HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas imago C. formicarius oleh M. brunneum dan B. bassiana Secara umum data yang diperoleh menunjukan bahwa semakin banyak atau rapat konidia yang digunakan, maka semakin cepat cendawan tersebut menginfeksi dan mematikan C. formicarius (Tabel 1). Tabel 1 Mortalitas kumulatif C. formicarius pada hari ke-10 setelah perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana. Kerapatan konidia/ml Mortalitas (%) 1 M. brunneum B. bassiana 0 3.12e 3.12e 10 6 50.00c 6.25e 10 7 65.00bc 28.75d 10 8 82.50ba 48.75c 10 9 95.00a 76.25ba 1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan =0,05 Perbedaan kerapatan konidia masing-masing cendawan M. brunneum dan B. bassiana berpengaruh terhadap tingkat mortalitas C. formicarius. Mortalitas tertinggi didapat oleh M. brunneum dengan kerapatan konidia 10 9 /ml sebesar 95.00%. Nilai mortalitas C. formicarius setelah perlakuan B. bassiana pada kerapatan konidia 10 9 /ml sebesar 76.25% berbeda nyata dengan kerapatan konidia M. brunneum 10 9 /ml namun memiliki nilai tak berbeda nyata dengan M. brunneum pada kerapatan konidia10 8 /ml sebesar 82.50%. Mortalitas juga tak berbeda nyata antara perlakuan M. brunneum kerapatan konidia 10 6 /ml yaitu sebesar 50.00% dengan mortalitas perlakuan B. bassiana pada kerapatan konidia 10 8 /ml sebesar 48.75%. Nilai mortalitas pada kontrol sebesar 3.12%, nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. bassiana pada kerapatan konidia 10 6 /ml sebesar 6.25%. Bari (2006) melaporkan tingkat kematian C. fomicarius yang disebabkan oleh B. bassiana pada kerapatan konida 10 8 /ml pada hari ke-6 sampai ke-10
mencapai hampir 100%. Capinera (1998) menyatakan bahwa B. bassiana mampu menyebabkan kematian yang besar pada kondisi kelembaban tinggi dan kepadatan C. formicarius yang juga tinggi. Perbedaan data yang diperoleh kemungkinan diakibatkan oleh beberapa faktor seperti penurunan virulensi cendawan, masalah perkecambahan konidia, dan kondisi lingkungan. Gambar 3 Mortalitas kumulatif C. formicarius yang terinfeksi cendawan M. brunneum selama 10 hari setelah perlakuan kerapatan konidia: A) 10 6, B)10 7, C) 10 8, dan D) 10 9 konidia/ml. Gambar 4 Mortalitas kumulatif C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana selama 10 hari setelah perlakuan kerapatan konidia: A) 10 6, B)10 7, C) 10 8, dan D) 10 9 konidia/ml.
Pada awal perlakuan serangga menunjukan keadaan yang mulai menunjukan ciri-ciri terinfeksi dengan 1-6% tingkat kematian (Gambar 3 dan 4). Kematian oleh cendawan M. brunneum mulai meningkat pada hari ke-4 dan mengalami penurunan pada hari ke-6, sedangkan kematian oleh cendawan B. bassiana mengalami peningkatan pada hari ke-4 dan turun pada hari ke-7 dan ke-8 (Gambar 3 dan 4). C. formicarius yang terinfeksi cendawan M. brunneum mengalami mortalitas lebih cepat dan peningkatan yang lebih stabil pada setiap kerapatan konidianya dibandingkan dengan B. bassiana yang perlahan dan memiliki perbedaan yang nyata pada setiap kerapatan konidia yang digunakan. Pengaruh jumlah konidia mempengaruhi kecepatan dalam menginfeksi dan membunuh serangga. Menurut Riyatno dan Santoso (1991) gerakan serangga yang terinfeksi lamban, nafsu makan berkurang bahkan berhenti, lama kelamaan diam dan mati dengan tubuh terselimuti oleh hifa cendawan (Gambar 5). C. formicarius yang terinfeksi cendawan masih dapat melakukan kopulasi. Selama pengamatan ditemukan imago C. formicarius yang menunjukkan gejala terinfeksi pada waktu sedang kopulasi. Pada prosesnya, cendawan tidak selalu tumbuh keluar menembus integumen serangga, apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan cendawan hanya berlangsung di dalam tubuh serangga (Santoso 1993). Agar hifa tumbuh dan keluar dari tubuh serangga dibutuhkan kelembaban yang tinggi. A B Gambar 5 Serangga terinfeksi cendawan dengan tubuh kaku dan diselimuti oleh hifa cendawan (tanda panah), A) Serangga terinfeksi M. brunneum, B) Serangga terinfeksi B. bassiana.
