PENGGEMUKAN KEPITING BAKAU Scylla serrata BERUKURAN KECIL HASIL TANGKAPAN NELAYAN DI DUSUN WAEL, KECAMATAN PIRU, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan

STRUKTUR POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla Serrata) DIPERAIRAN TELUK KOTANIA DUSUN WAEL KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Alat Tangkap Bubu Kerucut dengan Umpan yang Berbeda

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

Oleh: RINIANINGSIH PATEDA NIM: Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Diuji. Mengetahui, KetuaJurusan/Program StudiBudidayaPerairann

3. METODE PENELITIAN

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

ANALISIS BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING BAKAU (SCYLLA SERRATA) DI PERAIRAN SUKOLILO, PANTAI TIMUR SURABAYA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

I PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskål, 1775) dengan Ukuran Pakan Berbeda pada Budidaya dengan Sistem Baterai

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 1. No. 1, Desember 2010: 24-31

Fattening of Soft Shell Crab With Different Food

PENGKAYAAN STOK TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

3. METODE PENELITIAN

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot)

3. METODE PENELITIAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN HIMMEN (Glossogobius sp) DI DANAU SENTANI KABUPATEN JAYAPURA ABSTRAK

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Parameter Dinamika Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

1) Staf Pengajar pada Prog. Studi. Budidaya Perairan, Fakultas

MAINTENANCE MUD CRAB (Scylla serrata) WITH DIFFERENT FEEDING FREQUENCY

PROKSIMAT PAKAN BUATAN DAN IKAN TEMBANG Sardinella sp. UNTUK PENGGEMUKAN KEPITING BAKAU Scylla serrata

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODEL DINAMIK PERTUMBUHAN BIOMASSA UDANG WINDU DENGAN FAKTOR MORTALITAS BERGANTUNG WAKTU. Sulanjari 1 dan Sutimin 2

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

3. METODE PENELITIAN

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

KAJIAN STOK KEPITING BAKAU (Scylla sp) DI EKOSISTEM PESISIR KAMPUNG GISI DESA TEMBELING KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2)

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN KEONG MAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KEPITING BAKAU SISTEM SINGLE ROOM

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

MORFOMETRIK KERANG BULU Anadara antiquata, L.1758 DARI PASAR RAKYAT MAKASSAR, SULAWESI SELATAN. Witri Yuliana*, Eddy Soekendarsi a, Ambeng b

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2009, hlm 1 14 ISSN

3. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

DINAMIKA POPULASI IKAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

Cahyono Purbomartono.)t!, Hartoyo') dan Agus Kurniawan')

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG

RESPONS PERTUMBUHAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus) YANG DIBERI PAKAN BUATAN BERBASIS LIMBAH SAYURAN

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

Transkripsi:

