PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS IKLAN OBAT BEBAS DAN OBAT BEBAS TERBATAS PADA ENAM MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009

I. PENDAHULUAN. untuk berkomunikasi. Komunikasi adalah salah satu kegiatan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dihadapkan pada masalah krisis keuangan global. Krisis ini berlanjut terus

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Iklan. Publikasi. Pelayanan Kesehatan.

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. semakin selektif dalam melakukan pemilihan produk yang akan digunakan

BAB I PENDAHULUAN. produk-produk dalam negeri harus bersaing dengan produk-produk dari luar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. keadilan, untuk mencapai tujuan tersebut Indonesia dihadapkan pada

Modul ke: ETIKA PERIKLANAN. Overview. Fakultas ILMU KOMUNIKASI. Kartika, SIP, M.Ikom. Program Studi Advertising & Marketing Communication

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Iklan

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK

MODUL MANAJEMEN PERIKLANAN (3 SKS) Oleh : Drs. Hardiyanto, M.Si

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

Etika Periklanan. Kaitan Peraturan Pemerintah dengan Periklanan MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

PADA LIMA MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1190/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG IZIN EDAR ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

PP 72/1998, PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN. Tentang: PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. membuat informasi yang dibutuhkan dapat diakses dengan cepat, dan memiliki tampilan yang

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK TAHUN 2002 TENTANG PROMOSI OBAT KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

ETIKA PARIWARA INDONESIA. Rama kertamukti

Pemberdayaan Apoteker dalam Peningkatan Efektifitas Pengawasan Iklan Obat Tradisional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peningkatan kesehatan masyarakat. Definisi swamedikasi menurut

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKU USAHA ROKOK ATAU PRODUSEN ROKOK YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PELABELAN ROKOK MENURUT PP NO.

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi dan masyarakat kelas menengah di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

Mata Kuliah - Etika Periklanan-

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INTISARI TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN TERHADAP SWAMEDIKASI BATUK DI APOTEK PANASEA BANJARMASIN

Mata Kuliah - Etika Periklanan-

BAB I PENDAHULUAN. Informasi sudah menjadi kebutuhan setiap manusia untuk mencapai suatu tujuan.

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan seseorang, bahkan bagi masyarakat dengan gaya

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG KOSMETIK

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

SOSIALISASI PERKA BADAN POM NO. 8 TAHUN 2017 PEDOMAN PENGAWASAN PERIKLANAN OBAT DAN EVALUASI KEPATUHAN PENANDAAN OBAT

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Menimbang : Mengingat :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat yang setinggi tingginya (Depkes, 2009). Adanya kemajuan ilmu

PERSYARATAN IKLAN ALAT KESEHATAN DAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Di Desa Talungen Kabupaten Bone Tentang Swamedikasi

I PENDAHULUAN. barang, dan jasa. Pengusaha tidak hanya menerapkan strategi positioning sebuah

EVALUASI KERASIONALAN IKLAN OBAT TANPA RESEP PADA TAYANGAN ACARA UNTUK ANAK-ANAK DI EMPAT STASIUN TELEVISI SWASTA NASIONAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. suksesnya sistem kesehatan adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Hermawati, kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB XX KETENTUAN PIDANA

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu hal yang tidak dapat kita lepaskan dari

Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol : 20-27

SWAMEDIKASI PADA PENGUNJUNG APOTEK DI APOTEK MARGI SEHAT TULUNG KECAMATAN TULUNG KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. Self Medication menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang menghabiskan uangnya untuk pergi ke salon, klinik-klinik kecantikan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pokok yang harus selalu tersedia dan tidak tergantikan

INTISARI. Ahmad Rajidin 1 ; Riza Alfian 2 ; Erna Prihandiwati 3

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

I. PENDAHULUAN. dengan semakin sering munculnya iklan-iklan baru dari merek-merek lama di

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

2016, No Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Neg

Komisi Penyiaran Indonesia PEDOMAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan

BAB I PENDAHULUAN. Perangkat televisi menjadi suatu kebiasaan yang popular dan hadir secara luas

RechtsVinding Online

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI KESADARTAHUAN DAN PREFERENSI RESPONDEN PADA IKLAN PRODUK SIRUP MARJAN

BAB I PENDAHULUAN. rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 1 Jumlah Rumah Sakit di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dan calon konsumen, dan mereka menonjolkan image bahwa merek mereka

1. BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu produk (barang, jasa, atau ide). Iklan sering kali menjadi andalan

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH. Industri rokok di Indonesia tergolong sebagai industri yang memiliki peran

SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN EDUKASI PADA PASIEN PENGGUNA ANTIBIOTIK DALAM RESEP DI APOTEK X WILAYAH SURABAYA TIMUR

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sarana promosi yang cukup efektif untuk meningkatkan brand awareness dan

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANALGETIK ANTIPIRETIK SEBAGAI UPAYA PENGOBATAN SENDIRI DI KELURAHAN PONDOK KARANGANOM KLATEN NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan tidak boleh menganggap hal ini menjadi ketakutan, tetapi akan lebih

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

BAB I PENDAHULUAN. tubuh) terhadap penyakit (Biddulph, 1999). Salah satu penyakit. yang umumnya diderita oleh bayi dan balita adalah jenis

Kata Kunci: Tingkat Pengetahuan, Asam Mefenamat, Pasien Poli Gigi

Modul ke: ETIKA PERIKLANAN. Fakultas ILMU KOMUNIKASI. Kartika, SIP, M.Ikom. Program Studi Advertising & Marketing Communication

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB 1 PENDAHULUAN. Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi pemasaran paling dikenal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2016, No Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

BAB I PENDAHULUAN. melalui media cetak tetapi juga media kominikasi elektronik. oleh masyarakat untuk mencari dan mengetahui informasi

INTISARI PROFIL SWAMEDIKASI OBAT BATUK PILEK BEBAS PADA ANAK DI APOTEK AMANDIT FARMA BANJARMASIN

PENGARUH IKLAN DI TELEVISI TERHADAP RESPON KONSUMEN. (Studi Terhadap Iklan Pasta Gigi Pepsodent) SKRIPSI

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN STATUS EKONOMI TERHADAP RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT SWAMEDIKASI PADA PENGUNJUNG DI APOTEK X KOTA PANGKALPINANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN ANTARA PENGGUNAAN OBAT GENERIK DAN OBAT PATEN DI APOTEK KETANDAN FARMA KLATEN

Transkripsi:

EVALUASI IKLAN OBAT DI STASIUN TELEVISI SWASTA NASIONAL TAHUN BERDASARKAN ATURAN WHO TAHUN 1988, KEPMENKES NOMOR 386 TAHUN 1994, DPI TAHUN 2005 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Oleh : Sherly Mecillia NIM : 118114151 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015

EVALUASI IKLAN OBAT DI STASIUN TELEVISI SWASTA NASIONAL TAHUN BERDASARKAN ATURAN WHO TAHUN 1988, KEPMENKES NOMOR 386 TAHUN 1994, DPI TAHUN 2005 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Oleh : Sherly Mecillia NIM : 118114151 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 i

ii

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN BERSUKACITALAH DALAM PENGHARAPAN, SABARLAH DALAM KESESAKAN DAN BERTEKUNLAH DALAM DOA! ROMA 12: 12 SETIAP PRESTASI, BUTUH PROSES. TIDAK ADA YANG INSTAN. MANFAATKAN SETIAP DETIK AGAR PROSES TERSEBUT TIDAK TERBUANG SIA SIA. Kupersembahkan karyaku ini, untuk Tuhan Yesus Kristus yang selalu membimbing dan menguatkanku, untuk Mama dan Papa yang tak pernah jenuh menyemangatiku, serta untuk adik-adikku, sahabat-sahabatku serta Almamaterku. iv

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan penyertaan-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Evaluasi Iklan Obat di Stasiun Televisi Swasta Nasional Tahun Berdasarkan Aturan WHO Tahun 1988, Kepmenkes Nomor 386 Tahun 1994, DPI Tahun 2005 sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan, kesabaran, masukan, dan motivasi kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Ipang Djunarko M.Sc., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan koreksi serta saran untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. 3. Ibu Dita Maria Virginia M.Sc., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan koreksi serta saran untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. v

vi

vii

viii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN... PRAKATA... i ii iii iv v LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... vii viii ix xii xiii xiv xv xvi BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang... 1 1. Rumusan masalah... 4 2. Keaslian penelitian... 4 3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis... 5 b. Manfaat praktis... 5 B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum... 6 ix

2. Tujuan khusus... 6 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Iklan... 8 a. Definisi iklan... 8 b. Tujuan iklan... 8 B. Televisi sebagai Salah Satu Media Iklan... 9 C. Peraturan Periklanan Bidang Obat... 10 D. Masalah Iklan Obat dan Perilaku Obat untuk Swamedikasi... 15 E. Keterangan Empiris... 17 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 18 B. Variabel dan Definisi Operasional... 18 C. Bahan Penelitian... 21 D. Waktu dan Lokasi Penelitian... 21 E. Instrumen Penelitian... 21 F. Tata Cara Penelitian 1. Studi pendahuluan... 22 2. Tahap pemilihaan sampel... 24 3. Tahap pengambilan data... 24 G. Analisis Hasil... 25 H. Keterbatasan Penelitian... 26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Iklan Obat... 27 1. Golongan obat... 27 2. Kelas terapi... 28 3. Produsen... 31 B. Evaluasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988... 33 C. Evaluasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 286 Tahun 1994 Tentang Pedoman Periklanan... 40 D. Evaluasi Iklan Obat Menurut DPI Tahun 2005... 50 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN x

A. Kesimpulan... 57 B. Saran... 58 DAFTAR PUSTAKA... 59 LAMPIRAN... 62 BIOGRAFI PENULIS... 89 xi

DAFTAR TABEL Tabel I. Batasan Indikasi Obat Bebas yang Ditetapkan Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994... 13 Tabel II. Hasil Studi Pendahuluan... 23 Tabel III. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7, RCTI, SCTV berdasarkan golongan obat... 28 Tabel IV. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7, RCTI, SCTV Berdasarkan Kelas Terapi... 29 Tabel V. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7, RCTI, SCTV Berdasarkan Produsen... 31 Tabel VI. Informasi Iklan Obat yang Harus Ditampilkan Menurut WHO Tahun 1988... 34 Tabel VII. Persentase Kean Informasi Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus Menurut WHO Tahun 1988... 39 Tabel VIII. Informasi Iklan Obat yang Harus Ditampilkan Menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994... 41 Tabel IX. Persentase Kean Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus Menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994... 47 Tabel X. Aturan Iklan Obat Menurut DPI (Dewan Periklanan Indonesia) Tahun 2005... 51 Tabel XI. Persentase Evaluasi Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus Menurut DPI tahun 2005... 54 xii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Persentase Evaluasi Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus Menurut DPI (Dewan Periklanan Indonesia) Tahun 2005... 56 xiii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Studi Pendahuluan... 63 Lampiran 2. Form untuk Mencatat Profil Iklan Obat... 67 Lampiran 3. Form untuk Evaluasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988, Kepmenkes No. 386 Tahun dan DPI Tahun 2005... 68 Lampiran 4. Data Distribusi Frekuensi Iklan Obat Bulan Juni... 69 Lampiran 5. Data Distribusi Frekuensi Iklan Obat Bulan Juli... 71 Lampiran 6. Data Distribusi Frekuensi Iklan Obat Bulan Agustus... 72 Lampiran 7. Data Kean Informasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988... 73 Lampiran 8. Data Kean Informasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994... 76 Lampiran 9. Data Evaluasi Klaim Indikasi Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994... 81 Lampiran 10. Data Evaluasi Iklan Obat Menurut DPI Tahun 2005... 85 xiv

INTISARI Penyimpangan iklan obat terus meningkat. Secara berturut-turut penyimpangan iklan obat terjadi sebesar 18%, 20% dan 23,8% pada tahun 2007, 2009 dan 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi iklan obat periode bulan Juni, Juli dan Agustus, berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan. Penelitian ini termasuk observasional dengan rancangan deskriptif. Pengambilan data dilakukan dengan observasi langsung iklan obat pada 3 stasiun televisi swasta (Trans7, RCTI dan SCTV), selama 3 hari dalam 3 bulan yang berbeda. Data yang diambil meliputi produsen obat, kelas terapi obat, golongan obat, kean informasi dan jumlah frekuensi. Dasar acuan yang digunakan dalam evaluasi iklan obat ini adalah Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO tahun 1998, Kepmenkes No. 386 tahun 1994, Etika Pariwara Indonesia oleh DPI tahun 2005. Analisis data yang digunakan metode statistik deskriptif. Hasil disajikan dalam bentuk tabel dan diagram disertai penjelasan. ada iklan obat yang sesuai dengan Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO tahun 1988 dan Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Iklan obat yang tidak sesuai dengan aturan Etika Pariwara Indonesia oleh DPI tahun 2005 sebesar 34,8%. Kata kunci: evaluasi iklan obat, televisi, WHO, DPI, Kepmenkes xv

