BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit parasitik yang ditularkan oleh nyamuk dan sepenuhnya dapat dicegah dan diobati. Tahun 2014, WHO melaporkan bahwa penularan malaria masih ditemukan di 97 negara dan wilayah. Saat ini sekitar 3,3 milyar penduduk dunia hidup di daerah berisiko malaria dan dari jumlah tersebut, 1,2 milyar hidup di daerah berisiko tinggi, dengan jumlah kasus lebih dari 1 per 1000 penduduk (WHO, 2015). Prevalensi penyakit ini di Indonesia juga masih tinggi, khususnya di wilayah Timur Indonesia. Tahun 2012 sebanyak 417.819 kasus malaria dilaporkan dan sekitar 70% dari jumlah tersebut ditemukan di 5 Provinsi di wilayah Timur Indonesia, yaitu: Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur ( Depkes RI, 2014). Tahun 2009 Kementerian Kesehatan RI telah menerbitkan keputusan tentang Eliminasi Malaria di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang hidup sehat, terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030. Tahapan Eliminasi Malaria dimulai dari Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, Bali, dan Batam pada tahun 2010. Selanjutnya, Jawa, Provinsi Aceh, dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015. Tahap ketiga adalah Sumatera (kecuali Aceh dan Kepulauan Riau), NTB, Kalimantan dan Sulawesi pada tahun 2020. Terakhir adalah Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, dan Maluku Utara pada tahun 2030. 1
2 Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, malaria dilaporkan endemik di 23 Kabupaten dan Kota di mana annual parasite incidence (API) tertinggi ditemukan di Kabupaten Aceh Jaya (API=12,9) (Dinkes Aceh, 2015). Berdasarkan laporan Dinkes Aceh tahun 2008 dalam Rinidar (2010), dari 23 kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, terdapat 15 kecamatan yang merupakan daerah endemis malaria dengan annual parasite incidence (API) > 5 0 / 00 dan 50% angka kejadian malaria ini terjadi di wilayah pemukiman Desa Lamteuba Kecamatan Seulimuem. Kasus malaria di pemukiman ini sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 sebanyak 3.286 malaria klinis dan 1.275 diantaranya positif secara mikroskopis, terdiri dari 16% malaria falciparum, 82% malaria vivax dan 2% malaria campuran (Rinidar, 2010). Malaria memiliki spektrum manifestasi klinis yang sangat luas, mulai dari tanpa gejala ( asymptomatic) sampai kepada bentuk manifestasi klinis berat dengan komplikasi yang berakibat fatal (Miller et al., 2002). Manifestasi klinis malaria dipengaruhi oleh berbagai faktor pada parasit, inang dan lingkungan. Pada parasit, beberapa faktor yang telah diidentifikasi, misalnya resistensi terhadap obat antimalaria, perlekatan pada endotel (cytoadherence), polimorfisme gen parasit dengan keanekaragaman antigen. Pada inang, polimorfisme gen penyandi protein-protein yang berkaitan dengan respon imun, misalnya cluster of differentiation 36 (CD36), interferon gamma (IFN-γ), tumor necrotic factor (TNF) dan beberapa yang lain telah dibuktikan (Ofosu -Okyere et al., 2001). Peran dari keanekaragaman antigen pada parasit terhadap manifestasi klinis sudah banyak diteliti, salah satunya adalah merozoite surface protein (msp). Beberapa penelitian
3 menunjukkan bahwa variasi genotip msp1 dan msp2, dan antigen-antigen parasit yang diekspresikan pada membran merozoit, berkaitan dengan tingkat keparahan manifestasi klinis malaria (Nicastria et al., 2008; Amodu et al., 2005; Ranjit et al., 2005; Ekala et al., 2002; Ariey et al., 2001; Ofosu-Okyere et al., 2001; Kun et al., 1999). Penelitian yang dilakukan di France Guiana tahun 2011 menunjukkan bahwa alel spesifik K1 msp1 dengan gen var-d mengalami over expression pada pasien dengan malaria berat dibandingkan dengan malaria sedang tanpa komplikasi dan kombinasi genotip ini konsisten ditemukan pada kebanyakan kasus malaria berat (Ariey et al., 2001). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Amodu et al. (2005), juga mendapatkan bahwa pada pasien malaria anak-anak yang asimtomatik kebanyakan memiliki alel dari gen msp1 yaitu jenis K1, MAD20 dan RO33 dibandingkan pada pasien malaria tanpa komplikasi dan malaria berat. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa klon Plasmodium falciparum yang beragam ( mixed Plasmodium falciparum clones) lebih banyak ditemukan pada pasien asimptomatik (Contamin et al., 1996). Namun demikian alel K1 juga banyak ditemukan pada malaria klinis (Kun et al., 1999). Ranjit et al. (2005) melaporkan bahwa msp2 alel FC27 lebih sering ditemukan pada malaria asimtomatik dan msp2 alel 3D7 paling banyak ditemukan pada kasus malaria berat di Senegal. Sedangkan di Papua New Guinea, msp2 famili alel FC27 dikaitkan dengan malaria berat (Ranjit et al., 2005).