79 Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XV (2): 79-87 ISSN: 0853-6384 Full Paper PENGGEMUKAN KEPITING BAKAU Scylla serrata BERUKURAN KECIL HASIL TANGKAPAN NELAYAN DI DUSUN WAEL, KECAMATAN PIRU, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT FATTENING OF SMALL SIZE MUD CRAB Scylla serrata WHICH IS CATCH FISHING IN WAEL DISTRICT, PIRU, WEST SERAM Yuliana Natan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univ Pattimura Penulis untuk korespondensi, E-mail: natan_y@yahoo.co.id Abstrak Percobaan penggemukan ukuran individu kepiting yang tertangkap oleh nelayan di perairan dusun Wael dan masih dibawah ukuran laik jual, oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah melihat laju pertumbuhan kepiting tersebut melalui pemeliharaan dan penggemukan (fattening) yang merupakan salah satu strategi pengelolaan perikanan kepiting. Ukuran berat individu kepiting bakau yang dipakai dalam penelitian ini antara 100 gr sampai 325 gr ind -1. Jenis kelamin jantan dipisahkan dari betina sebagai perlakuan percobaan pengemukan dan ditempatkan pada dua kandang bambu yang masing-masing berisi 15 individu yang ditempatkan secara terpisah. Pengamatan dilakukan selama 4 bulan. Hasil percobaan menunjukan bahwa pola pertumbuhan jantan maupun betina masih bersifat eksponensial, dimana jantan dengan rataan perubahan penambahan per individu mencapai 532,3 gram dan betina mencapai 499 gram selama 4 bulan pemeliharaan. Disimpulkan bahwa laju pertumbuhan betina lebih lambat dari jantan, dan pengemukan tersebut masih belum mencapai nilai asimtotik yang berarti masih bisa digemukan lagi dalam kandang tersebut. Kata kunci: kepiting bakau, penggemukan dan kurungan bambu Abstract Experiment on the enlargement of individual mud crab Scylla serrata which caught by fi sherman in the waters of Wael District still under economy worthy price. The purposes of this study is to see the crab growth rate through one of the crab fi sheries management strategies, there are maintenance and fattening. The weight size of individual mud crab used in this study between 100 gr to 325 gr ind -1. Male mud crabs was separated from females as a fattening treatment experiment and was placed on the two bamboo cages which each contain of 15 individuals then placed separately. Observation was made along 4 months. The result showed that the growth pattern of male and female mud crabs is still exponential, which male individu reach on average 532.3 gr weight change ind -1 and female with 499 gr ind -1 in 4 months. It concluded that female mud crabs has slower growth rate than males, and the fattening not reached an asymptotic value, which means they still can be fattened again in the cage. Keywords: Mud crab, fattening, bamboo cage Pengantar Sebagai salah satu wilayah dengan formasi teluk semi tertutup, Teluk Piru yang berada di Kabupaten Seram Bagian Barat memiliki keunikan ekosistem berupa terdapatnya tiga ekosistem penting perairan tropis, yaitu hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang keberadaannya saling berdampingan satu sama lainnya. Dari ketiga ekosistem tersebut, ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama dengan jumlah luas area yang cukup besar sehingga dijumpainya berbagai aneka ragam sumberdaya hayati laut seperti berbagai jenis ikan kecil dan besar, berbagai jenis moluska, ekihinodermata, krustacea dan makroalgae. Di antara berbagai sumberdaya ikan yang dijumpai di wilayah ini maka kepiting bakau Scylla spp., merupakan salah satu sumberdaya yang cukup potensial dan sudah diusahakan masyarakat sekitar selama kurang lebih dari 20 tahunan. Kepiting bakau (Scylla spp.) atau mud crab, sebagai salah satu sumberdaya hayati perikanan yang hidup pada ekosistem hutan mangrove memiliki peranan penting baik dalam bentuk biologis, ekologis, maupun