ABSTRACT Deviations of drug advertisement keep increasing. The drug advertisement deviations occurred to be 18%, 20% dan 23,8% in 2007, 2009 and 2012 respectively.the aims of this research is to evaluate drug advertising period in June, July and August, based on established terms use. This is an observational and descriptive design research. The data were collected by direct observation on drug advertising at 3 private television station (Trans7, RCTI and SCTV), for 3 days in 3 different months. The drug manufactures, therapeutic class of drugs, drug classes, completeness of the drug information and frequency were taken as data. Basic reference which used in this evaluation of drug advertising is Ethical Criteria Drug Promotion by WHO in 1998, the Decree of Health Minister No. 386 in 1994, the Indonesia Advertisement Ethics by DPI 2005. Data were analyzed using descriptive statistical methods. The results presented in tables and diagram with explanation. There was no drug advertisement which appropriate with Ethical Criteria Drug Promotion by WHO in 1988 and the Decree of Health Minister No. 386 in 1994. Drug advertisement which not appropriate with the rules of Ethics Advertisement Indonesia by DPI in 2005 was 34,8%. Key word: drug advertisement evaluation, television, WHO, DPI, Decree of Health Minister xvi

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Setiap orang pernah mengalami penyakit dengan gejala ringan. Lewat peristiwa sakit yang dialami, masyarakat akan mencari pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit tersebut. Pengobatan tersebut dapat dilakukan baik oleh dokter maupun oleh diri sendiri (Purwanto, 2007). Pengobatan sendiri adalah suatu tindakan yang diupayakan untuk mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat tanpa resep secara tepat dan bertanggungjawab (rasional). Selama proses swamedikasi berlangsung, penderita bebas mendiagnosa sendiri penyakit yang dideritanya dan bebas memilih sendiri produk obat yang akan digunakan (Djunarko, dan Hendrawati, 2011). Masyarakat membutuhkan informasi yang jelas dan dapat dipercaya dalam memenuhi upaya swamedikasi. Masyarakat juga kerap menggunakan informasi yang mudah dan cepat diakses seperti televisi untuk memutuskan pemilihan obat (Purwanto, 2007). Iklan merupakan sarana komunikasi yang menghubungkan komunikator dalam hal ini perusahaan sebagai produsen untuk menyampaikan informasi tentang barang atau jasa kepada publik, melalui suatu media massa. Iklan juga mempunyai peran yang penting dalam membangun dan mengembangkan citra positif suatu jasa atau produk yang dihasilkan (Kholid, 2012). 1

2 Sebuah penelitian menemukan sebanyak 60% responden menghabiskan waktu untuk menonton televisi, dengan durasi antara 1-5 jam dalam sehari. Bahkan sebanyak 30% responden memiliki durasi menonton televisi lebih dari 5 jam (Widanenci, 2007). Pakar komunikasi Amerika Serikat, menyatakan televisi adalah media yang telah berhasil mengubah kehidupan sehari-hari manusia atau masyarakat (Biagi, 2010). Berdasarkan fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa televisi erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Konsumen memerlukan iklan sebagai salah satu alat informasi untuk mengetahui informasi barang yang mereka butuhkan. Konsumen juga sangat bergantung sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha. Informasi yang jelas, akurat, dan memadai tentang suatu produk merupakan kewajiban yang harus diberikan perusahaan. Hal tersebut juga berlaku untuk informasi tentang hal-hal yang perlu diwaspadai oleh konsumen dalam menggunakan produk tertentu. Informasi kesehatan komersial yang salah atau tidak tepat dapat membuat konsumen terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan yang benar. Hal itu dapat mengakibatkan kemubaziran dan dapat mengancam jiwa konsumen (Turisno, 2012). Ironisnya, sekitar 20% iklan obat bebas yang selama ini dipercaya masyarakat belum memenuhi aturan. Iklan obat seharusnya memberikan informasi yang obyektif,, tak menyesatkan dan tidak menggunakan kata yang berlebihan (Sidik, 2009). Pada tahun 2012, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menemukan sebanyak 23,8% iklan obat yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan (Anonim, 2013b).

3 Iklan obat dikatakan menyesatkan juga jika membawa pesan yang tidak dan kandungan produknya tidak sesuai dengan iklan, padahal masyarakat sebagai konsumen memiliki hak atas informasi yang benar. Lewat informasi tersebut, konsumen dapat memutuskan hak pilihnya yang kita ketahui bahwa hak pilih merupakan hak dasar yang tidak dapat dihapuskan oleh siapa pun juga. Informasi yang, benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa, dapat membantu konsumen untuk mengukur kesesuaian antara barang dan/atau jasa yang ditawarkan dengan kebutuhan masing-masing konsumen (Turisno, 2012). Hak konsumen telah diatur dalam Pasal 4.c Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa: Pasal 4.c. Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak konsumen tersebut dapat tercapai bila pelaku usaha atau produsen farmasi, melakukan kewajibannya yang telah dinyatakan Pasal 7.b Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa: Pasal 7.b. Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. (Anonim, 1999). Hal-hal tersebut yang melatarbelakangi peneliti untuk meneliti iklan obat yang disiarkan di stasiun televisi.

4 1. Rumusan masalah a. Seperti apa profil iklan obat di stasiun televisi swasta nasional selama 3 hari di bulan Juni, Juli dan Agustus pada tahun? b. Seperti apa hasil evaluasi iklan obat pada televisi swasta nasional berdasarkan pedoman dan aturan WHO tahun 1988, Kepmenkes No. 386 tahun 1994, dan DPI tahun 2005 yang berlaku? 2. Keaslian penelitian Beberapa penelitian yang berhubungan dengan evaluasi iklan obat pada stasiun televisi swasta yang pernah dilakukan, antara lain: a. Evaluasi kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk anak-anak di empat stasiun televisi swasta nasional. Hasil yang didapat yaitu tidak ada iklan obat yang rasional menurut Kriteria Etik Promosi Obat-WHO tahun 1998, 7,1% iklan obat tanpa resep dinilai rasional kean informasinya menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994, dan 57,1% iklan obat dinilai rasional klaim indikasinya menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 (Purwanto, 2007). b. Evaluasi kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional. Hasil yang didapat yaitu tidak ada iklan obat yang rasional menurut Kriteria Etik Promosi Obat- WHO tahun 1998, terdapat 18,9% iklan obat tanpa resep dinilai rasional kean informasinya menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri

5 Kesehatan) No. 386 tahun 1994, dan sebanyak 58,5% iklan obat dinilai rasional klaim indikasinya menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 (Yunari, 2007). Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis, penelitian mengenai Evaluasi Iklan Obat di Stasiun Televisi Swasta Nasional Tahun Berdasarkan Aturan WHO Tahun 1988, Kepmenkes Nomor 386 Tahun 1994, DPI Tahun 2005 belum pernah dilakukan. Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan yang telah disebut di atas yaitu penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi iklan obat yang tidak hanya ditampilkan dalam acara televisi untuk anak-anak dan ibu-ibu. Bahan penelitian, tempat penelitian, waktu pelaksanaan dan aturan pedoman yang digunakan juga berbeda. Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan penelitian deskriptif. Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak pada topik penelitian, yaitu evaluasi iklan obat pada stasiun televisi swasta nasional. 3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya teori dan pemahaman mengenai praktik iklan obat dalam industri farmasi dan dunia periklanan televisi. b. Manfaat praktis 1) Bagi industri farmasi

6 Industri farmasi dapat semakin memperhatikan kesesuaian iklan obat berdasarkan pedoman dan aturan WHO tahun 1988, Kepmenkes No 386 tahun 1994 dan DPI tahun 2005 yang berlaku. 2) Bagi Badan Pengawas Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan dapat semakin meningkatkan pengawasan kesesuaian iklan obat. 3) Bagi masyarakat Masyarakat dapat mengetahui jumlah pelanggaran iklan obat di televisi meskipun secara tidak langsung sehingga masyarakat dapat semakin waspada dan selektif dalam memilih sumber informasi saat swamedikasi. B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengevaluasi iklan obat pada stasiun televisi swasta nasional pada bulan Juni, Juli dan Agustus tahun. 2. Tujuan khusus a. Mendiskripsikan profil iklan obat di stasiun televisi swasta nasional selama 3 hari di bulan Juni, Juli dan Agustus tahun.

7 b. Mendiskripsikan hasil evaluasi iklan obat pada televisi swasta nasional berdasarkan pedoman dan aturan WHO tahun 1988, Kepmenekes No. 386 tahun 1994 dan DPI tahun 2005 yang berlaku.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA 1. Definisi iklan A. Tinjauan tentang Iklan Menurut KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), iklan merupakan sebuah bentuk promosi terhadap barang, jasa, perusahaan, dan ide yang harus dibayar oleh sebuah sponsor dari apa yang di tawarkan dalam iklan tersebut (Anonim, 2011). Iklan juga merupakan salah satu bentuk promosi yang paling dikenal orang, hal ini kemungkinan karena daya jangkauannya yang luas. Iklan menjadi instrumen promosi yang sangat penting, khususnya bagi perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang ditujukan kepada masyarakat luas (Morissan, 2010). Definisi iklan menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 1787 Tahun 2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan, yaitu Pasal 1 Iklan adalah informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan (Anonim, 2010). 2. Tujuan iklan Iklan bertujuan untuk meningkatkan respon konsumen terhadap penawaran produk perusahaan yang dapat memberikan laba dalam jangka waktu yang panjang (Sufa dan Munas, 2012). Iklan berperan penting bagi perusahaan 8

9 untuk menunjang sekaligus meningkatkan usahanya. Pengusaha mencoba mempengaruhi dan membangkitkan minat (animo) konsumen untuk membeli produk barang atau jasa lewat kehadiran iklan. Iklan obat seharusnya berperan untuk memasarkan produknya, tetapi pada kenyataannya tidak mempunyai reputasi baik. Kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik akan produknya (Turisno, 2012). hanya pengusaha yang membutuhkan iklan. Konsumen pun memerlukan iklan sebagai salah satu alat informasi untuk mengetahui informasi barang yang mereka butuhkan. Konsumen sangat bergantung sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha dalam memanfaatkan barang dan atau jasa (Turisno, 2012). B. Televisi sebagai Salah Satu Media Iklan Iklan berperan penting dalam memperkenalkan dan memperkuat citra merek dari sebuah produk. Media periklanan yang banyak diminati oleh industri adalah media televisi, karena media ini merupakan media audiovisual yang canggih dan menarik. Televisi juga mempunyai daya jangkau yang luas karena puluhan juta bahkan ratusan dan ribuan juta pasang mata dapat menyaksikan iklan suatu produk walaupun hanya dengan sebuah tayangan berdurasi kurang lebih 60 detik (Sufa dan Munas, 2012). Menurut Lane (2009), sekitar 99% rumah tangga memiliki paling sedikit satu perangkat televisi. Terdapat sebuah penelitian di Indonesia yang menyatakan bahwa sebanyak 60% responden menghabiskan waktu untuk menonton televisi,

10 dengan durasi antara 1-5 jam dalam sehari, bahkan sebanyak 30% responden memiliki durasi menonton televisi lebih dari 5 jam (Widanenci, 2007). Televisi masih menjadi media utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia dengan persentase 95%. Internet (33%), radio (20%) dan surat kabar (12%) juga masih dikonsumsi masyarakat Indonesia (Anonim, b). Menurt hasil penelitian Lane (2009), televisi menempati peringkat pertama sebagai media yang paling berpengaruh (81,8%) dan paling membujuk (66,5%). Kelebihan iklan lewat media televisi dibandingkan dengan jenis media lainnya yaitu mempunyai daya jangkau yang luas. Harga televisi yang semakin murah, menyebabkan berbagai kelompok masyarakat dapat mempunyai dan menikmati siaran dari perangkat elektronik ini. Hal tersebut memungkinkan pemasar dapat memperkenalkan dan mempromosikan produknya secara serentak ke seluruh wilayah suatu negara. Televisi merupakan media yang ideal untuk mengiklankan produk konsumsi massal (mass-consumption products), yaitu barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari misalnya makanan, minuman, peran mandi, pembersih, kosmetik, obat-obatan, dan sebagainya (Morissan, 2010). C. Peraturan Periklanan Bidang Obat Obat mempunyai kedudukan yang khusus dalam masyarakat karena diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Penggunaan obat yang salah, tidak tepat dan tidak rasional dapat membahayakan masyarakat. Pemerintah melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap

11 penyebaran informasi obat, termasuk periklanan obat, agar masyarakat dapat terhindar dari kemungkinan penggunaan obat yang salah, tidak tepat dan tidak rasional akibat pengaruh promosi melalui iklan. Periklanan obat menghadapi masalah yang relatif kompleks karena aspek yang dipertimbangkan tidak hanya tentang kesesuaian dengan aturan periklanan, tetapi juga menyangkut manfaatresikonya terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat luas. Masalah tersebut dapat diatasi dengan merancang isi, struktur maupun format pesan iklan obat dengan tepat agar tidak menimbulkan presepsi dan interpretasi yang salah oleh masyarakat luas (Supardi, 2009). Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen, menyebutkan fungsi Badan POM antara lain adalah pre review dan pasca audit iklan dan promosi obat dan obat tradisional, sebelum dipublikasikan. Pengawasan iklan obat yang dilakukan oleh pemerintah, mencakup penilaian sebelum iklan ditayangkan dan pengawasan terhadap iklan yang sudah ditayangkan (Supardi, Handayani, Herman, Raharni, dan Susyanty, 2011). Kenyataannya, walaupun telah diadakan tahap pre review, masih banyak iklan obat yang tidak memenuhi syarat (Turisno, 2012). Obat yang dapat diiklankan kepada masyarakat adalah obat yang sesuai peraturan undang-undang yang berlaku tergolong dalam obat bebas atau obat bebas terbatas, kecuali dinyatakan lain. Iklan obat dapat dimuat di media periklanan setelah rancangan iklan tersebut mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan RI. Iklan obat hendaknya dapat bermanfaat bagi

12 masyarakat untuk pemilihan penggunaan obat bebas secara rasional (Anonim, 1994). WHO (World Health Organization) sejak tahun 1988 mengeluarkan Kriteria Etik Promosi Obat (Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion) untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan peredaran obat yang tidak memenuhi syarat akibat periklanan dan informasi yang tidak benar dan menyesatkan. Kriteria Etik Promosi Obat menjelaskan bahwa informasi iklan obat yang ditujukan kepada masyarakat awam harus mengandung komposisi zat aktif; nama merek dagang; indikasi utama; kontraindikasi; peringatan perhatian (precaution) dan nama dan alamat produsen atau distributor (Anonim, 1988). Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 menjelaskan bahwa iklan obat harus mencantumkan informasi mengenai komposisi zat aktif obat, indikasi utama obat, informasi mengenai keamanan obat dan merek dagang obat. Selain itu perlu dicantumkan pula informasi nama industri farmasi yang memproduksi obat tersebut dan nomor registrasi obat. Nomor registrasi obat diwajibkan khusus media cetak (Anonim, 1994). Beberapa hal juga diatur dalam Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994, khususnya tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas. Dikatakan bahwa iklan obat dapat ditampilkan di media periklanan setelah disetujui oleh Departemen Kesehatan RI. Iklan obat juga tidak boleh diperankan oleh tenaga profesi kesehatan atau menggunakan setting laboratorium. Spot peringatan BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER harus ditampilkan dalam iklan obat, sedangkan untuk iklan vitamin

13 harus dicantumkan peringatan BACA ATURAN PAKAI. Kedua peringatan tersebut harus ditayangkan minimal selama 3 detik. Klaim indikasi yang ditampilkan dalam suatu iklan harus sesuai dengan batasan yang ditetapkan oleh Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994, yang dijabarkan pada tabel I dibawah ini: Tabel I. Batasan Klaim Indikasi Obat Bebas yang Ditetapkan Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 (Anonim) No. Sub Kelas Terapi Obat Indikasi yang ditetapkan Kepmenkes No. 386 tahun 1994 1. Vitamin C a. mengatasi kekurangan vitamin C seperti pada sariawan dan perdarahan gusi. b. untuk keadaan dimana kebutuhan akan vitamin C meningkat seperti pada keadaan sesudah operasi, sakit, hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan dan lansia 2. Multivitamin dan mineral mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, anak dalam masa 3. Obat pereda sakit dan penurun panas pertumbuhan serta lansia. meringankan rasa sakit misalnya: sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot; dan atau menurunkan panas. 4. Obat flu meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepada, hidung tersumbat dan pilek 5. Obat asma meringankan gejala sesak napas karena asma 6. Antitusif meredakan batuk yang tidak berdahak. 7. Ekspektoran meredakan batuk yang berdahak 8. Antitusif, ekspektoran, meredakan batuk berdahak yang disertai pilek antihistamin 9. Antasida mengatasi gejala sakit maag seperti: perih, kembung, mual meringankan gejala-gejala flu, otot kaku dan nyeri, gatal-gatal serta gigitan serangga 10. Obat gosok untuk analgesia lokal 11. Obat kulit (topikal) mengatasi infeksi karena jamur 12. Obat tetes mata meredakan iritasi mata yang ringan. 13. Obat laksans/pencahar mengatasi sembelit (susah buang air besar) 14. Obat kumur melegakan sakit tenggorokan dan membantu menjaga higinitas mulut 15. Obat cacing untuk pengobatan infeksi kecacingan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui oleh Departemen Kesehatan

14 DPI (Dewan Periklanan Indonesia) juga mengeluarkan aturan iklan obat yaitu Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) tahun 2005. Iklan tidak diperbolehkan secara langsung maupun tersamar menganjurkan penggunaan obat yang tidak sesuai dengan ijin indikasinya dan pemakaian suatu obat secara berlebihan. Kata, ungkapan, penggambaran atau pencitraan yang menjanjikan penyembuhan tidak boleh ditampilkan pada iklan. Hanya ungkapan untuk membantu menghilangkan gejala dari sesuatu penyakit yang dapat ditampilkan pada iklan. diperbolehkan menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, bebas efek samping, bebas risiko dan ungkapan lain yang bermakna sama, tanpa disertai keterangan yang memadai. Iklan tidak boleh menggambarkan atau menimbulkan kesan pemberian anjuran, rekomendasi, atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu oleh profesi kesehatan. Anjuran bahwa suatu obat merupakan syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh, dilarang ditampilkan dalam iklan. Iklan tidak diperkenankan memanipulasi atau mengekspolitasi rasa takut orang terhadap sesuatu penyakit karena tidak menggunakan obat yang diiklankan. Penawaran diagnosa pengobatan atau perawatan melalui surat menyurat dan jaminan pengembalian uang dilarang dalam suatu iklan obat (Anonim, 2005). Peraturan Kepala Badan POM tahun 2009 tentang Pedoman Pengawasan Promosi dan Iklan Obat menyebutkan bahwa apabila ditemukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, Badan POM dapat memberikan sanksi administratif berupa peringatan, penghentian kegiatan iklan, pencabutan ijin edar

15 atau sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada industri farmasi atau pemilik ijin edar (Anonim, 2010). D. Masalah Iklan Obat dan Perilaku Pemilihan Obat untuk Swamedikasi Sakit adalah pengalaman subyektif yang ditandai dengan perasaan tidak enak, sehingga aktivitas seseorang dapat terganggu. Pengobatan sendiri atau swamedikasi kerap dilakukan oleh orang yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan (Sarwono, 2004). Masyarakat kerap kali mengandalkan obat untuk menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit tersebut. Obat-obatan juga dapat menjadi sangat berbahaya bila disalahgunakan. Umumnya masyarakat kurang memahami bahwa obat ternyata juga memiliki efek samping yang dapat merugikan kesehatan (Turisno, 2012). Konsumen kerap melakukan pembelian beberapa produk atau jasa tertentu dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya (Lane, 2009). Hal itu menyebabkan masyarakat membutuhkan informasi yang jelas dan dapat dipercaya untuk memenuhi upaya tersebut (Purwanto, 2007). Periklanan sangat berperan dalam memberikan informasi seefisien dan seekonomis mungkin bagi calon pembeli (Lane, 2009). Muatan informasi yang benar, jelas, dan jujur dalam iklan, merupakan hak konsumen yang wajib diberikan pelaku usaha kepada konsumen agar konsumen dapat menentukan pilihan yang tepat. Kenyataannya sebagian iklan obat dapat dikatakan menyesatkan karena membawa pesan yang tidak dan tidak sesuai dengan kandungan produknya. Produsen hanya menampilkan

16 khasiat saja dan hanya menjelaskan sebagian kecil kemungkinan akibat buruk bagi konsumen. Membesar-besarkan manfaat produk diluar proporsi yang wajar, merupakan tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan etika. Mungkin saja para pengguna dan calon pengguna tertarik dan membeli produk tersebut karena terpengaruh kehebatannya yang dibesar-besarkan oleh perusahaan. Informasi kesehatan komersial yang salah atau tidak tepat dapat merugikan konsumen karena membuat konsumen terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan yang benar, sehingga dapat mengancam jiwa konsumen (Turisno, 2012). Selama tahun 2007 terjadi penyimpangan 703 iklan obat bebas, yang dimana 18% di antaranya tidak sesuai persetujuan Badan POM. Pada tahun 2009, sekitar 20% iklan obat bebas yang selama ini dipercaya masyarakat belum memenuhi aturan (Sidik, 2009). Jumlah penyimpangan obat bebas ini terus bertambah sampai tahun 2012. Pada tahun 2012, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sebanyak 23,8% iklan obat yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan (Anonim, 2013b). Peristiwa tersebut jelas bertentangan dengan hak konsumen dan yang telah dijabarkan pada Pasal 4.c Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. hanya bertentangan dengan Pasal 4.c tersebut, peristiwa tersebut juga bertentangan dengan kewajiban pelaku usaha yang dijelaskan dalam Pasal 7.b Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Turisno, 2012).

17 E. Keterangan Empiris Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kesesuaiaan iklan obat di stasiun televisi swasta nasional pada bulan Juni, Juli dan Agustus tahun berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat (Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion) oleh WHO (World Health Organization) tahun 1988, Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) Nomor 386 Tahun 1994 dan Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) oleh DPI (Dewan Periklanan Indonesia) tahun 2005.

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional yaitu penelitian yang dilakukan terhadap subyek uji menurut keadaan apa adanya (in nature) tanpa pemberian perlakuan atau manipulasi (Swarjana, 2012). Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan deskriptif karena penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran yang realistis dan obyektif (Imron, 2010) dari iklan obat di stasiun televisi swasta. B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Iklan obat di televisi adalah informasi obat tanpa resep dari produsen kepada konsumen yang disiarkan pada stasiun televisi swasta nasional Trans7, RCTI, SCTV. 2. Tanggal tayang yang diamati adalah tanggal 17 19 Juni, 16 18 Juli dan 13 15 Agustus. 3. Jam tayang yang diamati adalah pukul 05.00 10.00 (Trans7), 10.00 15.00 (RCTI) dan 15.00 20.00 (SCTV). 4. Jenis iklan yang diteliti adalah iklan obat bebas dan obat bebas terbatas. 5. Profil iklan obat yang diteliti meliputi golongan obat (obat bebas, obat bebas terbatas); kelas terapi berdasarkan MIMS edisi 15 tahun 2015; produsen obat 18

19 (misalnya: PT. Kalbe Farma Tbk, PT. Tempo Scan Pacific Tbk, dan lain-lain) dan jumlah frekuensi. 6. Golongan obat dibagi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MenKes/Per/VI/2000 yaitu obat bebas dengan logo berwarna hijau bergaris tepi hitam dan obat bebas terbatas dengan logo berwarna biru bergaris tepi hitam. Obat yang tidak memiliki logo golongan obat, dalam penelitian ini dieksklusi. Misal: vitamin Enervon C, Imboost, dan lain-lain. 7. Unsur-unsur iklan obat dan 3 aturan evaluasi iklan obat dalam penelitian ini adalah: a. Kean informasi iklan berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat (Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion) oleh WHO Tahun 1988, yang meliputi: kandungan zat aktif, nama dagang atau merek, penyampaian indikasi, kontraindikasi, peringatan perhatian (precaution), nama dan alamat produsen atau distributor. b. Kean informasi iklan berdasarkan Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 Tentang Pedoman Periklanan, yang meliputi: kandungan zat aktif; nama dagang atau merek; penyampaian indikasi; informasi keamanan obat; nama produsen; tidak diperankan oleh Tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium; terdapat spot peringatan BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER (untuk obat) atau BACA ATURAN PAKAI (untuk vitamin) dengan durasi selama 3 detik;

