PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PO INDUK PADA POLA PERKAWINAN BERBEDA DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT: STUDI KASUS DI KABUPATEN BLORA DAN PASURUAN

Transkripsi

1 PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PO INDUK PADA POLA PERKAWINAN BERBEDA DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT: STUDI KASUS DI KABUPATEN BLORA DAN PASURUAN (The Reproductive Performance of Peranakan Ongole Cow at Different Mating System in Smallholder Farms: Case study at Blora and Pasuruan Districts) LUKMAN AFFANDHY 1, P. SITUMORANG 2, W.C. PRATIWI 1 dan D. PAMUNGKAS 1 1 Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor ABSTRACT Mating system would affect the conception rate and calving interval of beef cattle.the aim of this study was to examine mating system in cow calf operation at smallholder farms. Observation was done on three groups of mating system such as: (A) = AI by frozen semen; (B) = AI on chilled semen and (C) = natural mating; each of group consisted of cows. The research was conducted in six months (July December, 2005). The parameters were: service per conception (S/C), Pregnancy rate and mating cost. Detection pregnant cows was conducted two months after mating through rectal palpation. The results at Blora shows that S/C of (B) was lower 1,0 ± 0,2 (P < 0,05) than that of (A) (1,6 ± 0,8) or (C) (1,4 ± 0.9), but the pregnancy rate and insemination cost were better in natural mating which were 86,5% and Rp /service (natural) than that of 66,1% and Rp /service (chilled semen) and 56,6% and Rp /service (frozen semen). However service observation on Pasuruan was differ among mating systems, the mating cost of natural mating was cheaper (Rp /service) than that of chilled semen (Rp /service) and frozen semen (Rp /service). It can be concluded that mating system by chilled semen at Blora was effective to support AI program because I reduced the S/C and mating cost. Key Words: Cow, Mating System, Reproductive Performance ABSTRAK Pola perkawinan yang kurang tepat pada usaha sapi potong akan berdampak pada rendahnya angka konsepsi dan panjangnya jarak beranak. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran pola perkawinan sapi potong dalam cow-calf operation di kondisi peternakan rakyat. Pengamatan terhadap sapi PO induk milik peternak di Kabupaten Pasuruan dan Blora; dilakukan terhadap tiga kelompok pola perkawinan, yaitu; (A) Induk di-inseminasi semen beku; (B) induk di-inseminasi semen cair dan (C) induk dikawin alam). Masing-masing kelompok terdiri atas ekor induk. Penelitian dilakukan selama enam bulan (Juli Desember 2005). yang diukur adalah service per conception (S/C), persentase kebuntingan dan biaya perkawinan. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan setelah dua bulan inseminasi melalui palpasi rektal. Hasil pengamatan di Blora menunjukkan bahwa S/C pada IB semen cair tampak lebih rendah 1,0 ± 0,2 (P < 0,05) dibandingkan dengan kawin alam (1,4 ± 0,9) dan semen beku (1,6 ± 0,8), namun angka kebuntingan dan biaya perkawinan tampak paling efisien terdapat pada pola kawin alam, yakni 86,5% dan Rp /kawin (kawin alam) daripada IB cair (66,1% dan Rp /kawin) dan IB beku (56,6% dan Rp /kawin). Hasil pengamatan di Pasuruan menunjukan bahwa S/C dan angka kebuntingannya tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05) pada masing-masing pola perkawinan. Namun biaya kawin alam tampak paling murah (Rp /kawin) dibandingkan dengan IB beku (Rp /kawin) dan IB cair (Rp /kawin). Disimpulkan bahwa pola perkawinan dengan IB semen cair C di Blora cukup efektif dalam mendukung program IB karena mampu menurunkan S/C dan biaya kawin. Kata Kunci: Sapi Induk, Pola Perkawinan, Performans Reproduksi 31

