BAB I PENDAHULUAN. Gian Sugiana Sugara, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

dokumen-dokumen yang mirip
BABIII METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas.

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alrefi, 2014 Penerapan Solution-Focused Counseling Untuk Peningkatan Perilaku Asertif

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan reaksi yang. (Bhave & Saini, 2009; Reilly & Shopshire, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2015 LAYANAN KONSELING DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGI SELF-MANAGEMENT UNTUK MENINGKATKAN STABILITAS EMOSI PESERTA DIDIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Sementara rekomendasi hasil penelitian difokuskan pada upaya sosialisasi hasil

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sintia Dewi,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sutanto, 2014 Program Bimbingan Pribadi Sosial Untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri Siswa

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. alkohol, napza, seks bebas) berkembang selama masa remaja. (Sakdiyah, 2013). Bahwa masa remaja dianggap sebagai suatu masa dimana

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu institusi yang bertugas mendidik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

LAMPIRAN III INSTRUMEN PENELITIAN

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

2015 EFEKTIVITAS STRATEGI BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN REALITAS UNTUK MEREDUKSI PERILAKU AGRESIF

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anisa Rahmadani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis

Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya membuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah-masalah ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya fisik, mental,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, hubungan sosial mengambil peran yang penting. Mereka

INTERVENSI KRISIS DI SEKOLAH. Farida Harahap Tim: Nanang EG, M.Ed

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. pribadi individu. Secara filosofis dan historis, pendidikan menggambarkan suatu

Tabel 1.1 Tempat Terjadinya Kekerasan terhadap Anak Kekerasan Jumlah Kasus Persentase Di Sekolah ,20% Di Luar Sekolah ,80% Total %

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Emosi adalah bagian terpenting dari manusia serta merupakan aspek perkembangan yang terdapat pada setiap manusia. Karena emosi, individu mampu untuk merasakan keadaan dirinya dan mengekspresikan perasaannya secara tepat dan positif. Secara umum terdapat dua macam emosi pada manusia yaitu emosi positif dan emosi negatif (Faupel, Herrick & Sharp, 2011: 3). Senang dan bahagia merupakan salah satu bentuk dari emosi positif, sedangkan marah (anger) dan sedih merupakan contoh dari emosi negatif (Shaffer, 2009: 285). Emosi pada manusia diperlukan untuk melakukan adaptasi dengan lebih mudah. Ketika individu mampu untuk mengelola emosinya secara positif, maka individu akan mampu dalam mengendalikan dirinya. Untuk itu, sesuai dengan yang dijelaskan Bhave dan Saini (2009: 3) yang mengatakan bahwa manusia perlu mempelajari bagaimana cara mereka mengendalikan emosinya agar dapat beradaptasi dengan baik. Marah merupakan bagian dari emosi yang mengandung muatan emosi yang negatif. Walaupun termasuk sebagai emosi negatif, akan tetapi kemunculan marah tidak selalu menjadi tanda dari adanya ketidakstabilan emosi, melainkan merupakan emosi alami yang dialami oleh setiap orang baik itu anak-anak, remaja, dan orang dewasa (Golden, 2003: 15). Hal ini sesuai dengan pendapat Perritano (2011:23) yang menjelaskan bahwa perubahan kondisi mental kita yang terjadi pada diri kita akan menimbulkan emosi tertentu. Marah memiliki dua sisi yakni sisi positif dan negatif. Memiliki makna positif jika marah diekspresikan dengan cara yang tepat sehingga dapat membantu individu dalam mengekspresikan berbagai perasaan dengan cara yang dapat diterima lingkungan, Gian Sugiana Sugara, 2014 Penggunaan konseling ego state untuk mengelola kemarahan (penelitian single subject pada siswa kelas xi smk profita bandung tahun ajaran 2013/2014) Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1