20 dan kesesuaian klaim indikasi. Klaim indikasi adalah pernyataan tentang indikasi obat yang dicantumkan dalam iklan. c. Aturan penanyangan dari segi etika berdasarkan Etika Pariwara Indonesia menurut Dewan Periklanan Indonesia (DPI) tahun 2005. 8. Dinyatakan sesuai untuk setiap iklan obat bila semua unsur iklan obat yang tercantum dalam suatu aturan terpenuhi, dan tidak sesuai bila ada salah satu unsur iklan dari suatu aturan yang tidak terpenuhi. 9. Kontraindikasi dalam penelitian ini adalah keadaan dimana terapi tertentu tidak dianjurkan karena dapat memberikan dampak buruk bagi pasien. Contoh: terdapat obat yang kontraindikasi dengan penderita gangguan fungsi ginjal yang berat. 10. Informasi peringatan perhatian adalah informasi yang disampaikan oleh industri farmasi tentang kejadian yang dapat timbul setelah mengkonsumsi produknya. Biasanya kejadian yang timbul berupa kejadian yang tidak diinginkan dan terjadi pada hampir seluruh konsumen produk tersebut. Contoh: terdapat obat yang dapat menyebabkan kantuk. 11. Informasi keamanan obat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran mengenai suatu obat yang aman bagi organ tubuh tertentu selama mengkonsumsi obat tersebut. Contoh: terdapat obat yang aman bagi lambung.

21 C. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah iklan obat yang ditayangkan melalui media eletronik (televisi). Stasiun televisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah stasiun televisi swasta nasional Indonesia (RCTI, SCTV dan Trans7). Ukuran sampel minimum untuk metode deskriptif adalah 10% dari populasi, dan untuk populasi yang relatif kecil minimal 20% dari populasi (Umar, 2005). Saat ini di Indonesia terdapat 10 stasiun televisi swasta nasional (Anonim, 2013a). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 stasiun televisi diharapkan agar dapat mewakili iklan obat di semua stasiun televisi Indonesia. D. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data dilakukan di rumah pribadi penulis yang berlokasi di Bekasi. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 17 19 Juni, 22 24 Juli dan 13 15 Agustus tahun. E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah form. Terdapat 2 form yang digunakan dalam penelitian ini. Form yang pertama bertujuan mencatat profil iklan obat baik berdasarkan golongan obat, kelas terapi dan produsen obat. Lewat form tersebut akan diketahui distribusi frekuensi iklan obat berdasarkan golongan, kelas terapi dan produsen. Form yang pertama dapat dilihat pada lampiran 2.

22 Form kedua bertujuan untuk mendokumentasikan hasil evaluasi iklan obat. Evaluasi iklan obat dilakukan berdasarkan aturan Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO tahun 1988, Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 dan DPI (Dewan Periklanan Indonesia) tahun 2005. Lewat form tersebut akan diketahui gambaran iklan obat yang beredar di stasiun televisi swasta bulan Juni, Juli dan Agustus. Form yang kedua dapat dilihat pada lampiran 3. F. Tata Cara Penelitian 1. Studi Pendahuluan Penelitian dimulai dengan menghitung banyaknya frekuensi iklan obat yang ditayangkan di tiga stasiun televisi swasta nasional Indonesia (RCTI, SCTV dan Trans7). Pemilihan ketiga stasiun televisi swasta tersebut didasarkan pada laporan KPI pada tahun 2011 bahwa terdapat 5 (lima) stasiun televisi swasta yang merupakan stasiun televisi dengan iklan terbanyak, yaitu RCTI, Global TV, Trans TV, Trans7 dan SCTV. Lalu dari kelima stasiun televisi tersebut dipilih 3 stasiun televisi dengan rating audience share tertinggi, yaitu RCTI (23,25), SCTV (13,41) dan Trans7 (13) (Anonim, 2013a). Studi pendahuluan dilakukan pada tanggal 8 dan 9 April di SCTV; 17 dan 18 April di RCTI; dan 24 dan 25 April di Trans7. Jumlah iklan obat yang terdapat pada ketiga stasiun televisi tersebut dihitung dari pukul 05.00 01.00, sehingga dapat ditentukan waktu tayang yang digunakan dalam penelitian. Dari pukul 05.00 01.00, rentang waktu jam tayang dikelompokkan menjadi tiap

23 5 jam karena menurut hasil penelitian Widanenci (2007), 60% responden menonton televisi dengan durasi selama 5 jam. Berikut hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti: Tabel II. Hasil Studi Pendahuluan No. Nama Stasiun Televisi Jam Tayang Frekuensi Iklan Obat 1. RCTI 05.00 10.00 8 10.00 15.00 >14 15.00 20.00 4 20.00 01.00 4 2. SCTV 05.00 10.00 16 10.00 15.00 13 15.00 20.00 28 20.00 01.00 15 3. Trans7 05.00 10.00 33 10.00 15.00 15 15.00 20.00 17 20.00 01.00 6 Selama studi pendahuluan berlangsung, tidak didapatkan data iklan obat yang tayang di RCTI pukul 11.00 12.00 karena keterbatasan waktu yang dimiliki peneliti. Hal tersebut tidak mempengaruhi penghitungan frekuensi iklan obat karena pukul 11.00 12.00 telah masuk ke dalam kelompok rentang waktu 10.00 15.00 yang telah memperoleh frekuensi iklan terbanyak. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tabel II, dapat disimpulkan bahwa iklan obat terbanyak pada RCTI muncul pada jam 10.00 15.00 dengan jumlah iklan obat lebih dari 14, SCTV pada jam 15.00 20.00 dengan 28 iklan obat dan Trans7 pada jam 05.00 10.00 dengan 33 iklan obat.

24 2. Tahap Pemilihan Sampel Pemilihan bahan penelitian diambil dengan metode purposive sampling. Purposive sampling adalah pemilihan sekelompok bahan penelitian didasarkan atas sifat-sifat tertentu yang erat dengan sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoadmodjo, 2010). Kriteria subyek penelitian adalah semua iklan obat yang memiliki frekuensi tayang iklan obat tertinggi di tiga televisi swasta nasional Indonesia (RCTI, SCTV, dan Trans7) pada periode Juni, Juli dan Agustus. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang ditampilkan pada tabel II, dapat disimpulkan bahwa iklan obat terbanyak pada RCTI muncul pada jam 10.00 15.00, SCTV pada jam 15.00 20.00 dan Trans7 pada jam 05.00 10.00. Pemilihan jam tayang tersebut berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis terlebih dahulu dengan menghitung banyaknya frekuensi iklan obat yang muncul pada rentang waktu tersebut dan diambil frekuensi tayang tertinggi. 3. Tahap Pengambilan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi langsung iklan obat di tiga stasiun televisi swasta nasional Indonesia (RCTI, SCTV dan Trans7) selama 3 hari pada bulan yang berbeda yaitu: 17 19 Juni, 16 18 Juli, 13 15 Agustus. Batas jam pengamatan untuk Trans7 pukul 05.00 10.00, RCTI pukul 10.00 15.00 dan SCTV pukul 15.00 20.00. Pemilihan tanggal tayang tersebut didasarkan pada ketersediaan waktu yang dimiliki oleh peneliti, sedangkan pemilihan jam tayang berdasarkan studi pendahuluan.

25 Data yang dikumpulkan dan didokumentasikan dalam form penelitian ini meliputi tanggal tayang, frekuensi, golongan obat, kelas terapi obat, nama produsen serta kean informasinya. Selama proses pengambilan data berlangsung, peneliti juga mendokumentasikan bahan penelitian yang berupa iklan obat dengan bantuan alat perekam (handycam). Peneliti juga mengunduh video iklan obat dari website www.youtube.com agar keseluruhan data yang diperlukan untuk mengevaluasi suatu iklan obat, dapat terkumpul. Video iklan obat yang tidak terdapat di website www.youtube.com ada 1 (satu) yaitu iklan Nourish E, tetapi hal ini tidak menjadi halangan karena data yang diperlukan telah terdokumentasi dengan cukup baik dan jelas di alat perekam (handycam). G. Analisis Hasil Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan metode statistik deskriptif, yaitu sebuah pengolahan statistik yang memungkinkan penulis untuk melukiskan dan merangkum hasil pengamatan. Pada statistik deskriptif, data ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik, atau diagram (Sujarweni dan Endrayanto, 2012). Pada penelitian ini, data ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram. Data iklan obat yang telah dievaluasi menurut aturan-aturan dari WHO tahun 1988, Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 dan Dewan Periklanan Indonesia (DPI) tahun 2005, disajikan dalam tabel dan atau diagram sebagai berikut: 1. Presentase frekuensi iklan obat pada masing-masing stasiun televisi berdasarkan golongan obat, kelas terapi dan produsen.

26 2. Evaluasi kean informasi iklan obat berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat WHO tahun 1988 dan presentasenya. 3. Evaluasi kean informasi iklan obat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 dan presentasenya. 4. Evaluasi aturan iklan obat berdasarkan Etika Pariwara Indonesia menurut Dewan Periklanan Indonesia (DPI) tahun 2005 dan presentasenya.. Data yang telah dirangkum dalam bentuk tabel dan diagram tersebut, akan dibahas dalam bentuk uraian. H. Keterbatasan Penelitian Beberapa iklan obat dalam penelitian ini ada yang tidak tercantum dalam kelas terapi MIMS edisi 15 tahun 2015. Hal tersebut menjadi keterbatasan peneliti dalam meneliti profil iklan obat. ada penjabaran tentang definisi informasi keamanan obat yang tercantum dalam Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Hal tersebut menjadi keterbatasan peneliti dalam mengevaluasi iklan obat menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Iklan Obat Iklan diperlukan konsumen untuk mengetahui informasi barang yang mereka butuhkan. Konsumen sangat bergantung sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha dalam memanfaatkan barang atau jasa (Turisno, 2012). Salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen terhadap pemilihan suatu produk adalah frekuensi iklan (Kotler, 2003). Semakin besar frekuensi iklan, iklan tersebut dapat dikatakan semakin menarik minat konsumen untuk membeli produk tersebut. Profil iklan yang disajikan merupakan gambaran distribusi frekuensi iklan obat di stasiun televisi Trans7, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) dan SCTV (Surya Citra Televisi) selama 3 hari dalam 3 bulan yang berbeda dan ditampilkan berdasarkan golongan obat, kelas terapi dan produsen. 1. Golongan Obat Golongan obat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari obat bebas terbatas dan obat bebas. Berdasarkan tabel III, dapat kita ketahui bahwa Trans7 memiliki frekuensi iklan obat bebas tertinggi, dengan persentase sebesar 61,9%. RCTI dan SCTV memiliki frekuensi iklan obat bebas terbatas dengan frekuensi tertinggi, sebesar 55,1% dan 58,6%. 27

28 Tabel III. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7, RCTI, SCTV Berdasarkan Golongan Obat Trans7 RCTI SCTV Total No. Golongan Obat*) n % n % n % n % 1 Obat Bebas 52 61,9 22 44,9 29 41,4 103 50,7 2 Obat Bebas Terbatas 32 38,1 27 55,1 41 58,6 100 49,3 Total 84 100 49 100 70 100 203 100 Keterangan : n = jumlah iklan, % = persentase, * = penggolongan obat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MenKes/Per/VI/2000 Iklan obat bebas memiliki frekuensi paling tinggi (50,7%) dibandingkan iklan obat bebas terbatas (49,3%) pada ketiga stasiun televisi swasta tersebut. Tumbuhnya pasar obat bebas menyebabkan produsen berlomba lomba meningkatkan frekuensi iklan obat bebas, sehingga efektivitas iklan dapat tercapai dan masyarakat akan lebih mengenal produk mereka (Turisno, 2012). 2. Kelas terapi Obat yang diiklankan di stasiun televisi Trans7, RCTI dan SCTV dikelompokkan dalam beberapa kelas terapi menurut MIMS edisi 15 tahun 2015. Persentase frekuensi iklan obat berdasarkan kelas terapi pada ketiga stasiun televisi, disajikan dalam tabel V. Berdasarkan tabel V tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 12 kelas terapi obat di stasiun televisi Trans7, 12 kelas terapi obat di stasiun televisi RCTI dan 11 kelas terapi obat di stasiun televisi SCTV. Iklan obat batuk dan pilek menempati frekuensi tertinggi pada stasiun televisi Trans7 (25%). Iklan obat analgesik (non opiate) dan antipiretik menempati frekuensi tertinggi pada stasiun

