BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB 1 PENDAHULUAN. usia anak. Anak menjadi kelompok yang rentan disebabkan masih. berpengaruh pada tumbuh kembang dari segi kejiwaan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 4 METODE PENELITIAN

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. Sejak Agustus sampai November 2010 terdapat 197 pasien dengan suspek rinitis

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB V PEMBAHASAN. besar dan dapat menjadi sistem pengumpulan data nasional. tidak hanya puhak medis tetapi juga struktural.

BAB I PENDAHULUAN. Otitis media efusi (OME) merupakan salah satu penyakit telinga

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

Pahmi Budiman Saputra Basyir 1, Teti Madiadipoera 1, Lina Lasminingrum 1 1

BAB I PENDAHULUAN. populasi dalam negara yang berbeda. Asma bronkial menyebabkan kehilangan

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. populasi masyarakat yang menderita alergi. Suatu survei yang dilakukan oleh World

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. Dermatitis atopik atau eksema atopik merupakan penyakit inflamasi kulit

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E mediated) terhadap paparan alergen pada membran nasal. 19,20 Rinitis alergi dapat juga didefinisikan sebagai gangguan pada hidung yang diinduksi oleh paparan terhadap alergen melalui reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE, yang ditandai dengan 4 gejala utama yaitu rhinorrhea (hidung berair), nasal obstruction (hidung tersumbat), nasal itching (hidung gatal) dan sneezing (bersin) yang bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 21,22 2.1.2.Epidemiologi Prevalensi RA pada beberapa studi epidemiologi bervariasi antara 3% sampai 19%. Disebutkan pula bahwa sekitar 42% anak didiagnosis dengan RA pada usia 6 tahun. 23 Suatu studi epidemiologi menyebutkan bahwa RA musiman (hay fever) ditemukan sekitar 10% pada populasi umum dan RA parennial sekitar 10% sampai 20% pada populasi. 24 Frekuensi RA pada populasi umum semakin meningkat. Proporsi angka kejadian RA meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Pada satu penelitian terhadap 564 anak usia 5 bulan sampai 17 tahun, didapatkan sekitar 30% anak usia 5 bulan sampai 4

tahun menunjukkan gejala saluran pernapasan (berupa RA dan asma). Angka ini meningkat menjadi 85% pada usia 10 tahun sampai 17 tahun. 25 Prevalensi kejadian RA pada populasi anak juga terlihat mengalami peningkatan dimana meningkat dari 9% menjadi 12.3%. Secara umum, RA merupakan penyakit alergi yang paling umum ditemukan dan merupakan keadaan kronis yang paling sering ditemukan pada anak usia kurang dari 18 tahun. 24,26 2.1.3 Faktor risiko Faktor risiko RA diduga berkaitan dengan usia. Faktor risiko untuk RA termasuk yaitu faktor genetik (riwayat keluarga atopi), pemberian makanan padat terlalu dini, ibu merokok selama kehamilan, serta ibu perokok berat selama menyusui. 19 Sedangkanfaktor usia ibu dimana saat hamil ibu berusia muda, kehamilan multipel, bayi lahir prematur, berat badan lahir rendah, gangguan pertumbuhan serta perinatal asfiksia secara signifikan berhubungan dengan penurunan risiko seorang anak untuk menderita RA. 19 2.1.4 Etiologi dan klasifikasi Secara umum, rinitis terbagi atas 2 yaitu rinitis alergi dan rinitis non alergi. Walaupun belum ada metode baku yang diterima secara luas dalam menentukan derajat keparahan rinitis alergi, badan internasional Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) pada tahun 2001 yang kemudian dipertegas kembali pada tahun 2008 telah menyusun klasifikasi rinitis alergi berdasarkan tingkat keparahan gejala dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup seperti pada tabel 2.1

