BAB II KAJIAN TEORITIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Dengan PISA (Program for International Student Assessment) dan

BAB II LANDASAN TEORI. Slameto (2010:2), bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan

PENGARUH GAYA BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN PRODUKTIF

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dikerjakan untuk menyelesaikannya. Menurut Shadiq (2004) Suatu

BAB II KAJIAN TEORI. A. Masalah Matematika. Masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan tujuan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

PROFIL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMP PADA MATERI PECAHAN DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nasution (2008: 93) mengemukakan bahwa gaya belajar atau learning style

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN TEORITIK. Pendidikan Matematika menyatakan bahwa masalah merupakan soal (pertanyaan)

Available online at Jurnal KOPASTA. Jurnal KOPASTA, 2 (2), (2015) 13-17

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Representasi Matematis. a) Pengertian Kemampuan Representasi Matematis

BAB II KAJIAN TEORI. lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. rumusan kuntitatif, rumusan institusional, dan rumusan kualitatif.

Universitas Negeri Malang

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

BAB II KAJIAN PUSTAKA. siswa. Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah

I. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR MATEMATIKA SMALB TUNANETRA

IDENTIFIKASI GAYA BELAJAR (VISUAL, AUDITORIAL, KINESTETIK) MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS BUNG HATTA

BAB II KAJIAN TEORI. E. Kajian Teori. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

BY: METTY VERASARI MENGENAL TIPE BELAJAR ANAK (AUDITORY, VISUAL, & KINESTETIK)

Belajar yang Efektif dan Kreatif

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

I. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR MATEMATIKA SMALB TUNADAKSA

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Representasi Matematis. solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000).

N. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN JASMANI, OLAHRAGA, DAN KESEHATAN SMALB TUNANETRA

MODALITAS BELAJAR. Nama : Faridatul Fitria NIM : Prodi/SMT : PGMI A1/ V. : Ringkasan :

4. Menentukan Himpunan Penyelesaian untuk Sistem Persamaan Linear Dua Variabel

N. KOMPETENSI INTI DAN KOMPTENSI DASAR PENDIDIKAN JASMANI, OLAHRAGA, DAN KESEHATAN SMALB TUNADAKSA

M. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA SMALB TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORITIK

M. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA SMALB TUNADAKSA

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan

PEDOMAN OBSERVASI GAYA BELAJAR. Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Instrumen dan Media Bimbingan Konseling

Kelas 4 SDN 1 Selodoko. LAMPIRAN 1 Daftar Siswa SDN 1 Selodoko Kelas 3 SDN 1 Selodoko

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SMALB TUNADAKSA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. A. Analisis. Analisis adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SMALB TUNANETRA

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB II KAJIAN TEORI. mengetahui derajat kualitas (Arifin, 2009). Sedangkan menurut. komponen, hubungan satu sama lain, dan fungsi masing-masing dalam

KI dan KD Matematika SMP/MTs

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

9. Kompetensi Dasar Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SMALB TUNARUNGU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. seseorang sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dalam memenuhi

PEMETAAN TINGKAT BERPIKIR KREATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM PEMECAHAN MASALAH SOAL ANALISIS REAL 2 DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

SILABUS MATA PELAJARAN: SENI BUDAYA (SENI RUPA)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) (Kelas Eksperimen)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat

Tabel 3.1 Rincian kegiatan penelitian kegiatan Maret April Mei Juni Juli

11. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) SMP/MTs

Cara setiap siswa untuk berkonsentrasi, memproses dan menyimpan informasi yang baru dan sulit

MENGENAL GAYA BELAJAR PESERTA DIDIK. Oleh Mansur HR Widyaiswara LPMP Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) : Kerajinan modifikasi dari limbah organik.

