IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

III. METODE PENELITIAN

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN TEMBANG (Clupea platygaster) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, GRESIK, JAWA TIMUR 1

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

3. METODE PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Sukabumi

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

3. METODE PENELITIAN

PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG (Sardinella gibbosa) FAMILI CLUPEIDAE

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi, merupakan salah satu daerah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Palabuhan Ratu Perairan Palabuhan Ratu merupakan teluk semi tertutup yang berada di pantai selatan Jawa Barat, termasuk kedalam wilayah Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Pada bagian utara Palabuhan Ratu berbatasan dengan Cikidang dan dengan daerah Ciemas sebelah selatan, sebelah barat berbatasan dengan Cisolok dan Samudra Hindia sebelah barat daya. Secara geografis Palabuhan Ratu terletak antara 6 o 57-7 o 7 LS dan 15 o 22-16 o 23 BT dengan panjang pantai ± 5 km. Daerah ini mempunyai curah hujan rata-rata tertinggi pada musim barat yaitu 553,9 mm dan curah hujan terendah pada musim timur 143,5 mm. Pada bulan Januari hujan turun 24 hari dalam satu bulan, sedangkan bulan Juli hanya 7 hari dalam satu bulan. Kecepatan angin tertinggi 5,32 km/jam terjadi pada bulan september, sedangkan pada bulan Mei hanya 2,29 km/jam yang merupakan kecepatan angin terendah. Pola sebaran suhu permukaan laut (SPL) di teluk Palabuhan Ratu pada musim barat berkisar antara 28,-29,55 o C. Pada musim barat kondisi teluk Palabuhan Ratu relatif buruk, angin bertiup kencang disertai dengan hujan yang lebat. Sebaran salinitas di teluk Palabuhan Ratu berkisar antara 31 ppm sampai 34 ppm. Kelompok sebaran salinitas 33 ppm terdapat di tengah teluk, mengalami degradasi ke arah pantai, sebaran salinitas di daerah pantai dapat mencapai 31 ppm (Atmadipoera, et al. in Wiyono 21). Sumberdaya ikan di Palabuhan Ratu terdiri dari empat jenis ikan utama yaitu tongkol, tembang, layur, dan pepetek. Secara umum produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhan Ratu cendrung mengalami penurunan. Seiring dengan penurunan produksi hasil tangkapan per unit tangkapan (CPUE) jenis-jenis ikan yang tertangkap juga menurun (Wiyono 21). Penduduk sekitar Palabuhanratu sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional yang menggunakan pancing dan payang sebagai alat tangkap utama serta menggunakan perahu motor tempel maupun kapal motor. Hasil tangkapan utamanya antara lain ikan layur (Trichiurus sp.), ikan tembang (Sardinella Sp.), dan ikan tongkol (Euthynnus sp.).

4.1.2 Blanakan Blanakan merupakan daerah konservasi mangrove yang terletak di Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Secara geografis, Blanakan terletak diantara 17 o 14-17 o 52 3 BT dan 6 o 53 3-6 o 54 3 LS. Secara administratif Blanakan berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, kecamatan Ciasem di sebelah selatan, kabupaten Karawang di sebelah barat, dan kecamatan Pamanukan di sebelah timur. Luas hutan manggrove di daerah Blanakan adalah 356,6 Ha. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson curah hujan di daerah Blanakan rata-rata 126 mm (Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang in Munjilah 25). Rata-rata suhu bulanan di perairan Blanakan bervariasi antara 27,5 ºC sampai 28,7 o C (Windarti 28). Puncak maksimum terjadi pada periode musim peralihan (bulan Mei dan November), sedangkan puncak minimum terjadi pada bulan Agustus dan Februari (puncak musim timur dan barat). Rata-rata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa 31,5 33,7. Salinitas maksimum (33,7 ) terjadi dalam bulan september, sedangkan salinitas minimum terjadi pada bulan Mei (31,3 ). Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 2 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Perkembangan produksi dan nilai produksi di TPI Blanakan dari tahun 1998-24 cukup fluktuatif. Tahun 1999 volum produksi mengalami kenaikan yang cukup signifikan yakni sekitar 8. kg dari tahun sebelumnya. Periode 1999-21 produksi mengalami penurunan (Anonimous in Rodiana 26). Pada tahun 22-23 volum produksi kembali mengalami penurunan, dan naik lagi pada tahun 24 menjadi sebesar 5.294.1 kg. Secara keseluruhan armada penangkapan ikan di Blanakan selama periode 2-24 mengalami kenaikan, selama kurun waktu tersebut ukuran kapal didominasi oleh kapal dengan ukuran antara 1-2 GT. Selama periode 2-24 alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah jaring nilon dengan jumlah 347 unit, dalam hal ini yang dimaksud dengan jaring nilon adalah gillnet yang terbuat dari nilon.

4.1.3 Labuan Daerah Labuan terdapat di Kabupaten Pandeglang, bagian barat daya Propinsi Banten. Secara geografis terletak antara 6 o 21-7 o 1 LS dan 14 o 48-16 o 11 BT. Secara administratif sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Serang, sebelah timur dengan kabupaten Lebak, sebelah selatan dengan Samudra Hindia dan sebelah barat dengan Selat Sunda. Perairan laut di daerah pesisir barat Banten memiliki pantai yang landai dan kedalaman sedang. Kondisi ini sangat memungkinkan untuk berbagai aktifitas perikanan, selain itu juga memungkinkan untuk wisata bahari karena gelombang tidak terlalu besar (Wahyudi 28). Wilayah kabupaten Pandeglang meengalami dua musim, yaitu musim kemarau dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan dari bulan November sampai Maret (Rakhmania 28). Tahun 25 curah hujan rata-rata 1554 mm pertahun, dengan suhu udara minimum dan maksimum berkisar antara 23,78 o C 31,98 o C (Anonymous in Rakhmania 28). Ditinjau dari potensi sumberdaya alamnya, Kabupaten Pandeglang memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Hal ini terlihat dari potensi sumberdaya ikan WPP Laut Jawa dan Selat Sunda adalah 726,24 ton pertahun dan tingkat pemanfaatannya 57,86% (Anonimous in Kartika 27). Kapal atau perahu penangkap ikan di Kabupaten Pandeglang diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT), dan kapal motor (KM). Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan terdiri dari jenis payang, dogol, arat, purse seine, gillnet, jaring rampus, jaring klitik, bagan tancap, bagan rakit dan pancing. 4.2 Laju Eksploitasi dan Potensi Lestari Ikan Tembang (S. gibbosa) Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Menurut King (1995) laju mortalitastotal (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) sehingga ketiga jenis mortalitas tersebut perlu dianalisis. Hasil analisis parameter pertumbuhan, dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter pertumbuhan, laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang (S. gibbosa) di tiga lokasi penelitian Lokasi L (mm) k per tahun Mortalitas alami (M) per tahun Mortalitas total (Z) per tahun Mortalitas penangkapan (F) per tahun Laju Eskploitasi (E) Palabuhan Ratu 23.18.97 1.965 4.199 2.234.532 Blanakan 192.68 1.1 2.152 4.986 2.834.569 Labuan 23.18.6 1.435 3.949 2.514.637 Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, ikan tembang (S. fimbriata) di perairan Selat Madura memiliki nilai K sebesar 1,6 per tahun dan L = 2,43-21,16 cm (Effani 1998). Perbedaan nilai yang diperoleh dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dapat berpengaruh adalah keturunan (faktor genetik), parasit dan penyakit sedangkan faktor eksternal dapat berpengaruh adalah suhu dan ketersediaaan makanan (Effendie 1997). Oleh karena itu, perbedaan nilai K dan panjang infinitif dengan ikan tembang di perairan Selat Madura diduga disebabkan oleh perbedaan spesies, faktor genetik serta kondisi lingkungan yang berbeda dengan perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Dilihat dari tiga lokasi penelitian nilai L terkecil ditemukan pada daerah Blanakan dengan koefisien pertumbuhan (K) paling besar. Ikan dengan nilai K besar memiliki umur yang relatif pendek. Hal ini berarti ikan tembang di Blanakan memiliki siklus hidup dan ukuran panjang infinitif yang lebih pendek dibandingkan ikan tembang yang terdapat di Palabuhan Ratu dan Labuan. Magnan et al (25) menyatakan bahwa umur ikan pertama kali matang gonad dan usaha reproduktif tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan, jika tingkat kelangsungan hidup (survival rate) juga tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan. Seperti halnya kasus dalam exploitasi dan populasi sympatric yang mengalami survival individu dewasa rendah tapi laju pertumbuhan tinggi. Akan tetapi panjang total maksimum ikan yang tertangkap di Labuan paling kecil yaitu 169 mm, panjang ini jauh lebih kecil dari panjang infinitif ikan tembang yang didapat yaitu 23,18 mm. Hasil ini juga dapat mengindikasikan ikan tembang di Labuan telah mengalami tekanan penangkapan yang tinggi.