Tabel 2.1. Klasifikasi rinitis alergi 19,20 1 Intermittent bila gejala ditemukan: kurang dari 4 hari dalam seminggu, atau berlangsung kurang dari 4 minggu 2 Persistent bila gejala ditemukan: lebih dari 4 hari dalam seminggu, dan berlangsung lebih dari 4 minggu 3 Mild bila tidak dijumpai gejala-gejala berikut: gangguan tidur, gangguan aktivitas sehari-hari, pada waktu luang dan/atau olahraga, gangguan kegiatan sekolah atau kerja, gejala lainnya yang mengganggu 4 Moderate-severe bila dijumpai satu atau lebih gejala berikut: gangguan tidur, gangguan aktivitas sehari-hari, pada waktu luang dan/atau olahraga, gangguan kegiatan sekolah atau kerja, gejala lainnya yang mengganggu Berdasarkan klasifikasi di atas, seorang pasien dengan RA dapat dimasukkan dalam salah satu dari 4 kategori: (1) mild intermittent, (2) mild persistent, (3) moderate/severe intermittent, dan (4) moderate/severe persistent. Klasifikasi tersebut tidak menggunakan istilah seasonal dan perennial, dan menekankan bahwa suatu alergen inhalan (seperti grass pollen) yang terdapat secara musiman pada suatu daerah geografis tertentu kemungkinkan bisa terdeteksi sepanjang tahun di area geografis lainnya. 19 Namun, American Academy of Allergy, Asthma & Immunology (AAAAI), American College of Allergy, Asthma and Immunology (ACAAI)dan Joint Council of Allergy, Asthma and Immunology Joint Task Force on Practice Parameters pada tahun 2008 tetap mempertahankan istilah seasonal dan perennial dalam klasifikasi pasien rinitis alergi. Istilah klasik ini berguna secara klinis dalam

menggolongkan pasien secara akurat ke dalam kategori rinitis alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perennial), atau rinitis alergi sepanjang tahun dengan eksaserbasi musiman. 21,27 2.1.5 Patofisiologi Patofisiologi RA diawali ketika alergen pada udara masuk ke dalam mukosa hidung, menyebabkan terbentuknya alergen imunoglobulin E spesifik (IgE). 28 Paparan berulang terhadap alergen akan menghasilkan presentasi alergen oleh antigen presenting cells (APC) ke limfosit T-CD4+ yang menyebabkan pelepasan interleukin (IL)-3, IL-4, IL-5 dan sitokin Th-2 lainnya. Sitokin-sitokin tersebut memiliki efek proinflamasi yang melibatkan produksi IgE, sel plasma, sel mast dan eosinofil dan berlanjut dengan terjadinya kaskade respons imun sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis RA. 24 Respons alergi pada rinitis alergi dibagi atas fase awal dan fase lambat. 24,29 Selama fase awal, terjadi peningkatan IgE yang berikatan pada sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator yang telah terbentuk (preformed mediators) seperti histamin, triptase, kininogenase (menghasilkan bradikinin), heparin dan enzim-enzim lainnya. Selain itu, sel mast juga mensekresi mediator seperti prostaglandin-d2 (PGD2) dan sulfidopeptidyl leukotrienes (LT)C4, LTD4, dan LTE4. 24 Mediator-mediator tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menimbulkan gejala klinis bersin, edema mukosa, hidung berair dan gatal yang merupakan karakteristik rinitis alergi. Respons imun fase awal timbul dalam beberapa menit segera setelah paparan alergen. 24,29 Pada fase akhir gejala klinis yang paling dominan yaitu gejala kongesti.sekitar 50% gejala rinitis alergi merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I fase

lambat. Gejala timbul setelah 4 sampai 6 jam pasca paparan alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. 29 Gejala rinitis alergi fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman dan hipereaktivitas hidung disebabkan oleh eosinofilia pada mukosa hidung dengan mekanisme yang belum sepenuhnya dimengerti. 19,21,29 2.1.6 Tanda dan gejala rinitis alergi Manifestasi klinis RA baru ditemukan pada anak berusia 4-5 tahun dan insidensinya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10% sampai 15% pada usia dewasa. Pada anak, manifestasi klinis alergi dapat berupa rinosinusitis berulang, adenoiditis, otitis media dan tonsilitis. 29 Gejala RA mencakup rhinorrhea (hidung berair), nasal obstruction (hidung tersumbat), nasal itching (hidung gatal) dan sneezing (bersin) yang bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 20,21 Rasa gatal di hidung akan menyebabkan bersin berulang (paroxysmal sneezing). Sekret hidung yang timbul dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post -nasal drip yang tertelan. 12,29 Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau bergantian. 29 Pasien RA dapat mempunyai wajah khas berupa warna gelap atau sianosis infraorbital (allergic shiners) dan bengkak pada palpebra inferior. 28,30 Anak yang sering menggosok hidung akibat rasa gatal memberikan gambaran khas allergic salute dan menimbulkan bekas melintang pada bagian bawah hidung (allergic crease). 29,30