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SMALB TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) TEORI

SILABUS MATA PELAJARAN: SENI BUDAYA (SENI MUSIK) (WAJIB PILIHAN)

Lampiran 2. Lembar Kerja Siswa 1. Lembar Kerja Siswa 1. K s. Aritmatika Sosial. Harga Jual, Harga Beli, Untung, Rugi. Matematika.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) PRAKTEK. : Kerajinan dari Bahan Tekstil (Kai Flanel).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Analisis menurut Komaruddin (1979) adalah kegiatan berpikir untuk

H. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR BAHASA INDONESIA SMALB TUNANETRA

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Representasi Matematis

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. Di era informasi instan dewasa ini, setiap masyarakat membutuhkan informasi,

PENILAIAN KOMPETENSI KETERAMPILAM (Suroto, Kun Setyaning Astuti, Marwanti, Erman)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) TEORI. : Kerajinan dari Bahan Tekstil (Kain Flanel).

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran Luas Permukaan Kubus dan Balok. Disusun Oleh : Imama Sabilah NIM Pendidikan Matematika 2012C

32. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SMP

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Menurut NCTM (2000) pemecahan

L. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR BAHASA INGGRIS SMALB TUNADAKSA

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RPP dan Silabus SMA Kelas X Kurikulum 2013

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

22. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN JASMANI, OLAHRAGA, DAN KESEHATAN SMP/MTs

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) PRAKTEK

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) : Kerajinan dari limbah organik (kulit jagung dan pelepah pisang).

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN. : Klasifikasi Benda : Ciri-ciri makhluk hidup

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

L. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR BAHASA INGGRIS SMALB TUNANETRA

This study entitled "Analysis of Student Learning Styles And Regular Featured In SMP N 2 Bangkinang"

BAB II KAJIAN TEORETIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) TEORI

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kemampuan Pemecahan Masalah Masalah pada umumnya merupakan sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan). Siswono (dalam Ilmiyah dan Masriyah: 2013) mengemukakan bahwa masalah merupakan suatu situasi atau pertanyaan yang dihadapi seseorang atau kelompok dimana aturan dan langkah tertentu dalam memecahkan masalah belum diketahui secara pasti untuk menentukan jawabannya. Sehingga, tidak semua persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan sebuah masalah. Hal ini senada dengan pendapat Cooney (Shadiq, 2004: 10), menyatakan bahwa for a question to be a problem, it must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to the student. (Suatu pertanyaan akan menjadi sebuah masalah jika menunjukkan adanya sesuatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan melalui prosedur rutin yang telah diketahui oleh siswa). Jadi, dapat disimpulkan bahwa suatu pertanyaan atau kondisi yang dihadapi oleh seseorang dikatakan suatu masalah jika orang tersebut tidak bisa menemukan secara langsung prosedur atau langkah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahannya itu. Setiap masalah tentu menuntut adanya suatu solusi. Untuk mencapai solusi permasalahan tersebut diperlukan adanya proses pemecahan masalah. Pemecahan masalah dijelaskan sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan 7

untuk mencapai suatu tujuan yang tidak mudah dicapai (Polya, 1973). Tahapan pemecahan masalah berdasarkan Polya dibagi menjadi empat tahap penting, yaitu: 1. Memahami Masalah (understanding the problem) Tahap memahami soal menurut Polya ialah bahwa siswa harus dapat memahami kondisi soal atau masalah yang ada pada soal tersebut. 2. Membuat Rencana (devising a plan) Menurut Polya pada tahap perencanaan penyelesaian, siswa harus dapat memikirkan langkah-langkah apa saja yang penting dan saling menunjang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. 3. Melaksanakan Rencana (carrying out the plan) Yang dimaksud tahap melaksanakan rencana adalah siswa telah siap melakukan perhitungan dengan segala macam data yang diperlukan termasuk konsep dan rumus atau persamaan yang sesuai. Pada tahap ini siswa harus dapat membentuk sistematika soal yang lebih baku, dalam arti rumus-rumus yang akan digunakan sudah merupakan rumus yang siap untuk digunakan sesuai dengan apa yang digunakan dalam soal, kemudian siswa mulai memasukkan data-data hingga menjurus ke rencana pemecahannya, setelah itu baru siswa melaksanakan langkah-langkah rencana sehingga akan diharapkan dari soal dapat dibuktikan atau diselesaikan. 4. Memeriksa Kembali (looking back) Pada tahapan ini siswa harus berusaha mengecek ulang jawaban yang telah diperoleh dan menelaah kembali dengan teliti setiap langkah pemecahan yang dilakukannya. 8