2 PENDAHULUAN Pola perkawinan yang kurang tepat pada usaha sapi potong akan berdampak pada rendahnya angka konsepsi dan panjangnya jarak beranak, khususnya pada peternakan rakyat. Oleh karena itu diperlukan teknologi alternatif untuk mengatasi permasalahan reproduksi tersebut, diantaranya perbaikan sistem perkawinan yang menyangkut sumber bibit atau pejantan yang berkualitas sehingga akan berdampak terhadap peningkatan efisiensi reproduksi. Kondisi sapi potong di peternakan rakyat masih mengalami beberapa permasalahan, yaitu tingginya kawin berulang baik melalui kawin alam atau IB (AFFANDHY et al., 2005) dan angka kebuntingan 60%, dan mahalnya biaya operasional (YUSRAN et al., 2001; AFFANDHY et al., 2003; AFFANDHY et al., 2004) sehingga menyebabkan panjangnya calving interval. Demikian pula secara nasional pelaksanaan IB sejak tahun 1999 hingga 2001 semakin menurun dari 60,8% menjadi 34,9% (DITJEN. PETERNAKAN, 2002). Tingkat kebuntingan sapi dengan menggunakan teknologi inseminasi buatan (IB) berkisar antara 50 60% (SALEH dan TAGAMA, 1993). Selain itu, tingkat kebuntingan juga dipengaruhi oleh faktor nutrisi dan kualitas semen pejantan (ANONIMUS, 1995; HAFEZ, 2000). Kualitas semen pejantan yang digunakan sebagai sumber bibit juga dapat mempengaruhi keberhasilan kebuntingan terutama yang berhubungan dengan umur pejantan dan keabnormalan spermatozoa (JOHNSON et al., 1998; PAUL, 1999). WARDHANI et al. (1993) menyatakan perbaikan pakan dengan penambahan konsentrat 1,5% BB pada sapi Madura induk dapat meningkatkan kondisi badan dan kemampuan reproduksi. Uji-coba semen cair pada induk sapi peranakan Ongole milik peternak menunjukkan > 70% positif bunting dan mendapat respons positif petani terutama di wilayah yang kurang terjangkau IB (AFFANDHY et al., 2004). Demikian pula IB pada induk sapi potong rakyat menggunakan semen cair dengan suplementasi vitamin E menunjukkan angka konsepsi hingga mencapai 69,6% dan nilai S/C < 2 (AFFANDHY et al., 2005). Hasil kebuntingan yang lebih tinggi didapat pula pada penggunaan semen dingin (50%) daripada semen beku (41,7%) (SITUMORANG, 2002). Informasi penggunaan pejantan alam pada usaha peternakan rakyat di kabupaten Pasuruan menunjukkan S/C dan biaya perkawinan sebesar 2,2 dan Rp /kawin (AFFANDHY et al., 2005). Survei pada sapi potong induk milik peternak di Jawa Timur dan Jawa Tengah diperoleh S/C pada kawin alam sebesar 1,6 ± 0,3 dan 1,4 ± 0,6 dan S/C dengan straw beku sebesar 1,7 ± 0,3 dan 2,0 ± 1,0 (LAPORAN LOLITSAPO, 2005). Dengan latar belakang tersebut terutama mahalmya biaya operasional perkawinan dan rendahnya angka konsepsi induk sapi potong pada usaha peternakan rakyat, maka perlu penelitian tentang pola perkawinan di tingkat peternak dengan tujuan untuk memdapatkan performans reproduksi induk dan gambaran pola perkawinan sapi potong dalam cow-calf operation yang efisien. MATERI DAN METODE Kegiatan penelitian ini dilaksanakan melalui kerjasama dengan dinas terkait, yaitu UPT Dinas Pertanian/Peternakan Kabupaten Blora (JAWA TENGAH) dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) dengan melakukan pengamatan pendahuluan terhadap kualitas semen sebagai sumber bibit pejantan sapi potong sebelum diinseminasikan terhadap induk sapi potong milik peternak di masingmasing lokasi penelitian. Sumber bibit tersebut terdiri