Dari Tabel 2 juga dapat dilihat tingkat mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang. Mortalitas total (Z) terbesar terdapat pada daerah Blanakan yaitu sebesar 4,986 karena mortalitas alami (M) dan Mortalitas penangkapan (F) juga besar. Mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Berdasarkan hal tersebut dapat diduga tingginya laju mortalitas alami ikan tembang di Blanakan disebabkan oleh menurunnya jumlah pemangsa ikan tembang pada saat penelitian. Dari ketiga lokasi penelitian didapat mortalitas penangkapan lebih besar daripada mortalitas alami. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan rendahnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukkan dugaan terjadinya kondisi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Sparre & Venema 1999) karena ikan muda tidak sempat tumbuh akibat tertangkap sehingga tekanan penangkapan terhadap stok tersebut seharusnya dikurangi hingga mencapai kondisi optimum yaitu laju mortalitas penangkapan sama dengan laju mortalitas alami. Berdasarkan hasil analisis juga diketahui laju eksploitasi ikan tembang di Labuan lebih besar dari Palabuhan ratu dan Blanakan yaitu sebesar,637 yang berarti 63,7 % kematian ikan tembang di perairan tersebut disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Laju eksploitasi ikan tembang yang besar disebabkan oleh penangkapan ikan tembang yang berlangsung setiap harinya oleh nelayan di Labuan dan alat tangkap yang digunakan tidak selektif. Bila dibandingkan dengan laju eksploitasi optimum yang dikemukakan oleh Gulland (1971) in Pauly (1984) yaitu sebesar,5 maka laju eksploitasi ikan tembang di ketiga lokasi penelitian sudah melebihi nilai optimum tersebut. Nilai ini juga menguatkan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan tembang di Teluk Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Pendugaan potensi sumberdaya ikan tembang (S. gibbosa) dilakukan dengan menggunakan data hasil tangkapan ikan tembang yang ditangkap di perairan Teluk Palabuhan Ratu dan Blanakan menggunakan upaya tangkap perahu motor tempel, sedangkan di Labuan upaya penangkapan menggunakan Purse seine. Hasil tangkapan (produksi) serta upaya penangkapan ikan tembang berdasarkan data Statistik Perikanan Palabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhan Ratu dari tahun 1999-23, KUD mandiri Mina Fajar Sidiq Blanakan

dari tahun 22-24 dan Buku Saku Perikanan Propinsi Banten dari tahun 21-27 (Lampiran 18). Hasil analisis mengenai potensi maksimum lestari dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Potensi maksimum lestari (MSY) ikan tembang di tiga lokasi penelitian menurut Schaefer dan Fox Schaefer Fox Lokasi a b FMSY MSY TAC a b FMSY MSY TAC Palabuhan Ratu,5344 -,8 334 89,24 71,4 -,223 -,38 263 77,5 62 Blanakan 9 -,38 1212 5582 4465,7 2 -,7 1429 5687 4549,6 Labuan 31 -,171 896,1 1373 1984 4 -,13 769,2 11431 9145 Ket : FMSY = unit; MSY dan TAC = ton Analisis potensi sumberdaya ikan tembang dilakukan dengan menggunakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) dan Fox (197) in Sparre & Venema (1999). Perbedaan nilai MSY diduga disebabkan karena berbedanya lokasi penangkapan dan upaya tangkap yang digunakan di masing-masing daerah penelitian.. Dilihat dari nilai koefisien determinasi (r 2 ) untuk daerah Palabuhan Ratu dan Blanakan model Schaefer mempunyai nial r 2 lebih besar sehingga lebih baik menggunakan model Schaefer sedangkan di Labuan nilai r 2 lebih besar model Fox daripada Schafer sehingga lebih baik menggunakan model Fox (Lampiran 19). Tahun 23, 24, dan 26 di Palabuhan Ratu total hasil tangkapan telah melebihi potensi maksimum lestarinya yang hanya 89,24 ton yaitu 92,7; 83,9; dan 96,95 (Gambar 3). Di daerah Blanakan MSYnya sebesar 5582 ton, sedangkan pada tahun 22 total hasil tangkapan sudah mencapai 5559 ton. Untuk daerah Banten (Labuan) mempunyai MSY sebesar 11431 ton, sedangkan tahun 21, 22, dan 27 total hasil tangkapan telah melebihi potensi maksimum lestarinya. Selain itu, jumlah upaya tangkap yang digunakan juga telah melebihi jumlah upaya tangkap optimum.