29 televisi RCTI (28,6%). Obat-obat yang tidak tercantum dalam MIMS edisi 15 tahun 2015 menempati frekuensi tertinggi pada stasiun televisi SCTV (41,4%). Secara keseluruhan dapat disimpulkan iklan obat-obat yang tidak tercantum dalam MIMS edisi 15 tahun 2015 yang paling mendominasi dalam 3 stasiun televisi swasta ini yaitu sebesar 21,7%. Iklan obat antiinfeksi dan antiseptik telinga merupakan obat yang memiliki frekuensi paling rendah (0,5%). Hasil ini menunjukkan bahwa penyakit yang berhubungan dengan infeksi telinga pada masyakarat, dapat dikatakan jarang terjadi dibandingkan penyakit pada umumnya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa iklan suplemen terapi penunjang memiliki frekuensi paling rendah (0,5%). Sebenarnya produk suplemen kerap diiklankan di televisi, tetapi banyak produk suplemen yang dieklskusi dalam penelitian ini. Hal tersebut disebabkan karena tidak tercantumnya logo berwarna hijau pada kemasan suplemen yang sering beredar di masyarakat. Tabel IV. Distribusi Frekuensi Iklan Obat pada Stasiun Televisi Trans7, RCTI, SCTV Berdasarkan Kelas Terapi Trans7 RCTI SCTV Total No. Kelas Terapi Obat n % n % n % n % 1 Golongan obat yang tidak tercantum 14 16,7 1 2 29 41,4 44 21,7 2 Obat batuk dan pilek 21 25 8 16,3 6 8,6 35 17,2 3 Analgesik (non opiate) dan antipertik 9 10,7 14 28,6 2 2,9 25 12,3

30 Lanjutan Tabel IV 4 Antasid, obat antirefluks dan antiulserasi 4 4,8 0 0 16 22,9 20 9,9 5 Obat kulit lain 12 14,3 4 8,2 1 1,4 17 8,4 6 Obat lain yang bekerja pada sistem muskuloskeletal 7 8,3 2 4,1 1 1,4 10 4,9 7 Laksatif, pencahar 0 0 8 16,3 1 1,4 9 4,4 8 Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) 9 Vitamin dan mineral (untuk masa hamil dan nifas) atau antianemia 0 0 0 0 8 11,4 8 3,9 2 2,4 4 8,2 0 0 6 3 10 Antijamur dan antiparasit 6 7,1 0 0 0 0 6 3 topikal 11 Preparat mulut dan 5 6 0 0 0 0 5 2,5 tenggorokan 12 Antidiare 0 0 0 0 3 4,3 3 1,5 13 Dekongestan nasal dan 1 1,2 0 0 2 2,9 3 1,5 preparat nasal lain 14 Antiseptik dan desinfektan 0 0 2 4,1 0 0 2 1 kulit 15 Obat dekongestan, anastesi, 2 2,4 0 0 0 0 2 1 antiinflamasi mata 16 Obat kardiovaskular golongan 0 0 2 4,1 0 0 2 1 lain 17 Vitamin B kompleks atau 1 1,2 1 2 0 0 2 1 dengan vitamin C 18 Preparat Antiasma dan PPOK 0 0 2 4,1 0 0 2 1 19 Antiinfeksi dan antiseptik 0 0 1 2 0 0 1 0,5 telinga 20 Suplemen terapi penunjang 0 0 0 0 1 1,4 1 0,5 Keterangan : TOTAL 84 100 49 100 70 100 203 100 1)n = jumlah iklan, % = persentase, * = pengelompokkan kelas terapi berdasarkan MIMS Edisi 15 Tahun 2015

31 2)Daftar obat yang tidak tercantum dalam MIMS edisi 15 tahun 2015 = Hufagrip, Ultraflu, Paramex, Kalpanax K, Neo Ultrasiline, Konidin, Siladex, Combantrin dan Renovit 3. Produsen Indonesia memiliki 247 perusahaan farmasi (IAI, 2010). Seluruh perusahaan farmasi tersebut saling berlomba-lomba untuk merebut pangsa pasar dengan mengiklankan produk mereka di stasiun televisi. Terdapat 13 produsen yang mengiklankan produknya di stasiun televisi Trans7, 9 produsen di stasiun RCTI dan 10 produsen di stasiun SCTV. Presentase frekuensi iklan obat setiap produsen dapat dilihat pada tabel V berikut. Tabel V. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7, RCTI, SCTV Berdasarkan Produsen Trans7 RCTI SCTV Total No. Produsen n % n % n % n % 1 PT. Tempo Scan Pacific, Tbk 11 13,1 16 32,7 8 11,4 35 17,2 2 PT. Konimex Pharm. Laboratories 29 34,5 2 4,1 2 2,9 33 16,3 3 PT. Kalbe Farma 4 4,8 0 0 19 27,1 23 11,3 4 PT. Henson Farma 0 0 0 0 17 24,3 17 8,4 5 PT. Transfarma Medica Indah 12 14,3 4 8,2 1 1,4 17 8,4 6 PT. Boehringer Ingelham 3 3,6 12 24,5 1 1,4 16 7,9 7 PT. Bayer Indonesia 0 0 0 0 13 18,6 13 6,4 8 PT. Combiphar 8 9,5 0 0 0 0 8 3,9

32 Lanjutan Tabel V 9 PT. Merck Tbk 1 1,2 5 10,2 0 0 6 3 10 PT. Graha Husada Farma (HUFA) 0 0 0 0 5 7,1 5 2,5 11 PT. Novell Pharmaceutical Laboratories 5 6 0 0 0 0 5 2,5 12 PT. Pharos 0 0 5 10,2 0 0 5 2,5 13 PT. Taisho 4 4,8 0 0 0 0 4 2 14 PT. Darya-Varia Laboratoria 1 1,2 0 0 2 2,9 3 1,5 Tbk 15 PT. Pfizer Indonesia 0 0 1 2 2 2,9 3 1,5 16 PT. Supra Ferbindo Farma 0 0 3 6,1 0 0 3 1,5 17 PT. Beirsdorf 2 2,4 0 0 0 0 2 1 18 PT. Saka Farma 2 2,4 0 0 0 0 2 1 19 PT. Sterling Products Indonesia 2 2,4 0 0 0 0 2 1 20 PT. Medikon Prima Laboratories 0 0 1 2 0 0 1 0,5 TOTAL 84 100 49 100 70 100 203 100 Keterangan : n = jumlah iklan, % = persentase Tabel V menunjukkan bahwa produsen yang paling banyak mengiklankan produknya di stasiun televisi Trans7 adalah PT. Konimex Pharm. Laboratories (34,5%), PT. Tempo Scan Pacific, Tbk (32,7%) di stasiun televisi RCTI dan PT. Kalbe Farma (27,1%) di stasiun televisi SCTV. Berdasarkan tabel V, dapat kita simpulkan juga bahwa 3 produsen tersebut juga yang paling menguasai dunia periklanan obat di ketiga stasiun televisi Indonesia, dengan presentase sebagai berikut PT. Tempo Scan Pacific, Tbk (17,2%), PT. Konimex Pharm. Laboratories (16,3%) dan PT. Kalbe Farma (11,3%). Produsen dengan frekuensi tertinggi, mengharapkan bahwa iklan obatnya dapat menarik perhatian

33 masyarakat dibandingkan iklan obat produsen lain, sehingga masyarakat tertarik untuk memilih produknya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sufa dan Munas (2012) bahwa frekuensi penayangan iklan berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas iklan. B. Evaluasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988 Iklan bertujuan untuk menarik minat masyarakat untuk membeli produk yang dibutuhkan. Masyarakat kerap menggunakan iklan sebagai sumber untuk memutuskan barang mana yang akan dipiih sebagai terapi kesembuhan penyakitnya. Durasi iklan yang terbatas, merupakan halangan masyarakat untuk menerima informasi sebanyak-banyaknya mengenai barang yang akan dipilih. Produsen akan lebih mengutamakan kreatifitas iklan untuk menarik perhatian masyarakat, sedangkan informasi iklan obat yang seharusnya diutamakan, akan dikesampingkan. Masyarakat yang tertarik pada iklan obat dengan tingkat kreatifitas yang tinggi, akan meningkatkan penjualan produk produsen farmasi (Arfianto, 2010). Produsen pun akan mencapai keuntungan yang besar tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan pada konsumen jika konsumen tidak mendapatkan informasi yang cukup. Peran iklan yang pada awalnya sebagai sumber informasi obat, menjadi tidak efektif (Yunari, 2007). Evaluasi iklan obat pada penelitian ini dilakukan berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO (World Health Organization) tahun 1988. Evaluasi iklan obat dikatakan sesuai menurut WHO bila semua informasi ditampilkan dalam iklan dan dikatakan tidak sesuai jika terdapat salah satu informasi yang

34 tidak ditampilkan. Informasi yang harus ditampilkan dalam iklan obat menurut WHO (World Health Organization) tahun 1988 ditampilkan pada tabel VI. Tabel VI. Informasi Iklan Obat yang Harus Ditampilkan Menurut WHO Tahun 1988 (Anonim) No. Informasi dalam Iklan Obat 1. Zat aktif 2. Merek 3. Indikasi 4. Peringatan perhatian (precaution) 5. Kontraindikasi 6. Nama dan alamat produsen atau distributor Hasil penelitian evaluasi kean informasi iklan obat menurut WHO (World Health Organization) dapat dilihat pada lampiran 7. Lampiran 7 tersebut menunjukkan bahwa dari 46 iklan obat, tidak ada yang memenuhi kriteria kean informasi menurut WHO. Iklan obat yang tidak memenuhi kriteria kean informasi, dapat dikatakan belum mencukupi untuk dijadikan dasar pemilihan obat karena tidak banyak informasi yang dapat diberikan kepada masyarakat. Semakin informasi yang terdapat pada iklan obat, masyarakat dapat semakin menilai apakah obat tersebut sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan keadaaan tubuh mereka (Turisno, 2012). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklan obat yang memenuhi kriteria kean informasi, lebih dipercaya oleh masyarakat dalam pelaksanaan swamedikasi.

35 Menurut Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO (World Health Organization) tahun 1988, iklan obat harus mencantumkan informasi sebagai berikut: zat aktif; merek; penyampaian indikasi; kontraindikasi; peringatan perhatian (precaution); dan nama dan alamat produsen atau distributor. Informasi tersebut sangat dibutuhkan masyarakat dalam menentukan pilihan terapi yang terbaik baik dirinya, sehingga mereka dapat melakukan pengobatan mandiri yang aman dan efektif. Hal itu disebabkan semakin informasi yang diberikan, konsumen semakin dapat menilai apakah obat yang diiklankan tersebut sesuai atau tidak untuk penyakit dan kondisi kesehatan tubuhnya (Yunari, 2007). Informasi dalam iklan obat yang paling sering tidak ditampilkan yaitu kontraindikasi; nama dan alamat industri farmasi atau distributor; peringatan perhatian (precaution); zat aktif; indikasi. Kontraindikasi adalah keadaan dimana terapi tertentu tidak dianjurkan karena dapat memberikan dampak buruk bagi pasien. Suatu obat yang cocok untuk seseorang, belum tentu obat tersebut cocok untuk orang lain, misalnya penggunaan aspirin kontraindikasi dengan penderita asma karena dapat memicu terjadinya asma (Lee dan Stevenson, 2011). terdapat iklan obat dalam penelitian ini yang mencantumkan kontraindikasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunari (2007) bahwa tidak ada iklan obat yang mencantumkan kontraindikasi karena dengan ditampilkannya kontraindikasi obat, dapat muncul ketakutan masyarakat secara berlebih. Hal tersebut dapat menurunkan minat masyarakat dalam memilih suatu produk, sehingga produk tersebut tidak laku di pasaran.

