan suatu kelembagaan dibawah koordinasi UPT yang mempunyai tugas dan fungsi yaitu mengelola rumpun/galur/strain ternak, varitas unggul TPT, dan master seed vaksin hasil penelitian untuk didistribusikan (dikomersialkan) kepada kelembagaan penangkar (pemerintah atau swasta) dengan menerapkan sistem jaminan mutu dan perlindungan HAKI dalam komersialisasi bibit/benih (ANONIMUS, 2007). UPBU sapi potong telah mempunyai bibit unggul sapi PO hasil penelitian pemuliaan sebagai bibit sumber penghasil pejantan unggul sapi PO, dalam rangka peningkatan populasi dan mutu genetik sapi PO di peternakan rakyat. Dalam hal ini UPBU berfungsi memproduksi bibit unggul melalui pengembangbiakan, seleksi dan melakukan penyebaran terhadap produk yang dihasilkan secara komersial atau 62

program kemitraan. Disamping itu UPBU juga berfungsi sebagai stasiun uji progeny test pejantan unggul. Untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik bibit sumber sapi PO pada UPBU, dilakukan seleksi dan culling terhadap hasil turunannya serta dengan mengadopsi pola open nucleus breeding scheme (ONBS) secara terbatas dari hasil kegiatan penelitian pemuliaan. Seleksi terhadap calon pejantan dilakukan sebesar 10% dari hasil keturunan pedet jantan, dan untuk pedet betina digunakan sebagai replacement stock sebesar 90% dari populasi pedet betina. Dalam masa mendatang UPBU selain menghasilkan pejantan unggul sapi PO, diharapkan menghasilkan bibit unggul sapi Lolit, Grati, yang mempunyai karakteristik antara lain pertumbuhan pra sapih sebesar 0,5 kg/ekor/hari dengan menggunakan pakan murah (lokal) atau LEISA serta pola pemeliharaan model Grati. Peningkatan mutu genetik Adanya isu penurunan populasi dan mutu genetik sapi potong lokal, akibat pengurasan sapi bibit yang semata mata untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat tanpa diikuti dengan program pembibitan yang memadai (SOETANTO, 2008), menjadi pembahasan para pakar peternakan. Sapi PO merupakan hasil pemuliaan melalui sistem persilangan dengan grading up antara sapi Jawa dengan sapi Sumba Ongole (SO) yang tersebar luas di pulau Jawa khususnya di Jawa Timur, populasinya menurun sangat drastis (ASTUTI, 2004). Persilangan antara sapi PO dengan Bos taurus banyak disenangi peternak, dan hasil turunannya sebagian dikembangkan sebagai sapi induk dalam pembibitan sapi potong. Kondisi ini menyebabkan penggantian replacement stok untuk sapi lokal menjadi terhambat dan dikhawatirkan sapi persilangan akan menggantikan sapi betina dalam jangka panjang (PRAHARANI, 2008). Upaya peningkatan mutu genetik ternak dilakukan melalui pengembangbiakan ternak yang memiliki potensi genetik yang baik dengan metode seleksi, perkawinan, pemurnian dan atau kombinasi ketiganya (ANONIMUS, 2008). Sedangkan untuk sapi potong lokal yang masih murni (pemurnian) hanya dapat dilakukan dengan cara seleksi dan pembentukan breeding stock (TALIB, 2001). Pembentukan breeding stock sebagai kelompok penghasil bibit atau village breeding center (VBC) dengan program breeding yang tepat dan sederhana di wilayah pedesaan adalah pembinaan kelembagaan, recording dan seleksi (MARTOJO, 2003). Breeding stock merupakan kelompok pengembangan sekaligus kelompok pelestarian sapi murni yang berbasis peternakan rakyat dan tergabung dalam kelompok pembibitan sapi potong. Oleh karena itu wilayah pengembangan dan pelestarian sapi PO perlu ditetapkan melalui kebijakan pemerintah, kemurniannya dipertahankan dan dilakukan peningkatan potensi genetiknya (ASTUTI, 2004). Sedangkan seleksi merupakan kegiatan memilih tetua untuk menghasilkan keturunan melalui pengujian berdasarkan kreteria dan metode tertentu. Seleksi dalam populasi sapi PO terutama dilakukan untuk memperoleh pejantan unggul yang akan digunakan dalam peningkatan mutu genetik pada peternakan rakyat dan pada kelompok penghasil bibit (wilayah VBC). Pejantan unggul sapi PO hasil UPBU-Loka Penelitian Sapi Potong telah