Berdasarkan tahapan pemecahan masalah Polya, pada penelitian ini indikator yang ingin diketahui oleh peneliti pada waktu siswa mengerjakan pemecahan masalah matematis dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Tahap Pemecahan Masalah Indikator I Memahami Masalah Siswa dapat menyebutkan atau menuliskan hal-hal yang diketahui dan ditanyakan. II Membuat Rencana Penyelesaian Siswa dapat membuat rencana penyelesaian masalah dari hal-hal yang diketahui untuk pemecahan masalah. III Melaksanakan rencana Siswa dapat melaksanakan pemecahan masalah melalui rencana yang telah dibuat. IV Memeriksa Kembali Jawaban Siswa dapat melakukan pemeriksaan kembali terhadap jawaban yang sudah ada. Dalam proses pemecahan masalah matematis tentu dibutuhkan sebuah kemampuan, yaitu kemampuan pemecahan masalah matematis. Kemampuan diartikan sebagai kecakapan atau potensi menguasai suatu keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil latihan maupun praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakannya. Sedangkan, pemecahan masalah matematis merupakan kegiatan menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan memeriksa kembali jawaban. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kecakapan atau potensi yang dimiliki seseorang atau siswa dalam menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan memeriksa kembali jawaban. 9

B. Gaya Belajar V-A-K Otak merupakan organ utama yang dimiliki manusia untuk belajar, karena seluruh pembelajaran terjadi di dalamnya dan di simpan. Memahami proses belajar di dalam otak, memahami keberagaman manusia, dan kebutuhankebutuhan belajar mereka yang berbeda amatlah penting bagi seorang pendidik (Prashnig, 1998). Karena hal ini akan mengarah pada praktik pengajaran yang lebih baik. Dalam bukunya yang berjudul The Power of Learning Styles, Prashnig (1998) mengungkapkan bahwa peran guru yang akrab dengan otak akan melakukan hal-hal sebagai berikut: Memberi tahu para siswa cara memanfaatkan kekuatan gaya belajar yang dimiliki demi kepentingan mereka ketika belajar di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja; Memberi pilihan-pilihan kegiatan yang melibatkan karakter visual, auditori, kinestetik, maupun taktil secara rutin; Melekatkan materi baru ke dalam seluruh indera, emosi, dan pengalamanpengalaman nyata (konkret); Membantu siswa dalam memahami gaya belajarnya sendiri dan menjelaskan bahwa semua gaya belajar adalah normal, sah, dan sama berharganya; Mengajarkan cara menghargai keunikan setiap manusia, potensi, dan kompleksitas. 1. Pengertian Gaya Belajar Setiap siswa memiliki keunikannya masing-masing, terutama dalam proses pembelajaran. Salah satu keunikan tersebut ialah cara belajar siswa atau 10

yang lebih dikenal dengan gaya belajar. Sebagian besar siswa belajar dengan berbagai macam gaya, namun tetap saja pada kenyataannya salah satu gaya lebih dominan daripada yang lainnya. De Porter dan Hernacki (2003) mengungkapkan bahwa gaya belajar adalah kombinasi dari cara seseorang dalam menyerap, mengatur, hingga mengolah suatu informasi. Senada dengan De Porter dan Hernacki, gaya belajar didefinisikan sebagai cara terbaik seseorang dalam mendapatkan informasi (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan: 2007). Definisi lebih jelas dikemukakan oleh Ghufron dan Risnawita (2014) bahwa gaya belajar merupakan cara yang digunakan seseorang dalam belajar, berkonsentrasi pada proses dan penguasaannya terhadap sesuatu hal. Menurut Windura (2008) gaya belajar individu atau personal learning style merupakan pilihan modal belajar yang utama dan selaras dengan buku manual otak seseorang. Sedangkan Krishnawati dan Suryani (2010) mengungkapkan bahwa gaya belajar merupakan perpaduan dari tiga kecenderungan dalam mengolah informasi melalui indera penglihatan, pendengaran, atau melalui tangan/tubuh. Levefer (2004) memandang gaya belajar sebagai cara seseorang dalam melihat atau merasakan hal-hal terbaik dan kemudian diproses atau digunakan sesuai apa yang dilihatnya, sebagaimana dikemukakannya bahwa A learning style is the way in which the person sees or perceives things best and then processes or uses what has been seen. Dari pendapat-pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya belajar merupakan cara yang dimiliki oleh setiap individu dalam belajar untuk 11

