VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR: 09 TAHUN 2002 T E N T A N G IZIN KHUSUS PENEBANGAN JENIS KAYU ULIN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN TRIWULANAN TAHUN 2017 TRIWULAN I : BULAN JANUARI MARET

PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PENYELESAIAN KONFLIK KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II SINTANG

KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 335/KPTS-II/1997 TENTANG RENCANA KARYA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (RKPHTI) MENTERI KEHUTANAN,

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

Dampak dari berhentinya pembiayaan Pemerintah tersebut antara lain :

Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LUAS KAWASAN (ha)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.19/Menhut-II/2012 TENTANG

GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

B U P A T I B E R A U KEPUTUSAN BUPATI BERAU NOMOR : 40 TAHUN 2001 TENTANG JAMINAN KESUNGGUHAN DALAM RANGKAPEMBUKAAN LAHAN PERKEBUNAN BUPATI BERAU,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

2017, No kelestarian keanekaragaman hayati, pengaturan air, sebagai penyimpan cadangan karbon, penghasil oksigen tetap terjaga; c. bahwa revisi

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 13 TAHUN 2004 TENTANG

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

PUSAT PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN HUTAN

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 64 TAHUN 2012 TENTANG

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DISKUSI KELOMPOK II

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 11 TAHUN 2010

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

V. KESIMPULAN DAN SARAN

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

A. Ringkasan Penemuan dan Kesimpulan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu

Menimbang : Mengingat :

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.26/Menhut-II/2012

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 732/Kpts-II/1998 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBAHARUAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN

Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008

PERATURAN BUPATI BERAU

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang

KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI OLEH DIREKTUR JENDERAL BUK SEMINAR RESTORASI EKOSISTEM DIPTEROKARPA DL RANGKA PENINGKATAN PRODUKTIFITAS HUTAN

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

KEBUTUHAN BENIH DAN PERMASALAHANNYA DI IUPHHHK

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO

PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT. Disampaikan oleh: Dede Rohadi

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA

Menimbang : Mengingat :

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR: 03 TAHUN 2001 T E N T A N G

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.6/Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN STATISTIK KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN,

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN

KATA PENGANTAR KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA, Ir. MARTHEN KAYOI, MM NIP STATISTIK DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA i Tahun 2007

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DI WILAYAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

ANOTASI KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

ICAJIAN KINERJA DAN ORGANISASI PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROPINSI ULIMANTAN SELATAN OLEH : NURUL KARTINI

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG

I. INVESTOR SWASTA. BISNIS: Adalah Semua Aktifitas Dan Usaha Untuk Mencari Keuntungan Dengan

Transkripsi:

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dari pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Untuk Propinsi Kalimantan Selatan secara keseluruhan realisasi tanam masih rendah. Realisasi tanam per target RKT untuk HTI Non BUMN adalah 57,03?4 dan jika dirasiokan berdasarkan luas pencadangan HTI Non BUMN keseluruhan adalah 37,6496. 2. Prosentase realisasi tanam dipengaruhi kucuran DR semester sebelumnya atau harapan besaran kucuran DR semester berikutnya dan masih tergantung dari struktur pendanaan yang berasal dari DR ini. Secara umum realisasi tanam HTI tenls mengalami penurunan sejak tahun 199811999. 3. Keadaan politik yang berkembang di Indonesia pada awal reformasi juga berimbas pada kegiatan HTI di Kalimantan Selatan, yang menyebabkan berkurangnya kepastian berusaha karena menurunnya tingkat keamanan dan banyaknya terjadi penjarahan tanaman serta klaim lahan oleh masyarakat. Juga karena masa transisi penyerahan kewenangan antara pusat dan daerah setelah era otonomi daerah. 4. Apabila BUMN tidak dimasukkan, maka 50% perusahaan pelaksana HTI di Kalimantan Selatan adalah perusahaan dengan pendanaan berasal dari DR berupa pinjaman dengan bunga 0% dan Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) berupa

kemitraan dengan BUMN. Jika dilihat dari realisasi tanam perusahaan HTI penerima DR saja maka kontribusi DR untuk pembiayaan HTI per hektar adalah sebesar 56,48%. 5. Baik ijin target maupun realisasi fpk HTI lebih besar pada perusahaan HTT penerima DR dibanding perusahaan HTI non penerima DR. Realisasi penebangan IPK rata-rata 17,11 m3/ha atau dengan luas 30.875,03 ha volume penebangan adalah 528 147,59 m3. Angka ini di atas angka persyaratan potensi diperbolehkannya IPK yaitu di bawah 5 m3/ha, namun jika diperbandingkan dengan keseluruhan areal pencadangan HTI di Propinsi Kalimantan Selatan maka potensi kayu pada areal HTT hanya 2,03 rn3/ha dengan realisasi volume penebangan rata-rata Oj96 m3/ha. IPK umumnya dilaksanakan oleh HPH atau BUMN mitra. 6. Pemberian bantuan permodalan dalam bentuk DR dan pemberian IPK yang menyebabkan pengusaha mau masuk ke bidang usaha ini dan hanya mengarah kepada profit cjrietltczd, terbukti setelah dihentikannya penyaluran DR dan sudah mulai habisnya potensi kayu di areal HT1 maka realisasi tanaman menjadi kecil. 7. Jumlah tenaga teknis kehutanan pada tiap perusahaan HTI dibanding keluasannya sangat bervariasi, secara rata-rata adalah satu tenaga teknis untuk keluasan I.850,92 ha. Suatu jumlah yang tidak memadai untuk kegiatan yang memerlukan keahlian dalam penanganannya. Untuk penetapan kebijakan yang bersifat teknis, tenaga teknis perusahaan di daerah juga diberi kesempatan untuk mengajukan usulan atau perencanaan, tapi untuk kebijakan yang bersifat non teknis seperti