2 membantu menyelesaikan masalah, dan juga mampu memotivasi dalam mencapai tujuan yang positif (Bhave & Saini, 2009: 11). Memiliki makna negatif, jika marah diekspresikan dalam cara yang tidak tepat seperti merusak benda, bertindak agresif baik verbal maupun fisik yang dapat mengganggu hubungan interpersonal. Penelitian yang dilakukan oleh Kokko (Keltikangas-Jarvinen, 2001) menemukan bahwa bahwa tingkah laku kemarahan dan agresif pada masa anakanak mengindikasikan akan munculnya kriminalitas ketika dewasa serta tingginya angka pengangguran. Tingkat kemarahan pada usia anak sekolah selalu meningkat dari tahun ke tahun, dimana para siswa sering terlibat ke dalam perkelahian terutama secara fisik (Bhave & Saini, 2009: 147). Hal ini diperkuat dengan banyaknya kasus tawuran antar pelajar yang terjadi di Indonesia. Kasus yang terbaru Seorang siswa SMK yang menyiram air keras di dalam bis karena kemarahan kepada siswa yang menjadi musuh sekolahnya sehingga ada 14 korban yang terkena air keras dan menderita luka (www.tribunnews.com/metropolitan/2013/10/07/kasus-pelajar-menyiram-airkeras-tergolong-ekstrim). Kasus lain yang tidak kalah mencengangkan adalah Tawuran antar pelajar SMK di Karawang yang menewaskan satu orang pelajar karena ditusuk menggunakan pisau (www.karawangnews.com/2013/07/siswasmk-tewas-tawuran-di-jalan-baru.html). Furlong et al (2013) menjelaskan bahwa siswa yang memiliki perasaan marah yang tidak terkendali akan menimbulkan perilaku agresif. Untuk menghindari hal tersebut, maka perhatian mengenai masalah kemarahan pada saat anak-anak harus lebih ditingkatkan (Beck & Fernandez, 1998). Data terbaru dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014. Sebanyak 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Sejumlah studi menunjukkan bahwa tingkat kekerasan yang dilakukan oleh remaja di indonesia semakin hari akan semakin

3 meningkat dengan banyaknya fenomena perkelahian, membawa senjata, dan melakukan intimidasi dan bullying baik secara verbal maupun fisik. Jika dilihat dari tahapan perkembangan sebagian besar siswa Sekolah Menengah Kejuruan berada pada masa remaja. Para teoris telah menggambarkan remaja sebagai masa stres yang tinggi, ketidakstabilan emosional, variabilitas dalam suasana hati, dan kerentanan sosial (Sandtrock, 2007). Karena perubahan fisiologis dan sosio-emosional yang terjadi, remaja membutuhkan keterampilan pengelolaan stres yang efektif dan berfungsi adaptif selama periode perkembangan ini. Tetapi dalam masa ini terjadi konflik diri dimana remaja ingin dihargai sebagai orang yang ingin mandiri akan tetapi masih harus bergantung pada orang tua. Peningkatan stres disebabkan oleh ekspektasi teman sebaya, dan ketahanan terhadap aturan dan otoritas (yaitu, orang tua, guru) dewasa. Sandtrock (2007) menjelaskan bahwa stres berhubungan dengan ketegangan yang dihasilkan dari sosialisasi yang buruk, tuntutan keluarga, dan tekanan lingkungan sering muncul untuk mempengaruhi emosi remaja, menyebabkan peningkatan stres, frustrasi, dan marah. Jika remaja kurang memiliki kontrol diri dan keterampilan pengelolaan stres, mereka lebih cenderung untuk marah dan melakukan tindakan kenakalan. Remaja yang memiliki tingkat stres yang tinggi dan keterampilan pengelolaan stress yang rendah cenderung akan menunjukkan tingkat kemarahan yang tinggi dan mudah terprovokasi. Hasil studi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 mengenai gangguan emosional pada remaja hasilnya menunjukkan terdapat 11,7 % populasi remaja yang usianya di atas 15 tahun mengalami kecemasan dan depresi. Penelitian lain dari National Institute of Mental Health (NIMH) di Amerika Serikat melaporkan pada tahun 2004 sekitar 8,3 % remaja yang usianya 9 sampai 17 tahun mengalami depresi yang diakibatkan karena ketidakmampuan siswa dalam mengelola stres dan kemarahan. The National Center for Education Statistics (2010) melaporkan bahwa di Amerika Serikat sekitar 1,9 juta kejahatan terjadi di sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh bangsa, yang berarti sekitar 40 siswa per 1.000 menjadi korban dari beberapa jenis. Statistik ini tidak termasuk intimidasi atau cyber-

