Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) sering dianggap sebagai. cacat kehidupan. Menurut data dari WHO (2005), terdapat ± 7-10% anak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu penggunaan komputer telah menjadi suatu hal yang diperlukan baik di

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Disorder(ADHD) atau disebut juga anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian

Pedologi. Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan manusia merupakan perubahan. yang bersifat progresif dan berlangsung secara

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada anak-anak, diantaranya adalah ganguan konsentrasi (Attention

TES INTELIGENSI DARI WECHSLER (David Wechsler, pimpinan ahli psikologi RS Bellevue, New York)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagan 1.1. Bagan Penyebab Gangguan Kesulitan Belajar (Sumber: Koleksi Penulis)

Tes Inteligensi: WISC

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Oleh TIM TERAPIS BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan

Pedologi. Review Seluruh Materi. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi.

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi sebagian besar keluarga sejak di

Pedologi. Attention-Deficit Hyperactivity Disorder Kesulitan Belajar. Yenny, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) atau Attention

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hasil survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menyatakan bahwa dari

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

Penelusuran Karakteristik Hasil Tes Inteligensi WISC Pada Anak Dengan Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktivitas

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai berusia 18 (delapan belas) tahun. 1. sering ditunjukkan ialah inatensi, hiperaktif, dan impulsif. 2 Analisis meta-regresi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir gangguan atensi telah mendapatkan lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manapun dengan berbagai budaya dan sistem sosial. Keluarga merupakan warisan umat

ASESMEN KLINIS. DITA RACHMAYANI, S.Psi., M.A dita.lecture.ub.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. anak di Indonesia, mencatat populasi kelompok usia anak di. 89,5 juta penduduk termasuk dalam kelompok usia anak.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Attention Deficit Hyperactivity Disorder, dalam pengertian secara umum berarti

Modul ke: Tes Inteligensi Wechsler Adult Intelligence Scale Fakultas Psikologi Yenny, M.Psi. Psikolog Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GAMBARAN ANEMIA DAN INTELLIGENCE QUOTIENT (IQ) PADA SANTRI PUTRI PONDOK PESANTREN IMAM SYUHODO KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

PENGERTIAN. Dita Rachmayani., S.Psi., M.A dita.lecture.ub.ac.id 5/9/2017

PENILAIAN PERKEMBANGAN ANAK SANTI E. PURNAMASARI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses belajar seumur hidup yang didapatkan baik secara formal maupun nonformal.

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting. Untuk menilai tumbuh kembang anak banyak pilihan cara. Penilaian

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPP/H) atau attention

Modul ke: Tes Inteligensi. Skala Inteligensi Wechsler. Fakultas Psikologi. Yenny, M.Psi. Psikolog. Program Studi Psikologi.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam gangguan perkembangan yang diderita oleh anak-anak antara

Menurut Jhonson dan Myklebust (1967:244), matematika adalah bahasa. simbolik yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Attention Deficit Hyperactivity Disorder. disebabkan karena cedera otak ringan atau disebut Minimal Brain Damage

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penjelasan dari individu dengan gejala atau gangguan autisme telah ada

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi anak yang menderita autism dan Attention Deficit

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

KESULITAN BELAJAR SPESIFIK

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sumber daya yang berkualitas tidak hanya dilihat secara fisik namun

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

Pengantar Psikodiagnostik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. menurunnya harga komputer dan software di pasaran, jumlah kepemilikan komputer

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja menurut Organisasi Kesegatan Dunia (WHO) adalah individu yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai macam penyakit yang dapat membahayakan. kesehatan manusia, salah satu diantanranya stroke.

GAMBARAN TINGKAT IQ TERHADAP KEMAJUAN TERAPI ANAK AUTISME DI SLB BIMA KOTA PADANG TAHUN 2011 OLEH NOVERY HARIZAL BP

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN survei rutin yang dilakukan rutin sejak tahun 1991 oleh National Sleep

Kuliah 3 Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY. Ade Rahmawati S. M.Psi

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun (Suryanah, 1996). Menurut Havighurst salah satu tugas dan perkembangan. tersebut adalah melalui pendidikan formal di sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan

BAB I PENDAHULUAN. usia tua di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan usia harapan