Produksi (ton) Produksi (ton) Produksi (ton) Pelabuhan Ratu 12 1 8 6 4 2 23 24 25 26 1 2 3 4 5 6 7 8 Upaya (unit) Blanakan 6 5 4 3 2 1 22 23 24 25 5 75 1 125 15 175 2 225 25 Upaya (unit) Labuan 2 175 15 125 1 75 5 25 22 21 25 24 27 26 23 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Upaya (unit) Gambar 3. Hubungan upaya penangkapan dan hasil penangkapan (produksi) Beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) yang menurun, ukuran ikan yang

semakin kecil, dan biaya penangkapan yang semakin meningkat (Widodo & Suadi 26). 4.3 Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk melihat pola pertumbuhan ikan. Jumlah ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang diamati (Gambar 4) untuk melihat sebaran panjang selama penelitian berjumlah 625 ekor. Jumlah tersebut terdiri dari 27 ekor dari Palabuhan Ratu, 182 ekor dari Blanakan, dan 236 ekor dari Labuan dengan sebaran panjang secara keseluruhan berkisar antara 19 mm - 193 mm (Gambar 5). Sumber : Dokumentasi pribadi Gambar 4. Ikan tembang (Sardinella gibbosa) Untuk daerah Palabuhan Ratu ikan tembang yang tertangkap mempunyai panjang total berkisar antara 19 mm - 193 mm. Frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas panjang 129-138 mm yaitu sebesar 38,2 %. Pada daerah Blanakan panjang total berkisar antara 139-191 mm dengan frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas panjang 149-158 mm (47,8 %). Untuk daerah Labuan panjang total ikan yang tertangkap berkisar antara 19-169 mm dengan frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas panjang 119-128 mm (3,9%). Ikan-ikan yang berukuran besar diduga merupakan ikan-ikan dewasa yang telah siap memijah atau telah megalami beberapa kali pemijahan. Hal ini sesuai dengan tingkat

kematangan gonad ikan yang ditemukan, di daerah Palabuhan Ratu dan Blanakan rata-rata ikan yang mempunyai TKG III dan IV mulai terlihat pada selang kelas panjang 151-16 mm (Gambar 12 dan 13), sedangkan di daerah Labuan ikan matang gonad pada ukuran yang lebih kecil. Ikan- ikan yang berukuran kecil merupakan ikan-ikan yang berhasil bertahan hidup dan berkembang pada musim pemijahan sebelumnya. Tertangkapnya ikan tembang yang berukuran lebih kecil di Labuan karena alat tangkap purse seine yang digunakan memiliki ukuran mata jaring yang sangat kecil (kurang dari 1 inchi), selain itu di daerah Labuan ikan tembang merupakan target utama penangkapan. Sehingga diduga di daerah ini telah terjadi tangkap lebih (over exploitation) yang menyebabkan ikan tembang pertama kali tertangkap berukuran kecil. Untuk itu ukuran mata jaring yang disarankan adalah 1,45 inchi agar ikan yang tertangkap sudah layak tangkap. Sedangkan ikan tembang yang berukuran lebih besar tertangkap di Palabuhan ratu dan Blanakan karena alat tangkap yang digunakan di daerah Palabuhan Ratu adalah Gilnet dan Purse seine dengan ukuran mata jaring yang lebih besar (lebih dari 2 inchi) dan di daerah Blanakan hanya menggunakan Gilnet dengan ukuran mata jaring juga lebih besar dari 2 inchi. Ikan tembang di daerah Blanakan tidak menjadi target utama penangkapan tetapi hanya sebagai hasil sampingan. Alat tangkap purse seine termasuk alat tangkap yang kurang selektif karena menggunakan mata jaring yang sangat kecil. Panjang total maksimum ikan tembang yang tertangkap selama penelitian di Palabuhan Ratu adalah 193 mm, Blanakan 191 mm, dan Labuan 169 mm. Menurut FAO (1974), panjang total ikan tembang dapat mencapai 185 mm. Perbedaan ukuran panjang total ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti perbedaan lokasi pengambilan ikan contoh, keterwakilan ikan contoh yang diambil dan kemungkinan tekanan penangkapan yang tinggi terhadap ikan.

Frekuensi Frekuensi Frekuensi Pelabuhan Ratu N =27 1 8 6 4 2 Blanakan N = 182 1 8 6 4 2 1 8 6 4 2 Labuan 19-119 - 129-139 - 149-159 - 169-179 - 189-118 128 138 148 158 168 178 188 198 Selang panjang N = 236 Gambar 5. Sebaran frekuensi panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) Jumlah ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang ditemukan setiap bulan pengamatan di daerah Palabuhan Ratu terbanyak pada bulan Mei (151 ekor) dan paling sedikit pada bulan Juni (56 ekor) sedangkan pada bulan Juli tidak ada ikan tembang yang ditemukan tertangkap oleh nelayan. Di daerah Blanakan paling banyak tertangkap pada bulan Juli yaitu sebanyak 78 ekor dan paling sedikit pada bulan Mei (44 ekor). Begitu juga untuk daerah Labuan ikan tembang yang paling banyak tertangkap di daerah ini pada bulan Juli (81 ekor) dan yang paling sedikit di bulan Mei (78 ekor) (Gambar 6).

Frekuensi (%) Frekuensi (%) Frekuensi (%) 77 1 8 6 4 2 PR Mei BL Mei LB Mei N = 151 N = 44 N = 78 1 8 6 4 2 19-118 129-138 149-158 PR Juni 169-178 189-198 Selang panjang (mm) BL Juli BL Juni LB Juni N = 56 N = 6 N = LB Juli 81 1 8 6 4 2 19-118 129-138 149-158 169-178 189-198 Selang panjang (mm) N = 78 N = 19-118 129-138 149-158 169-178 189-198 Selang panjang (mm) Gambar 6. Distribusi frekuensi jumlah ikan tembang setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Tertangkapnya ikan tembang dalam jumlah yang banyak di Palabuhan Ratu pada bulan Mei karena nelayan beroperasi menangkap ikan secara intensif dan belum terjadi musim peralihan, badai dan angin yang bertiup kencang. Selai ikan tongkol, layur, dan pepetek ikan tembang merupakan salah satu jenis ikan utama yang ditangkap di Teluk Palabuhan Ratu. Sedangkan pada Bulan Juli tidak ada ikan tembang yang tertangkap, hal disebabkan karena nelayan yang beroperasi sangat sedikit dan adanya badai serta angin kencang di pantai selatan Jawa. Selain