memproses, mendalami, dan mengolah informasi dengan mudah. Dalam penelitian ini gaya belajar yang akan digunakan yaitu pendekatan gaya belajar dengan modalitas sensori yang dikembangkan oleh Bandler dan Grinder pada tahun 1970-an. Gaya belajar yang dikembangkan dibagi dalam tiga jenis, yaitu gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. 2. Gaya Belajar Visual Menurut Windura (2008) gaya belajar visual adalah gaya belajar yang lebih banyak menggunakan indera penglihatan, baik berupa gambar maupun tulisan. Zahar (2009) mengungkapkan bahwa gaya belajar visual merupakan modalitas yang lebih mudah mengingat gambar, mengakses gambar, warna, bentuk, bangun ruang dua dimensi dan tiga dimensi. Senada dengan itu, De Porter dan Hernacki (2003) dalam bukunya yang berjudul Quantum Learning mengemukakan bahwa orang-orang visual belajar melalui apa yang mereka lihat. Sehingga, dari pendapat-pendapat sebelumnya dapat disimpulkan bahwa gaya belajar visual merupakan cara belajar seseorang yang lebih dominan menggunakan indera penglihatan dalam menerima dan mengolah informasi. Siswa dengan gaya belajar visual (visual learner) dapat diartikan sebagai individu yang lebih dominan menggunakan indera penglihatannya ketika belajar. Berikut ini ciri-ciri individu dengan gaya belajar visual yang dikemukakan oleh De Porter dan Hernacki (2003: 116-118), diantaranya ialah: a. Rapi dan teratur. b. Berbicara dengan cepat. c. Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik. 12

d. Teliti terhadap detail. e. Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi. f. Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka. g. Mengingat apa yang dilihat, daripada apa yang didengar. h. Mengingat dengan asosiasi visual. i. Biasanya tidak terganggu oleh keributan. j. Mempunyai masalah mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya. k. Pembaca cepat dan tekun. l. Lebih suka membaca daripada dibacakan. m. Membutuhkan pandangan dann tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek. n. Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam rapat. o. Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain. p. Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak. q. Lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato. r. Lebih suka seni daripada musik. 3. Gaya Belajar Auditori Windura (2008) memandang bahwa indera pendengaran lebih dominan digunakan oleh seseorang yang memiliki gaya belajar auditori, diantaranya berupa suara, bunyi, music atau pembicaraan lisan. Senada dengan Windura, 13

menurut Zahar (2009) gaya belajar auditori merupakan modalitas yang berhubungan dengan berbagai jenis bunyi, nada, irama, dan mengingat katakata. Selain itu, menurut De Porter dan Hernacki (2003) pelajar auditori melakukan kegiatan belajar melalui apa yang didengarnya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa gaya belajar auditori adalah cara belajar seseorang baik dalam menerima maupun mengolah informasi lebih dominan menggunakan indera penglihatannya. Auditory learner atau siswa dengan gaya belajar auditori merupakan individu yang dominan menggunakan indera pendengarannya ketika belajar. De Porter dan Hernacki (2003: 118) mengutarakan ciri-ciri individu dengan gaya belajar auditori adalah sebagai berikut: a. Berbicara kepada diri sendiri saat bekerja. b. Mudah terganggu oleh keributan. c. Menggerakan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca. d. Senang membaca dengan keras dan mendengarkan. e. Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara. f. Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita. g. Berbicara dalam irama yang terpola. h. Biasanya pembicara yang fasih. i. Lebih suka musik daripada seni. j. Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat. 14

k. Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar. l. Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain. m. Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya. n. Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik. 4. Gaya Belajar Kinestetik Menurut Windura (2008) gaya belajar kinestetik lebih dominan menggunakan gerakan atau praktik langsung dan juga kekuatan perasaan. Sama halnya dengan Windura, gaya belajar kinestetik menurut Zahar (2009) dianggap sebagai suatu modalitas yang berhubungan dengan koordinasi gerakan, irama, kenyamanan fisik serta peran emosionil. De Porter dan Hernacki (2003) menegaskan bahwa melalui sentuhan dan gerakanlah pelajar kinestetik belajar. Dari pendapat-pendapat para ahli yang telah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa gaya belajar kinestetik adalah cara belajar seseorang yang lebih mudah menerima dan mengolah informasi dengan banyak praktik dan kenyamanan fisik. Siswa dengan gaya belajar kinestetik atau kinestethic learner merupakan individu yang lebih dominan menggunakan gerakan dalam proses belajarnya. Ciri-ciri individu dengan gaya belajar kinestetik menurut De Porter dan Hernacki (2003: 118-120), diantaranya: a. Berbicara dengan perlahan. b. Menanggapi perhatian fisik. c. Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka. 15

d. Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang. e. Selalu beroroentasi pada fisik dan banyak bergerak. f. Mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar. g. Belajar melalui memanipulasi dan praktik. h. Menghafal dengan cara berjalan dan melihat. i. Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca. j. Banyak menggunakan isyarat tubuh. k. Tidak dapat duduk diam untuk waktu lama. l. Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu. m. Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi. n. Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot-mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca. o. Kemungkinan tulisannya jelek. p. Ingin melakukan segala sesuatu. q. Menyukai permainan yang menyibukkan. C. Gender Menurut Desmita (2009) istilah gender diartikan sebagai sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan perempuan atau laki-laki. Pengarusutamaan Gender (2010: 11-12) memberikan penjabaran mengenai definisi gender, diantaranya ialah sebagai berikut: 16

1. Gender adalah karakteristik sosial sebagai laki-laki dan perempuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat budaya melalui sosialisasi yang diciptakan oleh keluarga dan/atau masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya, interpretasi agama, struktur sosial, dan politik. 2. Gender merupakan perbedaan karakteristik sosial yang membedakan laki-laki dan perempuan. Hyde menjelaskan bahwa perbedaan kognitif antara laki-laki dan perempuan cenderung kecil. Sebagai contoh, Hyde menyatakan skor kemampuan matematis dan visuospasial antara laki-laki dan perempuan memiliki selisih yang tipis (Santrock, 2007). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gender merupakan perbedaan jenis kelamin seseorang yaitu laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menggunakan istilah gender untuk membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam dimensi biologis saja. D. Sistem Persamaan Linear Dua Variabel 1. Kompetensi Inti KI 1 : Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. KI 2 : Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. 17

KI 3 : Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata. KI 4 : Mengolah, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori. 2. Kompetensi Dasar 3.2 Menentukan nilai variabel persamaan linear dua variabel dalam konteks nyata. 4.1 Membuat dan menyelesaikan model matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan persamaan linear dua variabel. 3. Indikator 3.2.1 Menghitung nilai variabel dari masalah SPLDV dengan metode substitusi 3.2.2 Menghitung nilai variabel dari masalah SPLDV dengan metode eliminasi 3.2.3 Menghitung nilai variabel dari masalah SPLDV dengan metode grafik 4.1.1 Menyelesaikan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan SPLDV dengan metode campuran 4. Materi Persamaan linear dua variabel adalah persamaan yang memiliki dua variabel dan pangkat masing-masing variabelnya satu. Sedangkan, sistem persamaan linear dua variabel adalah suatu sistem persamaan yang terdiri atas 18

dua buah persamaan linear dengan dua variabel yang hanya mempunyai satu penyelesaian. Bentuk umum sistem persamaan linear dua variabel: } Ada empat metode penyelesaian dalam SPLDV, diantaranya: a. Metode Substitusi Menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel dengan metode substitusi dilakukan dengan cara mengganti (mensubstitusikan) salah satu variabel dengan variabel lainnya. b. Metode Eliminasi Menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel dengan metode eliminasi dilakukan dengan cara menghilangkan (mengeliminasi) salah satu variabel. c. Metode Grafik Menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan metode grafik dilakukan dengan cara membuat grafik dari kedua persamaan yang diketahui dalam satu diagram. Koordinat titik potong kedua garis yang telah dibuat merupakan penyelesaian dari sistem persamaan. d. Metode Campuran Menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel dengan metode campuran merupakan perpaduan antara metode eliminasi dan metode substitusi. Dalam menyelesaikan soal cerita pada materi sistem persamaan linear dua variabel terdapat beberapa penyebab kesalahan yang sering dihadapi siswa berdasarkan hasil penelitian Ayunanda (2012), diantaranya: 19