dimanfaatkan sebagai sumber semen beku di Balai Inseminasi Buatan (BIB) Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan dalam rangka meningkatkan genetik sapi potong lokal (PO) khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu pejantan nomor 7452 dengan performans bobot badan 610 kg dan tinggi badan sebesar 150 cm (Tabel 1). Skema pengembangan dan pemanfaatan pejantan unggul sapi PO hasil UPBU sebagai sumber semen beku atau pejantan pemacek (Gambar 2). Performans tetua bibit sumber Performans bibit unggul sapi PO yang digunakan sebagai bibit sumber (tetua) penghasil bibit unggul menunjukan pejantan unggul yang digunakan umur I3 I4 dengan rata-rata bobot badan sebesar 585,4 ± 78,6 kg dan tinggi badan sebesar 143,4 ± 6,4 cm (Tabel 1). Standar pejantan sapi PO di BBIB Singosari Malang, yaitu pada umur I 2 tinggi badan sebesar 145 cm dan bobot badan 450 kg. Hasil pengamatan terhadap bibit unggul sapi induk berdasarkan kondisi fisiologis 63

Penelitian pemuliaa UPBU sapi potong Loka penelitian sapi potong Pejantan unggul Semen beku BIB/BIBD/BPTU Pejantan pemacek Kelompok VBC Gambar 2. Skema peningkatan mutu genetic sapi PO menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan saat melahirkan sebesar 319,8 ± 32,4 kg, saat bunting 3 4 bulan sebesar 337 ± 38,3 dan saat sapih yaitu 312,0 ± 41,1 kg (Tabel 2). Pengamatan kebuntingan sapi induk dilakukan setiap 2 3 bulan melalui palpasi rectal. Kinerja reproduksi bibit unggul sapi induk yang ditunjukkan oleh kejadian jarak beranak menunjukan bahwa sebanyak 9 ekor induk melahirkan anak yang kedua dengan jarak beranak rata-rata sebesar 15,07 ± 2,2 bulan, Sedangkan di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah) jarak beranak dilaporkan sebesar 19,4 ± 3,4 bulan (ARIFIN dan RIYANTO, 2001). Performans keturunan bibit sumber Hasil perkembangan populasi bibit unggul sapi PO pada UPBU menunjukan bahwa dari 30 ekor induk atau calon induk selama 3 tahun (2006 2008) menghasilkan pedet sebanyak 46 ekor (153%) atau peningkatan sebesar 51% pertahun (Tabel 2). Sedangkan jumlah kematian pedet sebanyak 6 ekor (13%) atau sebesar 4,3% pertahun. Kematian pedet disebabkan karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan (5 ekor) sedangkan satu ekor pedet mati setelah lahir sehubungan dengan pedet terlambat mendapatkan air susu colostrum. Performans pedet hasil keturunan bibit unggul menunjukkan bahwa rata-rata bobot lahir sebesar 23,3 ± 2,8 kg, bobot sapih (205 hari) sebesar 108,0 ± 28,4 kg, bobot badan umur 12 bulan sebesar 125,9 ± 22,8 kg, bobot umur 18 dan 24 bulan masing-masing 183,8 ± 34,0 dan 221,3 ± 24,4 kg (Tabel 3). Hasil keturunan bibit sumber sapi jantan yang mempunyai nilai pemuliaan (breeding value) terpilih sebagai calon pejantan menunjukan bahwa sebanyak 3 ekor (7495, Tabel 1. Performans bobot badan dan ukuran tubuh pejantan unggul sapi PO No. sapi Umur (PI) BB (kg) TB (cm) PB (cm) LD (cm) Keterangan 7453 I4 560 147 149 176 9770 I3 510 135 143 173 7414 I3 605 142 156 188 7559 I4 490 141 140 188 7374 I4 673 153.5 173 210 7452 I3 610 150 163 187 BIB Kalsel 7488 I4 525 139 155 186 7593 I4 710 140.5 170 210 Rata-rata I3 I4 585,4 143,4 156,1 189,8 Standar deviasi 78,6 6,4 12,0 13,7 PI: Permanen incisor; BB: Bobot badan; TB: Tinggi badan, PB: Panjang badan; LD: Lingkar dada 64

Tabel 2. Performans produksi dan reproduksi bibit unggul sapi induk tahun 2008 Uraian Jumlah (ekor) Rata-rata Kisaran Minimal Maksimal Bobot induk Saat melahirkan (kg) 12 319,8 ± 32,4 258 384 Saat bunting (kg) 11 337,3 ± 38,8 325 400 Saat sapih 15 312,0 ± 41,1 282 372 Skor kondisi badan (sapih) 15 5,7 ± 0,31 5,0 6,0 Jarak beranak (bulan) 9 15,07 ± 2,2 13,6 17,7 Tabel 3. Rata-rata bobot badan dan ukuran tubuh keturunan bibit unggul sapi PO Uraian Jumlah (ekor) BB (kg) Ukuran badan (cm) TB PB LD TP Lahir 44 23,3 ± 2,8 70,3± 15,8-53,8 ± 13,3 74,2 ± 16,8 Sapih (205 hari) 22 108,0 ±28,4 99,8 ± 2,7 92,7 ± 3,9 107,2 ± 6,0 