HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Materi

SIFAT FISIK DAN KINERJA ENZIM MANNANASE PADA BUNGKIL INTI SAWIT HASIL AYAKAN SKRIPSI FITRIA TSANI FARDA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Bentuk Umum Bungkil Inti Sawit

HASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011).

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. D-Mannose (Sumber: McDonald, 2002) CHO HOC HOCH HCOH HCOH CH 2 OH

I. PENDAHULUAN. pemecahan masalah biaya tinggi pada industri peternakan. Kelayakan limbah pertanian

menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Lama Perendaman Daging Ayam Kampung Dalam Larutan Ekstrak Nanas Terhadap ph

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Materi Alat dan Bahan Metode Proses Pembuatan Pelet

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pembuatan Amilum Biji Nangka. natrium metabisulfit agar tidak terjadi browning non enzymatic.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

Hasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya. Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1,

TINJAUAN PUSTAKA. minyak sawit (Crude Palm Oil) yang paling tinggi nilai gizinya untuk pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

II. TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari unsur organik dan anorganik. Unsur organik terdiri dari protein,

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

KAJIAN PENGARUH PENGAYAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK BUNGKIL INTI SAWIT DAN BUNGKIL KELAPA SKRIPSI HARIANTO SITUMORANG

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Jumlah dan Bobot Folikel Puyuh Rataan jumlah dan bobot folikel kuning telur puyuh umur 15 minggu disajikan pada Tabel 5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1.1 Keseragaman Ukuran Kekerasan Tablet Keregasan Tablet ( friability Keragaman Bobot Waktu Hancur

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

HASIL DAN PEMBAHSAN. 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

III. BAHAN DAN METODE

SEMINAR HASIL PENELITIAN KKP3T 2009

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 Hasil dan Pembahasan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN. Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis)

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

I. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Data pengukuran kompos limbah pertanian (basah) dan sampah kota. Jerami Padi 10 3,94 60,60. Kulit Pisang 10 2,12 78,80

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering. Jumlah Rata-Rata (menit)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. asam ataupun enzimatis untuk menghasilkan glukosa, kemudian gula

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap 1: Uji Fisik dan Uji Kimia Bungkil Inti Sawit Bentuk Umum dan Rasio Produk Hasil Ayakan Penggilingan bungkil inti sawit menggunakan Hammer mill yang dilengkapi dengan saringan 2 mm menghasilkan produk yang lolos pada saringan mesh 4 dan 8, dan tidak lolos pada saringan mesh 16, 30, 50 dan 100. Berdasarkan pengamatan umum yang telah dilakukan, terlihat bahwa semua bungkil inti sawit memiliki penampilan warna cokelat dan memiliki aroma khas kelapa. Nomor mesh ayakan menunjukkan tekstur pada bungkil inti sawit. Nomor mesh 100 memiliki tekstur paling halus pada sampel bungkil inti sawit yang diamati. Tabel 2 menunjukkan persentase produk hasil ayakan bungkil inti sawit giling. Tabel 2. Persentase Jumlah Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan Ukuran Ayakan Persentase BIS (%) Mesh 16 14,185 Mesh 30 57,09 Mesh 50 24,24 Mesh 100 4,47 Jumlah produk hasil ayakan terendah pada bungkil inti sawit gilingan berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 4,47% dan tertinggi berada pada nomor mesh 30 sebesar 57,09%. Penelitian lain menunjukkan hal yang serupa yaitu produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 2,31% dan tertinggi berada pada mesh 30 sebesar 29,04% (Harianto, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya penggilingan, persentase jumlah hasil ayakan lebih banyak diperoleh dibandingkan dengan bungkil inti sawit tanpa digiling. Tingkat Kehalusan Berdasarkan ketentuan nilai MF (Modullus of Finenes) 2,1-4 termasuk katagori medium/sedang (Khalil, 1999) sehingga sampel bungkil inti sawit yang digunakan tergolong sedang dengan nilai MF 3,81±0,0078. Nilai MF berbanding lurus dengan besarnya partikel bahan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bungkil inti sawit 22