BAB I PENDAHULUAN. terdiagnosis pada masa kanak-kanak dengan bangkitan awal sebelum 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik maupun psikologis. Sementara anak cenderung di dominasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan manusia (Ramawati, 2011). Kemampuan merawat diri adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebabkan gangguan neurologis yang mempengaruhi fungsi otak (American

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anngi Euis Siti Sa'adah, 2013

KONSEP DASAR GANGGUAN TINGKAH LAKU

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dikenal dengan istilah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari

Mimi M Lusi/Astrid L. Seminar AD/HD. Universitas Bina Nusantara

BAB I PENDAHULUAN. 3 tahun) merupakan masa anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Memahami dan membantu anak-anak yang mengalami ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

ANAK ADHD PERSISTILAHAN DISORDER. DIOTAK KECIL. OTAK KECIL. 1. ADHD= ATTENSION DEFISIT AND HYPERACTIVITY 2. ADD= ATTENSION DEFISIT DISORDER.

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas masa depan anak dapat dilihat dari perkembangan dan

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAKAT & INTELEGENSI. 2 Kemampuan Mental. Individual Differences

PENDIDIKAN BAGI ANAK AUTIS. Mohamad Sugiarmin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pembangunan (UU Kesehatan No36 Tahun 2009 Pasal 138)

KEBAHAGIAAN SAUDARA KANDUNG ANAK AUTIS. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital

BAB 1 PENDAHULUAN. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB 1 PENDAHULUAN. kompleks pada anak, mulai tampak sebelum usia 3 tahun. Gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO masa remaja merupakan masa peralihan dari masa. anak-anak ke masa dewasa. Masa remaja adalah masa perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penyuluhan Perkembangan Anak Usia Dini dan Anak Hyperactive Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan. Chr Argo Widiharto, Suhendri, Venty.

HUBUNGAN ANTARA DIET BEBAS GLUTEN DAN KASEIN DENGAN PERILAKU HIPERAKTIF ANAK AUTIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

Transkripsi:

Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) sering dianggap sebagai cacat kehidupan. Menurut data dari WHO (2005), terdapat ± 7-10% anak berkebutuhan khusus dari total populasi anak di dunia. Di Amerika Serikat sekitar 3-7%, sedangkan di negara Jerman, Kanada, dan Selandia Baru sekitar 5-10%. Data Diagnotic and Statistic Manual (DSM IV) menyatakan bahwa, prevalensi anak dengan ADHD pada usia sekolah dasar berkisar antara 3-7%. Hanya saja disayangkan, di Indonesia belum memiliki data akurat dari prevalensi anak dengan ADHD. Namun berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN), prevalensi tahun 2007 terdapat 8,3 juta anak dari 82 juta anak Indonesia di antaranya adalah anak berkebutuhan khusus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Hasil survei Saputro (2009) menyatakan bahwa, 4%-12% di antara anak usia sekolah mengalami ADHD dengan perbandingan laki-laki : perempuan = 4 : 1 sampai 9 : 1. Berdasarkan jumlah tersebut, 30%-80% diagnosis menetap hingga usia remaja, dan 65% hingga usia dewasa. Jumah kasus ADHD di Indonesia belum banyak diketahui, padahal kasus ADHD terhitung tidak sedikit. Seperti pada wilayah Jakarta, ditemukan 26,2% dari anak berumur 6-13 tahun mengalami ADHD. Juliarni (2014) menambahkan, meningkatnya permasalahan anak dengan dugaan ADHD yang dilihat berdasarkan hasil survei jurnal, dan artikel yang beberapa tahun terakhir ini menjadi sorotan dan perhatian utama di kalangan profesional maupun di masyarakat umum. Menurut peneliti, salah satu penyebab jumlah kasus ADHD yang terus meningkat adalah karena rasa ingin tahu masyarakat seputar ADHD yang semakin tinggi. Maka dari itu, peneliti melakukan penelitian mengenai ADHD di mana ADHD 3

