BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang. masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis termasuk Indonesia. Penyebab penyakit malaria ini adalah parasit plasmodium. Telah diketahui ada 5 jenis plasmodium yang menyerang manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan Plasmodium knowlesi. Infeksi Plasmodium falciparum (P. falciparum) merupakan penyebab kesakitan dan kematian tertinggi dibandingkan infeksi plasmodium lainnya (Kemenkes, 2011). Dalam rangka pengendalian penyakit malaria banyak hal yang sudah maupun sedang dilakukan baik dalam skala global maupun nasional. Keberhasilan target dapat dilihat dari indikator menurunnya angka kesakitan dan angka kematian akibat malaria. Global Malaria Programme (GMP) menyatakan bahwa malaria merupakan penyakit yang harus terus menerus dilakukan pengamatan, monitor dan evaluasi, serta diperlukan formulasi kebijakan dan strategi yang tepat. Di dalam GMP ditargetkan 80% penduduk terlindungi dan penderita mendapat pengobatan 1

2 2 Arthemisinin based Combination Therapy (ACT) (Kemenkes, 2011). Pada tahun 2015, World Health Association dalam Global Technical Strategy for Malaria untuk tahun telah menyetujui beberapa target, antara lain : mengurangi insidensi dan kematian kasus malaria sebanyak 90%, mengeliminasi malaria paling sedikit pada 35 negara, dan mencegah terjadinya malaria pada negara yang tidak endemis (WHO, 2015). Malaria dapat dengan mudah dikenali dari gejala khasnya, yaitu meriang (panas, dingin dan menggigil) serta demam berkepanjangan. Penyakit ini menyerang manusia dan juga sering ditemukan pada hewan berupa burung, kera, dan primata lainnya (Ahmadi, 2008). Plasmodium dapat mempengaruhi beberapa organ tubuh seperti hepar, limpa, otak, saluran pencernaan, kandung empedu, pembuluh darah, dan plasenta. Pada malaria falciparum, gambaran klinis malaria bisa ditemukan dalam spektrum yang luas mulai dari malaise sampai serangan pada sistem saraf pusat yang menyebabkan kematian. Dasar patogenesis ini adalah kemampuan P. falciparum yang telah menginfeksi Red Blood Cell (P-RBC) untuk melakukan cytoadherence (penempelan) terhadap endotel pembuluh darah kecil. Terdapat beberapa reseptor di sel endotel

3 3 yang terlibat dalam cytoadherence ini, antara lain ICAM- 1, VCAM-1, CD36, CD31, E-selectin, chondroitin sulfat A dan thrombospondin. Selain cytoadherence, P-RBC juga dapat menyebabkan terjadinya rosetting, yaitu penempelan P-RBC pada eritrosit yang tidak terinfeksi. Pada akhirnya, cytoadherence dan rosetting akan menyebabkan gangguan vaskularisasi pada jaringan-jaringan yang dituju. Penempelan P-RBC terhadap endotel, terutama pada organ-organ vital dapat menyebabkan komplikasi dan kematian. Salah satu komplikasi malaria yang fatal adalah malaria serebral, yaitu cytoadherence P-RBC pada venula otak (Newbold et al., 1999). Sistem imun tubuh mempunyai peranan penting dalam melawan P. falciparum. Salah satunya dengan proses clearence yang dilakukan oleh limpa. Eritrosit yang rusak atau terinfeksi akan menuju limpa untuk didegradasi. Cytoadherence menjadi mekanisme pertahanan P. falciparum karena P-RBC dapat menempel ke pembuluh darah sehingga menghindari proses clearence oleh limpa. Beberapa eritrosit yang terinfeksi dapat ditemukan mengalami cytoadherence dan terjebak pada pembuluh darah dalam limpa. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada proses clearence dan sirkulasi dalam limpa. Gangguan ini