yang digunakan berada di taraf sedang. Hal ini disebabkan karena faktor penggilingan sebelum perlakuan pada bungkl inti sawit. Penggilingan dilakukan dengan tujuan untuk memecah sisa dari batok bungkil kelapa sawit yang menjadikan bungkil inti sawit lebih halus sehingga jika diberikan kepada ternak dapat mudah dicerna. Bungki inti sawit yang telah diayak dan diukur tingkat kehalusannya disajikan pada Gambar 7. Mesh 16 ulangan 1 Mesh 16 ulangan 2 Mesh 16 ulangan 3 Mesh 30 ulangan 1 Mesh 30 ulangan 2 Mesh 30 ulangan 3 Mesh 50 ulangan 1 Mesh 50 ulangan 2 Mesh 50 ulangan 3 Mesh 100 ulangan 1 Mesh 100 ulangan 2 Mesh 100 ulangan 3 Gambar 7. Perbedaan Jumlah Bungkil Inti Sawit Hasil Pengayakan Menggunakan Rika Moisture Meter Berat Jenis Berat jenis merupakan sifat yang penting dalam mengetahui kualitas pakan secara fisik. Hasil penelitian menunjukkan nilai tertinggi berat jenis berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 1440 kg/m 3 dan terendah berada pada nomor mesh 50 dan mesh 100 yaitu sebesar 1051 kg/m 3 dan 987,33 kg/m 3. Semakin besar nomor 23

ayakan maka semakin rendah nilai berat jenis pada bungkil inti sawit. Nilai berat jenis pada bungkil inti sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Berat Jenis pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Berat Jenis (kg/m 3 ) 16 1440±17,32 A 30 1176±0,00 B 50 1051±1,00 C 100 987,33±54,41 C Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Gambar 8 menunjukkan korelasi berat jenis pada bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif yaitu sebesar 83,60% dengan y sebagai berat jenis BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y= - 4,555x+1386. Pengayakan mempengaruhi besarnya berat jenis produk bungkil inti sawit, semakin besar nomor ayakan maka semakin rendah nilai berat jenis bungkil inti sawit. Berat jenis (kg/m 3 ) 1600 1400 1200 1000 800 600 400 Y=-4,555x+1386 R 2 =0,698 y = -4,555x + 1386. R²= 0,698 200 Gambar 8. Korelasi Berat Jenis BIS dan Nomor Ayakan 0 Penelitian 0sebelumnya 20 menunjukkan 40 bahwa 60 berat jenis 80 dari 100 produk bungkil 120 inti sawit hasil ayakan tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 440 kg/m 3 dan tertinggi pada mesh 8 sebesar 1403,33 kg/m 3 dengan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 92,19% dengan persamaan y = -10,09x+1335 (Harianto, 2011). Perbedaan nilai BJ selain dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik permukaan partikel adalah kandungan nutrien bahan. Hal ini sesuai 24

dengan pendapat Khalil (1999) yang menyatakan bahwa adanya variasi dalam nilai BJ dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan, distribusi ukuran partikel dan karakteristik permukaan partikel. Berat jenis berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitas suatu campuran pakan. Ransum yang tersusun dari bahan pakan yang memiliki perbedaan berat jenis cukup besar, akan menghasilkan campuran tidak stabil dan mudah terpisah kembali (Chung dan Lee, 1995). Kerapatan Tumpukan Kerapatan tumpukan pada bungkil inti sawit dilakukan untuk mengetahui volume ruang yang dibutuhkan oleh suatu bahan dengan berat tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur, elevator dan silo. Berat jenis erat hubungannya dengan kerapatan tumpukan, semakin besar berat jenis maka kerapatan tumpukannya semakin besar pula. Nilai kerapatan tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai Kerapatan Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Kerapatan Tumpukan BIS (kg/m 3 ) 16 523,33±20,81 A 30 456,66±20,81 B 50 430,00±0,00 BC 100 393,33±5,77 C Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Berdasarkan hasil perhitungan analisis varian menunjukan perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit. Data hasil pengukuran kerapatan tumpukan pada bungkil inti sawit menunjukkan nilai tertinggi kerapatan tumpukan berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 523,33 kg/m 3 dan terendah berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 393,33 kg/m 3. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada nomor mesh 4 sebesar 802,33 kg/m 3 dan terendah sebesar 335,33 kg/m 3 berada pada nomor mesh 100 (Harianto, 2011). Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin kecil 25

nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit. Perbedaan nilai kerapatan tumpukan menentukan karakteristik dalam pencampuran bahan. Menurut Chang dan Lee (1985), kerapatan tumpukan lebih penting dari berat jenis bahan dalam hal pengeringan dan penyimpanan bahan secara praktis. Kandungan nutrisi dan distribusi ukuran partikel diduga ikut mempengaruhi besarnya nilai kerapatan tumpukan. Bungkil inti sawit dengan kadar lemak yang tinggi dan distribusi ukuran partikel kecil yang seragam cenderung memiliki nilai kerapatan tumpukan yang rendah dan bahan tersebut membutuhkan ruang yang lebih besar artinya bobot per satuan volume pada keadaan curah lebih kecil. Korelasi kerapatan tumpukan bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif yaitu sebesar 90,16% dengan y sebagai nilai kerapatan tumpukan BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y=-1,346x+516,8 (Gambar 9). Penelitian sebelumnya menunjukkan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 86,6% dengan persamaan y= -3,035x+596,6 (Harianto, 2011). Korelasi negatif memiliki arti bahwa pengayakan mempengaruhi besarnya nilai kerapatan tumpukan dengan meningkatnya nomor ayakan maka nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit semakin menurun. Y=-1,346x+516,8 R 2 =0,813 Gambar 9. Korelasi Kerapatan Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Kerapatan pemadatan tumpukan diukur setelah dilakukan pengukuran kerapatan tumpukan. Kerapatan pemadatan tumpukan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan dalam penentuan kapasitas silo dan pencampuran bahan. 26

Berdasarkan hasil perhitungan analisis varian menunjukan perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai kerapatan pemadatan tumpukan. Nilai tertinggi kerapatan pemadatan tumpukan berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 676,67 kg/m 3 dan terendah berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 543,33 kg/m 3. Semakin besar nomor ayakan maka semakin kecil nilai kerapatan pemadatan tumpukan pada bungkil inti sawit. Nilai kerapatan pemadatan tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Kerapatan Pemadatan Tumpukan Nomor Mesh (kg/m 3 ) 16 676,67±15,27 A 30 603,67±3,21 B 50 570,33±0,57 C 100 543,33±5,77 D Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kerapatan pemadatan tumpukan produk bungkil inti sawit tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 493,33 kg/m 3 dan tertinggi berada pada nomor mesh 4 dan 8 sebesar 723,33 dan 696,67 kg/m 3 dengan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 80,60% dengan persamaan y = -1,913x+648.4 (Harianto, 2011). Korelasi kerapatan pemadatan tumpukan pada bungkil inti sawit giling dan nomor ayakan yang bernilai negatif yaitu sebesar 86,77% dengan y sebagai nilai kerapatan pemadatan tumpukan BIS dan x sebagai nomor ayakan dengan persamaan y= -1,362x+665,2 (Gambar 10). Korelasi negatif yang diperoleh memiliki arti bahwa perlakuan pengayakan pada bungkil inti sawit mempengaruhi besarnya nilai kerapatan pemadatan tumpukan sebesar 86,77%. Meningkatnya nomor ayakan maka nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit semakin menurun. 27

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m 3) 800 700 600 500 400 300 200 100 y = -1,362x + 665.2 R² = 0,753 0 0 20 40 60 80 100 120 Nomor ayakan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Gambar 10. Korelasi Kerapatan Pemadatan Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan Daya Ambang Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai daya ambang. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin besar nilai daya ambang bungkil inti sawit. Daya ambang memiliki hubungan berkebalikan dengan tingginya kecepatan bahan jatuh. Semakin cepat bungkil inti sawit yang jatuh ke bidang datar, semakin rendah daya ambang dari bungkil inti sawit. Demikian sebaliknya, semakin rendah kecepatan bungkil inti sawit yang jatuh ke bidang datar maka semakin tinggi daya ambang yang dimiliki oleh bungkil inti sawit. Nilai daya ambang pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Daya Ambang pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Daya Ambang (m/s) 16 3,11±0,07 A 30 1,87±0,25 B 50 1,63±0,25 B 100 1,55±0,05 B Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Nilai tertinggi daya ambang berada pada nomor mesh 100 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 1,55 m/s dan terendah berada pada nomor mesh 16 dengan kecepatan bahan jatuh 3,11 m/s. Penelitian sebelumnya menunjukkan daya 28