Pemeriksaan rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. Pada rinoskopi anterior akan ditemukan tanda klasik berupa mukosa nasal yang edema dan berwarna pucat kebiruan (lividae) disertai sekret yang encer. 29 2.1.7 Diagnosis Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi RA yang terpenting pada anak. 29 Anamnesis yang efektif sangat penting dalam mengevaluasi dan diagnosis pasien. 12,19 Anamnesis harus mencakup informasi pola penyakit, lama penyakit, variasi gejala sepanjang tahun dan gejala lain yang berhubungan, respons pengobatan, ada tidaknya penyakit penyerta, serta paparan lingkungan dan faktor-faktor pencetus. 19 Pemeriksaan fisik menyeluruh dengan memfokuskan pada saluran nafas atas harus dilakukan pada semua pasien dengan riwayat rinitis, baik dengan atau tanpa riwayat atopi. 19-21 Pada anak terdapat tanda karakteristik rinitis alergi, namun demikian, tidak satupun yang patognomonik.pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi, sekaligus dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal atau tumor.pada RA ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya dapat ditemukan pada pasien yang sedang dalam serangan. 29 Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) dalam laporannya tahun 2001 memperkenalkan suatu kuesioner standar yang dapat digunakan sebagai alat diagnosis untuk identifikasi gejala dan evaluasi keparahan rinitis alergi terutama pada negara berkembang. 19 Beberapa pertanyaan pada kuesioner tersebut diadaptasi dari penelitian epidemiologi ISAAC. 31

2.1.8 Komplikasi RA Komplikasi yang dapat terjadi bersifat psikososial dan fisik. Komorbiditas utama pasien dengan RA yaitu asma, rinosinusitis (RS), OME, dan gangguan tidur. 22 Data menggambarkan bahwa RA merupakan penyakit kronis yang sering diderita oleh anak. Pengaruh RA terhadap seorang anak berhubungan dengan kehidupan sehari - hari. Anak dapat menjadi iritabilitas, mengalami gangguan tidur, keterbatasan aktivitas di sekolah, mudah lelah serta dapat dijumpai adanya gangguan fungsi kognisi dan memori pada anak. 22,32 2.2 Otitis media Otitis media adalah proses inflamasi yang terjadi pada telinga bagian tengah tanpa melihat penyebab maupun patogenesisnya. 33,34 Otitis media dapat diklasifikasikan menjadi otitis media akut (OMA) dan otitis media dengan efusi (OME) serta kelainan yang menyertai seperti disfungsi tuba eustasius. 34 Pada anak dengan OME, penyebab utama berhubungan dengan adanya keterlibatan disfungsi tuba eustasius yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada nasofaring. 34,35 Otitis media tanpa efusi merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah yang melibatkan mukosa, tetapi efusi sudah tidak tampak lagi. 34 2.2.1Epidemiologi otitis media Suatu studi prospektif yang dilakukan di Boston, didapatkan angka kejadian otitis media pada tahun pertama sekitar 1.2% dan sekitar 17% memiliki 3 atau lebih episode berulang. Pada usia 6 tahun pertama, sekitar 75% anak sedikitnya menderita otitis 1 kali dalam 1 tahun. 36

Otitis media akut merupakan penyakit utama pada bayi dan anak anak, dengan usia terbanyak penderita antara usia 6 bulan sampai 18 bulan. Sekitar 9% sampai 62% anak akan mengalami otitis media pada usia 1 tahun, dan sekitar 50% mengalami 3 atau lebih episode otitis media akut. Prevalensi OME sulit diketahui oleh karena gejala klinis yang ditimbulkan tidak begitu berat. Akan tetapi, uji tapis yang dilakukan dengan menggunakan timpanometri dalam 1 tahun dengan interval 3 bulan sampai 4 bulan didapati sekitar 26% sampai 41% anak dengan adanya penumpukan cairan pada telinga tengah. 37 Disebutkan pula bahwa sedikitnya 90% anak usia presekolah pernah mengalami OME. 38 Suatu studi klinis dan epidemiologi menyebutkan adanya hubungan antara otitis dengan kejadian atopi, serta atopi sebagai penyerta kejadian otitis media dilaporkan sekitar 10% sampai 80%. 39 Suatu studi terhadap 209 anak dengan riwayat otitis media kronis maupun berulang ditemukan bahwa sekitar 89% anak menderita rinitis, 36% anak dengan asma serta sekitar 24% anak menderita eksema. 40 2.2.2 Faktor risiko kejadian otitis media Faktor risiko terjadinya otitis media yaitu : - Faktor lingkungan seperti riwayat pemberian ASI, paparan asap rokok, infeksi saluran pernapasan - Faktor host seperti genetika, imunodefisiensi, bibir sumbing, down sindrom. 42 Sedangkan faktor risiko seseorang menderita OMA yaitu: - Jenis kelamin, dimana pria lebih berisiko menderita otitis media daripada wanita