itu pada bulan Juli TPI Palabuhan Ratu diperbaiki dan direhabilitasi sehingga nelayan mendaratkan hasil tangkapannya di daerah lain. Di daerah Blanakan dan Labuan ikan tembang banyak tertangkap pada bulan Juli. Selain disebabkan nelayan yang menangkap ikan secara intensif, pada bulan Juli juga belum terjadi musim peralihan, cuaca yang buruk dan angin yang bertiup kencang. Sedangkan pada bulan Mei, jumlah tangkapan menurun disebabkan karena nelayan yang beroperasi sedikit (hanya nelayan-nelayan tradisional) yang menangkap ikan di daerah pinggiran pantai dan terjadinya badai, cuaca buruk yang disertai angin kencang di pantai Utara Jawa. Perbedaan letak geografis antara Palabuhan Ratu yang terdapat di pantai selatan Jawa dengan Blanakan dan Labuan di pantai utara Jawa menyebabkan berbedanya jumlah hasil tangkapan setiap bulan di masing-masing daerah tersebut. Pergeseran modus kelas panjang pada bulan Juni di Palabuhan Ratu ke arah kanan menunjukkan adanya pertumbuhan, hal ini diduga karena banyaknya makanan yang tersedia pada bulan tersebut. Cuaca yang buruk dan angin kencang menyebabkan terjadinya mixing (pencampuran massa air) pada bulan Juni di Palabuhan Ratu, sehinggga perairan mengandung cukup nutrien sebagai sumber makanan ikan. Menurut Magnan et al (25), dalam kasus eskploitasi dan populasi sympatric individu dewasa mengalami survival rendah tapi laju pertumbuhannya tinggi. Sedangkan di Blanakan dan Labuan modus kelas panjang bergeser kearah kiri pada bulan Juni dan Juli. Hal ini dapat diduga karena adanya rekruitmen ikan tembang pada bulan Juni dan Juli sehingga masuk individu baru dan membentuk kelas panjang yang baru. Dari tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad musim pemijahan diduga terjadi pada bulan Mei sehingga menyediakan stok ikan baru untuk bulan Juni dan Juli.

2 Jantan Betina 18 Panjang total (mm) 16 14 12 1 PR BL LB Lokasi penelitian PR BL LB Lokasi penelitian Gambar 7. Perbandingan ukuran dari total tangkapan di setiap lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Berdasarkan komposisi ukuran dari total tangkapan, panjang rata-rata ikan tembang jantan dan betina terbesar terdapat di Blanakan yaitu 158 mm untuk ikan jantan dan 163 mm untuk ikan betina (Gambar 7). Hal ini didukung oleh koefisien pertumbuhan yang juga besar di Blanakan di banding Palabuhan ratu dan Labuan (Tabel 2). Sedangkan panjang rata-rata terkecil terdapat di Labuan yaitu 135 mm untuk ikan jantan dan 14 mm untuk ikan betina. Hal ini juga didukung oleh koefisien pertumbuhan yang kecil di Labuan. Untuk daerah Palabuhan Ratu komposisi ukuran panjang lebih bervariasi. Spesies ikan yang sama tapi hidup di lokasi perairan yang berbeda akan mengalami pertumbuhan yang berbeda pula karena adanya faktor dalam dan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut. Menurut Effendie (22), faktor dalam adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi petumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 22).

4.4 Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Ikan Tembang (S. gibbosa) Perhitungan panjang dan berat dapat digunakan untuk menduga pola pertumbuhan dan tingkat kemontokan ikan (Effendie, 22). Analisis hubungan panjang-berat ikan tembang (Sardinella gibbosa) menghasilkan model pertumbuhan (Tabel 4) dengan koefisien determinasi mendekati 1. Untuk daerah Palabuhan Ratu nilai R 2 =,8 pada ikan jantan dan R 2 =,95 pada ikan betina, daerah Blanakan ikan jantan mempunyai nilai R 2 =,85 dan nilai R 2 =,89 pada ikan betina, untuk daerah Labuan nilai R 2 =,88 pada ikan jantan dan R 2 =,95 pada ikan betina. Hal ini menunjukkan bahwa di setiap lokasi penelitian, rata-rata diatas 8 % variasi berat dapat menjelaskan pola pertumbuhan panjang. Tabel 4. Hubungan panjang berat ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian Lokasi JK N Persamaan a b R 2 thit ttab Palabuhan Ratu Pola pertumbuhan Jantan 22 W=1E-5L 2.938.1 2.938.8.18 2.42 Isometrik Betina 39 W=2E-5L 2.861.2 2.861.95 1.34 2.34 Isometrik Blanakan Labuan Jantan 35 W=5E-5L 2.672.5 2.672.85 1.69 2.35 Isometrik Betina 57 W=3E-5L 2.84.3 2.84.89 1.49 2.3 Isometrik Jantan 35 W=3E-5L 2.737.3 2.737.88 1.48 2.35 Isometrik Betina 57 W=2E-5L 2.873.2 2.873.95 1.4 2.3 Isometrik Nilai (b) yang didapat dari persamaan regresi panjang-berat semuanya di bawah 3. Karena t hitung yang diperoleh lebih kecil daripada t tabel maka nilai b sama dengan tiga. Dari hasil regresi tersebut dapat diduga bahwa pola pertumbuhan ikan jantan dan betina adalah isometrik (b = 3). Hal ini berarti pertambahan bobot ikan jantan dan ikan betina sebanding dengan pertambahan panjangnya (Effendie, 22). Pertumbuhan dipengaruhi oleh keturunan, sex, umur, parasit, penyakit, makanan dan suhu perairan (Effendie, 22).

berat tubuh (g) Berat tubuh (g Berat tubuh (g) Jantan 8 6 y = 1E-5x 2.938 r =.892 Pelabuhan Ratu Betina y = 2E-5x 2.8614 r =.9766 Pelabuhan Ratu 4 2 Jantan 8 6 y = 5E-5x 2.672 r =.9235 Blanakan Betina y = 3E-5x 2.844 r =.9453 Blanakan 4 2 Jantan Labuan Betina Labuan 8 6 y = 3E-5x 2.7372 r =.937 y = 2E-5x 2.8725 r =.9736 4 2 1 12 14 16 18 2 Panjang total (mm 1 12 14 16 18 2 Panjang total (mm Gambar 8. Hubungan panjang berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Menurut Ismail (26), hubungan antara panjang total dengan berat tubuh ikan tembang (Clupea platygaster) di perairan Ujung Pangkah sangat erat dengan koefisien korelasi (r) untuk jantan,9553 dan betina,9481. Syakila (29) menyatakan bahwa persamaan hubungan panjang berat ikan tembang (S. fimbriata) di Palabuhan Ratu adalah W= 9x1-6 L 2,99 dengan kisaran nilai b sebesar 2,86 3,12 dan pola pertumbuhannya isometrik. Osman in Syakila (29)

menjelaskan perbedaan nilai b dapat disebabkan oleh musim, jenis kelamin, area, temperatur, fishing time, fishing vessel dan tersedianya makanan. Analisis kovarian (Lampiran 6) menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada hubungan panjang-berat ikan tembang jantan dan betina sehingga diduga bahwa pada ukuran panjang yang sama, ikan tembang betina memiliki tubuh yang lebih berat daripada ikan tembang jantan. Nilai koefisien korelasi (Gambar 8) yang didapat mendekati 1 yang menunjukkan bahwa hubungan antara panjang total dan berat tubuh sangat erat. Menurut Walpole (1995) jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati 1 atau -1 maka terdapat hubungan yang linear antara kedua variabel. Faktor Kondisi Faktor kondisi (K) menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina bervariasi pada setiap selang kelas panjang dan lokasi penelitian (Gambar 9 dan Tabel 5). Tabel 5. Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian Lokasi N Kisaran Jantan Ratarata Betina Ratarata Sb N Kisaran Palabuhan Ratu 22.589-.9444.8515.821 39.7846-.9584.8785.45 Blanakan 35.8232-1.747.9771.552 57.8459-1.1176.984.63 Labuan 35.588-1.463.8813.84 57.8192-1.1415.939.655 Sb Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina yang mendekati 1 menunjukkan bahwa kondisi ikan tembang relatif kurus dan berbentuk pipih. Nilai faktor kondisi yang tinggi pada selang kelas panjang tertentu mengindikasikan ikan sedang dalam pemijahan. Faktor kondisi berkaitan dengan masa pemijahan terutama pada ikan betina. Pantulu in Effendie (22) mengatakan ikan yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi, kemudian menurun ketika ikan tersebut bertambah besar. Peningkatan faktor kondisi diakibatkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan.