Natan, 2014 80 ekonomis. Khusus untuk wilayah Kotania, Pelita Jaya, Wael dan beberapa daerah sekitarnya, permintaan atas sumberdaya kepiting bakau ini terus meningkat dari tahun ke tahun dengan harga yang cukup tinggi pula. Harga kepiting bakau kelas super (lebih dari 1 kg ind -1 ) saat ini mencapai lebih dari Rp. 100.000. Jumlah nelayan yang berusaha di sektor perikanan kepiting bakau di daerah sekitar Teluk Piru tidaklah terlalu besar. Di Desa Pelita Jaya sebagai contohnya, dijumpai delapan nelayan, sementara tetangga Desa Wael, mencapai 20 nelayan. Nilai jual yang dan ketergantungan pada sumberdaya ini membuat mereka mengeksploitasi sumberdaya ini secara penuh. Rata-rata setiap nelayan memiliki perangkap kepiting (bubu) sebanyak 20 unit yang dioperasikan secara penuh setiap hari sepanjang tahun. Usaha penangkapan ini hanya tidak dilakukan apa bila tidak tersedia umpan untuk menangkap kepiting. Pola pemanfaatan semacam ini yang sudah berlangsung dalam kurun waktu yang lama sudah tentu memiliki dampak kepada sumberdaya tersebut. Nelayan kepiting dari Desa Pelita Jaya masih melakukan upaya penangkapan di daerah sekitar wilayah mereka tetapi daerah penangkapannya semakin jauh dari daerah awal. Sementara nelayan di Desa Wael sudah menambah luas wilayah penangkapannya sampai ke Pulau Manipa yang jauhnya 100 mil dari Desa Wael (wawancara pribadi). Untuk mencapai pulau tersebut dengan menggunakan motor tempel (ketinting) memerlukan satu hari perjalanan. Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan pada kegiatan terdahulu diketahui bahwa ukuran kepiting yang ditangkap lebih banyak berukuran sedang. Sekitar 90% kepiting betina yang ditangkap berada pada fase reproduksi (TKG I sampai IV). Hasil analisis status keberlanjutan perikanan menunjukan keadaan yang cukup memprihatinkan. Secara keseluruhan, rata-rata tingkat keberlanjutan adalah sebesar 47,38% dari skala 100% keberlanjutan (Natan et al., 2012). Dari sisi ekonomi, analisis status keberlanjutan untuk komponen ini hanya sebesar 25,02% (buruk). Walapun secara ekonomi, usaha ini masih menguntungkan, akan tetapi hasil yang dicapai semakin menurun. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan, termasuk perikanan kepiting bakau, maka komponen bio-ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, teknologi dan etika menentukan keberlanjutan sumberdaya tersebut secara sistem lingkungan. Ditinjau dari sisi kelembagaan maka pemanfaatan kepiting bakau di Dusun Pelita Jaya maupun Wael serta hampir disemua tempat di wilayah Teluk Piru dilakukan tanpa satu pedoman pengelolaan yang jelas. Di Dusun Pelita Jaya dan Desa Wael sebagai contoh, tidak ada aturan-aturan baik formal maupun non formal seperti kearifan lokal dalam memanfaatkan kepiting bakau. Aturan teknis penangkapan, jumlah, ukuran, serta waktu penangkapan belum ditemukan pada areal tersebut, sehingga nelayan bebas mengeksploitasi sumberdaya tersebut dengan bebas (open access). Kondisi-kondisi seperti yang dikemukakan di atas ditambah dengan tingkat pendidikan nelayan yang umumnya relatif rendah (hanya tamat sekolah dasar) sudah tentu mempengaruhi perilaku nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Berdasarkan temuan-temuan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa status keberlanjutan perikanan di Dusun Pelita Jaya dan Wael secara umum di Teluk Piru mengarah pada tingkat yang tidak berlanjut. Kehidupan masyarakat nelayan kepiting bakau akan menjadi lebih baik apa bila kondisi kepiting bakau berada pada kondisi yang baik. Guna menunjang perikanan yang berkelanjutan demi menjaga keberadaan sumberdaya kepitig bakau maka perlu adanya suatu cara untuk melindungi sumberdaya tersebut, Untuk itu perlu dilakukan usaha-usaha terencana dalam pengelolaan perikanan kepiting bakau guna menjamin status keberlanjutannya agar kemampuan ekonomi nelayan kepiting bakau dapat ditingkatkan. Salah satu strategi pengelolaannya adalah dengan cara membuat individu-individu menjadi dewasa dan ukuran laik jual atau minimal pernah matang sekali dalam hidup (length and weight at the fi rst mature), disamping itu juga membuat peremajaan (recruitment) dari kepiting bakau serta dijadikan areal konservasi demi menjaga keberlangsungannya. Salah satu cara adalah dengan melakukan percobaan penggemukan (fattening) dalam kurungan bambu tunggal (single room). Percobaan pengemukan telah dilakukan dengan teknik sistem bateri (wadah plastik), jaring apung, kotak berpagar tanpa caren serta pagar dari jaring dengan pintu air. Kelemahan teknik tersebut karena bersifat masal sehingga kanibalisme sering terjadi saat pergatian kulit (moulting). Oleh sebab itu perlu dilakukan penggemukan dengan ruang tunggal (single room) yang terbuat dari bahan bambu karena investasi murah dari bahan tersebut. (David, 2009).