% kematian Perbandingan virulensi antara cendawan M. brunneum dan B. bassiana Konsentrasi cendawan entomopatogen harus ditentukan secara tepat untuk mendapatkan hasil pengendalian yang optimal (Prayogo 2006). Keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh konsentrasi cendawan yang diaplikasikan yaitu kerapatan konidia dalam setiap mililiter air (Hall 1980). Lethal concentration (LC) adalah nilai yang menunjukkan jumlah racun per satuan berat yang dapat mematikan populasi hewan yang digunakan dalam percobaan (Prijono 1985). Dalam pengujian menggunakan cendawan M. brunneum diperoleh hasil LC 50 sebesar 4.2x10 6 konidia/ml dan LC 95 sebesar 5.7x10 9 konidia/ml sedangkan pengujian menggunakan B. bassiana diperoleh LC 50 sebesar 2.0x10 8 konidia/ml dan LC 95 sebesar 4.3x10 10 konidia/ml (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa M. brunneum memiliki nilai LC yang rendah. Nilai LC yang rendah mempunyai arti cendawan M. brunneum memiliki daya virulensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan B. bassiana. y = 15.4x + 34.8 100 80 60 40 20 0 B. bassiana y = 23.1x - 18 6 7 8 9 10 log kerapatan (konidia/ml) Gambar 6 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas C. formicarius akibat perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana pada hari ke-10 setelah perlakuan. Lethal Time (LT) adalah waktu yang diperlukan untuk mematikan populasi hewan uji pada dosis atau kosentrasi tertentu (Prijono 1985). Cendawan M. brunneum pada kerapatan konidia 10 9 /ml mempunyai nilai LT 50 sebesar 3.73 hari dan LT 95 sebesar 7.82 hari, yang berarti bahwa untuk mendapatkan kematian
sebesar 50% dibutuhkan waktu selama 3.73 hari dan kematian sebesar 95% dibutuhkan waktu 7.82 hari (Tabel 2). Hal ini membuktikan bahwa kerapatan ini memberikan hasil yang efektif dan cepat dalam mengendalikan C. formicarius. Pada cendawan B. bassiana kerapatan konidia 10 9 /ml mempunyai nilai LT 50 sebesar 6.0 hari dan nilai LT 95 sebesar 23.16 hari. Dalam hal ini, isolat cendawan B. bassiana yang digunakan dianggap tidak efektif karena lama mematikan hama (Gambar 7, Tabel 2). Cendawan B. basssiana pada kerapatan konidia 10 6 /ml memiliki nilai LT 50 dan LT 95 yang sangat tinggi sehingga nilai tidak ada pada probit (Tabel 2). y = 11.6x + 0.6 y = 9.08x 8.67 Gambar 7 Hubungan antara waktu dengan mortalitas C. formicarius akibat perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana pada kerapatan konidia 10 9 /ml selama 10 hari. Data LT B. bassiana pada penelitian ini berbeda dengan pengujian sebelumnya. Bari (2006) menyatakan bahwa nilai LT 50 pada perlakuan B. bassiana terhadap C. formicarius sebesar 5.40 hari menggunakan isolat Bb-Cf
dalam membunuh C. formicarius pada kerapatan konidia 10 8 konidia/ml. Perbedaan nilai LT 50 pada B. bassiana dalam menginfeksi C. formicarius diduga karena cendawan B. bassiana yang digunakan, telah mengalami penurunan tingkat virulensinya akibat terlalu lama dibiakkan dalam media. Soenartiningsih et al. (1999) mengungkapkan bahwa cendawan B. bassiana yang disimpan pada suhu kamar selama 3 bulan menyebabkan penurunan virulensi akibat terjadinya penurunan daya kecambah. Penggunaan cendawan yang telah lama seharusnya dilakukan proses reinfeksi atau infeksi ulang terhadap serangga uji kemudian di isolasi kembali. Selain itu, ketidakefektifan dalam menginfeksi C. formicarius disebabkan masalah perkecambahan konidia yang tergantung pada kelembaban, suhu, cahaya, dan nutrisi (Tanada dan Kaya 1993). Menurut Junianto dan Sukamto (1995) perkecambahan konidia memerlukan kelembaban relatif diatas 90% dan suhu optimum antara 20-30 o C sedangkan kelembaban pada cawan berubah-ubah selama pengamatan. Tabel 2 Nilai lethal time (LT) M. brunneum dan B. bassiana terhadap Kerapatan konidia/ml C. formicarius selama 10 hari. M. brunneum B. bassiana LT 50 (hari) LT 95 (hari) LT 50 (hari) LT 95 (hari) 10 6 9.31 40.36 - - 10 7 7.19 21.48 19.24 106.80 10 8 4.65 13.73 10.84 65.25 10 9 3.73 7.82 6.00 23.16 Dalam percobaan ini B. bassiana memiliki nilai keefektifan lebih rendah dibandingkan dengan M. brunneum. Perbandingan keefektifan antara kedua cendawan terlihat jelas daya virulensinya terhadap tingkat mortalitas C. formicarius. Perlakuan yang memiliki kefektifan yang baik untuk pengendalian adalah M. brunneum dengan kerapatan konidia 10 9 konidia/ml sedangkan pada kerapatan 10 8 konidia/ml, keefektifannya sebanding dengan cendawan B. bassiana pada kerapatan 10 9 konidia/ml.