BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan kepadatan bangunan yang tinggi dan kondisi geometri bangunan yang kurang baik juga dapat mempengaruhi tingkat kenyamanan permukiman di perkotaan. Keberadaan ruang terbuka hijau di suatu kota dapat mengatur iklim mikro dalam kota itu sendiri, Iklim mikro yang ideal ketika suhu relatif rendah dan kelembapan relatif tinggi akan menimbulkan rasa sejuk dan menimbulkan rasa nyaman (Fandeli, 2004). Ruang terbuka hijau merupakan salah satu sarana pendukung kebijaksanaan pemerintah dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan di suatu perkotaan, bahkan ruang terbuka hijau ikut menjaga keseimbangan ekosistem suatu kota. Menurut Hardiansah dan Dhani (2011), memasuki abad ke-21 kota-kota di Indonesia mengalami banyak permasalahan yang berkaitan dengan menurunya kualitas lingkungan perkotaan dan tata kelola perkotaan yang tidak efisien. Permasalahan tersebut menyebabkan berkurangnya rasa nyaman untuk tinggal di kawasan perkotaan. Perkembangan kota yang semakin pesat identik dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, pertambahan jumlah penduduk yang berbanding lurus dengan peningkatan jumlah kendaraan, serta banyak terjadinya konversi lahan. Akibat fenomena kekotaan tersebut banyak masalah yang ditimbulkan, antara lain mampu menggeser keberadaan ruang terbuka hijau kota, dan peran ruang terbuka hijau menjadi kurang berfungsi dengan baik. Dampaknya meningkatnya suhu udara dan menurunya kelembapan udara sehingga dapat mengurangi rasa nyaman pada suatu permukiman. Pada tahun 2009 dan 2011 telah dilakukan survei MLCI (Most Livable City Index), yang digunakan untuk mengukur indeks tingkat kenyamanan sebuah kota, dengan memperhatikan 9 aspek yang diataranya: aspek tata ruang kota (tata 1
kota dan RTH); aspek lingkungan (kebersihan dan polusi); aspek transportasi (jalan dan angkutan); aspek fasilitas kesehatan; aspek pendidikan; aspek infrastruktur utilitas; aspek ekonomi; aspek keamanan; dan aspek sosial. Berdasarkan survei MLCI yang telah dilakukan tersebut teradapat 15 kota besar di Indonesia, hasilnya Kota Yogyakarta dan Denpasar memiliki tingkat kenyamanan tertinggi, sedangkan Kota Semarang masuk dalam peringkat ke-6. (Hardiansah dan Dhani, 2011). Kota Semarang memiliki status MLCI dalam kategori kota nyaman dan masih dalam rata-rata indeks kenyamanan kota, dengan mengalami peningkatan nilai MLCI dari 52,52 pada tahun 2009 menjadi 54,63 pada tahun 2011. Kota Semarang mencanangkan program Kota Hijau (Green City) sebagai perwujudan untuk menjadi kota yang layak huni dengan tingkat kenyamanan permukiman yang tinggi. Menurut Rahimat (2012) luas rata-rata ruang terbuka hijau publik kawasan perkotaan di Indonesia baru mencapai 13%, dan menurut Supriyatna (2009) sebagian besar kota-kota di Pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi memiliki RTH kurang dari 10% sehingga kondisinya bisa dikatakan masih jauh dari harapan (rendah). Padahal seharusnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, RTH minimal 30% dari wilayah kota dengan 20% untuk RTH publik dan 10% untuk RTH privat. Permasalahan yang terjadi seperti di daerah kota pada umumnya juga terjadi di Kota Semarang, Kota Semarang merupakan salah satu kota yang perkembangan kotanya sangat pesat, mengingat Semarang merupakan kota yang menjadi pusat kegiatan perekonomian dan perindustrian. Kondisi tersebut terjadi seperti di Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Utara yang secara letak berada di bagian utara dekat pesisir Laut Jawa yang penggunaan lahanya banyak terdiri pabrik-pabrik industri, gedung untuk perkantoran dan perdagangan. Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Semarang Barat dikatakan masuk dalam kecamatan yang belum memenuhi persentase/ketentuan RTH di Semarang karena belum mencapai 30% dari luasan wilayah masing-masing kecamatan menurut analisis peneliti berdasarkan data tahun 2010 dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang (Dewanto, 2013). Menurut Perda Kota Semarang No 2