1. Siswa tergesa-gesa/kurang konsentrasi membaca soal. 2. Ketidakcermatan siswa dalam mengidentifikasi fakta dan masalah pada soal. 3. Kebingungan yang dialami siswa dalam mengubah kalimat menjadi model matematika. 4. Siswa tidak terbiasa menuliskan keterangan dari variabel pada model matematika yang dibuat. 5. Siswa tergesa-gesa dalam menyelesaikan model matematika. 6. Kesalahpahaman yang terjadi ketika menyimpulkan jawaban. 7. Siswa tidak mengecek kembali pekerjaanya. 8. Mencari solusi permasalahan berdasarkan perkiraan saja. 9. Tidak mampu menuangkan proses perhitungan yang ada di pikiran kedalam bentuk tulisan. 10. Kurang gigih dalam menyelesaikan kesulitan yang dihadapi. 11. Kurang teliti saat menyelesaikan model matematika. Hal ini bisa jadi disebabkan juga karena siswa kurang diberi permasalahan yang menuntut mereka untuk berpikir kritis dalam pemecahan masalah atau menjadi problem solver. Oleh karena itu, peneliti dalam penelitian ini menggunakan soal tes pemecahan masalah dengan materi sistem persamaan linear dua variabel yang diharapkan dapat menggali kemampuan pemecahan masalah siwa secara maksimal sesuai gaya belajar dan gendernya. 20

E. Penelitian Relevan Penelitian yang berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan gaya belajar maupun gender sudah cukup banyak dilakukan. Salah satunya ialah penelitian yang dilakukan oleh Damayanti dan Pratitis (2012) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara gaya belajar dari tipe kepribadian dan jenis kelamin. Penelitian ini juga menyebutkan faktor dominan yang menentukan keberhasilan proses belajar adalah dengan mengenal dan memahami bahwa setiap individu baik perempuan maupun laki-laki adalah unik dengan gaya belajar yang berbeda satu dengan yang lain. Persamaannya dengan penelitian ini adalah memandang siswa laki-laki maupun perempuan memiliki sebuah keunikan gaya belajar dalam dirinya. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini tidak mengkaji tipe kepribadian akan tetapi kemampuan pemecahan masalah siswanya. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhu (2007) yang menegaskan bahwa siswa perempuan dan laki-laki memiliki kecenderungan yang berbeda dalam penggunaan strategi pemecahan masalah. Persamaannya dengan penelitian ini adalah pebedaan gender siswa berpengaruh pada proses berpikirnya, sehingga akan menimbulkan perbedaan pula pada pemilihan strategi pemecahan masalahnya. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak hanya menganalisa perbedaan gender dalam pemecahan masalah saja, namun juga ditinjau dari perbedaan gaya belajar V-A-K siswa. Sejalan dengan Zhu, Ilmiyah dan Masriyah (2013) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam proses pemecahan masalah berdasarkan tahapan 21

pemecahan masalah Polya dari subjek yang memiliki gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. Kesamaan dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan tahapan Polya dan ditinjau dari gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. Penelitian Soenarjadi (2013) menyimpulkan secara umum profil pemecahan masalah geometri antara subjek visual laki-laki (VL) dan visual perempuan (VP) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Akan tetapi, antara subjek kinestetik laki-laki (KL) dan subjek kinestetik perempuan (KP) menunjukkan perbedaan yaitu subjek kinestetik laki-laki (KL) lebih unggul dalam melakukan visual spasial dan subjek kinestetik perempuan lebih teliti, cermat, dan seksama. Pada penelitian ini, materi yang digunakan ialah sistem persamaan linear dua variabel bukan geometri sedangkan persamaannya ialah kemampuan pemecahan masalah matematis yang diteliti ditinjau dari gaya belajar dan gender siswa. Dari beberapa penelitian yang relevan, peneliti sangat tertarik untuk melakukan analisis terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa ditinjau dari gaya belajar dan gender pada materi sistem persamaan linear dua variabel. F. Kerangka Pikir Masalah dalam matematika dapat diartikan sebagai soal non rutin yang memberikan tantangan tersendiri untuk dapat diselesaikan. Sehingga kegiatan pemecahan masalah perlu dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan. Pemecahan masalah merupakan langkah untuk 22