4 Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, kasus malaria di Provinsi Aceh masih fluktuatif. Tahun 2010 angka malaria positif sebanyak 3.766 kasus, namun pada tahun 2011 menurun menjadi 2.489. Kasus malaria tertinggi ditemukan di Kabupaten Aceh Jaya dengan annual parasite incidence (API) sebesar 10,9 per 1000 penduduk, namun meningkat pada tahun 2013 sebanyak 1.244 kasus dan menurun kembali tahun 2014 dengan 622 kasus dan pada tahun 2015 menurun menjadi 311 kasus. Kota Sabang terletak di bagian Barat Indonesia dan termasuk ke dalam Provinsi Aceh merupakan pulau kecil dengan jumlah penduduk sekitar 30.000 jiwa dan terdapat 2 kecamatan dan 18 kelurahan atau dalam bahasa Aceh disebut dengan Gampong. Kota Sabang merupakan pilot project eliminasi malaria di Indonesia. Pengobatan kasus malaria menggunakan Artemisinine Combination Therapy (ACT), tenaga mikroskopis malaria telah menyandang expert atau ahli dari Eijkman dan WHO, sistem pelaporan menggunakan aplikasi elektronik, kota Sabang juga memilih tenaga surveilens sigap, juru malaria lingkungan (JML) yang mampu deteksi warga yang demam dengan cepat. Survei migrasi juga dilakukan terhadap seluruh pekerja dan turis yang mengunjungi kota Sabang, namun kasus malaria masih berfluktuasi, dari permasalahan malaria yang ada di kota Sabang, maka sangatlah jelas dengan masih banyak kabupaten/kota di Provinsi Aceh belum mengaplikasikan sistem penanggulangan malaria seperti di kota Sabang, diperlukan program khusus di Provinsi Aceh untuk mencapai program eliminasi malaria tahun 2015.
5 Di Provinsi Aceh manifestasi klinis penderita malaria juga bervariasi, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya variasi genetik, dan polimorfisme genetik pada parasit malaria di Provinsi Aceh sampai saat ini belum pernah dilakukan. Informasi tentang hubungan polimorfisme gen parasit dengan manifestasi klinis malaria akan menjadi petunjuk bagi klinisi dalam penatalaksanaan malaria secara efektif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran dari gen msp1 dan msp2 terhadap manifestasi klinis pasien malaria dan respon terapinya di beberapa Rumah Sakit di wilayah Provinsi Aceh. B. Rumusan Masalah Keanekaregaman genetik parasit malaria di beberapa daerah endemis malaria di dunia telah dikaitkan dengan manifestasi klinis malaria. Manifestasi klinis malaria merupakan fenomena hasil interaksi antara parasit, inang dan lingkungan. Informasi tentang polimorfisme gen penyandi khususnya msp1 dan msp2 di Indonesia sampai saat ini masih sangat terbatas dan belum pernah dikaitkan dengan manifestasi klinis tingkat keparahan malaria dan respon terapi. Berdasarkan hal tersebut, diformulasi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan gejala klinis dengan alel gen msp1 yaitu K1, MAD20 dan RO33 dan alel gen msp2 yaitu FC27 dan 3D7 pada pasien malaria falciparum di Provinsi Aceh? 2. Bagaimana hubungan respon terapi dengan alel gen msp1 yaitu K1, MAD20 dan RO33 dan alel gen msp2 yaitu FC27 dan 3D7 pada pasien
6 malaria falciparum di Provinsi Aceh? 3. Bagaimana hubungan manifestasi klinis malaria ringan dan malaria berat dengan alel gen msp1 yaitu K1, MAD20 dan RO33 dan alel gen msp2 yaitu FC27 dan 3D7 pada pasien malaria falciparum di Provinsi Aceh? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui hubungan alel gen msp1 dan alel gen msp2 dengan gejala klinis, respon terapi dan manifestasi klinis malaria ringan dan malaria berat pada penderita malaria falciparum Provinsi Aceh. 2. Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis hubungan gejala klinis dengan alel gen msp1 yaitu K1, MAD20 dan RO33 dan alel gen msp2 yaitu FC27 dan 3D7 pada pasien malaria falciparum di Provinsi Aceh 2. Menganalisis hubungan respon terapi dengan alel gen msp1 yaitu K1, MAD20 dan RO33 dan alel gen msp2 yaitu FC27 dan 3D7 pada pasien malaria falciparum di Provinsi Aceh 3. Menganalisis hubungan manifestasi klinis malaria ringan dan malaria berat dengan alel gen msp1 yaitu K1, MAD20 dan RO33 dan alel gen msp2 yaitu FC27 dan 3D7 pada pasien malaria falciparum di Provinsi Aceh.