ambang produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada nomor mesh 50 dan 100 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 1,81 dan 1,79 m/s, sedangkan terendah berada pada nomor mesh 4 dan 8 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 5,34 dan 4,09 m/s (Harianto, 2011). Hasil ini sesuai dengan pendapat Henderson dan Perry (1976) yang menyatakan daya ambang dikatakan besar bila semakin pendek jarak yang dicapai dalam satu menit. Perolehan data menunjukkan semakin halus bungkil inti sawit maka semakin besar daya ambang yang dimiliki sehingga daya ambang meningkat dari mesh 16, 30, 50 dan 100. Hal ini berarti apabila terjadi proses pencurahan bahan dari ketinggian tertentu, maka waktu bahan tersebut mencapai dasar adalah lebih cepat terurut mulai mesh 16 sampai 100. Daya ambang yang terlalu lama akan menyulitkan dalam proses pencurahan bahan karena dibutuhkan waktu yang lebih lama. Semakin besar nomor ayakan maka semakin kecil besar daya ambang pada bungkil inti sawit. Gambar 11 menunjukkan korelasi kecepatan jatuhnya bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif sebesar 71,76%. Hal ini berarti bahwa meningkatnya nomor ayakan maka nilai daya ambang bungkil inti sawit juga meningkat (nilai daya ambang berhubungn terbalik dengan kecepatan jatuhnya bahan) dengan y sebagai kecepatan jatuhnya BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y = -0,014x+2,735. Penelitian sebelumnya menunjukkan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 69,28% dengan persamaan y = -0,018x+3,215 (Harianto, 2011). 3.5 Y=-0,014x+2,735 Daya Ambang (m/s) 3 2.5 2 1.5 1 0.5 R 2 =0,515 y = -0,014x + 2.735 R² = 0,515 Daya Ambang 0 0 20 40 60 80 100 120 Nomor ayakan Gambar 11. Korelasi Kecepatan Jatuhnya BIS dan Nomor Ayakan 29

Sudut Tumpukan Pengukuran sudut tumpukan dilakukan untuk menunjukkan kebebasan bergerak suatu partikel dari suatu tumpukan bahan. Kegunaan praktis dari sifat sudut tumpukan adalah dalam pemindahan dan pengangkutan bahan karena akan mempengaruhi kapasitas belt conveyor dan material handling. Nilai sudut tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Sudut Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Sudut Tumpukan( ) 16 25,77±0,84 C 30 27,07±0,98 C 50 37,32±1,86 B 100 43,28±0,93 A Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi sudut tumpukan. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin meningkatkan nilai sudut tumpukan bahan. Nilai tertinggi sudut tumpukan berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 43,28 dan terendah berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 25,77. Gambar 12 menunjukkan korelasi sudut tumpukan pada bungkil inti sawit giling dan nomor ayakan yang bernilai positif yaitu sebesar 95,23% dengan y sebagai sudut tumpukan BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y =0,217x+22,56. 50 45 40 35 30 y = 0,217x + 2,56 25 R²= 0,9068 20 15 10 5 0 Gambar 12. Korelasi Sudut Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan 0 50 100 150 sudut tumpukan ( ) Su 30