Nilai faktor kondisi ikan jantan di daerah Palabuhan Ratu meningkat di bulan Juni sedangkan ikan betina menurun (Lampiran 9), walaupun rata-rata nilai faktor kondisi ikan betina lebih tinggi dari ikan jantan. Hal ini disebabkan karena perbedaaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina pada saat pemijahan, ikan jantan lebih banyak yang matang gonad pada bulan Juni dibanding ikan betina. Pada daerah Blanakan nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina tertinggi pada bulan Mei dan cendrung menurun pada bulan Juli. Tingginya faktor kondisi pada bulan Mei karena ikan jantan dan betina banyak yang matang gonad dibandingkan dengan bulan Juli. Di daerah Labuan rata-rata nilai faktor kondisi meningkat di bulan Juni dan terendahnya di bulan Mei. Pada bulan Juni ikan tembang lebih banyak yang matang gonad dibanding bulan Mei dan Juli, sehingga faktor kondisinya juga lebih tinggi. Di Palabuhan Ratu rata-rata nilai faktor kondisi tertinggi terdapat pada selang kelas panjang 141-15 mm untuk ikan jantan yaitu,8914 dan 151-16 mm untuk ikan betina yaitu,8967 (Gambar 9). Untuk daerah Blanakan rata-rata tertinggi pada selang kelas panjang 141-15 mm untuk ikan jantan dan betina (masing-masingnya 1,113 dan 1,59), dan di Labuan rata-rata tertinggi pada selang kelas panjang 131-14 mm untuk ikan jantan dan betina (masingmasingnya,9457 dan,9724). Faktor kondisi ikan betina rata-rata lebih besar daripada ikan jantan, hal ini menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup dan proses reproduksinya lebih baik dari ikan jatan. Faktor kondisi dipengaruhi oleh makanan, suhu perairan, umur, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Faktor kondisi biasa digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan (Lagler 1972). Kondisi perairan yang baik dan cukup mengandung bahan makanan akan meningkatkan pertumbuhan ikan dan mempengaruhi nilai faktor kondisi. Semakin banyak makanan yang tersedia maka tingkat kemontokan ikan juga akan semakin tinggi.

1.2 Jantan PR Betina PR 1..8 Faktor kondisi.6.4.2. 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 111-12 121-13 131-14141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) 1.2 Jantan BL Betina BL 1..8 Faktor kondisi.6.4.2. 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) 1.2 Jantan LB Betina LB 1..8 Faktor kondisi.6.4.2. 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) Gambar 9. Faktor kondisi ikan tembang (S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Dari garik diatas terlihat faktor kondisi rata-rata tertinggi ditemukan di daerah Blanakan baik untuk ikan jantan maupun ikan betina. Sedangkan di

Palabuhan Ratu dan Labuan faktor kondisi cenderung rendah. Hal ini diduga disebabkan karena di pantai Blanakan terdapat konservasi manggrove yang akan menyuplai makanan ke perairan, sehingga ikan mempunyai makanan yang cukup untuk pertumbuhannya. Selain itu jumlah ikan yang matang gonad lebih banyak ditemukan di daerah Blanakan daripada daerah Palabuhan Ratu dan Labuan. Fluktuasi nilai faktor kondisi ini dapat disebabkan oleh pengaruh perbedaan umur ikan dan perubahan pola makan saat tumbuh. Faktor lain yang diduga mempengaruhi adalah kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan. Faktor kondisi yang tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam tahap perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi yang rendah mengindikasikan ikan kurang mendapatkan asupan makanan. 4.5 Aspek Reproduksi 4.5.1 Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) Untuk daerah Palabuhan Ratu, ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang diamati biologi reproduksinya berjumlah 61 ekor yang terdiri dari 22 ekor ikan jantan dan 39 ekor ikan betina. Nisbah kelamin antara ikan jantan dan ikan betina 1:1,7 (36,7% ikan jantan dan 63,93% ikan betina). Pada daerah Blanakan dan Labuan jumlah ikan tembang yang diamati biologi reproduksinya jumlahnya sama yaitu sama-sama 92 ekor, terdiri dari 35 ekor ikan jantan dan 57 ekor ikan betina. Nisbah kelamin antara ikan jantan dan ikan betina di daerah Blanakan dan Labuan 1:1,63 (38,4% ikan jantan dan 61,96% ikan betina). Berdasarkan uji chisquare pada taraf nyata,5 diperoleh nisbah kelamin jantan dan betina ikan tembang di Palabuhan Ratu, Blanakan dan Labuan tidak seimbang (Lampiran 8). Ketidakseimbangan rasio kelamin ikan jantan dan ikan betina ini diduga terjadi karena proses alamiah dari strategi reproduksi ikan tersebut, yaitu jumlah ikan betina yang lebih banyak dibutuhkan untuk memenuhi kuantitas telur dalam menunjang keberhasilan reproduksi, meskipun belum diketahui secara pasti perbandingan komposisi jantan dan betina dalam pemijahan.

Nisbah kelamin Nisbah kelamin Nisbah kelamin Pelabuhan ratu 3.5 3 2.5 2 1.5 1.5 Blanakan 3.5 3 2.5 2 1.5 1.5 Labuan 3.5 3 2.5 2 1.5 1.5 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 Selang panjang (mm) Gambar 1. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan Nisbah kelamin yang ditemukan di setiap lokasi penelitian berbeda-beda, hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh tekanan penangkapan yang juga berbeda di setiap lokasi. Pengaruh over fishing akan meyebabkan terjadinya perubahan atau ketidakseimbangan komposisi kelamin, karena pada saat dilakukan penangkapan bisa saja hanya ikan jantan yang tertangkap lebih banyak ataupun sebaliknya hanya ikan betina yang tertangkap lebih banyak.