atas straw semen cair, straw semen beku dan pejantan alami. Pengamatan kualitas semen pada ketiga sumber bibit meliputi motilitas, ph dan viabilitas (spermatozoa hidup, motilitas dan abnormalitas). Pengamatan kualitas semen pejantan alam yang digunakan peternak sebagai pemacek, yakni dengan cara melakukan penampungan semen segar menggunakan vagina buatan dan langsung dievaluasi semen segarnya. Sedangkan evaluasi terhadap kualitas straw semen beku dan cair dilakukan di laboratorium BIBD Blora dan laboratorium reproduksi Loka Penelitian Sapi Potong Grati. Straw semen beku di Blora berasal dari pejantan sapi Simmental dan Limousin milik BIBD Blora dan straw semen beku di Pasuruan berasal dari pejantan Simmental milik BIB Singosari. Sementara itu, 32

3 straw semen cair berasal dari pejantan Simmental dan PO hasil prosesing semen cair di laboratorium BIBD Blora dan Lolit Sapi Potong. Pengamatan terhadap sapi PO induk milik peternak di Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora (Jawa Tengah) dan di Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) dilakukan terhadap tiga kelompok pola perkawinan, yaitu: (A) Induk diinseminasi semen beku; (B) = induk diinseminasi semen cair dan (C) induk dikawin alam. Masingmasing kelompok terdiri atas ekor sapi potong induk sebagai ulangan. Penelitian dilakukan selama enam bulan (Juli Desember 2005). yang diukur adalah service per conception (S/C), persentase kebuntingan dan biaya perkawinan. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan setelah dua bulan inseminasi melalui palpasi rektal. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji rata-rata menggunakan program software SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas semen Evaluasi kualitas semen beku, cair dan pejantan alam sebelum di inseminasikan pada induk sapi potong milik peternak di kabupaten Blora (Jawa Tengah) dan kabupaten Pasuruan disajikan pada Tabel 1 dan 2. Kualitas semen beku, cair dan pejantan alam sebelum dinseminasikan di kabupaten Blora (Jawa Tengah) tampak bahwa rataan motilitas dan spermatozoa hidup straw semen beku lebih rendah 31,7 ± 4,0% dan 12,5 ± 7,80% (P < 0,05) daripada straw semen cair (50,0 ± 0,0% dan 57,9 ± 16,7%) maupun semen segar pejantan alam (80,0 ± 7,1% dan 89,9 ± 6,1%) (Tabel 1); sehingga akan berpengaruh terhadap persentase kebuntingan (Tabel 3), serta straw semen beku tersebut kurang layak digunakan sebagai bibit, namun ph dan abnormalitas ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan dan masih dalam batas normal. Tabel 1. Kualitas semen beku, semen cair dan pejantan alam sebelum diinseminasikan di Kabupaten Blora Jawa Tengah Pola perkawinan Motilitas (%) 31,7 ± 4,0 a 50,0 ± 0,0 b 80,0 ± 7,1 c ph 7,5 ± 0,0 7,5 ± 0,0 7,5 ± 0,0 Spermatozoa hidup (%) 12,5 ±7,80 a 57,9 ± 16,7 b 89,9 ± 6,1 c Mortalitas spermatozoa (%) 86,4 ± 10,0 c 40,3 ±16,2 b 7,7 ± 6,4 a Abnormalitas spermatozoa (%) 0,8 ± 1,3 a 1,9 ± 1,8 a 2,4 ± 4,1 a A = IB semen beku; B = IB semen cair; C = Kawin alam Tabel 2. Kualitas semen beku, semen cair dan pejantan alam sebelum diinseminasikan di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur Pola perkawinan Motilitas (%) 42,5 ± 3,5 a 65,0 ± 7,1 b 77,5 ± 3,5 c ph 7,5 ± 0,0 7,5 ± 0,0 7,0 ± 0,0 Spermatozoa hidup (%) 63,7 ± 2,5 a 79,0 ± 8,5 b 82,2 ± 0,2 c Mortalitas spermatozoa (%) 32,3 ± 1,8 b 20,5 ± 7,8 a 16,2 ± 0,3 a Abnormalitas spermatozoa (%) 0,45 ± 0,6 a 0,5 ± 0,7 a 1,6 ± 0,1 b A = IB semen beku; B = IB semen cair; C = Kawin alam 33