36 Berdasarkan hasil penelitian Purwanto (2007), pihak yang bertanggung jawab atas kualitas kerja atau keberhasilan suatu obat adalah industri farmasi. Menurut Yunari (2007), produsen bertanggung jawab atas kean sebuah iklan obat sehingga nama dan alamat industri farmasi perlu dicantumkan dalam iklan obat. Iklan obat pada penelitian ini tidak ada yang mencantumkan alamat industri farmasi, tetapi sebagian besar iklan obat telah mencantumkan nama industri farmasi. Informasi peringatan perhatian (precaution) adalah informasi yang disampaikan oleh industri farmasi tentang kejadian yang dapat timbul setelah mengkonsumsi produknya. Adanya informasi peringatan perhatian (precaution), dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dalam mengkonsumsi obat. Masyarakat dapat mempertimbangkan kejadian yang tidak diinginkan setelah mengkonsumsi obat tertentu, misal masyarakat yang mempunyai aktivitas mengendarai kendaraan bermotor, dapat memilih untuk menghindari obat yang mengandung Chlorpheniramine Maleate (CTM). Penyakit yang diderita pun dapat teratasi dan aktivitas tetap berlangsung lancar. Iklan obat yang tidak mencantumkan informasi peringatan perhatian (precaution) sebesar 91,3%. Beberapa contoh iklan obat tersebut yaitu Fatigon, Fungiderm, Hufagrip, Kalpanax K, Mextril, dan lain lain. Zat aktif adalah zat dalam obat yang mempunyai khasiat pengobatan akibat dari efek farmakologis yang ditimbulkan. Pencantuman zat aktif bermanfaat dalam pemilihan obat saat swamedikasi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitan Supardi (2009), sebesar 93% responden menyatakan bahwa

37 pencantuman zat aktif bermanfaat dalam pemilihan obat sewaktu sakit. Iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif sebesar 71,7%. Beberapa contoh iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif yaitu Albothyl, Bodrex (versi nelayan dan ibu rumah tangga), Combantrin, Cooling 5, Counterpain, dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitan Supardi (2009), dapat disimpulkan bahwa iklan obat tersebut tidak bermanfaat bagi masyarakat saat pemilihan obat. Indikasi menggambarkan kegunaan obat secara spesifik dalam pengobatan penyakit. Penyampaian indikasi pada iklan obat yang tidak tepat atau salah, mengakibatkan masyarakat terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang benar sehingga dapat mengancam jiwa (Turisno, 2012). Masyarakat harus mencermati indikasi yang disampaikan pada iklan obat untuk menghindari penggunasalahan obat. Penggunasalahan obat yang kerap terjadi di masyarakat yaitu penggunaan obat tidak sesuai indikasi, misal penggunaan obat antihistamin yang efek sampingnya dapat meningkatkan nafsu makan untuk menambah berat badannya (Purwanto, 2007). Sebagian besar iklan obat dalam penelitian ini telah mencantumkan indikasi atau kegunaannya, sehingga diharapkan penggunasalahan obat yang masih sering terjadi di masyarakat dapat berkurang. Terdapat 2,2% iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi, yaitu iklan obat Promag. Berdasarkan pernyataan Turisno (2012), iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi tersebut dapat menyebabkan penggunasalahan obat dan masyarakat terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang benar. Hal ini dapat membahayakan konsumen karena menurut Yunari (2007) tidak semua masyarakat

38 Indonesia memiliki pengetahuan dan informasi tentang obat-obatan. tercantumnya indikasi juga dapat menyebabkan gagalnya kerasionalan terapi, khususnya dari faktor tepat indikasi (Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011) karena masyarakat kurang mendapatkan informasi mengenai obat mana yang sesuai dengan kondisi penyakitnya. PT. Kalbe Farma (sebagai produsen Promag ) dan masyarakat (sebagai konsumen) akan menerima dampak buruk, jika indikasi kedua iklan tersebut tetap tidak dijabarkan. Produk tersebut tidak akan digunakan masyarakat luas karena masih belum jelas indikasinya, sehingga dapat dikatakan iklan tersebut tidak dan menyesatkan (Turisno, 2012). Hal tersebut akan merugikan kedua industri farmasi tersebut. Dilihat dari pihak konsumen, konsumen tidak akan mendapatkan informasi yang cukup untuk menunjang kesehatannya. Nama dagang atau nama merek harus dicantumkan dalam iklan obat karena banyaknya obat yang beredar di pasaran yang memiliki zat aktif yang sama, misalnya zat aktif parasetamol memiliki 70 nama dagang (Ping, Lim, Evaria dan Amiths, ). Adanya nama dagang ini, diharapkan masyarakat tidak mudah tertukar antara obat yang satu dengan obat lain yang sejenis. Pernyataan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, yang menyatakan bahwa nama dagang berfungsi sebagai pembeda dengan barang lain yang sejenis. Nama dagang juga dapat memudahkan masyarakat mengingat nama obat yang mengandung beberapa macam zat aktif sekaligus (Yunari, 2007). Iklan obat dalam penelitian ini yang telah mencantumkan nama dagang atau merek sebesar 100% dan berdasarkan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa

39 seluruh iklan obat dalam penelitian ini, dapat dibedakan dan mudah diingat masyarakat. Tabel VII. Persentase Kean Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus Menurut WHO Tahun 1988 Ada No. Informasi dalam Iklan Obat Ada Total n % n % n % 1. Kontraindikasi 0 0 46 100 46 100 2. Nama dan alamat produsen atau distributor 0 0 46 100 46 100 3. Peringatan perhatian (precaution) 4 8,7 42 91,3 46 100 4. Zat aktif 13 28,3 33 71,7 46 100 5. Indikasi 45 97,8 1 2,2 46 100 6. Merek 46 100 0 0 46 100 Keterangan : n = jumlah iklan, % = persentase Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO tahun 1988 dapat dikatakan ideal untuk kriteria penilaian iklan obat karena sudah ada pembagian kriteria berdasarkan target iklan dan klasifikasi informasi iklan obat yang harus dicantumkan dalam iklan juga jelas (Yunari, 2007). ada iklan obat dalam penelitian ini yang memenuhi seluruh kriteria dari WHO. Hasil evaluasi iklan obat ini, menunjukkan bahwa seluruh iklan obat dikatakan tidak (100%) menurut aturan WHO. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklan obat yang beredar di Indonesia selama periode Juni, Juli dan Agustus tahun tidak mencantumkan informasi iklan obat yang menurut WHO tahun 1988. Informasi iklan obat berupa nama dagang, indikasi, dan zat aktif, telah dicantumkan pada sebagian besar iklan obat. Informasi yang tidak dicantumkan pada sebagian besar

40 iklan obat yaitu peringatan perhatian (precaution); kontraindikasi; dan nama dan alamat industri farmasi atau distributor. Beberapa penyebab tidak nya informasi iklan obat yaitu durasi iklan yang singkat (Yunita, 2007) dan mahalnya biaya iklan televisi dibandingkan media lain (Fajryah, 2009). C. Evaluasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994 Tentang Pedoman Periklanan Iklan obat tidak hanya dievaluasi berdasarkan aturan dari WHO tahun 1988, tetapi juga berdasarkan aturan dari Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan. Evaluasi iklan obat dikatakan sesuai menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 bila semua informasi ditampilkan dalam iklan dan dikatakan tidak sesuai jika terdapat salah satu informasi yang tidak ditampilkan. Informasi yang harus ditampilkan dalam iklan obat menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan ditampilkan pada tabel VIII. Hasil penelitian evaluasi kean informasi iklan obat menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 dapat dilihat pada lampiran 8. Lampiran 8 tersebut menunjukkan bahwa dari 46 iklan obat, tidak ada yang memenuhi kriteria kean informasi menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Iklan obat yang memenuhi kriteria kean informasi, dapat membantu masyarakat untuk menilai apakah obat tersebut sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan keadaaan tubuh mereka (Turisno, 2012).

41 Tabel VIII. Informasi Iklan Obat yang Harus Ditampilkan Menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994 (Anonim) No. Informasi dalam Iklan Obat 1. Zat aktif 2. Nama dagang 3. Indikasi utama obat 4. Informasi keamanan obat 5. Nama industri farmasi 6. terdapat Tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium 7. Terdapat spot peringatan BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER (untuk obat) atau BACA ATURAN PAKAI (untuk vitamin) dengan durasi selama 3 detik 8. Kesesuaian klaim indikasi Menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994, iklan obat harus mencantumkan zat aktif; nama dagang; indikasi utama obat; nama industri farmasi; tidak diperankan oleh tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium; dan spot peringatan berdurasi 3 detik. Klaim indikasi suatu iklan obat juga harus sesuai dengan aturan dari Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informasi dalam iklan obat yang paling sering tidak ditampilkan yaitu spot peringatan dengan durasi 3 detik; informasi keamanan obat; zat aktif; kesesuaian klaim indikasi; nama industri farmasi; indikasi; tidak diperankan oleh tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. Spot peringatan (BACA ATURAN PAKAI. JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER) untuk iklan obat harus dicantumkan. Hal tersebut berlaku

42 pula pada vitamin. Vitamin harus mencantumkan spot peringatan (BACA ATURAN PAKAI). Spot peringatan tersebut seharusnya minimal ditayangkan selama 3 detik. Kenyataannya, banyak iklan obat yang mencantumkan spot peringatan kurang dari 3 detik, sehingga masyarakat tidak dapat mencermati spot peringatan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada iklan obat yang mencantumkan spot peringatan selama 3 detik. Iklan obat pada penelitian ini, pada umumnya hanya mencantumkan spot peringatan selama 1 detik bahkan terdapat beberapa iklan obat yang tidak mencantumkan spot peringatan. Iklan obat yang tidak mencantumkan spot peringatan selama 3 detik, dapat dikatakan tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk mengingatkan konsumen agar membaca aturan pakai (untuk vitamin) dan periksa ke dokter jika penyakit yang diderita tidak kunjung reda (untuk obat). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Purwanto (2007) yang menyatakan bahwa spot peringatan berguna untuk mengingatkan konsumen jika penyakit yang diderita tidak kunjung reda, segera periksa ke dokter untuk mendapatkan diagnosa dan terapi yang tepat. Informasi keamanan obat juga perlu dicantumkan dalam iklan obat. Selain dapat menyembuhkan, obat ternyata juga memiliki efek yang dapat merugikan kesehatan (Turisno, 2012). Misal vitamin C jika dikonsumsi berlebih, dapat membahayakan ginjal. Masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui apakah suatu obat aman atau tidak bagi kondisi patologisnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada iklan obat yang mencantumkan informasi keamanan obat. Informasi keamanan obat yang

43 dimaksud dalam penelitian ini yaitu gambaran mengenai suatu obat yang aman bagi organ tubuh tertentu selama mengkonsumsi obat tersebut. Penggunaan kata kunci aman bagi organ tubuh tertentu, sebenarnya belum tentu menggambarkan obat tersebut memenuhi aturan Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Kata aman tersebut bisa saja terkesan melebih-lebihkan keunggulan suatu produk, sehingga dibutuhkan penjabaran yang jelas tentang definisi informasi keamanan obat yang tercantum pada Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Hal tersebut dapat membantu industri farmasi dan biro periklanan dalam memproduksi iklan obat agar sesuai dengan aturan Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif sebesar 71,7% yaitu Albothyl, Bodrex (versi nelayan dan ibu rumah tangga), Combantrin, Cooling 5, Counterpain, dan lain-lain. Zat aktif bermanfaat dalam pemilihan obat sewaktu sakit (Supardi, 2009), sehingga dapat disimpulkan bahwa iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif, tidak bermanfaat bagi masyarakat saat pemilihan obat. Klaim indikasi iklan obat yang ditampilkan dalam iklan juga harus dievaluasi. Aturan klaim indikasi yang digunakan berdasarkan Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994. Indikasi yang disampaikan dalam iklan obat disampaikan baik secara lisan maupun tertulis. Gejala-gejala suatu penyakit juga ditampilkan dalam iklan obat agar masyarakat dapat lebih mengerti kegunaan suatu obat. Informasi indikasi mempengaruhi masyarakat dalam pemilihan obat, sehingga terdapat produsen obat yang melebih-lebihkan indikasi suatu obat, atau bahkan tidak sesuai dengan indikasi yang sebenarnya