Nisbah Kelamin (J/B) Perbandingan nisbah kelamin ikan jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang bervariasi (Gambar 1). Nisbah kelamin tertinggi pada daerah Palabuhan Ratu terdapat pada selang kelas panjang 171-18 mm. Pada daerah Blanakan nisbah kelamin tertinggi pada selang kelas panjang 141-15 mm dan untuk daerah Labuan terdapat pada selang kelas panjang 121-13 mm. Menurut Nikolsky (1963), apabila pada suatu perairan terdapat perbedaan ukuran dan jumlah dari salah satu jenis kelamin, mungkin disebabkan karena perbedaan pola pertumbuhan, berbedanya umur pada saat pertama kali matang gonad, berbedanya jangka hidup dan adanya penambahan jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada. PR BL LB 1.2 1.8.6.4.2 Mei Juni Juli Bulan Gambar 11. Perubahan Nisbah kelamin berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Nisbah kelamin dalam pemijahan tiap-tiap spesies berbeda-beda tetapi mendekati 1:1 (Effendie, 22). Secara bulanan di Palabuhan Ratu nisbah kelamin tertinggi ditemui pada bulan Mei (ikan jantan 12 ekor dan ikan betina 18 ekor) (Gambar 11 dan Lampiran 1). Pada bulan Juni nisbah kelamin menurun (ikan jantan 1 ekor dan ikan betina 21 ekor). Pada daerah Blanakan nisbah kelamin tertinggi pada bulan Juni, pada bulan ini jumlah ikan jantan hampir seimbang dengan jumlah ikan betina (14 ekor ikan jantan dan 16 ekor ikan betina). Nisbah

kelamin terendah di Blanakan ditemui pada bulan Mei (9 ekor ikan jantan dan 23 ekor ikan betina). Nilai nisbah kelamin tertinggi di Labuan pada bulan Juli, karena jumlah ikan jantan dan betina seimbang (15 ekor ikan jantan dan 15 ekor ikan betina) dan terendah pada bulan Juni (8 ekor ikan jantan dan 22 ekor ikan betina). Perbedaan jumlah jantan dan betina dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tingkah laku bergerombol diantara ikan jantan dan betina. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu populasi, perbandingan ikan jantan dan betina diharapkan dalam keadaan seimbang atau setidaknya ikan betina lebih banyak (Purwanto et al 1986). 4.5.2 Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) Tingkat kematangan gonad ikan tembang (Sardinella gibbosa) secara morfologi dapat dilihat pada Tabel 6. Jenis kelamin ditentukan setelah dilakukan pembedahan terhadap ikan contoh kemudian tingkat kematangan gonad ditentukan dengan menggunakan klasfikasi tingkat kematangan gonad berdasarkan Ismail (26), yang dimodifikasi dari klasifikasi tingkat kematangan gonad Cassie (1956) in Effendie (1979) (Tabel 1). Secara makroskopis tingkat kematangan gonad ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang didapat dari tiga lokasi penelitian sedikit berbeda dengan tingkat kematangan gonad ikan tembang (Clupea platygaster) yang diteliti oleh Ismail (26) di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Rata-rata ukuran telur pada tiap tingkat kematangan gonad lebih kecil dibanding yang diteliti Ismail (Tabel 6). Dari penelitian Weng et al (25), ikan tembang pada TKG I dan II termasuk dalam fase sebelum matang gonad (immature), ikan dengan TKG III masuk dalam fase menuju matang gonad (maturing), untuk ikan dengan TKG IV termasuk dalam fase matang gonad (mature), dan TKG V masuk dalam fase setelah matang gonad (spent).

Tabel 6. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. berdasarkan hasil pengamatan (Mei-Juli 29) gibbosa) TKG Jantan Betina I II III IV V Testis sangat kecil, warna jernih keputihan. Pendek terlihat di ujung rongga tubuh. Warna testis seperti putih susu, tampak lebih jelas dan licin. Warna testis putih kekuningan dan lebih jelas, ukuran lebih besar dari TKG II. Permukaan dan bagian pinggir gonad tidak rata dan bergerigi. Warna testis putih pekat, ukuran lebih besar, pejal dan lekukan (gerigi) semakin besar. TKG V ikan jantan tidak ditemukan selama penelitian. Warnah jernih, permukaannya licin. Ukuran ovari sangat kecil sperti benang. Butiran telur belum dapat dipisahkan. Panjang gonad antara 1/4-1/3 dari panjang rongga tubuh. Pewarnaan putih susu kemerahan. Butiran telur masih menyatu dan masih belum dapat dipisahkan. Panjang gonad antara 1/3-1/2 dari panjang rongga tubuh. Ukuran ovari lebih besar dan panjang, warna merah kekuningan. Butiran telur mulai terlihat, panjang gonad bervariasi antara 1/2-2/3 dari panjang rongga tubuh. Ovari makin besar, semua telur bewarna kuning. Mudah dipisahkan dan terlihat jelas di bawah mikroskop. Mengisi 2/3-3/4 rongga tubuh. Warna telur merah gelap, ovari mengkerut. Butiran telur makin sedikit dan terkumpul di posterior. Pemijahan ikan dilakukan pada saat kondisi lingkungan mendukung keberhasilan pemijahan dan kelangsungan hidup larva. Perbedaan musim pemijahan ikan dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi musim hujan tahunan, letak geografis dan kondisi lingkungan. Menurut Lagler (1972) ada dua faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad yaitu faktor dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam adalah perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologis dari ikan tersebut seperti kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhinya adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan.

TKG (%) TKG (%) TKG (%) Jantan PR Betina PR 1% 8% 6% 4% 2% % TKG IV TKG III TKG II TKG I TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Jantan BL Betina BL 1% 8% 6% 4% 2% % TKG IV TKG III TKG II TKG I TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Jantan LB Betina LB 1% 8% 6% 4% 2% % Mei Juni Juli TKG IV TKG III TKG II TKG I Mei Juni Juli TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I bulan bulan Gambar 12. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina setiap bulan pengamatan di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang pada setiap bulan pengambilan contoh dapat dilihat pada gambar 12. Di Palabuhan Ratu persentase ikan tembang yang matang gonad banyak ditemukan pada bulan Mei (jantan; 41,67% TKG III dan 5% TKG IV, betina; 38,89% TKG III dan 33,33% TKG IV). Persentase ikan tembang yang matang gonad di daerah Blanakan juga banyak ditemukan pada bulan Mei (jantan; 22,22% TKG III dan 77,78% TKG IV, betina; 47,83% TKG III dan 3,43% TKG IV). Begitu juga untuk daerah Labuan ikan tembang yang matang gonad banyak ditemukan pada bulan Mei (jantan; 25%