4 Demikian pula kualitas semen beku, cair dan pejantan alam sebelum dinseminasikan di Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) tampak bahwa motililitas dan spermatozoa hidup asal straw semen beku lebih rendah 42,5 ± 3,5% dan 63,7 ± 2,50% (P < 0,05) daripada straw semen cair (65,0 ± 7,1% dan 79,0 ± 8,5%) maupun semen segar pejantan alam (77,5 ± 3,5% dan 82,2 ± 0,2%) (Tabel 2). Kualitas sumber bibit semen di Kabupaten Pasuruan terdapat perbedaan, namun kulitas tersebut masih batas normal (termasuk ph dan abnoramalitasnya) dan memenuhi standar khususnya pada motilitas maupun spermatozoa hidup sehingga masih dapat digunakan untuk inseminasi atau kawin alam. Hal ini sesuai dengan kualitas semen standar proses BIB Singosari maupun BIBD Propinsi Bali, antara lain gerakan individu > 70% dan ph 6,8 (HEDAH, 1992; ANONIMUS, 2003). TOELIHERE (1993) menyatakan bahwa bibit semen segar yang digunakan untuk semen beku dan dapat langsung untuk diinseminasikan pada induk sapi potong memiliki ph 6,8 dan motilitas 65%; sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan ternak. Kualitas semen pejantan yang digunakan sebagai sumber bibit juga dapat mempengaruhi keberhasilan kebuntingan terutama yang berhubungan dengan umur pejantan dan keabnormalan spermatozoa (JOHNSON et al., 1998; PAUL, 1999). Kualitas semen cair hingga hari ke tujuh masih layak digunakan sebagai bibit untuk diinseminasikan pada induk sapi potong seperti tampak pada Tabel 1 dan 2 (motilitasnya 40-60% dan ph-nya 7,5) yang hampir sama dengan motilitas hasil penelitian sebelumnya, yaitu motilitas sebelum diinseminasikan > 50% (AFFANDHY et al., 2004). Oleh karena itu bibit semen segar maupun proses pembuatan cair tersebut telah memenuhi persyaratan dan dapat langsung diinseminasikan pada induk sapi potong, yaitu motilitas dan ph spermatozoa segar pada sapi 6,5% dan 6,8 dan motilitas > 40% setelah pengenceran (TOELIHERE, 1993). Tabel 3. Rataan S/C, angka kebuntingan dan perhitungan biaya IB dengan pola perkawinan berbeda pada sapi potong induk milik peternak di Kabupaten Blora Jawa Tengah Pola perkawinan Jumlah induk (ekor) S/C 1,6 ± 0,8 b 1,0 ± 0,2 a 1,4 ± 0.9 b Angka kebuntingan (%) 56,6 66,1 86,5 Biaya IB (Rp) c b a A = IB semen beku; B = IB semen cair; C = Kawin alam Tabel 4. Rataan S/C, angka kebuntingan dan perhitungan biaya IB dengan pola perkawinan berbeda pada sapi potong induk milik peternak di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur Cara perkawinan Jumlah induk (ekor) S/C 1,3 ± 0,6 a 1,1 ± 0,3 a 1,1 ± 0,3 a Angka kebuntingan (%) 65,0 66,1 59,3 Biaya IB (Rp) c b a A = IB semen beku; B = IB semen cair; C= Kawin alam 34

5 Performans reproduksi induk dan biaya IB Performans reproduksi induk (S/C dan persentase kebuntingan induk) dan biaya perkawinan dengan pola perkawinan yang berbeda dengan menggunakan pejantan Simmental di Blora dan Pejantan sapi PO di Lolit Sapi Potong disajikan pada Tabel 3 dan 4. Hasil pengamatan pola perkawinan di kabupaten Blora tampak bahwa S/C pada IB semen cair menunjukkan lebih kecil 1,0 ± 0,2 (P < 0,05) daripada S/C hasil IB semen beku maupun kawin alam yang masing-masing S/Cnya adalah 1,6 ± 0,8 dan 1,4 ± 0.9. Namun angka kebuntingan dan biaya perkawinan yang paling baik diperoleh pada pola perkawinan alam yang masing-masing adalah 86,5% dan Rp /kawin (kawin alam), 66,1% dan Rp /kawin (semen cair) dan 56,6% dan Rp /kawin (semen beku). Dengan demikian dipandang dari jumlah perkawinan bahwa IB menggunakan semen cair masih memiliki S/C terendah sehingga akan memperpendek calving interval. Ujicoba IB