81 Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XV (2): 79-87 ISSN: 0853-6384 Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan penanganan terhadap kepiting ukuran kecil yang tertangkap untuk dibiarkan besar lewat pendekatan penggemukan (fattening) sebelum dijual atau diletakan kembali ke santuary (cagar alam) atau habitatnya dan melihat jangka waktu yang optimum serta melihat laju pertumbuhan kepiting jantan dan betina selama masa pengemukan. Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan nilai tambah dari proses pembesaran kepiting ukuran kecil yang biasanya langsung dijual oleh nelayan kepiting ataupun dilepaskan ke sanctuary (cagar alam) atau ke habitatnya serta sebagai masukan bagi pemerintah desa, pemerintah kabupaten dan dinas terkait lainnya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan model pengelolaan berbasis pendekatan sistem lingkungan. Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan di Teluk Piru (Gambar 1) khusus di Dusun Wael, Kecamatan Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat. Pemilihan Desa Wael dengan alasan bahwa daerah tersebut dengan hutan mangrove yang padat yang sejak dari dulu merupakan sentra penangkapan kepiting tetapi saat ini telah terjadi kelewat tangkap (over fi shing). Penggemukan Indvidu Ukuran Kecil Percobaan membesarkan ukuran-ukuran yang tertangkap oleh nelayan yang masih dibawah ukuran laik jual bertujuan untuk melihat pertumbuhan atau pertambahan berat dan memantau t waktu yang dibutuhkan serta jumlah pakan yang diberikan. Pengemukan dilakukan dari 1 Juli 2013 sampai 1 Nopember 2013. Kemudian dihitung ukuran dan waktu terbaik pembesaran untuk dilakukan dan menguntungkan secara ekonomis. Pendekatan ini bisa juga untuk memperoleh calon induk baru untuk dilepaskan ke daerah sanctuary ataupun dipasarkan sesuai ukuran pasar. Gambar 2 terlihat model kandang pembesaran (single room) dari bambu seperti yang disarankan oleh Begum et al. (2009) yang man dipakai dalam penelitian ini. Pemberian pakan berupa campuran ikan rucah segar (jenis ikan teri tembang dan jenis pelagis kecil dari ikan tangkapan bagan/lift net), kepiting (Uca sp.) serta jenis kepiting berukuran kecil lainnya dari jenis yang berbeda yang tidak dimanfaatkan oleh nelayan kepiting. Pemberian ikan rucah segar disarankan oleh Gambar 1. Lokasi penelitian. Titik merah adalah tempat diletakan kurungan bambu.

Natan, 2014 82 Gambar 2. Model kandang pembesaran dan penggemukan yang diisi dengan satu individu kepiting yang berukuran kecil pada masing-masing kotak Soleman et al. (1990), Wedjatmika dan Dharmadi (1994) serta Wedjatmika dan Yukarsono (1991). Mereka menyarankan bahwa ikan rucah yang segar dari segala jenis dapt diberikan pada kepiting. Pemberian makanan dilakukan setiap hari dengan perkiraan 10% dari berat individu. Penimbangan berat tubuh untuk melihat perubahan (penambahan) berat dan ukuran tubuh (panjang dan lebar karapaks) dilakukan setiap dua minggu interval. Pada akhir penelitian kemudian dilakukan perhitungan baik pertumbuhan maupun nilai ekonomi yang diperoleh setelah periode pembesaran dan atau penggemukan. Pengukuran dan penimbangan dilakukan setiap dua minggu sekali Metode Analisis Data Deskripsi statistik dari kepiting sebelum ditanam (jantan dan betina) dan setelah dipanen, dihitung berdasarkan formula statistika dasar meliputi rataan (berat dan panjang karapaks), standar deviasi serta maksimum dan minimum dengan bantuan software excel. Pola pertumbuhan (hubungan panjang- berat) kepiting pada awal tanam dan sesudah panen dihitung dengan formula yang dikemukakan oleh Effendie (1997) yaitu: W = al b Dimana: a dan b adalah konstanta W adalah berat kepiting dan L adalah panjang karapaks kepiting Sintasan (SR) pertumbuhan dihitung bedasarkan Effendie (1997) yang mana adalah : dimana Nti SR = 100 N0 x SR = Kelangsungan hidup hewan uji (%) Nti = Jumlah hewan hidup pada akhir penelitian (ekor) No = Jumlah hewan hidup pada awal penelitian (ekor). Untuk menghitung koeffisien pertumbuhan digunakan model matematik seperti yang dikemukakan oleh Ricker (1975) sebagai berikit. dimana: ln g = - ln D w2 w1 t W 1 dan W 2 adalah berat ikan pada waktu t 1 dan t 2 (gram) t adalah interval waktu pengambilan contoh g adalah koefi sien laju pertumbuhan Untuk melihat apakah laju pertumbuhan populasi kedua jenis kelamin jantan dan betina sama atau tidak dapat dilakukan dengan melihat perbedaan sudut regresi laju pertumbuhan keduanya dengan analisis kovarian dari regresi dimana: Y ij = μ + β(x ij- X ) + δ i + β ij