44 (Purwanto, 2007). Hal tersebut bertujuan untuk membuat iklan obat semenarik mungkin di mata masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 13,1% klaim indikasi iklan obat tidak sesuai dengan Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994. Beberapa iklan obat yang tidak sesuai dengan klaim indikasi Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 akan dijelaskan dibawah ini. Indikasi yang ditampilkan pada iklan Hansaplast Koyo, hanya untuk pijatan yang lebih mantap. Menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994, klaim indikasi yang seharusnya ditampilkan yaitu meringankan gejala-gejala otot kaku dan nyeri. Iklan Fatigon, Neurobion, Sakatonik Liver dan Sangobion juga tidak menampilkan klaim indikasi sesuai Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994. Klaim indikasi pada iklan Neurobion yaitu memperbaiki sel saraf tepi sehingga kebas dan kesemutan dapat dicegah. Hal tersebut dapat dikatakan berlebihan karena menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 untuk multivitamin seharusnya indikasi yang disampaikan mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan serta lansia. Hal tersebut berlaku pula bagi iklan multivitamin lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, banyak iklan multivitamin yang mengklaim indikasi dapat mengatasi pegal, capek, kram dan kesemutan; membantu memelihara daya tahan tubuh; dan memperbaiki stamina tubuh. Seharusnya aturan klaim indikasi untuk multivitamin diperbaharui lagi karena jenis multivitamin yang beredar di pasaran

45 semakin banyak. Hasil evaluasi klaim indikasi iklan obat dicantumkan pada lampiran 9. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat 8,7% iklan obat yang tidak mencantumkan nama industri farmasi, yaitu Cooling 5, Dermatix, Dulcolax, Hansaplast Koyo. Produsen bertanggung jawab atas kean sebuah iklan obat sehingga nama industri perlu dicantumkan dalam iklan obat (Yunari, 2007). Berdasarkan pernyataan Yunari (2007) tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklan obat yang tidak mencantumkan nama industri, tidak bertanggung jawab atas kean iklan obat. Iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi sebesar 2,2% yaitu iklan obat Promag. Iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi dapat menyebabkan gagalnya kerasionalan terapi (Direktur Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011). Iklan obat tersebut juga akan dikatakan tidak dan menyesatkan (Turisno, 2012). Hasil penelitian Nurmala (2008), menunjukkan bahwa pemeran yang membintangi iklan obat dapat mempengaruhi konsumen dalam pemilihan obat. Terlebih lagi jika terdapat tenaga kesehatan yang memerankan iklan tersebut. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Anonim, a), contohnya dokter. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Spillane (2010), bahwa perusahaan farmasi berpendapat dokter dapat menarik emosi atau perhatian konsumen,

46 sehingga dapat mempengaruhi penjualan obat. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan konsumen akan berpendapat bahwa obat tersebut merupakan pilihan tenaga kesehatan, sehingga konsumen cenderung percaya dan memilih obat tersebut untuk menyembuhkan penyakitnya. Menurut Notoadmodjo dalam Arifin (2012), sebuah iklan dapat ditunjang dengan hasil pengujian di laboratorium, agar menimbulkan rasa percaya calon pembeli. Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklan obat yang memiliki setting di laboratorium juga dapat mempengaruhi konsumen dalam pemilihan obat. Hal tersebut yang melatarbelakangi Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) Nomor 386 tahun 1994 melarang penggunaan setting laboratorium, karena dapat mempengaruhi emosi masyarakat dalam swamedikasi tanpa melihat lebih jauh lagi apakah sesuai indikasi atau tidak. Hasil penelitian ini menunjukkan sebesar 2,2% iklan dari 46 iklan telah melanggar ketentuan ini. Iklan Kalpanax K telah melanggar ketentuan tersebut karena memiliki setting di laboratorium. Berdasarkan hasil penelitan ini dan teori yang sudah ada, dapat disimpulkan bahwa iklan obat Kalpanax K dengan sengaja telah melanggar aturan yang ada agar dapat mempengaruhi rasa percaya calon pembeli. Nama dagang telah ditampilkan dalam seluruh iklan obat yang diteliti. Hal tersebut menunjukkan bahwa iklan obat dalam penelitian ini telah dapat dibedakan dan mudah diingat masyarakat. Berikut akan ditampilkan persentase kean iklan obat yang telah diteliti menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan.

47 No. Tabel IX. Persentase Kean Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus Menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994 Informasi dalam Iklan Obat 1. Terdapat spot peringatan BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER (untuk obat) atau BACA ATURAN PAKAI (untuk vitamin) dengan durasi selama 3 detik Ada Total Ada n % n % n % 0 0 46 100 46 100 2. Informasi keamanan obat 0 0 46 100 46 100 3. Zat aktif 13 28,3 33 71,7 46 100 4. Kesesuaian klaim indikasi 40 86,9 6 13,1 46 100 5. Nama industri farmasi 42 91,3 4 6,9 46 100 6. Indikasi utama obat 45 97,8 1 2,2 46 100 7. terdapat Tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium 45 97,8 1 2,2 46 100 8. Nama dagang 46 100 0 0 46 100 Keterangan : n = jumlah iklan, % = persentase Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masih banyak iklan obat, yang dapat menyebabkan kegagalan terapi karena klaim indikasi yang diberikan kurang dan menyesatkan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Purwanto (2007) bahwa penyampaian klaim indikasi yang tidak sesuai pada iklan obat seperti indikasi yang berlebihan, kurang spesifik bahkan tidak terdapat indikasi sama sekali, dapat menyebabkan kegagalan terapi. Iklan obat yang memiliki klaim indikasi tidak sesuai harus diperbaiki agar tidak merugikan masyarakat akibat memberikan informasi yang kurang dan menyesatkan. Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 juga dapat dikatakan ideal untuk kriteria penilaian iklan obat karena tidak hanya mengatur informasi yang harus dicantumkan, tetapi juga mengatur teknis

48 pelaksanaan iklan (Yunari, 2007). Misalkan mengatur durasi spot peringatan iklan obat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklan obat yang beredar di Indonesia selama periode Juni, Juli dan Agustus tahun tidak mencantumkan informasi iklan obat yang menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994. Informasi iklan obat berupa nama dagang, indikasi, zat aktif, nama industri farmasi, klaim indikasi yang sesuai, telah dicantumkan pada sebagian besar iklan obat. Informasi yang tidak dicantumkan pada sebagian besar iklan obat menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 yaitu informasi keamanan obat dan spot peringatan selama 3 detik. Durasi spot peringatan yang terdapat pada iklan obat, rata-rata hanya berdurasi 1 detik. nya penampilan informasi iklan obat dan singkatnya durasi spot peringatan, disebabkan karena durasi iklan yang singkat (Yunita, 2007) yaitu 15 detik atau 30 detik per iklan. Mahalnya biaya iklan televisi dibandingkan media lain (Fajryah, 2009), juga salah satu faktor yang menyebabkan industri farmasi tidak dapat menampilkan informasi yang dan menayangkan spot peringatan selama 3 detik. Bagaimanapun juga, iklan obat harus tetap mencantumkan informasi yang karena jika tidak, iklan obat tersebut dikatakan menyesatkan. Turisno (2012) menyatakan bahwa iklan yang dengan sengaja menyembunyikan fakta tertentu tentang suatu produknya, yang apabila diketahui oleh konsumen, dapat mengakibatkan tidak dibeli dan tidak digunakan produk tersebut lagi. Kurangnya informasi iklan obat tersebut

49 menunjukkan bahwa iklan obat belum dapat memberikan informasi yang memadai, sehingga tidak dapat dijadikan masyarakat sebagai pedoman untuk melakukan swamedikasi atau pengobatan mandiri. Ada baiknya jika masyarakat juga memperhatikan informasi yang terdapat pada kemasan obat. hanya informasi yang terdapat pada iklan obat saja, sehingga masyarakat dapat mengetahui kontraindikasi, efek samping dan aturan pakai obat yang tidak ditampilkan pada iklan. Kesalahan dalam penggunaan obat pun dapat dihindari (Purwanto, 2007). Sayangnya masyarakat masih enggan membaca informasi yang terdapat pada kemasan obat. masyarakat hanya mengandalkan informasi yang terdapat pada media massa untuk melakukan swamedikasi (Dimara, 2012). Media elektronik berupa televisi dipandang sebagai sumber berita utama oleh 70% responden. Media cetak berupa koran atau surat kabar juga merupakan sumber berita utama setelah televisi (Lane, 2009). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan untuk penelitian selanjutnya mengevaluasi iklan obat di koran atau surat kabar. Masyarakat juga kerap membeli obat secara eceran sehingga obat yang mereka beli tidak disertai kemasan karena berdasarkan pengalamannya cukup satu kali mengkonsumsi obat saja, mereka sudah merasa sembuh (Purwanto, 2007). Hal tersebut menyebabkan masyarakat tidak dapat mengetahui informasi terkait penggunaan obat yang tertera pada kemasan. Pemerintah harus mengambil langkah dalam mengatasi permasalahan iklan obat di Indonesia. Salah satunya dengan selalu meninjau iklan obat, sehingga masyarakat tidak akan disesatkan oleh iklan karena tidak semua

50 masyarakat memiliki pengetahuan tentang obat-obatan (Yunari, 2007). Peran masyarakat juga diperlukan dalam mengatasi permasalahan ini. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 174 yang menyatakan bahwa masyarakat berperan serta, baik secara perorangan maupun terorganisasi dalam rangka mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Masyarakat dapat mempercepat pencapaian derajat kesehatan dengan bersikap kritis mencermati informasi yang tertera dalam iklan obat dan kemasan. Masyarakat diharapkan melapor ke BPOM atau LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) jika merasa ada iklan obat yang kurang sesuai dengan aturan yang ada (Supardi, 2009). D. Evaluasi Iklan Obat Menurut DPI Tahun 2005 Dewan Periklanan Indonesia (DPI) adalah lembaga independen yang dibentuk oleh dan dari berbagai pihak periklanan Indonesia yang nantinya akan bermanfaat untuk kepentingan pihak periklanan maupun masyarakat secara keseluruhan. DPI memiliki beberapa fungsi seperti memastikan terjadinya persaingan yang sehat antar pelaku periklanan dan memastikan setiap iklan memiliki tanggungjawab etika dengan menaati aturan dari DPI (Anonim, 2005). DPI menyusun Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang merupakan dasar penegakan etika dalam iklan, sehingga kedua fungsi tersebut dapat tercapai. Suatu iklan dapat dikatakan telah memiliki tanggungjawab sosial jika menaati aturan DPI. DPI telah cukup mengatur berbagai masalah periklanan yang

51 kerap timbul dalam periklanan baik menyangkut isi, bahasa, maupun pemeran iklan (Diani, 2012). Pada kenyataannya masih terdapat beberapa iklan obat yang melanggar aturan DPI. Aturan DPI yang harus ditaati oleh iklan obat dijabarkan dalam tabel X berikut. Tabel X. Aturan Iklan Obat Menurut DPI (Dewan Periklanan Indonesia) Tahun 2005 (Anonim) No. Kriteria 1. Menganjurkan obat menurut indikasi yang diajukan. 2. menganjurkan pemakaian obat secara berlebihan. 3. menjanjikan penyembuhan, tetapi hanya membantu menghilangkan gejala penyakit. 4. menggambarkan rekomendasi, atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu dari Tenaga kesehatan. 5. menganjurkan bahwa obat adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh. 6. menakut-nakuti orang terhadap sesuatu penyakit karena tidak menggunakan obat yang diiklankan. 7. menggunakan kata aman, tidak berbahaya, bebas efek samping dan bebas risiko. 8. menawarkan diagnosa pengobatan atau perawatan lewat surat menyurat. 9. boleh menawarkan jaminan pengembalian uang (warranty) 10. boleh menyebutkan adanya kemampuan untuk menyembuhkan penyakit dalam kapasitas yang melampaui batas atau tidak terbatas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aturan DPI yang kerap dilanggar oleh iklan obat yaitu menjanjikan penyembuhan; tidak menganjurkan obat menurut indikasi yang diajukan; dan menggunakan kata aman, tidak berbahaya, bebas efek samping dan bebas risiko. Menurut Hariyanto (2009), semakin ketatnya persaingan antar industri farmasi menyebabkan pihak industri

52 farmasi lebih agresif dalam berpromosi, sehingga menarik perhatian masyarakat dalam meiliih produknya. Menjanjikan penyembuhan dan mencantumkan katakata seperti aman, tidak berbahaya, bebas efek samping dan bebas risiko dijadikan salah satu strategi pemasaran oleh pihak produsen. Hasil evaluasi iklan obat yang telah melanggar aturan DPI, dapat dilihat pada lampiran 10. Iklan obat dikatakan menjanjikan penyembuhan bila terdapat pernyataan atau penggambaran bahwa kondisi penyakit tertentu dapat sembuh jika telah mengkonsumsi obat tersebut. Penggunaan kata menuntaskan, mengobati, mengatasi, menyetop, menuntaskan, membebaskan dan membereskan dalam iklan obat, juga dikatakan dapat menjanjikan penyembuhan. Hal itu disebabkan karena kata-kata tersebut memiliki pengertian yang sama dengan menyembuhkan, yaitu dapat menyembuhkan kondisi penyakit tertentu jika telah mengkonsumsi obat. Terdapat 28,2% iklan obat yang melanggar aturan DPI dengan menjanjikan penyembuhan yaitu Albothyl, Bodrex (versi nelayan dan ibu rumah tangga), Dulcolactol Lactulase, Entrostop, Fatigon, Mextril, Mixagrip Rhema, dan lain-lain. Iklan Paramex merupakan salah satu contoh iklan obat yang menjanjikan penyembuhan. Iklan tersebut menyatakan bahwa obat Paramex dapat mengobati sakit kepala. Penggunaan kata mengobati memiliki pengertian yang sama dengan menyembuhkan. Kejadian serupa juga terdapat pada iklan Mextril yang menyatakan bahwa obat Mextril dapat mengatasi batuk pilek sampai tuntas.