104,4 ± 3,2 Umur 12 bulan 15 125,9 ± 22,8 102,0 ± 5,7 96,9 ± 7,8 119,0 ± 6,3 105,9 ± 8,4 Umur 18 bulan 15 183,8 ± 34,0 110,3 ± 6,3 108,7 ± 6,8 133,6 ± 7,8 116,0 ± 6,4 Umur 24 bulan 2 221,3 ± 24,4 118 ± 1,4 112,3 ± 8,1 143,6 ± 2,1 122,0 ± 2,8 7307 dan 7379) dengan total nilai BV berkisar antara 518 536. Sedangkan total rata-rata kelompok nilai BV adalah sebesar 512,0. Nilai BV ketiga calon pejantan terpilih untuk variabel bobot lahir sebesar 23,68 24,0; bobot sapih 131,0 140,2; dan bobot umur 18 bulan 216,4 248,9. Dari sebanyak 6 ekor pejantan unggul yang digunakan sebagai tetua (Tabel 1) menunjukkan bahwa nilai biak atau breeding value (BV) pejantan berdasarkan bobot lahir anak turunannya menunjukkan bahwa ranking I adalah pejantan nomor 7593 dengan nilai BV sebesar 24,32; dan ranking II adalah pejantan nomor 7414 dengan BV sebesar 24,10. KESIMPULAN 1. Unit pengelolaan bibit unggul (UPBU) sapi potong merupakan suatu kelembagaan dibawah Loka Penelitian Sapi Potong, yang mempunyai tugas dan fungsi mengembangbiakan bibit sumber sapi PO untuk menghasilkan pejantan unggul dalam rangka peningkatan mutu genetik sapi PO dipeternakan rakyat. 2. Populasi dan mutu genetik bibit sumber sapi PO dan hasil turunannya terus ditingkatkan dengan metode seleksi dan mengadopsi pola open nucleus breeding scheme (ONBS) secara terbatas dari kegiatan penelitian pemuliaan. 3. Penurunan populasi dan mutu genetik sapi PO, dibutuhkan pembinaan wilayah pengembangan sapi PO (VBC), kemurinaannya dipertahankan dan ditingkatkan potensi genetiknya. DAFTAR PUSTAKA ARIFIN, M. dan E. RIYANTO. 2001. Produktivitas induk sapi Peranakan Ongole pada peternakan rakyat: Studi kasus di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. J. Pengembangan Peternakan Tropis. hlm. 118 123. ANONIMUS. 2003. Model Program Pembibitan Silang. Dinas Peternakan Tk I Provinsi Jawa Timur, Surabaya. AFFANDHY, L., P. SITUMORANG, P.W. PRIHANDINI, D.B. WIJONO dan A. Rasyid. 2003. Performans reproduksi dan oengelolaan sapi potong induk pada kondisi peternakan rakyat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29 30 Sept 2003. Pulitbang Peternakan, Bogor. hlm. 37 41. 65

ASTUTI. 2004. Potensi dan keragaan sumberdaya genetik sapi Peranakan Ongole (PO). Wartazoa 14(3): 98 106. ANONIMUS. 2007. Pedoman Umum Kelembagaan Unit Pengelolaan Benih Sumber dan Bibit Unggul. Puslitbangnak, Bogor. ANONIMUS. 2008. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54/Permentan/0T.140/10/2006. tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice). http://www.disnak. jabar.go.id (3 Juni 2009). HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. HARDJOSUBROTO. 2004. Alternatif kebijakan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya genetik sapi potong lokal dalam sistem perbibitan ternak nasional. Wartazoa 14(3): 93 97. MARTOJO, H. 2003. A simple selection program for smallholder Bali cattle farmers, Proc. of Workshop 4 7 February 2002. Bali, Indonesia. ACIAR. No 110. Canberra. PRAHARANI, L. 2008. Program crossbreeding sapi potong: Tinjauan etika pelestarian plasma nutfah (abstrak). http://www.kr.co.id SIREGAR, A.R., J. BESTARI, R.H. MATONDANG, Y. SANI dan H. PANJAITAN. 2000. Penentuan breeding sapi potong program IB di Propinsi Sumatera Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 19 Oktober 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 113 121. SOETANTO, H. 2008. Strategi Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya dan Teknologi Tepat Guna Pertanian untuk Meningkatkan Pendapatan Peternak Sapi Potong. http://www.ntb.litbang. deptan.go.id TALIB, C. dan A.R. SIREGAR. 1991. Peranan pemuliaan ternak potong di Indonesia. Wartazoa 2(1 2). TALIB, C. 2001. Pengembangan sistem perbibitan sapi potong nasional. Wartazoa 11(1): 10 19. DISKUSI Pertanyaan: Bagaimana cara mempertahankan bibit murni PO di peternakan rakyat? Jawaban: Akan diusahakan introduksi sapi jantan unggul dari UPBU. 66