TKG III dan 75% TKG IV, betina; 45% TKG III dan 1% TKG IV). Berdasarkan hal ini dapat diduga bahwa ikan tembang (Sardinella gibbosa) memijah pada bulan Mei karena banyak ditemukan ikan dengan TKG III dan IV. Siklus reproduksi ikan tembang (Sardinella fimbriata) terjadi pada bulan Desember, sedang mencapai puncak rekruitmennya pada bulan April - Mei dan November (Effani 1998). Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba (Tang dan Affandi, 1999). Pada daerah Palabuhan Ratu persentase ikan tembang (Sardinella gibbosa) jantan dan ikan betina yang mulai matang gonad terlihat pada selang kelas 131-14 mm (Gambar 13). Ikan jantan pada selang kelas panjang 161-17 mm seluruhnya merupakan ikan dengan TKG II. Ikan betina pada selang 171-18 mm seluruhnya merupakan ikan dengan TKG II dan pada selang kelas 191-2 mm merupakan ikan dengan TKG IV. Ikan jantan dan betina yang mulai matang gonad di daerah Blanakan terlihat pada selang kelas 141-15 mm. Ikan jantan pada selang kelas ukuran 171-18 mm hanya terdapat ikan dengan TKG IV. Pada selang kelas 191-2 mm ikan betina didominasi oleh TKG IV. Pada daerah Labuan ikan jantan dan ikan betina yang matang gonad mulai terlihat pada selang kelas 111-12 mm. Untuk ikan jantan pada kelas ukuran 151-16 mm seluruhnya merupakan ikan dengan TKG IV. Pada selang kelas panjang yang lebih kecil ikan betina didominasi oleh ikan dengan TKG II dan V. Berdasarkan selang ukuran panjang ikan yang telah matang gonad, diduga ikan tembang jantan di Palabuhan Ratu pertama kali matang gonad pada ukuran 135 mm dan ikan betina 14 mm. Di daerah Blanakan ikan jantan diduga pertama kali matang gonad pada ukuran 141 mm dan ikan betina 146 mm. Untuk daerah Labuan ikan jantan diduga pertama kali matang gonad pada ukuran 116 mm dan ikan betina 117 mm. Dari hasil pengamatan dapat diduga bahwa ikan jantan lebih cepat matang gonad pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina. Pada umumnya spesies ikan yang ukuran tubuhnya kecil dan masa hidupnya pendek akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang (Lagler et al in Syandri 1996).

TKG (%) Jantan PR Betina PR 1% 8% 6% 4% 2% TKG IV TKG III TKG II TKG I TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I % Betina BL TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Betina LB TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 Selang panjang 171-18 181-19 191-2 Gambar 13. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Secara histologis ovarium ikan tembang dari Palabuhan Ratu (Gambar 14) pada TKG I gonad belum matang dan didominasi oogononia yang belum terlihat jelas atau belum dapat dipisahkan dan oosit belum ditemukan. TK II sel telur semakin besar dengan oosit sudah mulai terlihat, tapi belum ada nukleus. Sedangkan pada TKG III, terbentuk ootid, diameter telur semakin besar dan nukleus mulai terlihat. Telur dari Blanakan, pada TKG I juga didominasi oleh

oogonia yang sangat kecil sehingga sulit untuk dibedakan. TKG II sudah mulai terdapat oosit dengan selaput yang sudah terlihat dan sel telur semakin besar. Pada TKG III diameter telur semakin besar, nukleus mulai terlihat dengan jumlah ootid yang semakin banyak. Histologis telur dari Labuan, pada TKG I hanya terlihat garis-garis selaput pembatas oogonia. TKG II terlihat jelas perkembangan oosit, walaupun masih banyak terdapat oogonia. Sedangkan TKG III sudah terlihat nukleus dan sedikit butiran minyak, oosit berkembang jadi ootid. Pada TKG IV (anterior) di Palabuhan ratu ootid berkembang menjadi ovum, kuning telur dan butir minyak baru terbentuk (Gambar 15). Bagian Median diameter telur lebih besar dibanding anterior, butiran minyak dan butir kuning telur semakin banyak dan semakin besar. Sedangkan bagian posterior diameter telur lebih kecil dan terdapat ootid. Di Blanakan TKG IV (anterior), nukleus terlihat sangat jelas dengan beberapa butiran minyak, ootid berkembang menjadi ovum. Bagian Median nukleus dan butiran minyak tidak terlihat karena preparat histologisnya tidak bagus, yang ada hanya ovum dan butir kuning telur. Sedangkan pada bagian posterior ukuran diameter telur semakin besar dengan beberapa ovum yang siap dikeluarkan. Pada TKG IV (anterior) di Labuan ootid berkembang jadi ovum dengan beberapa butiran miyak dan butir kuning telur. Bagian median nukleus tidak terilihat, butiran minyak dan kuning telur semakin besar. Sedangkan pada bagian posterior ukuran diameter telur semakin besar dengan butiran minyak yang banyak dan ovum yang siap dikeluarkan. Dari setiap lokasi penelitian terlihat perbedaan perkembangan telur mulai dari TKG I sampai TKG IV dimana di daerah Palabuhan Ratu cendrung ukuran telur lebih besar. Menurut Lagler (1972) yang mempengaruhi perkembangan gonad adalah makanan, suhu, arus, tekanan penangkapan, umur, ukuran serta sifat fisiologis.

PR BL LB TKG I (1x1) TKG I (1x1) TKG I (1x1) PR BL LB Os Os Og Og TKG II (1x1) TKG II (1x1) TKG II (1x1) PR BL LB Bk Ot Ot N Ot N TKG III (1x1) TKG III (1x1) TKG III (1x1) Keterangan : Og = Oogonia; Os = Oosit; Ot = Ootid;; N = Nukleus Bk = Butir kuning telur; PR = Palabuhan Ratu; BL = Blanakan; LB = Labuan; ukuran potong = 5 μm Gambar 17. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG I, TKG II, dan TKG III

PR BL LB Bm Bk Ov Bm Bk Bm N Ov Ov TKG IV (Anterior) TKG IV (Anterior) TKG IV (Anterior) PR BL LB Bm Ov Bm Ov Bk Bm Ov Bk Bk TKG IV (Median) TKG IV (Median) TKG IV (Median) PR BL LB Bm Bk Ov Bk Bk Ov Bm Ov TKG IV (Posterior) TKG IV (Posterior) TKG IV (Posterior) Keterangan : Og = Oogonia; Os = Oosit; Ot = Ootid; Ov = Ovum; N = Nukleus; Bm = Butir minyak; Bk = Butir kuning telur; PR = Palabuhan Ratu; BL = Blanakan; LB = Labuan; ukuran potong = 5 μm Gambar 17. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG IV (anterior, median, dan posterior)