4 bullying, yang juga jenis agresi. Pada tahun 2009, 28 persen siswa usia 12-18 melaporkan merasa diintimidasi oleh satu atau lebih dari teman-teman mereka. Kemarahan juga telah dikaitkan dengan masalah-masalah lain yang serius, seperti depresi, bunuh diri, dan penyalahgunaan zat (Daniel, Goldston, Erkanli, Franklin, & Mayfield, 2009). Hal ini sering mempengaruhi kemampuan siswa dalam mengembangkan potensi penuh mereka. Pada masa remaja, siswa seringkali mengalami konflik dan tidak mampu mengelola rasa marahnya ketika menghadapi kondisi yang tidak sesuai dengan keinginannya. Akibatnya siswa seringkali meluapkan rasa marahnya pada hal-hal yang negatif dan bersipat menghancurkan diri (self destruction). Terdapat berbagai macam hal yang dapat menyebabkan munculnya rasa kemarahan pada seseorang. Hal yang paling sering dapat menyebabkan munculnya rasa kemarahan adalah ketika seseorang menghadapi suatu situasi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Dalam hal ini kemarahan muncul sebagai reaksi dari perasaan frustrasi ataupun kecewa ketika memiliki keinginan yang tidak terpenuhi (Bhave & Saini, 2009). Akibatnya, seringkali siswa tidak mampu mengendalikan dirinya dimana ketika tidak mampu mengelola kemarahan menyebabkan perilaku agresif baik secara verbal maupun fisik (Nindita, 2012). Menurut Bhave dan Saini (2009), seseorang yang memiliki kesulitan dalam mengelola rasa marah, memiliki pemikiran yang negatif mengenai lingkungannya. Mereka memiliki persepsi dan harapan bahwa lingkungan harus selalu memenuhi segala keinginannya. Apabila hal tersebut tidak terlaksana, maka akan membuat mereka marah. Mereka juga tidak menyadari bahwa reaksi marah yang mereka tampilkan disebabkan oleh kesalahan berpikir (irrational belief) yang mereka miliki. Hasil penelitian di kelas XI SMK Profita Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 menunjukkan bahwa sebanyak 19,60 % siswa mengalami kemarahan pada kategori tinggi, 61,31 % siswa mengalami kemarahan pada kategori sedang dan 19,10 % siswa mengalami kemarahan pada kategori rendah. Sementara ekspresi kemarahan yang paling dominan adalah kemarahan reaktif dengan kategori sedang. Hal ini menunjukkan fenomena kemarahan perlu mendapatkan layanan yang bersipat segera dari konselor sekolah. Data lain ditemukan peneliti