Korelasi tersebut menunjukkan besarnya pengaruh pengayakan terhadap besarnya nilai sudut tumpukan bungkil inti sawit. Besarnya nomor ayakan dalam pengayakan mempengaruhi nilai sudut tumpukan sebesar 95,23%. Semakin besar nomor ayakan maka semakin tinggi nilai sudut tumpukan pada bungkil inti sawit. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai sudut tumpukan tertinggi pada produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling berada pada nomor mesh 100 sebesar 43,19 dan terendah berada pada nomor mesh 4 sebesar 12,67 dengan korelasi sebesar 94,33% dengan persamaan y =0,25x+19,81 (Harianto, 2011). Perbedaan nilai sudut tumpukan berdasarkan ukuran ayakan akan menentukan karakteristik aliran bahan dalam industri pakan. Nilai sudut tumpukan yang tinggi akan mempersulit proses produksi karena aliran bahan dalam bin akan lambat sehingga sering menyumbat silo. Kelarutan Total Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap nilai kelarutan total. Nilai kelarutan total pada BIS berdasarkan ukuran ayakan. disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Kelarutan Total pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Kelarutan Total(%) 16 18,13±1,22 30 23,33±1,67 50 20,80±1,44 100 22,27±3,61 Kelarutan total bungkil inti sawit dilakukan untuk mengetahui berapa banyak bungkil inti sawit yang terlarut dalam pelarut akuades sehingga diketahui pula kualitas dari bungkil inti sawit yang digunakan. Kontaminasi bungkil inti sawit oleh lapisan luar (endokaprium) inti sawit akan meningkatkan kelarutan total bahan. Tinggi rendahnya nilai kelarutan total tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya komponen tidak larut dalam bahan pakan tersebut dan kontaminasi luar pada proses pengolahan pakan maupun pemalsuan bahan. Kelarutan total bahan (bungkil inti sawit) dipengaruhi juga oleh komponen kimia bahan. Semakin tinggi kandungan polisakarida bahan khususnya polisakarida 31

non pati maka semakin rendah kelarutan bahan dalam air, hal ini disebabkan polisakarida non pati sulit mengalami hidrolisa dalam air. Bahan dengan kelarutan total yang lebih tinggi bahan tersebut akan tinggi kecernaannya. Perbedaan kelarutan total mengindikasikan kualitas dari bungkil inti sawit yang digunakan. Kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen kimia karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida khususnya polisakarida bukan pati dari bahan pakan, maka semakin rendah kelarutannya dalam air. Polisakarida bukan pati sulit mengalami hidrolisis dalam air. Kelarutan total yang tinggi pada pakan mengindikasikan bahwa pakan tersebut memiliki kecernaan yang tinggi (Murni, 2003). Berdasarkan hasil yang diperoleh, kecernaan bungkil inti sawit Mesh 30 lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan dari bungkil inti sawit ukuran lain. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kelarutan total produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada nomor mesh 16, 30, 50 dan 100, sedangkan terendah pada nomor mesh 4 dan 8 (Harianto, 2011). Bahan dengan kelarutan total yang lebih tinggi bahan tersebut akan tinggi kecernaannya (Suardi, 2002). Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit diukur untuk mengetahui pengaruh setelah diberikan kepada ternak. Nilai derajat keasaman (ph) pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai Derajat Keasaman (ph) pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Derajat Keasaman(pH) 16 5,60±0,00 30 5,55±0,01 50 5,54±0,01 100 5,53±0,01 Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap derajat keasaman (ph). Derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit berdasarkan ukuran ayakan berkisar antara 5,50-5,60. Penelitian sebelumnya 32