Dari tiga lokasi pengambilan contoh, ukuran ikan pertama kali matang gonad yang paling kecil ditemukan pada daerah Labuan. Adanya penangkapan yang berlebihan (over fishing) di Labuan diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan ikan tembang di lokasi tersebut menerapkan strategi reproduksi alamiah yaitu dengan mempercepat kematangan gonadnya pada ukuran panjang yang lebih kecil demi menjaga kelangsungan hidupnya. Pada ketiga lokasi penelitian laju eksploitasi telah melebihi tangkapan optimum yaitu lebih dari 5%, tetapi dilihat dari trennya laju eksploitasi di Labuan lebih besar dari daerah Blanakan dan Palabuhan Ratu yaitu 63,7%. Menurut Effani (1998) tingkat kematangan gonad ikan tembang (Sardinella fimbriata) di Selat Madura pertama kali dicapai pada ukuran panjang 163 mm untuk ikan betina dan 157 mm untuk ikan jantan. 4.5.3 Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) Indeks Kematangan Gonad (IKG) rata-rata setiap selang kelas panjang (Gambar 16) pada ikan tembang jantan dan betina bervariasi. Nilai IKG di Palabuhan Ratu pada ikan jantan berkisar antara,759-3,417% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 131-14 mm dan nilai IKG untuk ikan betina berkisar antara,7727-4,9318% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 161-17 mm. Pada daerah Blanakan nilai IKG ikan jantan berkisar antara 1,1818-5,9714% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 171-18 mm dan untuk ikan betina kisaran nilai IKG nya adalah,8529-5,2297% dengan nilai IKG tertinggi pada selang kelas 191-2 mm. Untuk daerah Labuan nilai IKG ikan jantan antara,4-5,45% dengan rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 151-16 mm dan ikan betina mempunyai nilai IKG berkisar antara,5652-7,689% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 141-15 mm. Nilai IKG rata-rata ikan betina cendrung lebih besar dari ikan jantan, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan ikan betina cendrung tertuju pada pertumbuhan gonad sehingga bobot gonad ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Dengan kata lain pengaruh perkembangan gonad ikan betina lebih signifikan dibanding ikan

IKG (%) IKG (%) jantan. Sejalan dengan perkembangan gonad, indeks kematangan gonad akan mencapai maksimum pada saat ikan memijah kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sedang berlangsung sampai selesai (Effendie, 22). Jantan PR BL LB Betina PR BL LB 4 4 3.5 3.5 3 2.5 2 1.5 1 Mei Juni Juli 3 2.5 2 1.5 1 Mei Juni Juli Bulan Bulan Gambar 17. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Berdasarkan grafik indeks kematangan gonad ikan tembang diatas, ratarata tertinggi ditemukan pada bulan Mei untuk ikan jantan dan betina. Hal ini sesuai dengan jumlah ikan yang matang gonad juga banyak dijumpai pada bulan Mei (Gambar 17). Menurut Effendie (22) IKG akan meningkat seiring dengan berkembang dan bertambahnya berat gonad kemudian menurun lagi setelah ikan memijah. Indeks kematangan gonad di daerah Blanakan lebih tinggi dibanding Palabuhan ratu dan Labuan. Hal ini disebabkan karena rata-rata berat gonad ikan tembang jantan dan betina di Blanakan lebih besar daripada Palabuhan Ratu dan Labuan, selain itu ikan yang matang gonad juga lebih banyak ditemukan di daerah Blanakan yaitu sekitar 41 ekor.

6 Jantan PR Betina PR 5 4 IKG 3 2 1 111-12 121-13 131-14 141-15 161-17 171-18 181-19 191-2 151-16 Selang panjang (mm) 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16161-17 171-18 181-19 191-2 Selang panjang (mm) 6 Jantan BL Betina BL 5 4 IKG 3 2 1 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 Selang panjang (mm) 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 Selang panjang (mm) 6 Jantan LB Betina LB 5 4 IKG 3 2 1 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 111-12 121-13 131-14 141-15 151-16 161-17 171-18 181-19 191-2 Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) Gambar 16. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)

Ismail (26), memperoleh nilai IKG ikan tembang di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan,46 (±,16) sampai,194 (±,56) sedangkan untuk betina,49 (±,16) sampai,197 (±,76). Perbedaan kisaran nilai IKG untuk ikan jantan dan betina diduga karena pada ikan betina pertumbuhan lebih cendrung pada berat gonad. Effendie (22) menyatakan bahwa pertambahan gonad pada ikan betina dapat mencapai 1-25% dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan hanya mencapai 5-1% dari berat tubuh. 4.5.4 Fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) Fekunditas dihitung pada ikan-ikan yang telah matang gonad yaitu TKG III (56 buah gonad) dan TKG IV (33 buah gonad). Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh fekunditas ikan tembang (Sardinella gibbosa) secara keseluruhan berkisar antara 1872-149853 butir telur (Gambar 18-19 dan Lampiran 16). Menurut Ismail (26) fekunditas ikan tembang di perairan Ujung Pangkah berkisar antara 2563 465536 butir telur. Jika dibandingkan dengan fekunditas dari ketiga lokasi penelitian nilai ini jauh lebih besar. Dengan adanya tekanan penangkapan yang besar maka waktu atau periode pemijahan ikan dapat terganggu, sehingga ikan akan memijah lebih cepat dari waktu ideal pemijahannya yang akan berpengaruh terhadap terhentinya perkembangan fekunditas ikan tersebut. Untuk spesies tertentu, pada umur yang berbeda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan dan pengaruh penangkapan (Effendie 22). Di daerah Palabuhan Ratu ikan tembang yang matang gonad ditemukan sebanyak 21 ekor (11 gonad TKG III dan 1 gonad TKG IV), dengan jumlah terbesar ditemukan pada bulan Mei (13 ekor). Pada daerah Blanakan ikan yang matang gonad berjumlah 41 ekor (26 gonad TKG III dan 15 gonad TKG IV), dengan jumlah terbesar juga ditemukan pada bulan Mei (18 ekor). Untuk daerah Labuan ikan tembang yang matang gonad sebanyak 27 ekor (19 gonad TKG III dan 8 gonad TKG IV), dengan jumlah ikan yang matang gonad pada bulan Mei dan bulan Juni sama-sama 11 ekor. Fekunditas ikan tembang di Palabuhan Ratu berkisar antara 1872-12366 butir telur, di daerah Blanakan fekunditas berkisar

antara 28319-149853 butir telur, dan di daerah Labuan berkisar antara 18552-78754 butir telur. BL TKG III y =.374x 2.7845 R 2 =.266 LB TKG III y = 287.3x.495 R 2 =.22 y =.84x 3.111 R 2 =.22 TK G I V TK G I V y = 6.7981x 1.7937 R 2 =.1847 1 12 14 16 18 2 P anjang to tal (mm) 1 12 14 16 18 2 P anjang to tal (mm) Gambar 18. Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan panjang total ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan tembang di daerah Palabuhan Ratu pada ikan TKG III ditunjukkan melalui persamaan : F = 8E-25 L 13,84 (r =,6489), untuk fekunditas pada ikan TKG IV adalah : F = 4E-9 L 5,8394 (r =,6623). Di daerah Blanakan hubungan fekunditas dengan panjang total pada ikan TKG III ditunjukkan oleh persamaan : F =.374 L 2,7845 (r =,5158), dan untuk TKG IV : F =.84 L 3,111 (r =,469). Untuk daerah Labuan pada ikan TKG III ditunjukkan oleh persamaan : F = 287.3 L,495 (r =,1421), persamaan pada ikan TKG IV adalah : F = 6.7981 L 1,7937 (r =,4298). Berdasarkan persamaaan tersebut, diperoleh nilai koefisien regresi (r) cukup rendah, yang menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan tembang