kini menjadi ilmu yang sedang berkembang dan terus dilakukan penelitian dikalangan paraprofesional. Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) dalam bahasa Indonesia diistilahkan menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPP/H). Kondisi tersebut merupakan kelainan neurobiologi yang dicirikan tidak dapat memusatkan perhatian (inatensi), bertindak tanpa berpikir dahulu (impulsivitas), dan bergerak berlebihan (hiperaktivitas) yang tidak sesuai dengan perkembangannya (APA, 2000). Menurut Rutter (2008), kelainan neurobiologi pada anak dengan ADHD merupakan, gangguan pada fungsi otak (di area prefrontal dan/atau sagital frontal) yang menyebabkan gangguan pemusatan perhatian, dan perilaku. Tonge (2013) menyatakan, ADHD disebabkan juga oleh adanya interaksi yang kompleks dari faktor biopsikososial, gangguan mental penyerta, (Dias, dkk 2013) dan mengalami penurunan yang signifikan disetiap kemampuan sosial, dan pengaturan. Istilah ADHD menurut DSM IV-TR (APA, 2000), pertama kali dikemukakan oleh George Still pada tahun 1901. Berdasarkan DSM IV-TR anak dengan ADHD digolongkan menjadi 3 karekteristik gangguan yaitu gangguan pemusatan perhatian, impulsivitas dan/atau hiperaktivitas, dan tipe kombinasi. Berdasarkan hasil penelitian Skogli, Teicher, Andersen, Hovk, dan Oie (2013), anak perempuan dengan ADHD memiliki gejala hiperaktif dan/atau impulsif yang lebih sedikit daripada anak laki-laki dengan ADHD. Namun untuk mengurangi munculnya gejala, anak perempuan dengan ADHD membutuhkan waktu intervensi yang lebih lama dari pada anak laki-laki dengan ADHD. Barkley (2006) mendefenisikan, gangguan pemusatan perhatian pada anak dengan ADHD adalah sebagai gangguan patologis yang menunjukan gejala 4

pada kemampuan berprestasi, dan kesulitan penyesuaian diri. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian sangat cepat teralihkan perhatiannya pada ransangan-rangsangan baru. Anak sulit untuk berkonsentrasi, dan hanya mampu bertahan pada waktu yang sangat singkat dalam melakukan suatu pekerjaan. Teori Barkely tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Das, Cherbuin, Easteal, dan Anstey (2014) yang menjelaskan bahwa, ciri gangguan pemusatan perhatian pada anak ADHD adalah pelupa, tidak dapat diandalkan, dan kinerja yang buruk dalam perencanaan, penyelesaian tugas, pengalihan tugas dan manajemen waktu. Menurut Moghaddam, Assareh, Heidaripoor, Rad, dan Pishijoo (2013), anak dengan impulsivitas dan/atau hiperaktivitas mengalami gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik. Hingga menyebabkan aktivitas yang tidak lazim, dan cenderung berlebihan. Ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang. Beberapa kriteria lain yang sering digunakan adalah suka meletup-letup, aktivitas berlebihan, dan suka membuat keributan. Paternotte, dan Buitellar (2010) menyatakan, munculnya gejala pada anak dengan ADHD sudah tampak dari usia satu tahun dan tidak mengalami banyak perubahan gejala pada saat dewasa. Beberapa kasus ADHD sering dilihat sebagai gangguan yang berbeda. Barkley (2006) menyatakan, selain dua karakteristik ADHD utama, anak dengan ADHD juga sering menunjukkan sejumlah kondisi kejiwaan komorbid (gangguan penyerta) seperti gangguan tic, masalah perilaku, gangguan mood. Menurut Sacnchez, Velarde, dan Britton (2011), gangguan penyerta lain adalah gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan kognitif. Flisher, dan Hawkridge (2013) menambahkan, gejala yang muncul pada anak dengan gangguan tingkah laku 5