4 4 ditandai dengan adanya splenomegaly (Mohanty et al., 2006). Selain cytoadherence, kadar sitokin seperti Interleukine (IL) 10, IL 4, IL 5, dan IL 6 yang tinggi di dalam sirkulasi sebagai respon terhadap parasit mempunyai hubungan dengan splenomegaly pada infeksi malaria akut. Pada pasien dengan sistem imun yang kurang atau abnormal dapat terjadi ruptur limpa karena splenomegaly. Hal ini sering terjadi di daerah endemis malaria dan menyebabkan sindrom yang disebut Tropical Splenomegaly Syndrome. Gambaran histologi limpa pada penderita malaria dapat ditemukan kongesti dengan hiperplasia dari pulpa merah dan putih. Medula dan sinus terisi monosit dan makrofag berpigment yang mengandung P-RBC ataupun tidak. Dapat terlihat juga cytoadherence maupun rosetting pada pembuluh darah dalam limpa (Anonim, 2006). Untuk menghindari cytoadherence, akhirnya dilakukan berbagai penelitian untuk terapi adjuvant dengan menggunakan antikoagulan, antara lain adalah heparin dan Low Molecular Dextran. Meskipun zat-zat ini mempunyai efek antikoagualan dan antiadhesi, namun karena menimbulkan efek samping yang cukup besar maka zat-zat ini tidak dapat diromendasikan sebagai terapi

5 5 adjuvant yang efektif. Heparin menimbulkan pendarahan yang hebat sedangkan Dextran dapat menyebabkan reaksi anafilaktik. Oleh karena itu, masih diperlukan obat lain untuk mengatasi cytoadherence dengan risiko yang minimal(mohanty et al., 2006). Allium sativum (bawang putih) merupakan sumber nutrisi dan pengobatan tradisional selama berabad-abad. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa minyak Allium sativum mempunyai aktivitas antitrombotik, fibrinolisis, anti inflamasi, anti bakteri, dan mempercepat penyembuhan luka (Santhosha et al., 2013). Selain itu, telah diketahui bahwa kandungan Allium sativum dapat menghambat cystein protease beberapa mikroba seperti plasmodium. Enzim ini berperan dalam ekspresi reseptor permukaan mikroba agar dapat menempel dengan reseptor pada inang (Waag et al., 2010). Dengan demikian, ada kemungkinan minyak Allium sativum dapat mengurangi atau mencegah terjadinya cytoadherence dan rosetting P-RBC pada infeksi P. falciparum. Penelitian ini dilakukan pada mencit Swiss yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei ANKA (P. berghei ANKA).

6 6 I.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut : Bagaimana efek pemberian kombinasi DHP dan minyak Allium sativum terhadap histopatologi cytoadherence pada limpa mencit Swiss yang diinfeksi P. berghei ANKA? I.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian kombinasi DHP dan minyak Allium sativum terhadap histopatologi cytoadherence pada limpa mencit Swiss yang diinfeksi P. berghei ANKA. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian kombinasi DHP dan minyak Allium sativum terhadap derajat parasitemia dan variabel histopatologi lainnya (infiltrasi sel radang dan fibrosis) pada limpa mencit Swiss yang diinfeksi P. berghei ANKA. I.4 Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya yang mendukung antara lain dilakukan oleh Loppi et al. (2006) menunjukkan bahwa kandungan larutan allicin dari Allium sativum mempunyai

7 7 sifat sebagai cystein protease inhibitor yang akan berperan menghambat infeksifitas plasmodium stadium sporozoit di hepar sehingga dapat menurunkan jumlah parasit dalam darah pada mencit yang diinfeksi. Manfaat Allium sativum yang lain juga diteliti oleh Londhe et al. (2011) yang menunjukkan bahwa Allium sativum dapat menghambat sitokin pro inflamasi pada subjek pasien dengan Inflamatory Bowel Disease. Julius et al. (2013) menunjukkan bahwa pada infeksi malaria terjadi pengaktifan sel T Helper 1 yang dapat menghasilkan sitokin pro inflamatori seperti TNF-a, INF-Y,IL-4, dan IL-5. Sitokin ini berperan dalam patogenesis cytoadherence. Penelitian mengenai pengaruh Allium sativum terhadap adhesi oleh Sahbaz et al. (2014) menunjukkan bahwa pemberian minyak Allium sativum dapat menghindari peritoneal adhesion pada model tikus dengan melibatkan mekanisme antiinflamasi, antibakterial, fibrinolitik, antitrombotik, dan penyembuhan luka dari minyak Allium sativum. Pada penelitian kali ini subjek yang digunakan adalah model mencit Swiss yang terinfeksi P. berghei ANKA dan sampel yang digunakan adalah jaringan pada limpa mencit.

8 8 I.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi tenaga kesehatan tentang terapi adjuvant untuk malaria.