14 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kota Semarang tahun 2011-2031 Semarang Utara dan Semarang Barat masuk dalam Bagian Wilayah Kota III, fungsi utama pengembangan Bagian Wilayah Kota III adalah peruntukan perkantoran, perdagangan dan jasa. Fungsi ruang untuk perkantoran, perdagangan, dan jasa memerlukan lahan yang luas, sehingga terjadi konversi lahan. Menurut Soetomo (2011) kesediaan lahan Kota Semarang pada tahun 2010 karena konversi lahan, luas lahan terbangun lebih luas dibanding luas lahan non terbangun, yaitu 16.958,59 Ha (48%) untuk luas lahan non terbangun sedangkan lahan terbangun seluas (52%) yaitu 18.643,82 Ha. Faktor konversi lahan yang menyebabkan luasan lahan terbangun lebih besar dibanding luas non terbangun, hal ini lahan-lahan tidak terbangun semakin sempit karena peruntukan permukiman yang sangat menjamur tanpa memperhatikan faktor kenyamanan, sehingga permukiman yang khususnya di Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Semarang Barat lebih banyak masuk dalam kategori kepadatan tinggi. Kejadian seperti itu mengakibatkan berkurangnya persentase ruang terbuka hijau yang akan menyebabkan adanya perubahan kondisi cuaca. Presentasi luasan lahan terbangun yang besar dan menggeser keberadaan ruang terbuka hijau menjadikan meningkatnya suhu udara yang semakin panas. Salah satu indikator kondisi cuaca selain suhu udara adalah kelembapan relatif, indikator kondisi cuaca tersebut dapat mempengaruhi tingkat kenyamanan permukiman. Menurut Fandeli (2004) Keberadaan ruang terbuka hijau kota menjadi suatu solusi yang terbaik dalam mengurangi permasalahan kekotaan, sehingga untuk membuat suasana kota lebih nyaman, perlu dibangun kumpulan vegetasi berbentuk hutan. Keberadaan vegetasi memungkinkan proses transpirasi yang dapat menimbulkan kesejukan dan rasa nyaman, oleh karena itu perlu ada tindakan yang lebih lanjut demi mempertahankan ketersediaan lahan ruang terbuka hijau dan juga perlunya menambahkan RTH ke beberapa lokasi yang dianggap sesuai untuk lokasi RTH. Menurut Fandeli (2004) ruang terbuka hijau atau hutan kota dapat dimungkinkan dibangun di seluruh ruang kota, yaitu ruang terbuka di permukiman dan prasarana transportasi serta fasilitas-fasilitas kota. Salah satu 3
fungsi dari vegetasi pada ruang terbuka yaitu sebagai ameliorasi iklim, yaitu ada kaitan erat dengan suhu dan kelembapan. Fandeli (2004) juga mengatakan bahwa suhu dan kelembapan udara pada daerah yang bervegetasi lebih nyaman dari pada daerah yang tidak ditumbuhi tanaman. Menurut Mellvile (1995, dalam Budiyanto, 2007), vegetasi merupakan unsur fisik kota yang penting, karena keberadaan vegetasi dalam sebuah ruang terbuka hijau mampu mengatur iklim mikro kota sehingga bisa meningkatkan tingkat kenyamanan tinggal. Tingkat kenyamanan permukiman dapat diketahui dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan terhadap Citra Quickbird, pendekatan terhadap kondisi geometri bangunan, serta pendekatan nilai THI (Temperature Humidity Index) yakni dengan memperhatikan nilai suhu dan kelembapan relatif.. Seiring berkembangnya jaman dan semakin maju perkembangan teknologi, dalam penentuan lokasi ruang terbuka hijau tentunya bisa dilakukan dengan menggunakan bantuan teknologi penginderaan jauh. Perkembangan teknologi penginderaan jauh dewasa ini juga semakin canggih, yang penggunaannya sekiranya dapat membantu memecahkan masalah yang terjadi khususnya keruangan, lingkungan dan kewilayahan. Penelitian melakukan penentuan lokasi ruang terbuka hijau, dengan menggunakan aplikasi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG). Aplikasi penginderaan jauh mampu digunakan sebagai penyedia data yang terkait, baik data luasan ruang terbuka hijau eksisting serta parameter-parameter yang mempengaruhi tingkat kenyamanan permukiman. Penggunaan aplikasi penginderaan jauh dengan memanfaatkan citra resolusi tinggi supaya dapat membantu dalam menganalisis tingkat kenyamanan permukiman. Citra yang dipergunakan adalah Citra Quickbird yang memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi yakni 2,44 meter untuk sensor multispektralnya dan 0,61 meter untuk resolusi spasial pankromatiknya. Penggunaan SIG dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis beberapa parameter yang berpengaruh dalam tingkat kenyamanan permukiman, serta membantu dalam memvisualisasikan dalam bentuk peta dan menghasilkan output peta rekomendasi pengembangan terbuka hijau dari analisis tingkat kenyamanan permukiman di Sebagian Kota Semarang. 4