sering salah didiagnosis sebagai ADHD. Hal tersebut dikarenakan adanya tumpang tindih gejala antara dua gangguan. Pernyataan Flisher, dan Hawkridge diperkuat oleh hasil penelitian Judarwanto (2014) yang menyatakan bahwa, beberapa gejala pada gangguan hiperaktifitas sering dianggap sebagai gangguan perilaku. Terkadang seorang anak dengan ADHD hanya dianggap sebagai anak nakal atau bandel dan bodoh oleh orangtua. Sehingga sering kali anak tidak ditangani secara benar yang akhirnya mengakibatkan suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orangtua atau guru. Tseng, dkk (2012) menyatakan bahwa, anak dengan ADHD juga mengalami hambatan penyesuaian sosial, seperti sering ditolak oleh teman atau lingkungan sosial mereka. Patros, dkk (2013) juga menambahkan bahwa, pemberian penanganan yang kurang tepat pada masing-masing karakteristik anak dengan ADHD akan menyebabkan risiko perilaku bunuh diri ketika anak sudah dewasa. Grag, dan Arun (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, anak dan remaja dengan ADHD secara signifikan terlihat mengalami gangguan secara kognitif, dan fungsi sosial sehingga berisiko untuk mengembangkan perilaku pemberontak atau sikap menentang, gangguan perilaku, dan depresi. Mash, dan Barkley (2007) menambahkan, maka anak dengan ADHD rentan untuk mengalami masalah pada keselamatan pribadi, dan perilaku kriminal. Penjelasan di atas dapat peneliti simpulkan bahwa, Attention/Deficit- Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan aktifitas dan perhatian yang disertai gangguan hiperaktifitas, dengan gejala utama inatensi (kurangnya perhatian), hiperaktifitas, dan impulsifitas (bertindak tanpa dipikir). Tugas perkembangan pada anak dengan ADHD, tidak sesuai dengan usia 6

perkembangannya. Hanya saja, hingga saat ini penyebab ADHD masih menjadi perdebatan antar para profesional. Menurut Barkley (2006), tidak ada penyebab tunggal ADHD tetapi lebih pada multifaktor yang terdiri dari faktor biologis dan lingkungan. Arnaldi, dan Dewi (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa tidak ada hubungan antara remaja ADHD yang mengalami depresi dengan perilaku tawuran. Sangatlah diperlukan analisis yang lebih dalam mengenai gejala yang dimunculkan pada masing-masing anak dengan ADHD. Perlu dipastikan apakah anak memiliki karakteristik ADHD saja, atau ADHD dengan gangguan penyerta. Hal ini di mana nantinya akan menjadi satu solusi yang tepat jika, parapraktisi dapat mengidentifikasi gejala ADHD, dan memberikan terapi yang sesuai dengan gejala dengan tepat. Penelitian ini menggunakan responden anak dengan ADHD tanpa gangguan penyerta. Di Indonesia para profesional (seperti dokter ahli saraf, dokter spesialis anak, ataupun psikolog anak) melakukan analisis lanjutan untuk penegakan sebuah diagnosis ADHD, diantaranya dengan menggunakan EEG (Electroenchefalogram), CT-scan (Computerized axial Tomography Scan), MRI (Magnetic Resonance Imaging), PET (Positron Emission Tomography), dan tes WISC III (Wechsler Intelligence Scale for Children-III). Pada penelitian ini, peneliti melakukan pemetaan karakteristik kemampuan kognitif anak dengan ADHD melalui WISC III. Tes Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) pertama kali diterbitkan pada tahun 1949, sejak saat itu ada tiga revisi untuk WISC. Revisi pertama tahun 1974 sebagai WISC-R, lalu pada tahun 1991 terbit revisi ke dua yaitu WISC III, dan revisi terakhir pada tahun 2004 yaitu WISC IV. WISC III sering 7

digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan kognitif berbasis subtest dan kelemahan yang kemudian digunakan untuk menghasilkan intervensi (Watkins, dan Canivez 2004). Peneliti menggunakan WISC III, dikarenakan WISC IV belum dapat digunakan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum adanya adaptasi tes WISC IV di Indonesia. WISC menurut Wechlsler (dalam Glasser, dan Zimmerman, 1967) digunakan tidak hanya sebagai tes kecerdasan, tetapi juga sebagai alat klinis. Capano, Minden, Chen, Schachar, dan Ickowicz (2008) menyatakan bahwa, beberapa praktisi menggunakan WISC sebagai bagian dari penilaian untuk penegakkan diagnosis ADHD, dan ketidakmampuan belajar. Glasser, dan Zimmerman (1967) menambahkan, hal ini biasa dilakukan melalui proses yang disebut dengan analisis pola, di mana membandingkan skor yang tinggi dengan skor yang rendah, serta skor responden dengan gangguan dibandingkan dengan responden tidak dengan gangguan. Tes WISC III adalah tes inteligensi yang biasa digunakan untuk mengukur taraf kecerdasan anak usia 5 tahun hingga 15 tahun. Menurut Arnaldi (2011), tes inteligensi dapat menentukan tingkat fungsi kognitif anak, dan sebagai rekomendasi awal untuk program intervensi. Oner, Oner, dan Alkar (2008) menyatakan, 10 subtes WISC-R dan WISC III dapat menilai gejala-gejala dan kemampuan kognitif anak dengan ADHD yaitu pada subtes informasi, pemahaman, persamaan, berhitung, rentang angka, melengkapi gambar, mengatur gambar, rancang balok, merakit objek, dan simbol. Hanya saja subtes pembendaharaan kata tidak dapat diberikan kepada anak dengan ADHD, karena anak mengalami kesulitan dalam mendefinisikan suatu perkataan. Menurut 8