7 D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Memberikan informasi tentang frekuensi distribusi alel gen msp1 dan alel gen msp2 pada pasien malaria falciparum di Provinsi Aceh. b. Memberikan informasi mengenai gejala klinis dan manifestasi klinis malaria ringan dan malaria berat pada penderita malaria falciparum di Provinsi Aceh. c. Memberikan informasi mengenai respon terapi apakah ditemukan gagal obat dini atau gagal obat kasep pada penderita malaria falciparum di Provinsi Aceh. d. Mengetahui kecenderungan malaria dengan manifestasi klinis malaria ringan dan malaria berat berkaitan dengan variasi alel gen msp1 dan alel gen msp2 yang akan dapat mengantisipasi penatalaksanaan secara efektif dan pertimbangan terhadap resistensi obat antimalaria serta pencegahan pada penderita malaria falciparum di Provinsi Aceh. E. Keaslian Penelitian Di Indonesia, hubungan antara gejala klinis, respon terapi dan manifestasi klinis malaria ringan dan malaria berat pada malaria falciparum dengan polimorfisme gen msp1 dan msp2 parasit sampai saat ini belum pernah diteliti. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat frekuensi distribusi alel dari gen msp1 dan alel gen msp2 Plasmodium falciparum di berbagai daerah di dunia dan hasilnya menunjukkan perbedaan di setiap daerah dan tergantung status endemisitas daerah tersebut (Ghanchi et al., 2010).
8 Para ahli percaya bahwa penggunaan obat antimalaria akan menurunkan jumlah polimorfisme dan secara tidak langsung mempengaruhi keadaan imunologi di daerah endemis. Namun berdasarkan laporan Nzila et al. (2002) dan Matsuo et al. (2003) cit Nicastria et al. (2008) mendapakan bahwa terapi dengan pyrimethamine/sulfadoxine, mefloquine dan chlorproguanil/dapsone tidak mempengaruhi jumlah klon Plasmodium falciparum perindividu ( multiplicity) atau polimorfisme Plasmodium falciparum pada daerah malaria transmisi tinggi dan transmisi rendah. Penelitian yang dilakukan sebelumnya memfokuskan pada variasi alel dari gen msp1 dan alel gen msp2 Plasmodium falciparum (Ghanchi et al., 2010; Takala et al., 2007; Amodua et al, 2005; Snounou et al., 1999). Ghanchi et al. (2010) melakukan penelitian di Pakistan antara tahun 2005 dan 2007 terhadap 244 sampel darah dari pasien malaria yang telah dikonfirmasi sebagai mono-infeksi Plasmodium falciparum dengan pemeriksaan mikroskopis sediaan darah. Keragaman genetik blok 2 dari msp1 dan blok 3 dari msp2, termasuk masingmasing alel dari gen msp1 yaitu K1, MAD20, RO33 dan alel dari gen msp2 yaitu FC27, 3D7 dianalisis pada pasien tanpa melihat pengaruhnya terhadap gejala klinis, manifestasi klinis malaria ringan dan malaria berat ataupun respon terapi. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Takala et al. (2007) juga hanya melihat polimorfisme gen msp1 pada populasi di Kenya tanpa mengaitkannya dengan gejala klinis maupun respon terapi. Disamping penelitian yang terfokus pada polimorfisme gen msp1 dan msp2, beberapa penelitian juga melihat hubungan polimorfisme gen ini dengan
9 manifestasi klinis malaria ringan dan malaria berat dan gejala klinis malaria. Penelitian oleh Ariey et al. (2001) mendapatkan bahwa kombinasi genotip K1 secara konsisten ditemukan pada kebanyakan kasus malaria berat. Selain itu beberapa penelitian terdahulu yang dirangkum oleh Nicastria et al. (2008) yang mengungkapkan bahwa di Brazil dan Senegal, alel RO33 merupakan bentuk msp1 yang dominan ditemukan pada kasus malaria klinis. Di Gabon, tingkat keparahan malaria berkaitan erat dengan kehadiran alel K1, sedangkan di Prancis dan Guiana tingkat keparahan malaria berhubungan dengan K1 dengan gen var spesifik (vard). Penelitian lain menunjukkan bahwa alel K1 dan alel MAD20 secara bermakna berhubungan dengan malaria asimptomatik sehingga munculnya alel ini menurunkan resiko perkembangan penyakit menjadi malaria simptomatik (Amodu et al., 2005). Penelitian lain menggabungkan pengaruh gen msp1 dan msp2 terhadap klinis malaria, didapatkan bahwa alel MAD20 pada msp1 dan alel FC27 pada msp2 berhubungan dengan munculnya malaria klinis (Ofosu-Okyere et al., 2001). Sampai sekarang belum ada penelitian tentang variasi alel msp1 dan msp2 Plasmodium falciparum di wilayah Provinsi Aceh dan sejauh ini belum ada penelitian di dunia yang mengaitkan pengaruh variasi gen msp1 dan msp2 Plasmodium falciparum terhadap manifestasi klinis malaria ringan dan malaria berat dan respon terhadap terapi secara bersamaan. Oleh karena itu, informasi yang akan diperoleh dari penelitian ini memiliki originalitas yang tinggi dan berpotensi untuk menghasilkan karya akademik yang dapat dipublikasi di tingkat internasional.