5 dari hasil observasi selama praktek layanan bimbingan dan konseling di SMK Profita Bandung terdapat fenomena tingginya tingkat intensitas kemarahan yang tidak terkelola sehingga siswa tidak mampu mengendalikan dirinya. Adapun bentuk ekspresi kemarahan siswa yang teramati adalah pertengkaran dengan teman, rentannya siswa yang tidak mampu mengelola stres sehingga mengalami histeris seperti menangis yang tidak terkendali. Selain itu, siswa yang tidak mampu mengelola kemarahan ketika ada masalah di sekolah cenderung menghindar dengan bolos dari sekolah. Dari hasil wawancara terhadap siswa ditemukan bahwa siswa cenderung tidak mampu mengendalikan diri ketika memiliki menghadapi masalah seperti diputuskan pacar, bertengkar dengan orang tua, dan konflik dengan teman. Deffenbacher, Lynch, Oetting, dan Kemper (1996) menunjukkan bahwa individu dengan kemarahan sifat yang tinggi lebih cenderung memiliki masalah interpersonal, kesulitan akademis, dan konflik dalam kehidupan mereka. Ketika siswa percaya bahwa mereka memiliki sumber daya yang diperlukan untuk menangani kesulitan, mereka lebih cenderung untuk membuat pilihan yang bijak. Jika, di sisi lain, mereka merasa bahwa mereka tidak dapat menghadapi masalah, mereka dapat membuat pilihan yang buruk. Studi yang dilakukan Csibi & Csibi (2011) menunjukkan bahwa anak perempuan sering menggunakan penghindaran ketika berhadapan dengan situasi stres, yang menyebabkan ketegangan emosional. Akhirnya, ketegangan yang harus dirasakan diekspresikan dalam beberapa cara, seperti agresi terhadap teman-teman mereka. Hal ini dapat menyebabkan masalah interpersonal lebih lanjut, yang mungkin menjadi penyebab awal stres. DiGiusepe dan Tafrate (2007) menjelaskan bahwa individu yang mengalami kemarahan perlu mendapatkan layanan konseling agar mampu mengendalikan dirinya. Jika kemarahan tidak terkendali, maka akan mengakibatkan perilaku agresif bahkan dapat mengalami depresi. Mengelola kemarahan (anger management) merupakan hal yang penting dilakukan dalam kehidupan manusia. Karena mengelola kemarahan, manusia dituntut untuk mampu mengekspresikan kemarahan yang mereka miliki dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan, dan tidak menyakiti diri sendiri ataupun orang lain

6 (Burt, 2012). Untuk itu, Lench (2004) mengungkapkan bahwa seiring dengan perkembangan kehidupan, manusia dituntut untuk dapat mengelola kemarahan walaupun tidak semua individu dapat dengan mudah melakukannya. Dengan melihat fenomena ini, maka tema mengenai pengelolaan marah ini harus menjadi perhatian khususnya dalam layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Bimbingan dan konseling memiliki peranan penting untuk membantu individu agar memiliki mental yang sehat. Secara konseptual bimbingan berperan sebagai upaya membantu individu agar berkembang secara optimal (Kartadinata, 2011). Tujuan pemberian layanan bimbingan dan konseling adalah agar siswa mampu untuk memahami dirinya dan lingkungannya (Yusuf dan Nurihsan, 2005). Untuk itu, dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling, konselor sekolah berperan sebagai benteng pertahanan pertama (first defence) agar siswa menjadi pribadi yang sehat (Zalaquet & Sanders, 2010). Konselor memiliki peranan penting dengan menggunakan strategi yang dimilikinya agar konseli mengelola kemarahan secara sehat. Adapun strategi layanan yang diberikan kepada konseli yang mengalami rasa marah adalah dengan diberikan layanan responsif melalui konseling. Terdapat beragam pendekatan konseling yang dapat digunakan dalam membantu siswa dengan masalah pengelolaan marah diantaranya adalah cognitive behavior therapy, mindfulness based therapy dan konseling ego state (Kelly, 2007; Emmerson, 2010). Hasil penelitian Pellegrino (2012) mengenai penggunaan Mindfullness dan Cognitive Behavior Therapy (CBT) dalam mengelola kemarahan. Hasilnya menunjukkan pendekatan Mindfullness dan CBT efektif dalam menurunkan kemarahan yang dirasakan oleh partisipan penelitian. Penelitian lain yang dilakukan Fikri (2012) terhadap remaja laki-laki yang berusia 16 sampai 21 tahun (N = 8). Penelitian ini menggunakan instrumen State-Trait Anger Expression Inventory atau STAXI yang dikembangkan oleh Spielberg pada tahun 1998 untuk mengukur pengalaman dan ekspresi marah pada remaja serta buku harian sebagai media untuk menulis pengalaman emosional. Setelah mengukur skala emosi marah, subjek kemudian diminta untuk menuliskan pengalaman emosionalnya pada buku harian selama empat hari berturut-turut