menyelesaikan situasi yang dihadapi oleh seseorang dan belum diketahui cara/strategi yang digunakan untuk menyelesaikannya. Untuk menyelesaikan suatu masalah menurut Polya (1973) ada empat tahapan penting yang perlu dilakukan yaitu memahami masalah (understanding the problem), merencanakan penyelesaian (devising a plan), melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan memeriksa kembali (looking back). Pada jenjang SMP, pembelajaran matematika dirasa lebih kompleks oleh kebanyakan siswa, karena siswa mulai mengenal adanya variabel pada soal. Variabel erat kaitannya dengan pokok bahasan aljabar yang memang harus dikuasai oleh siswa pada jenjang ini. Selain itu aljabar juga berkaitan dengan materi sistem persamaan linear satu variabel yang merupakan mata pelajaran wajib di kelas VII semester 2. Oleh karena itu, akan dilihat kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada materi sistem persamaan linear dua variabel yang merupakan mata pelajaran wajib yang diberikan kepada siswa pada kelas VIII semester 2. Siswa berpikir, memahami, memproses, dan memecahkan masalah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya ialah gaya belajar siswa. Hasil riset menunjukkann bahwa siswa yang belajar sesuai gaya belajar mereka yang dominan, saat mengerjakan tes akan memberikan hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar tidak sejalan dengan gaya belajarnya (Gunawan: 2003). Hingga saat ini telah banyak cara yang dilakukan untuk mengkategorikan cara manusia belajar dan memperoleh informasi. Beragam gaya belajar yang ada memiliki kelebihannya masing-masing. Walaupun begitu hal 23

yang paling penting dipahami ialah bagaimana cara kita mengamalkan pengetahuan mengenai gaya belajar ini untuk mengoptimalkan proses pembelajaran. Secara garis besar ada tujuh pedekatan gaya belajar yang dikenal termasuk gaya belajar V-A-K (visual, auditori, dan kinestetik) yang akan digunakan dalam penelitian ini. Gaya belajar V-A-K dikembangkan oleh Bandler dan Grinder dengan pendekatan berdasarkan pada modalitas sensori yakni menentukan tingkat ketergantungan terhadap indera tertentu. Siswa merupakan individu yang unik dengan segala macam perbedaannya termasuk cara mereka belajar, memperoleh, dan mengolah informasi. Oleh karena itu, subjek dalam penelitian ini diambil untuk siswa yang memiliki gaya belajar visual, siswa yang memiliki gaya belajar auditori, dan siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik. Selain gaya belajar, pembelajaran matematika biasanya dipengaruhi juga oleh faktor gender. Sebagaimana yang telah diketahui, banyak riset yang membuktikan bahwa prestasi siswa laki-laki cenderung lebih unggul dibandingkan siswa perempuan pada mata pelajaran matematika. Sehingga, ada kemungkinan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa juga dipengaruhi oleh gender siswa. Oleh karena itu, penelitian ini akan meninjau kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang ditinjau dari dua faktor, yakni gaya belajar dan gender siswa. Hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang berupa aktivitas-aktivitas pada tahap memahami masalah (understanding the problem), membuat rencana penyelesaian (devising a 24

plan), melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan memeriksa kembali jawaban (looking back) untuk siswa laki-laki maupun perempuan yang memiliki gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. Diharapkan dengan mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis siwa untuk masing-masing kelompok gaya belajar dan gender dapat membantu siswa untuk lebih mengembangkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah matematika. Siswa diharapkan juga dapat mengoptimalkan cara belajar yang lebih dominan agar dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi. Bagi guru diharapkan dengan mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang ditinjau dari gaya belajar dan gender dapat lebih mengoptimalkan proses pembelajaran serta memahami perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. 25