83 Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XV (2): 79-87 ISSN: 0853-6384 dimana Y ij adalah variabel respons yang diukur μ = rata-rata umum β = koefi sien Y atas X X rata-rata variabel X = = Pengaruh perlakuan ke i δi εij = Sisaan Hasil dan Pembahasan Distribusi Parameter Ukuran pada Awal dan Setelah Panen Setelah rancangan kandang bambu selesai dibuat akan diletakan dekat dengan ekosistem bakau pada areal berlumpur maka ditanam hewan percobaan dengan parameter panjang dan lebar karapaks serta biomassa/bobot tubuh kepiting. Kandang bambu di Filipina lebih berhasil dari apa yang dipakai di Vietnam dalam tangki fibre serta biaya murah (Sheley dalam Lovatelii, 2008). Setelah 4 bulan pemeliharaan dilakukan pengukuran kembali parameter dan didapatkan deskripsi statistik parameter kedua jenis kelamin tersebut yang tertera pada Tabel 1 dan 2. Ukuran berat betina pada awal tanam dengan 15 individu berkisar antara 100,0-300,0 gr, panjang dan lebar karapaks masing-masing antara 9,0-13,0 cm dan 6,5-10 cm. Setelah 4 bulan pemeliharaan mencapai berat antara 150,0-650,0 gr, dengan panjang dan lebar karapaks masing-masing berkisar antara 13,1-16,0 cm dan 9,8-11,0 cm. Selama 4 bulan pemeliharaan telah terjadu pertumbuhan berat maupun panjang yang cukup cepat. Ini disebabkan oleh kualitas lingkungan serta makanan yang baik membuatnya bertumbuh baik. Ukuran berat jantan pada awal tanam dengan 15 individu berkisar antara 125,0-325,0 gram, panjang dan lebar karapaks masing-masing antara 9,1-13,1 cm dan 6,5-10,1 cm. Setelah 4 bulan pemeliharaan mencapai berat antara 400,0-700,0 gr, dengan panjang dan lebar karapaks masing-masing berkisar antara 13,2-16,2 cm dan 9,9-11,5 cm. Hasil pemeliharaan selama 4 bulan menunjukkan bahwa terjadi penambahan berat, panjang maupun lebar karapaks. Hal ini menandakan bahwa kondisi habitat yang baik serta pakan yang diberikan bernilai gizi bagus sehingga perubahan berat maupun panjangterlihat nyata. Kondisi ini diduga karena kondisi lingkungan yang bagus, kondisi lingkungan serta letak geografis yang cocok, baik bagi pertumbuhan kepiting bakau yang hidup di areal habitat bakau. Pola Pertumbuhan Pola pertumbuhan kepiting diindikasikan sebagai hubungan panjang karapaks dan berat tubuh kepiting tersebut. Pola pertumbuhan memperlihatkan seberapa besar laju pertumbuhan antara panjang dan berat kepiting Pola pertumbuhan kepiting pada awal tanam dan setelah panen dari kedua jenis kelamin terlihat pada Gambar 3 dan 4. Dari kedua gambar pola pertumbuhan betina dan jantan tersebut di atas terlihat bahwa pola pertumbuhan kepiting bakau yang ditanam dan setelah dipanen bersifat allometrik negatif dimana nilai b<3, yang berarti bahwa laju pertumbuhan panjang lebih cepat dari berat tubuhnya. Umumnya pola pertumbuhan kepiting yang didapatkan dari beberapa hasil penelitian adalah bersifat allometrik negatif. Jika dilihat dari perubahan nilai b kedua jenis kelamin pada awal tanam dan setelah panen memperlihatkan Tabel 1. Deskripsi statistik parameter ukuran kepiting betina Statistik Berat Betina awal tanam Betina setelah panen Lebar karapaks Panjang kaparaks Berat Panjang Lebar Rataan 178,7 10,5 7,4 499,0 13,9 10,5 St dev 66,5 1,6 1,4 79,3 0,9 0,4 Minimum 100,0 9,0 6,5 150,0 13,1 9,8 Maksimum 300,0 13,0 10,0 650,0 16,0 11,0 Tabel 2. Deskripsi statistik parameter ukuran kepiting jantan Statistik Berat Jantan awal tanam Jantan setelah panen Lebar Berat Panjang Panjang Lebar Rataan 198,3 11,1 7,5 532,3 14,4 10,7 St dev 55,5 1,5 1,1 98,1 1,1 0,4 Minimum 125,0 9,1 6,5 400,0 13,2 9,9 Maksimum 325,0 13,1 10,1 700,0 16,2 11,5