- Usia pada serangan pertama (makin muda menderita otitis media, maka angka kekambuhan semakin tinggi) - Faktor genetik - Faktor lingkungan seperti alergi, paparan asap rokok, breast-feeding,danmusim. 15 Pada studi yang dilakukan di rumah sakit anak Pittsburgh yang melibatkan orang dewasa menggambarkan adanya hubungan antara percobaan antigen internasal, rinitis alergi dan obstruksi tuba eustasius. 42 2.3 Hubungan RA dan otitis media Beberapa faktor dapat menjadi predisposisi bayi menderita infeksi telinga bagian tengah.selain itu, pada bayi dan anak, tuba eustasius yang pendek dan posisinya yang lebih horizontal, dibandingkan dengan dewasa menyulitkan drainase, sehingga fungsi proteksi telinga tengah menjadi terganggu. Pada alergi, mediator inflamasi pada nasofaring menyumbat tuba eustasius, menyebabkan terjadinya edema pada jaringan sekitar tempat tuba eustasius membuka, sehingga mengganggu ventilasi dan mukosiliari cleareance pada telinga tengah. 23,43 Inflamasi pada mukosa telinga tengah diprovokasi oleh beberapa faktor seperti infeksi bakteri dan virus, reaksi alergi lokal dan refluk merupakan penyebab utama terjadinya OME. 44 Tuba eustasius berperan sebagai ventilasi, clearance, dan perlindungan terhadap telinga tengah.suatu teori menyebutkan bahwa bagian superior tuba eustasius berperan sebagai ventilasi, dan bagian inferior sebagai clearance bahan asing melalui silia. Gangguan pada fungsi tuba ini dapat menyebabkan terjadinya otitis media. 15,43

Adanya hubungan antara nasal allergy dan OME dijelaskan pada beberapa literatur. Kongesti hidung dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya OME. 38,45 Pada suatu penelitian ditemukan bahwa kejadian otitis media sering pada pasien dengan atopi. Alergi menyebabkan terjadinya inflamasi, yang berperan secara tidak langsung terhadap terjadinya OME berulang. Inflamasi yeng terjadi mengakibatkan terjadinya blokade tuba eustasius, atau inflamasi pada telinga tengah itu sendiri yang menyebabkan terjadinya OME berulang. 46 OME secara independent dapat dikaitkan dengan sensitisasi yang diperantarai oleh IgE dan alergi pada saluran pernapasan. 47,48 Satu studi menemukan adanya kesamaan antara mukosa telinga bagian tengah pada anak dengan OME dan respon alergi ditempat lain seperti pada rinitis alergi, sinusitis dan asma. 49 Dikatakan bahwa pasien dengan rinitis alergi memiliki insiden timpanogram yang abnormal lebih tinggi dibandingkan dengan pasien sehat. Timpanogram yang abnormal banyak ditemukan pada anak dengan rinitis alergi usia kurang dari 11 tahun. 50 Pada suatu literatur disebutkan adanya hubungan antara rinitis alergi dengan otitis media, dilaporkan bahwa OME dihubungkan dengan kejadian alergi pada sekitar 35% sampai 40% kasus. 42 Pada anak dengan rinitis alergi, sekitar 21% mengalami OME, dimana sekitar 50% anak dengan kronis menderita rinitis alergi berulang. 28 Hubungan antara OME dan RA telah dibuktikan pada beberapa studi. Prevalensi RA pada pasien dengan OME kronis pada suatu studi digambarkan lebih tinggi berkisar antara 24% sampai 89% pada populasi, bergantung pada studi yang dilakukan serta kriteria diagnosis yang digunakan. Dikatakan pula bahwa RA diduga merupakan faktor predisposisi terjadinya OME, pengobatan terhadap RA dapat pula mengobati OME. 49

Pada rinitis alergi, terjadi inflamasi pada membran mukosa hidung, mata, tuba eustasius, sinus paranasal, telinga tengah serta faring. Pajanan alergen pada nasofaring ditandai dengan pelepasan histamin dan mediator inflamasi lainnya,menyebabkan terjadinya obstruksi tuba eustasius dan menyebabkan terjadinya efusi pada telinga tengah. 51 2.4 Kerangka Konseptual Asma Atopi Dermatitis Atopi Rinitis Alergi Infeksi Disfungsi Tuba Eustasius Otitis Media yang diamati dalam penelitian