semen cair sebelumnya dengan alternatif suplementasi vitamin E pada induk sapi PO di kondisi peternakan rakyat menunjukkan bahwa angka konsepsi hingga mencapai 69,6% dengan nilai S/C < 2 (AFFANDHY et al., 2005). SITUMORANG (2002) melaporkan bahwa hasil kebuntingan yang lebih tinggi didapat pula pada penggunaan semen dingin (50%) daripada semen beku (41,7%). Sedangkan tingginya angka kebuntingan dengan biaya paling murah diperoleh pada kawin alam karena wilayah tersebut sebagian besar masih menggunakan kawin alam, namun pejantan yang dipakai masih menggunakan pejantan seadanya sehingga kondisi sapinya lebih kecil. Oleh karena itu di kabupaten Blora bisa dikembangkan IB semen cair, alam dan beku, namun untuk straw beku perlu perbaikan secara teknis. Hal ini juga berkaitan dengan laporan survei IB pada sapi potong induk milik peternak di Jawa Timur dan Jateng diperoleh S/C pada kawin alam sebesar 1,6 ± 0,3 dan 1,4 ± 0,6 dan S/C dengan straw beku sebesar 1,7 ± 0,3 dan 2,0 ± 1,0 (PRIHANDINI et al., 2005). Sedangkan hasil pengamatan pola perkawinan di Kabupaten Pasuruan S/C dan angka kebuntingan tidak berbeda nyata (P > 0,05) antara kawin IB beku, IB cair dan kawin alam, tetapi biaya perkawinan alam tampak menunjukkan nilai paling murah (Rp /kawin) daripada IB beku dan IB cair, yang masing-masing adalah Rp /kawin dan Rp /kawin. Perkawinan dengan menggunakan pejantan alam di Kabupaten Pasuruan tampaknya paling murah, namun angka kebuntingan diperoleh paling rendah daripada kawin dengan semen cair sehingga akan berpengaruh terhadap pendapatan peternak. Olek karena itu di Kab. Pasuruan disarankan untuk pola perkawinannya dapat menggunakan semen cair dan atau semen beku. Angka kebuntingan semen cair di Kabupaten Blora masih lebih baik dibandingkan dengan IB menggunakan semen beku. Hal ini berkaitan dengan waktu pelaksanaan inseminasi semen beku maupun semen cair yang dilakukan pada musim kemarau yang dapat menyebabkan kegagalan proses fertlisasi dan keguguran (LABURN, 2000); sedangkan pada kawin alam dilakukan inseminasi pada bulan Januari sampai dengan Juni yang berkaitan dengan musin hujan dan ketersedian pakan cukup sehingga dapat berpengaruh terhadap performans reproduksi (AFFANDHY et al., 1992). Di Kabupaten Pasuruan hampir menunjukkan angka kebuntingan dengan nilai yang sama ketiga pola perkawinan IB beku, semen cair dan alam; karena pelaksanaan inseminasi dilakukan dengan bersamaan, yaitu antara bulan Agustus dan september. YASA et al. (2005) menyatakan bahwa pada bulan Juli hingga Nopember berkaitan dengan musim kemarau dan pakan sulit dapat berpengaruh terhadap kebuntingan ternak. KESIMPULAN DAN SARAN Kualitas semen yang digunakan dalam pola perkawinan (straw beku, cair dan pejantan alam) di Kabupaten Blora dan Pasuruan memenuhi kriteria standar sebagai semen sumber bibit, kecuali sumber bibit dari straw beku di Blora masih perlu ditingkatkan. Pemanfaatan semen cair dalam mendukung program IB di Kabupaten Blora secara signifikan (P < 0,05) menurunkan S/C daripada penggunaan semen beku maupun kawin alam. Selain itu dapat pula menurunkan biaya IB sampai dengan Rp. 20,850 (44,6%). Pemanfaatan semen cair di Kabupaten 35