7 dengan durasi waktu selama 30 menit. Setelah selesai, subjek diberikan proses debriefing berupa wawancara singkat mengenai evaluasi hasil tulisan. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah bahwa menulis pengalaman emosional mampu menurunkan emosi marah pada remaja. Temuan-temuan penelitian di atas menunjukkan beragam pendekatan yang secara efektif dapat membantu individu dengan masalah pengelolaan kemarahan. Tetapi dari beberapa hasil studi yang berkaitan dengan CBT menunjukkan bahwa pendekatan ini memerlukan waktu yang cukup lama dalam membantu orang. Pellegrino (2012) menjelaskan setidaknya harus ada 12 sesi konseling yang perlu diikuti oleh klien dengan masalah pengelolaan kemarahan. Penelitian yang dilakukan oleh Nindita (2012) menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya minimal 8 sesi konseling dengan menggunakan CBT bagi individu yang mengikuti program pengelolaan kemarahan. Temuan ini menunjukkan bahwa pendekatan CBT memiliki proses waktu yang cukup lama dalam memberikan intervensi kepada konseli. Hal ini akan memiliki hambatan jika digunakan dalam setting sekolah karena dalam setting sekolah diperlukan waktu dan jumlah sesi yang singkat dan efektif. Konseling ego state dipandang intervensi yang tepat digunakan dalam mengelola kemarahan (Emmerson, 2006). Hal ini karena melalui konseling ego state, siswa diajak untuk mengenali bagian diri yang tidak terkendali ketika marah dan belajar untuk menerima marah serta mengeksperisikannya secara tepat. Emmerson (2010) menjelaskan konseling ego state menyediakan solusi yang lebih cepat dibandingkan dengan Cognitive Behavior Therapy. Hal ini dikarenakan CBT memfokuskan diri pada gejala yang tidak diinginkan dan melatih konseli untuk merespon dengan cara yang berbeda, konseling ego state menggunakan gejala yang tidak diinginkan untuk mengalokasikan penyebab gangguan sehingga dapat melakukan resolusi terhadap masalah yang belum terselesaikan.selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling ego state secara efektif dapat digunakan dalam membantu masalah emosi dan perilaku seperti post traumatic stress disorder (PTSD), depresi, adiksi, manajemen rasa

8 marah, trauma dan kecemasan (Barabaz & Watkins, 2008; Watkin & Watkins, 1997; Emmerson; 2010; Philips, 2008). Dalam pandangan ego state, konseli yang mengalamai kemarahan karena konseli belum mampu menerima perasaan marah yang terjadi pada dirinya. Emmerson (2010: 136) berpendapat bahwa konseli yang tidak mampu mengelola rasa marah karena tidak dilepaskan rasa marah tersebut atau bingung tentang bagaimana cara melepaskan marah secara tepat. Menekan rasa marah ini akan menyebabkan konseli mengalami distress secara internal dan ketika mengekspresikan secara tidak tepat akan menyebabkan masalah sosial. Ketidakmampuan mengelola ini dapat menyebabkan kecemasan yang berujung pada depresi (Emmerson, 2010: 137). Untuk itu, konseling ego state dipandang tepat digunakan sebagai intervensi bagi konseli dengan masalah pengelolaan rasa marah. B. Identifikasi dan Perumusan masalah Fakta empiris menunjukkan bahwa layanan bimbingan dan konseling dibutuhkan bagi siswa yang tidak mampu mengelola marah. Konseling merupakan strategi layanan yang tepat agar siswa mampu memahami dirinya sehingga mampu mengendalikan dirinya (Yusuf dan Nurihsan, 2006). Konseling ego state merupakan intervensi konseling yang tepat dalam membantu siswa mengelola marah. Konseling ego state merupakan teknik konseling singkat yang berdasar pada premis kepribadian yang terdiri dari bagian-bagian (parts) terpisah dan ini disebut ego state (Emmerson, 2010). Konseling ego state memfasilitasi komunikasi antara bagian diri atau ego state yang merupakan bagian diri agar dapat berdamai. Emmerson (2006) menjelaskan dalam pandangan ego state, konseli dengan masalah pengelolaan marah karena konseli belum mampu menerima perasaan marah yang terjadi pada dirinya. Untuk itu konselor sekolah dapat membantu siswa yang tidak mampu mengelola marah dengan menggunakan teknik konseling ego state sebagai intervensi (Emmerson, 2006; Arif, 2011; Barabasz & Watkins, 2011).