Natan, 2014 84 bahwa terjadi penurunan nilai b pada betina (2,36 ke 2,21), sedangkan jantan mengalami peningkatan (1,91 ke 2,2). Ini mengindikasikan bahwa betina mengalami penurunan laju pertumbuhan panjang karapaks dari berat tubuhnya, sedangkan jantan terjadi peningkatan nilai b. Perubahan nilai b diakibatkan karena kondisi non aktif hewan yang berenang mencari makan serta kondisi arus. Pada kedua wadah yang diletakan ke 15 individu betina mempunyai kondisi relatif sama tetapi sifat individu (fi siologis) betina kurang aktif dari jantannya dimana jantan mempunyai laju pertumbuhan berat lebih cepat panjang cangkangnya. Sintasan pertumbuhan dari kepiting bakau betina maupun jantan adalah 100% dimana selama pemeliharaan 4 bulan tidak mengalami kematian, hanya ada individu yang mengalami moulting. Karena hidupnya terisolir pada masing-masing kotak pemeliharaan maka tidak ada proses kanibalisme pada saat moulting (pergantian cangkang). Hasil penelitian Sagala et al. (2013) mengenai pertumbuhan kepiting bakau dengan metode kurungan dasar pada ruang tunggal (singgle room) menunjukkan bahwa kelangsungan hidupnya adalah 100% yang berarti tidak ada mortalitas dan juga tidak terdapatnya kanibalisme (Liong, 1993). Percobaan Penggemukan Dalam usaha penggemukan ini dipakai kepiting bakau Scylla serrata yang berukuran antara 100 gr sampai 325 gr berat ind -1, dimana jenis kelamin jantan dipisahkan dengan betina yang mana memperlakukan percobaan penggemukan pada dua kurungan bambu yang mana masing-masing kandang berisi 15 individu. Ukuran-ukuran ini dalam istilah lokal dinamakan kacang-kacang karena berukuran kecil dan memiliki nilai jual yang murah (Rp. 30.000 per 10 individu). Pemberian pakan dilakukan setiap hari dengan persentase kira-kira 10% berat tubuh dan dilakukan selama 4 bulan pengamatan. Pengukuran berat tubuh (biomasssa) dilakukan setiap 2 minggu interval (14-16 hari). Hasil menunjukan peningkatan berat tubuh yang cukup proporsional selama 4 bulan. Tabel 3 dan 4 dibawah ini memperlihatkan total biomassa, rataan biomassa per individu serta laju pertambahan per individu dari kepiting jantan maupun betina. Dari tabel 3. terlihat terjadi perubahan signifi kan total berat/biomassa tubuh kepiting betina selama 4 bulan dan menandakan bahwa pertumbuhan total biomassa betina melaju pada saat awal dan masih bersifat eksponensial yang ditunjukkan dengan penambahan Tabel 3. Total biomassa, rataan per idividu dan laju pertambahan per individu per hari kepiting betina Total Biomassa (gr) Rataan per ind laju per indi/hr 2975,00 198,33 3625,00 241,67 0,008 3975,00 265,00 1 4420,00 294,67 1 5195,00 346,33 0,007 5700,00 380,00 0,004 6725,00 448,33 4 7985,00 532,33 0,009 Tabel 4. Total biomassa, rataan per idividu dan laju pertambahan per individu per hari kepiting jantan. Total Biomassa (gr) Rataan per ind Laju per ind/ hr 2680,00 178,67 3070,00 204,67 2 3675,00 245,00 0,006 4375,00 291,67 0,007 4900,00 326,67 0 5200,00 346,67 0,006 6530,00 435,33 0 7485,00 499,00 1 bobot tubuh, yang mana diperlihatkan pada Gambar 5 dengan laju pertumbuhan total biomassa betina serta penambahan berat per hari. Laju pertumbuhan total biomassa betina masih bersifat eksponensial dengan rataan perubahan penambahan per individu mencapai 499 gram selama 4 bulan dengan fluaktuasi laju pertambahan berat (biomassa) betina per hari berfl uktuasi setiap dua minggu. Dari Tabel 4. terlihat terjadi perubahan signifi kan berat/biomassa tubuh kepiting jantan selama 4 bulan menandakan bahwa pertumbuhan total biomassa jantan melaju pada saat awal dan masih bersifat eksponensial yang ditunjukkan dengan penambahan bobot tubuh terlihat pada Gambar 6, dengan laju serta pertumbuhan harian serta penambahan berat per hari. Laju pertambahan berat jantan masih bersifat eksponensial dengan rataan perubahan penambahan per individu mencapai 523.3 gram selama 4 bulan dengan fl uaktuasi laju pertumbuhan per individu per hari berfl uktuasi setiap dua minggu. Jika dibandingkan dengan perubahan penambahan total biomassa baik secara populasi maupun secara rataan individu maka betina lebih lambat dari jantan dan ini dibuktikan dengan perubahan laju pertumbuhan betina. Ketika melihat apakah ada perbedaan yang