keuangan dan kebijakan lain yang berkaitan dengan kebijakan instansi kehutanan umumnya ditentukan oleh manajemen pusat. 8 Menurut hasil analisis finansial dan ekonomi, berdasarkan besaran nilai N?T, TRR dan BCR kegiatan pengusahaan EiTI di Kalimantan Selatan layak untuk dilaksanakan karena mampu mernberikan keuntungan. Dari analisis PAM diketahui terdapat distorsi harga kayu HTI akibat kebijakan pemerintah dan sifat jenis usaha HTI sendiri. 9. Untuk perbaikan kinerja HTI ke depan, berdasarkan hasil analisis terhadap penilaian yang diberikan responden dari unsur di daerah, maka diharapkan porsi daerah diberikan lebih besar. Yang dimaksud pelaku dari daerah ini adalah pemerintah kabupaten untuk pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Swasta Daerah (BURISD) untuk perusahaan dan juga masyarakat setempat (masyarakat sekitar hutan). 10. Untuk keberhasilan pembangunan HTT ke depan di Kalirnantan Selatan strategi pengembangan HTI yang dianggap tepat adalah pembentukan kemitraan yang sejajar antara pengusaha dan masyarakat di sekitar hutan, yang menuju ke bentuk kontrak kerja pada kelompok masyarakat yang adil dan berimbang. 8.2. Saran 1. Kepastian usaha dan adanya jaminan keberlanjutan usaha adalah sangat penting dan oleh karenanya penegakan hukum (law enforcement) dan aturan main (rzh of the game) serta penegasan hak-hak (property rights) masyarakat perlu dijaga dengan tujuan agar dapat meminimalkan konflik atas lahan HTI.

2. Jenis tanaman HTI sebaiknya tidak terpaku pada jenis cepat tumbuh saja tapi juga perlu pengaturan jenis yang seimbang dengan jenis kayu campuran lainnya karena industri kayu yang sudah lama ada di Kalimantan Selatan tpz~wooc.( hluckhourd, particle board, dll) terlalu berharga dan sudah memberikan kontribusi yang besar bagi pembanpnan daerah ini. Selain itu juga perlu dikembangkannya diversifikasi produk-produk HTI dengan tidak hanya menanam kayu saja tapi juga dengan membangun HTI non kayu seperti rotan, gondorukem, sutera alam, minyak atsiri dan sebagainya yang juga sangat berharga dan bernilai tinggi. 3 Kegiatan penataan batas dan pengukuhan kawasan hutan hendaknya perlu mendapat perhatian dengan mengakomodasikan kepentingan atau tuntutan masyarakat lokal. Pengukuhan lahan ini hams disertai dengan proses inventarisasi hak-hak masyarakat sekitar hutan. 4. Perlu pengkajian yang lebih mendalam lagi dari seluruh elemen masyarakat, seperti pemerintah? swasta, LSM, lingkungan akademis maupun tokoh masyarakat lainnya untuk merumuskan kebijakan dan perencanaan yang lebih komprehensif untuk pembangunan HTI yang.s~~,staitztrhle htz profitable. Seluruh elemen masyarakat ini diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam setiap kegiatan pembangunan HTI karena akan lebih menjamin keberhasilan dalam pelaksanaannya. 5. Pemberian insentif bempa pinjaman DR dengan bunga 0% dan kemudahan pemberian PK diyakini telah menimbulkan moral hazard pada pengusaha HTI selama ini, sehingga akhirnya diputuskan pemerintah untuk dihentikan. Narnun

demikian, mengingat pembangunan HTI juga berfungsi untuk merehabilitasi lahan dan sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan sedangkan sifat investasi adalah jangka panjang dan mempunyai resiko usaha besar, maka pemerintah masih perlu memberikan insentif. insentif tersebut dapat berupa diskon bunga pinjaman, yang dapat diberikan jika tanaman HTI yang dibangun telah memenuhi syarat kualitas dan kuantitas. Penilaian dapat dilakukan setelah tanaman siap dipanen, dimana jika persyaratan telah terpenuhi beban bunga pinjaman dapat dikurangi atau bahkan sampai dengan nol. Hal ini diharapkan dapat memacu pengusaha untuk menjalankan usaha pembangunan HTI dengan serius. 6. Pola kemitraan yang dikembangkan hendaknya dengan memperhatikan kultur dan budaya serta norma yang dianut masyarakat setempat dan tidak lagi bersifat ekstensif yaitu hanya memperhatikan keluasan areal. Yang lebih penting adalah peningkatan kualitas SDM masyarakat agar dalam kegiatan HTI peningkatan produksi dapat dilakukan dengan jalan pemuliaan pohon atau sistem silvikultur yang baik dan benar. 7. Kemitraan yang akan dikembangkan hendaknya bersifat pemberdayaan pada masyarakat sekitar hutan sehingga mampu meningkatkan taraf hidup dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk turut menjaga keberadaan hutan. 8. Untuk penelitian yang akan datang, perlu dilakukan kajian bentuk-bentuk kemitraan yang dipandang relevan bagi pengembangan HTI.