1.2 Perumusan Masalah Aplikasi penginderaan jauh di waktu sekarang berkembang sangat cepat, diimbangi dengan data penginderaan jauh yang semakin melimpah, seperti yang telah kita ketahui munculnya Citra Quickbird yang memiliki resolusi spasial yang sangat detail. Oleh karenanya Citra Quickbird dapat dimanfaatkan dalam analisis terhadap kasus studi perkotaan pada penelitian ini yaitu digunakan untuk penilaian tingkat kenyamanan permukiman. Penggunaan Citra Cuickbird sebagai sumber data model spasial konseptual untuk menentukan variabel penentu tingkat kenyamanan permukiman juga didukung dengan peran dari SIG. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) juga digunakan untuk menganalisis, mengolah data terkait dengan tingkat kenyamanan permukiman, dan menghasilkan output berupa peta yang menampilkan persebaran permukiman dengan tingkat kenyamanannya. Kota Semarang memiliki lahan terbangun lebih luas dibanding luas lahan non terbangun karena terjadi konversi lahan yan tidak terkontrol. Konversi lahan terjadi akibat dampak dari peningkatan kepadatan penduduk dari tahun ke tahun. Peningkatan kepadatan penduduk serta merta berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan penduduk akan lahan. Kebutuhan akan lahan yang tinggi tersebutlah yang menjadi faktor pendorong adanya konversi lahan di Kota Semarang (Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Semarang Utara). Perluasan konversi lahan akan menyebabkan beberapa permasalahan, yaitu: peralihan lahan non terbangun menjadi lahan terbangun mampu menggeser keberadaan ruang terbuka hijau, akibatnya iklim mikro di daerah tersebut terpengaruh, menciptakan suatu kawasan permukiman yang padat, dan pada akhirnya akan menggangu kualitas kondisi kenyamanan permukiman. Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas maka untuk mengembalikan kualitas kenyamanan permukiman yang baik, dapat melalui beberapa pendekatan, diantara dengan pendekatan model spasial konseptual melalui Citra Quickbird, pendekatan kondisi geometri bangunan dan melalui pendekatan penilaian THI (Temperature Humidity Index). Oleh karena itu dengan beberapa pendeketan tersebut teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dapat 5
dimanfaatkan dan diaplikasikan untuk mendukung dalam analisis tingkat kenyamanan permukiman pada penelitian ini. Berdasarkan permasalahan yang terdapat di Kota Semarang, maka muncul pertanyaan penelitian diantaranya: 1. Apa sajakah variabel model spasial konseptual penentu tingkat kenyamanan permukiman yang dapat diidentifikasi dari Citra Quickbird? 2. Apakah SIG dapat dimanfaatkan untuk pemetaan tingkat kenyamanan permukiman dari geometri bangunan dan THI (Temperature Humidity Index)? 3. Apakah analisis peta tingkat kenyamanan permukiman dapat digunakan untuk mengetahui rekomendasi pengembangan ruang terbuka hijau di sebagian Kota Semarang? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi variabel model spasial konseptual penentu tingkat kenyamanan permukiman dari Citra Quickbird. 2. Memanfaatkan SIG untuk pemetaan tingkat kenyamanan permukiman berdasarkan geometri bangunan dan THI. 3. Menganalisis peta tingkat kenyamanan permukiman untuk membuat rekomendasi pengembangan ruang terbuka hijau di sebagian Kota Semarang. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini antara lain: 1. Mampu menerapkan teknologi penginderaan jauh serta ilmu Sains Informasi Geografi (SIG) dalam pemecahan masalah keruangan tingkat kenyamanan permukiman. 2. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai rekomendasi dan bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam pembuatan peta pengembangan Ruang Terbuka Hijau untuk menciptakan kenyamanan permukiman yang 6
baik sebagian Kota Semarang (Kec. Semarang Barat dan Kec. Semarang Utara). 7