9 Untuk itu rumusan masalah utamanya adalah bagaimana keefektifan teknik konseling ego state dalam mengelola marah? Dari rumusan masalah tersebut dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Seperti apa profil kemarahan kelas XI SMK Profita Bandung tahun ajaran 2013 / 2014? 2. Bagaimana pelaksanaan konseling ego state dalam mengelola kemarahan bagi siswa kelas XI SMK Profita Bandung tahun ajaran 2013 / 2014? 3. Bagaimana efektivitas teknik konseling ego state dalam mengelola kemarahan bagi siswa kelas XI SMK Profita Bandung tahun ajaran 2013 / 2014? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh suatu model konseling ego state yang efektif dalam mengelola kemarahan. Secara khusus tujuan penelitian adalah mengetahui hal-hal berikut : 1. Memperoleh data profil kemarahan siswa kelas XI SMK Angkasa Bandung Tahun Ajaran 2013/2014; 2. Memperoleh rancangan intervensi konseling ego state dalam mengelola kemarahan siswa kelas XI SMK Profita Bandung tahun ajaran 2013/2014. 3. Memperoleh data besaran efektivitas konseling ego state dalam mengelola kemarahan siswa kelas XI SMK Profita Bandung tahun ajaran 2013/2014. D. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis penelitian ini adalah memperkaya khasanah teori tentang dinamika siswa dalam mengelola kemarahan dan melengkapi berbagai model konseling untuk mengelola kemarahan. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh konselor sekolah di lapangan sebagai pedoman intervensi dalam menangani siswa yang tidak mampu mengelola kemarahan. Bagi siswa diharapkan memiliki keterampilan bantuan diri dalam mengelola kemarahan.

10 E. Asumsi dan hipotesis Penelitian tentang keefektifan teknik konseling ego state untuk mengelola kemarahan ini dilandasi oleh asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Kemarahan adalah emosi negatif yang merupakan hasil dari pengalaman subjektif seseorang terhadap orang lain atau terhadap suatu situasi yang dipersepsikan sebagai keadaan yang tidak menyenangkan (Novaco, 2003). 2. Siswa yang tidak mampu mengelola kemarahan membutuhkan layanan konseling untuk mengelola kemarahan agar mampu mengendalikan dirinya (DiGiusefe dan Tafrate, 2007) 3. Konseling ego state dapat digunakan untuk mengelola kemarahan siswa (Emmerson, 2010) Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka hipotesis penelitian adalah: Jika terjadi penurunan skor kemarahan yang dialami oleh siswa, maka semakin efektif konseling ego state dalam mengelola kemarahan siswa. F. Struktur Organisasi Tesis Rancangan penulisan tesis terdiri dari 5 bab, sebagai berikut: Bab I pendahuluan, yang mengungkapkan latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi dan hipotesis penelitian serta struktur organisasi tesis. Bab II konsep kemarahan dan konseling ego state, yang terdiri dari ringkasan teori yang berhubungan dengan variabel permasalahan yang diteliti. Bab III metodologi penelitian, yang meliputi pendekatan dan jenis penelitian, desain penelitian, sampel penelitian, instrumen penelitian dan teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data. Bab IV hasil penelitian dan pembahasan, yang berisi laporan dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian, temuan penelitian konseling ego state dalam mengelola kemarahan serta keterbatasan penelitian. Bab V simpulan dan rekomendasi, yang berisi uraian kesimpulan dari hasil penelitian serta rekomendasi bagi konselor sekolah, pengampu mata kuliah teori dan praktek konseling, dan peneliti selanjutnya