Barkley (2006), permasalahan pada self regulation menghambat fungsi otak anak untuk mempertahankan perhatiannya. Penelitian mengenai profil tes inteligensi WISC III sudah sering dilakukan di negara barat. Secara umum para peneliti bertujuan untuk dapat menegakkan diagnosis yang lebih baik dari responden, dan mendapatkan wawasan yang lebih dalam mengenai kekuatan dan kelemahan yang menjadi ciri kondisi tertentu pada responden (Scheis, dan Timmers, 2009). Koyama, Kamio, dan Inada (2009) menambahkan, dibandingkan dengan anak laki-laki, anak perempuan secara signifikan memiliki nilai yang lebih tinggi pada subtes mengatur gambar, simbol, dan mazes. Tetapi pada subtes rancang balok, laki-laki memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada perempuan. Menurut Glasser, dan Zimmerman (1967), subtes merakit objek (object assembly) diartikan untuk melihat gangguan persepsi dan visual motor. Apabila nilai subtes merakit objek tinggi diartikan hanya mengalami gangguan visual motor. Subtes mengatur gambar (picture arrangement) yang disertai dengan nilai rancang balok (block design) yang rendah diartikan sebagai adanya kemungkinan permasalahan organis (neurobiologi), khususnya belahan otak kanan (right hemisphere) atau diffuse disfunctioning. Harrier, dan DeOrnellas (2005) menambahkan, WISC III dapat mengukur perencanaan visual, organisasi, dan respon inhibition (hambatan) pada kontrol perilaku. Menurut Barkley (2007), Inhibition yang buruk menyebabkan gangguan fungsi dalam executive function yang terletak pada working memory, memori verbal, dan self regulation pada emosi, dan motivasi. Gangguan persepsi, visual motor, permasalahan organis (neurobiologi), gangguan perencanaan visual, dan permasalahan pada respon inhibition 9

(hambatan) pada kontrol perilaku adalah permasalahan yang ada pada anak dengan ADHD (Barkley, 2007). Bedasarkan penjelasan Barkley dan penelitian sebelumnya, maka peneliti semakin yakin untuk melakukan analisis lanjutan dalam melakukan pemetaan pada karakteristik kemampuan kognitif anak dengan ADHD berdasarkan hasil tes WISC III. Ditinjau dari penelitian terdahulu, WISC III tidak hanya diberikan kepada anak dengan ADHD saja tetapi juga kepada beberapa gangguan mental lainnya. Penelitian Naranjo, dkk (2012), memberikan tes inteligensi WISC III dengan WISC-R untuk menggali tingkat kemampuan inteligensi anak dan remaja dengan Asperger. Hasil IQ (Intelligence Quotient) WISC-R memiliki korelasi yang tinggi dengan hasil IQ WISC III (R 2 = 0,591; p < 0,09). Artinya, kedua tes mampu menggali kecerdasan intelektual anak dan remaja dengan Asperger. Rotsika, dkk (2009) menambahkan, WISC III juga mampu mendeteksi ketidakmampuan belajar pada anak di Yunani. Sampel terdiri dari 180 anak dengan ketidakmampuan belajar (136 anak laki-laki, dan 44 perempuan) berusia 6,11-14,4 tahun. Ratarata PIQ = 96,08; rata-rata VIQ = 96,38; dan rata-rata FIQ = 96,61. Yang, dkk (2013) memperkuat bahwa, WISC III dapat melaporkan gangguan klinis yang spesifik dalam gangguan perkembangan saraf pada anak, seperti autism, dan ADHD. Sagiv, Thurston, Bellinger, Altshul, dan Korrick (2012) menggunakan WISC III dan CPT (Continuous Performance Test) untuk melihat fungsi neuropsikologi pada gangguan perhatian dan impulsifitas antara anak usia 8 tahun yang terkena organoklorin dari pralahir, dan hasilnya sangatlah efektif. Hanya saja di Indonesia, penelitian dikalangan paraprofesional psikologi mengenai WISC III dan anak dengan ADHD tergolong sedikit. Susilawati (2013) melakukan penelitian pada subtes WISC sebagai pendukung diagnosis anak 10