6 Pasuruan mampu menurunkan biaya IB sampai dengan Rp (32,3%). Disarankan untuk Kabupaten Blora bisa dikembangkan IB semen cair, alam dan beku, namun untuk straw beku perlu ditingkatkan dengan perbaikan secara teknis maupun ekonomis. Di Kabupaten Pasuruan untuk pola perkawinan pada sapi potong dapat menggunakan semen cair dan atau semen beku. DAFTAR PUSTAKA AFFANDHY, L., M.A. YUSRAN dan A. RASYID Ketersediaan tenaga kerja keluarga kaitannya dengan suplai pakan sapi Madura induk menyusui pada musim kemarau di Pulau Madura: Studi kasus di dua desa beragroekosistem lahan kering. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. hlm AFFANDHY, L., D. PAMUNGKAS, MARIYONO dan P. SITUMORANG Optimasi penggunaan semen cair melalui suplementasi mineral Zn dan Vitamin E pada sapi PO induk pada kondisi usaha peternakan rakyat. Pros. Siminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Kerjasama Pusat ASEKP dan BPTP Bali, Denpasar 28 September hlm AFFANDHY, L., P. SITUMORANG, A. RASYID dan D. PAMUNGKAS Uji fertilitas semen cair pada induk sapi Peranakan Ongole pada kondisi peternakan rakyat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 5 Agustus Puslibang Peternakan, Bogor. hlm AFFANDHY, L., P. SITUMORANG, P.W. PRIHANDINI dan D.B. WIJONO Performans reproduksi dan pengelolaan sapi potong induk pada kondisi peternakan rakyat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, September Puslibangnak, Bogor. hlm ANONIMUS A Practical Guide Artificial Breeding of Cattle. Dennis Boothey and Geoff Faney. Agmedia, East Melbopurne Vic pp 127. DINAS PETERNAKAN PROPINSI BALI Semen Beku Sapi Bali (Murni). Diproduksi oleh Seksi Prosesing Semen Beku UPTD Peternakan. Dinas Peternakan Propinsi Bali. DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN Statistical Book on Livestock. Bina Produksi. Departemen Pertanian. hlm HAFEZ, E.S.E Reproduction in Farm Animals. 7th Edition. Reproductive Health Center. IVF Andrology Laboratory. Kiawah Island, South Carolina, USA. pp 509. HEDAH, D Peranan Balai Inseminasi Buatan Singosari dalam Meningkatkan Mutu Sapi Madurua Melalui Inseminasi Buatan. Pros Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati: hlm JOHNSON, H., C.E. DEWEY, J.K. BOBO, C.L. KELLING and D.D. LUNSTRA Prevalence of morphologic defects in spermatozoa from beef bulls. JAVMA 213 (10) LABURN, H., A. FANRIE and D. MITCHELL The thermal physiology at the ruminant fetus. In: Ruminant Physiology, Digestion, Metabolism, Growth, Reproduction. CRONGE, P.B. (Ed.). CABI Publishing. pp PAUL, H.C Associations among age, scrotal circumfrence, and proportion of morphologically normal spermatozoa in young beef bulls during an initial breeding soundness examination. JAVMA 214 (11): SALEH, D.M. dan T.R. TAGAMA Pengaruh penyertaan berahi dengan protaglandin PGF2 alfa terhadap angka kebuntingan sapi potong pasca beranak. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. hlm SITUMORANG, P Pengaruh kolesterol terhadap daya hidup dan fertilitas spermatozoa sapi. JITV 7(4): TOELIHERE, M.R Inseminasi Buatan Pada Ternak. Cetakan ke 10. Penerbit Angkasa Bandung. WARDHANI, M.K., A. MUSOFIE, U. UMIYASIH, L. AFFANDHY, M.A. YUSRAN dan D.B. WIJONO Pengaruh perbaikan gizi terhadap kemampuan reproduksi sapi Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura Sub Balitnak Grati. hlm YASA, I.M.R., I. N. ADIJAYA dan I.K. MAHAPUTRA Pola reproduksi induk sapi Bali di lahan kering dikaitkan dengan musim, ketersediaan pakan dan pemasarannya. Pros. Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Serta Stakeholder dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Denpasar 28 September Kerjasama Pusat ASEKP dan BPTP Bali. hlm

7 YUSRAN, M.A., L. AFFANDHY dan SUYAMTO Pengkajian Keragaan, Permasalahan dan alternatif solusi program IB sapi potong di Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, September Puslitbang. Peternakan, Bogor. hlm