menunjukkan derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit berdasarkan ukuran ayakan berkisar antara 5.40-5.45 (Hariyanto, 2011). Derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit yang disajikan menyatakan bahwa bungkil inti sawit bersifat asam karena memiliki ph dibawah 7. Derajat keasaman (ph) dalam saluran pencernaan akan dipengaruhi oleh ph pakan karena kehadiran pakan dalam lambung akan meningkatkan ph lambung. Pengukuran derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit dimaksudkan untuk mendeteksi kondisi bahan jika kemungkinan suatu saat mengalami penurunan ph akibat proses produksi. Umumnya keasaman yang tinggi akan cenderung mengganggu kecernaan zat makanan (Tonnedy, 2006). Hal ini karena enzim pembantu pencernaan tidak dapat bekerja optimal. Tahap 2 : Jumlah Gula Pereduksi dengan Penambahan Enzim Komersial dan Cairan Rumen pada Bungkil Inti Sawit Gula pereduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron (Lehninger, 1982). Peningkatan gula pereduksi pada bungkil inti sawit mengindikasikan adanya peningkatan ikatan gula yang dapat dipecah oleh enzim mannan. Semakin tinggi ikatan gula yang dapat dipecah, maka semakin baik kualitas bungkil inti sawit. Data hasil pengujian jumlah gula pereduksi pada bungkil inti sawit setelah diberi penambahan enzim mannan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Gula Pereduksi Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan dengan Penambahan Enzim Jenis Enzim Jumlah Gula Pereduksi (mg/g) Kontrol BIS+ Rumen 0,1ml/gram BIS 4,806±0,04 c 5,921±0,04 b BIS+ Enzim komersial 0,1ml/gram BIS 10,516±0,09 a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada BIS (P<0,05). Berdasarkan data perolehan pengukuran gula pereduksi pada bungkil inti sawit hasil ayakan yang telah diberi penambahan enzim mannan komersial dan cairan rumen nyata (P<0,05) mempengaruhi peningkatan total gula pereduksi bungkil inti sawit. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa penambahan enzim pada BIS secara nyata meningkatkan 33

efisiensi dan daya cerna nutrien serta menurunkan viskositas nutrien dalam saluran pencernaan (jejunum) (Sundu et al., 2004). Nilai gula pereduksi pada bungkil inti sawit hasil ayakan menunjukkan peningkatan setelah diberi enzim cairan rumen dibandingkan dengan nilai gula pereduksi bungkil inti sawit tanpa menambahan dari 4,806 mg/g meningkat menjadi 5,921 mg/g. Enzim cairan rumen yang ditambahkan memiliki aktivitas sebesar 0,013x10 6 U/liter enzim cairan rumen. Nilai gula pereduksi mengalami peningkatan lebih tinggi setelah bungkil inti sawit hasil ayakan ditambahkan dengan enzim mannan komersial yaitu 10,516 mg/g (setara 919,27x10 6 U/liter enzim mannanase komersial). Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa nilai aktivitas enzim (IU/ml) menunjukkan kemampuan enzim untuk mempercepat proses hidrolisis substrat yang digunakan, semakin tinggi angka yang diperoleh memberikan indikasi semakin banyak gula yang tereduksi (Handoko, 2010). Nilai total gula pereduksi bungkil inti sawit dari penambahan enzim cairan rumen lebih kecil daripada nilai total gula pereduksi bungkil inti sawit dengan penambahan enzim komersial. Namun, jika dilihat dari jumlah aktivitas dari enzim yang diberikan, kualitas enzim cairan rumen lebih baik. Aktivitas enzim mannanase pada cairan rumen jauh lebih rendah dibanding dengan aktivitas enzim mannanase komersial, namun enzim cairan rumen dapat memberikan pengaruh pada peningkatan jumlah gula pereduksi bungkil inti sawit. Semakin tinggi aktivitas mannanase yang terkandung pada bungkil inti sawit, maka semakin pekat kecokelatan warna sampel hasil analisis gula pereduksi (Gambar 13). Gambar 13. Perbedaan Warna Hasil Ekstraksi Bungkil Inti Sawit dengan Penambahan Enzim Mannan 34

Pengaruh peningkatan gula pereduksi bungkil inti sawit dengan penambahan enzim cairan rumen tidak jauh berbeda dengan pengaruh dari enzim mannanase komersial. Pengaruh enzim cairan rumen yang tinggi dapat disebabkan karena terkandungnya beberapa enzim penghidrolisis serat selain enzim mannanase (selulase, amillase, protease, lipase). Pengujian gula pereduksi bungkil inti sawit hasil ayakan yang diberi penambahan enzim komersial dan enzim cairan rumen (Gambar 14) menghasilkan warna yang berbeda-beda pada hasil uji gula pereduksi. BIS+Enzim Mannan Cairan Rumen BIS+Enzim Mannan Kontrol Gambar 14. Bungkil Inti Sawit dengan Penambahan Enzim Mannan Komersial dan dari Cairan Rumen 35