dengan ADHD. WISC diberikan kepada 64 anak dengan ADHD, dengan hasil, (1) tidak ada hubungan negatif antara subtes informasi, pemahaman, berhitung, pembendaharaan kata, rentang angka, rancangan balok, dan simbol dari WISC dengan ADHD, (r = 0,393; F = 1,461; p>0,05), (2) ada hubungan negatif antara subtes simbol dengan dengan ADHD (nilai r = 0,297; F = 6,007; p<0,05) dengan R 2 = 0,088 (subtes simbol memberikan pengaruh sebesar 8,8% dan 91,2% dipengaruhi oleh faktor lainnya), (3) dan tidak terdapat faktor yang signifikan antarsubtes WISC. Nanik (2013) dalam penelitiannya, melakukan uji eksplorasi pada WISC kepada 10 anak laki-laki dengan ADHD yang berusia 6-12 tahun di Surabaya. Anak dengan ADHD memiliki skor rendah dalam beberapa subtes WISC. Peringkat dari nilai yang terendah adalah informasi, pemaham, rentang angka, mengatur gambar, dan rancangan balok, dan merakit objek. Hal ini mencerminkan bahwa kapasitas anak dengan ADHD terbatas pada visual motor, visual perception, visual-spatial relationship dan field dependence, sequence ability, planning ability, effects of uncertainly, dan social sensitivity. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa anak dengan ADHD memiliki masalah dalam perilaku, sosial, kognitif, akademik, dan emosional. Keterbatasan anak-anak dengan ADHD dalam mewujudkan potensi kecerdasan terkait dengan disfungsi otak kanan. Barkley (2006) menyatakan, memberikan analisa lebih jauh terhadap gejala yang dimunculkan oleh anak dengan ADHD sangatlah penting. Hal tersebut berguna untuk menambahkan serangkaian data dari pemeriksaan yang telah ada sebelumnya. Tes WISC III dapat menjadi salah satu alat penunjang untuk assesmen ADHD agar dapat menentukan karakteristik ADHD dengan lebih spesifik, dan menjadi rancangan untuk program awal intervensi. Oleh sebab itu, 11

peneliti melakukan pemetaan pada karakteristik kemampuan kognitif anak dengan ADHD (dengan dua karakteriktik ADHD menurut DSM IV-TR) berdasarkan hasil subtes WISC III. Sejauh pengamatan peneliti belum pernah ada, atau sangatlah jarang psikolog klinis melakukan penelitian lebih lanjut tentang pemetaan kemampuan kognitif anak dengan ADHD berdasarkan hasil tes WISC III, terutama pada klien yang ada di klinik psikologi. Data mentah yang ada di klinik psikologi sangat perlu dianalisis dari setiap subtes WISC III. Hal tersebut nantinya sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk membantu para psikolog klinis dalam menegakkan diagnosis, dan melihat permasalahan pada kognitif anak. Serta untuk memberikan program intervensi yang tepat, sesuai dengan karakteristik yang ada dalam diri anak dengan ADHD. Berdasarkan hasil study pendahuluan dari peneliti terdahulu maka hipotesis yang peneliti ajukan adalah : 1. Subtes WISC III dapat digunakan untuk mendukung diagnosis ADHD dengan karakteristik inatensi, impulsivitas dan/atau hiperaktivitas, dan tipe kombinasi. 2. Subtes informasi, pemahaman, berhitung, persamaan, rentang angka, melengkapi gambar, mengatur gambar, rancang balok, merakit objek, dan simbol dapat memprediksi karakteristik kemampuan kognitif pada anak ADHD dengan karakteristik inatensi. 3. Subtes informasi, pemahaman, berhitung, persamaan, rentang angka, melengkapi gambar, mengatur gambar, rancang balok, merakit objek, dan simbol dapat memprediksi karakteristik kemampuan kognitif pada anak ADHD dengan karakteristik hiperaktifitas dan/atau impulsifitas. 12