85 Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XV (2): 79-87 ISSN: 0853-6384 BERAT (GR) 350 300 250 200 150 100 50 a y = 0,6708x 2.3616 R 2 = 0,9077 0 8 9 10 11 12 13 14 PANJANG (CM) y = 1,4924x 2.205 R 2 = 0,8747 Gambar 3. Pola pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata) pada awal tanam (a) dan setelah panen (b) dari jenis kelamin betina. BERAT (GR) 700 650 600 550 500 450 400 350 300 b 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 PANJANG (CM) 400 a 800 b 700 y = 1,5718x 2.1808 R 2 = 0,8894 BERAT (GR) 300 200 y = 1,9608x 1.9081 R 2 = 0,8753 BERAT (GR) 600 500 400 300 100 8 9 10 11 12 13 14 PANJANG (CM) 200 12 13 14 15 16 17 PANJANG (CM) Gambar 4. Pola pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata) pada awal tanam (a) dan setelah panen (b) dari jenis kelamin jantan. Total Biomassa (gr) a 8000.00 7000.00 6000.00 y = 2345.1e 0.1443x R 2 = 0,9907 5000.00 4000.00 3000.00 2000.00 1000.00 0.00 0 2 4 6 8 10 Waktu 0,02 0,00 0,00 0,00 Gambar 5 Laju pertumbuhan harian (a) serta penambahan berat populasi betina (b). Indeks b 1 2 3 4 5 6 7 Waktu signifikan nilai b dari kedua jenis kelamin, maka dapat kita lihat melalui kurva regresi antara besar kecepatan penambahan total biomassa/berat dengan waktu. Oleh karena itu maka dilakukan uji lanjut dengan analisa kovarian. Lama pengemukan selama 4 bulan masih bisa dilanjutkan karena masih bersifat eksponensial yang belum mencapai berat asimtotik. Percobaan ini bisa dilakukan secara kontinyu tergantung pada umur keramba, yang diperkirakan hanya berumur 6 bulan. Penelitian penggemukan kepiting bakau di Malaysia dengan metode sistem terbuka pada tangki fibreglass selama 4 minggu oleh Jamari (2000) menunjukan penambahan berat individu dari 178.3± 32,9 menjadi 186,4± 42,15 gr. Ini menunjukan bahwa sistem terbuka yang diletakan di alam lebih baik dan cepat pengemukannnya. Dari hasil analisis kovarian (ANCOVA) seperti pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan

Natan, 2014 86 10000.00 a 4 b Total Biomassa (gr) 8000.00 6000.00 4000.00 2000.00 y = 2650.2e 0.1339x R 2 = 0,9928 Indeks 2 0 0,008 0,006 0,004 0,002 0.00 0 2 4 6 8 10 Waktu 0,00 1 2 3 4 5 6 7 Waktu Gambar 6 Laju pertumbuhan harian (a) serta penambahan berat populasi jantan (b). Tabel 5. Analisis kovarian tentang laju pertumbuhan kedua jenis kelamin. Sumber Keragaman DB JK DIKOREKSI Y XY X Y DB KT F hit F (005) 1,13 Antar Perlakuan - 0,005 0 0 Sisaan 14 0,309 0,608 1,306 0,028 13 0,003 Total 15 0,314 0,608 1,306 0,033 14 0,007 2,11 4,67 Antar Perlakuan - 0,004 1 0,004 nilai b (slope dari kedua jenis kelamin). Hal tersebut diperkuat oleh Sagala et al. (2013) yang menyatakan bahwa pertumbuhan mutlak, panjang dan lebar karapak dari kedua jenis kelamin kepiting bakau yang dipelihara pada kurungan dasar tidak berbeda nyata. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1. 2. 3. Kelangsungan hidup (sintasan) kepiting dalam kurungan bambu berhasil baik karena tidak terdapat kanibalisme. Laju pertumbuhan total biomassa betina maupun jantan dari kepiting bakau yang diperlihara pada kurungan bambu masih bersifat eksponensial dan belum mencapai asimtotik yang berarti masih bisa dipelihara lebih lanjut Laju pertumbuhan total biomassa betina adalah sama dengan jantan. Saran Disarankan untuk digemukan hingga mencapai ukuran layak jual yang optimum dengan disesuaikan dengan umur kurungan bambu. Daftar Pustaka Begum, M., M. M. R. Shah, Abdullah-Al Mamun & M. J. Alam. 2009. Comparative study of mud crab (Scylla serrata) fattening practices between two different systems in Bangladesh J. Bangladesh Agril. Univ. 7(1): 151 156 David, MHO. 2009. Mud crab (Scylla serrata) cilture. Understanding the technology in a silviofi sheries perspective. Western Indian Ocean Journal of Mariene Science Vol 8 (1). Effendie, M. I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Industri Pertanian Bogor Jamari, Z. 2000. Fattening of Mud Crab (Scylla serrata) in closed and open system. Fisheries Research Institute, Kg. Pulau Sayak 20p. Liong, P.C. 1993. The culture and fattening of crabs. INFOFISH International 3:46-49. Natan.Y, A.S.Khouw, J.M.S. tetelepta & S. Siaila. 2003. Perikanan Kepiting Bakau Scylla serrata dan Penguatan Ekonomi Masyarakat Kecamatan Teluk Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Potensi, Pemanfaatan, Dan Pengembangan. Laporan Penelitian MP3I. Uiversitas Pattimura. Sagala, S.S, Idris.M & Ibrahim M.N. 2013. Perbandingan Pertumbuhan Kepiting Bakau

87 Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XV (2): 79-87 ISSN: 0853-6384 (Scylla serrata) Jantan dan Betina Pada Metode Kurungan Dasar. Jurnal Mina Laut Indonesia. Vol 03 No. 13. hal 46-54. Shelley, C. 2008. Capture-based aquaculture of mud crabs (Scylla spp.). In A. Lovatelli and P.F. Holthus (eds). Capture-based aquaculture. Global overview. FAO Fisheries Technical Paper. No. 508. Rome, FAO. pp. 255 269. Soleman, Tjoronge,A., & A Hanafi. 1993. Pembesaran kepiting bakau bakau (Scylla serrata).dengan konstruksi tambak. J. Pen. Budidaya pantai 9(4):41-51 Wedjatmiko & dharmadi. 1994. Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata). Warta Baltica Coastal Aquaculture Newsletter 6(3): 37-39 Wedjatmiko & Yukarsono, D. 1991. Pola kebiasaan waktu makan kepiting bakau (Scylla serrata). di tambak Kamal Jakarta. Coastal Aquaculture Newsletter 3(1): 1-4.