53 Beberapa iklan obat yang tidak menganjurkan indikasi apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa iklan obat tersebut melanggar aturan DPI yang pertama, yaitu menganjurkan obat menurut indikasi yang diajukan. Sebesar 2,2% dari 46 iklan obat tidak mencantumkan informasi indikasi obat seperti iklan Promag. Penggunaan kata aman pada iklan obat di Indonesia, masih dapat ditemui pada iklan Kalpanax K dan Mixagrip Rhema. Iklan obat yang melanggar aturan DPI dengan mencantumkan kata aman sebesar 4,4%, sedangkan 95,6% iklan obat lainnya telah menaati aturan tersebut. Aturan mengenai tidak menganjurkan pemakaian obat secara berlebihan; rekomendasi dari tenaga kesehatan; obat adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh; warranty atau jaminan pengembalian uang; diagnosa melalui surat menyurat; dan kemampuan menyembuhkan yang melampaui batas, dalam penelitian ini telah ditaati seluruh iklan obat. Anjuran pemakaian obat secara berlebih akan menyebabkan penggunaan obat yang tidak rasional, khususnya dari faktor tidak tepat dosis (Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011). Berdasarkan teori tersebut, iklan obat yang menganjurkan pemakaian berlebih dapat menyebabkan kegagalan kerasionalan terapi. Perusahaan farmasi berpendapat dokter dapat menarik emosi atau perhatian konsumen, sehingga dapat mempengaruhi penjualan obat (Spillane, 2010), sehingga dapat disimpulkan konsumen akan berpendapat bahwa obat

54 tersebut merupakan pilihan tenaga kesehatan. Konsumen pun cenderung percaya dan memilih obat tersebut untuk menyembuhkan penyakitnya. Warranty atau yang biasa disebut garansi, bertujuan untuk mempromosikan suatu produk (Murthy and Blischke, 2006). Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang menampilkan garansi suatu produk ingin agar produknya laku di pasaran dibandingkan produk kompetitornya. Anjuran bahwa obat adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh; diagnosa melalui surat menyurat; dan menyebutkan kemampuan penyembuhan suatu obat yang melampaui batas, mungkin merupakan salah satu strategi pemasaran oleh pihak produsen. Tabel XI. Persentase Evaluasi Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus Menurut DPI tahun 2005 No. Kriteria 1. menjanjikan penyembuhan, tetapi hanya membantu menghilangkan gejala penyakit. 2. Menganjurkan obat menurut indikasi yang diajukan. 3. menggunakan kata aman, tidak berbahaya, bebas efek samping dan bebas risiko. 4. menganjurkan pemakaian obat secara berlebihan. 5. menggambarkan rekomendasi, atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu dari Tenaga kesehatan. Sesuai Sesuai Total n % n % n % 33 71,8 13 28,2 46 100 63 95,6 2 4,4 46 100 63 95,6 2 4,4 46 100 46 100 0 0 46 100 46 100 0 0 46 100

55 Lanjutan Tabel XI 6. menganjurkan bahwa obat adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh. 7. menakut-nakuti orang terhadap sesuatu penyakit karena tidak menggunakan obat yang diiklankan. 8. menawarkan diagnosa pengobatan atau perawatan lewat surat menyurat. 9. boleh menawarkan jaminan pengembalian uang (warranty) 10. boleh menyebutkan adanya kemampuan untuk menyembuhkan penyakit dalam kapasitas yang melampaui batas atau tidak terbatas. Keterangan : n = jumlah iklan, % = persentase 46 100 0 0 46 100 46 100 0 0 46 100 46 100 0 0 46 100 46 100 0 0 46 100 46 100 0 0 46 100 Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari 46 iklan obat terdapat 65,2% iklan obat yang telah sesuai atau menaati aturan menurut DPI. Iklan obat yang masih tidak sesuai atau tidak menaati aturan DPI sebesar 34,8%. Pelanggaran yang kerap terjadi ini dimungkinkan karena terdapat 2 macam fungsi dalam iklan, yaitu fungsi informatif dan persuasif (Turisno, 2012). Iklan berfungsi memberikan informasi mengenai produknya ke khalayak umum. Iklan juga harus dapat menarik perhatian masyarakat untuk menggunakan produknya, sehingga untuk menarik masyarakat, iklan obat kerap menjanjikan kesembuhan bagi konsumen yang menggunakan produknya. Berdasarkan hasil pengamatan ini, banyak iklan obat yang terlalu fokus pada pemeran iklan dan unsur kreatifitas iklan. Hal tersebut menyebabkan kualitas dari kandungan iklan pun dapat dilupakan. Beberapa iklan obat yang cenderung mengarah ke fungsi persuasif tersebut, dapat melupakan fungsi informatif.

56 Persentase Evaluasi Iklan Obat Menurut DPI 34,8% Iklan obat yang sesuai 65,2% Iklan obat yang tidak sesuai Gambar 1. Persentase Evaluasi Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus Menurut DPI (Dewan Periklanan Indonesia) Tahun 2005

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian mengenai Evaluasi Iklan Obat di Stasiun Televisi Swasta Nasional Tahun Berdasarkan Aturan WHO Tahun 1988, Kepmenkes Nomor 386 Tahun 1994, DPI Tahun 2005 diperoleh hasil: 1. Profil iklan obat yang diteliti berjumlah 203 buah, dengan frekuensi tertinggi pada iklan obat bebas dengan persentase sebesar 50,7% (berdasarkan golongan obat), iklan obat yang tidak tercantum MIMS edisi 15 tahun 2015 dengan persentase sebesar 21,7% (berdasarkan kelas terapi) dan iklan yang diproduksi PT. Tempo Scan Pacific, Tbk dengan persentase sebesar 17,2% (berdasarkan nama produsen). 2. Seluruh iklan obat yang telah dievaluasi tidak sesuai dengan kriteria kean informasi Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO (World Health Organization) tahun 1988 dan Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994. Iklan obat yang tidak sesuai aturan DPI (Dewan Periklanan Indonesia) tahun 2005 sebesar 34,8%. 57

58 B. Saran 1. Peraturan klaim indikasi iklan obat bebas, khususnya untuk vitamin perlu diperbaharui karena vitamin yang beredar bebas di masyarakat semakin banyak jenisnya. 2. Masyarakat perlu diberikan penyuluhan agar memperhatikan kemasan obat, sehingga dalam melakukan swamedikasi masyarakat tidak hanya mengandalkan informasi yang tertera pada iklan saja. Penyuluhan dapat diberikan baik oleh pemerintah atau instansi tertentu yang berwenang. 3. Sikap kritis dari masyarakat dan tenaga kesehatan perlu ditingkatkan untuk mengawasi iklan obat yang beredar. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 4. Sanksi iklan obat yang melanggar aturan harus ditegaskan BPOM, sehingga iklan obat yang tidak sesuai dengan aturan diharapkan dapat semakin berkurang. 5. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat mengevaluasi iklan obat di radio dan media cetak, khususnya koran. Kedua media tersebut masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia setelah televisi. Selain itu juga dapat dilakukan penelitian untuk mengetahui dampak pelanggaran iklan obat dengan masyarakat.

Daftar Pustaka Anonim, 1988, Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion, World Health Organization, Geneva, pp. 9. Anonim, 1994, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 386/Men.Kes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan : Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan Minuman, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pp. 5 10, 12 16. Anonim, 1999, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Jakarta, pp. 5 6. Anonim, 2005, Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia), Dewan Periklanan Indonesia, Jakarta, pp. 25. Anonim, 2010, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1787/MENKES/PER/XII/2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pp. 7. Anonim, 2011, Laporan Tahunan 2011 Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Jakarta, pp. 126. Anonim, 2013a, Kinerja Keuangan 1H 2013, http://mnc.co.id/contents/detail/id/29/kinerja-keuangan-1h-2013, diakses tanggal 5 Mei. Anonim, 2013b, Report to The Nation: Laporan Kinerja Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Tahun 2012, BPOM RI, Jakarta, pp. 7. Anonim, a, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun tentang Tenaga Kesehatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun, Jakarta, pp. 2. Anonim, b, Nielsen: Konsumsi Media Lebih Tinggi di Luar Jawa, http://www.nielsen.com/id/en/press-room//nielsen-konsumsi-medialebih-tinggi-di-luar-jawa.html, diakses tanggal 23 Maret 2015. Arfianto, W., 2010, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Iklan pada Media Televisi, Skripsi, 41, Universitas Diponegoro Semarang. 59

60 Arifin, A., 2012, Pengaruh Periklanan Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Pasta Gigi Pepsodent Di Kota Makassar, Skripsi, 15, Universitas Hasanuddin Makassar. Biagi, S., 2010, Media Impact, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta, pp. 201. Diani, F., 2012, Evaluasi Pelanggaran Etika Pariwara Indonesia (Studi Kasus Pada Tayangan Pariwara Televisi Penyedia Jasa Layanan Telekomunikasi), Thesis, 121, Universitas Indonesia, Jakarta. Dimara, S. O., 2012, Dampak Iklan Obat Terhadap Perilaku Konsumsi Obat, Laporan Penelitian, 23, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Yogyakarta. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011, Modul Penggunaan Obat Rasional, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakrata, pp. 8. Djunarko, I., Hendrawati, Y. D., 2011, Swamedikasi yang Baik dan Benar, Citra Aji Parama, Yogyakarta, pp. 6-9. Fajryah, A., 2009, Peran Asisten Produksi dalam Proses Produksi Iklan Televisi di Rumah Produksi 25 Frames, Skripsi, 19, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. IAI, 2010, Daftar Nama Pabrik Farmasi di Indonesia, http://www.ikatanapotekerindonesia.net/pharmacy-news/17-nationalpharmacy/national-health-infrastructure/12-daftar-nama-pabrik-farmasi-diindonesia.html, diakses tanggal 8 November. Imron, M., 2010, Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, CV. Sagung Seto, Jakarta, pp. 122. Kholid, A., 2012, PROMOSI KESEHATAN: Dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media dan Aplikasinya, PT. Rajagrafindo Persada, Depok, pp.148. Kotler, P., 2003, Marketing Management, Jilid 2, 11 th ed., Prenhallindo, Jakarta, pp. 278, 287, 289-290. Lane, W. R., King, K. W., Russell, J. T., 2009, Kleppner: Prosedur Periklanan, Jilid 1, 17 th ed., PT. INDEKS, Jakarta, pp. 62, 325. Lee, R., U., and Stevenson, D. D., 2011, Aspirin-Exacerbated Respiratory Disease: Evaluation and Management, Allergy Asthma Immunol Res, 3(1), 1.

61 Morissan, 2010, Periklanan: Komunikasi Pemasaran Terpadu, Kencana, Jakarta, pp. 18, 238, 244. Murthy, D. N. P. dan Blischke, W. R., 2006, Warranty Management and Product Manufacture, Springer-Verlag, London, pp. 5. Notoadmodjo, S., 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, pp. 125. Nurmala, 2008, Pengaruh Iklan Televisi terhadap Minat Beli Sabun Mandi pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh, Jurnal Aplikasi Manajemen, 9(1), 95. Ping, N. H., Lim, C., Evaria dan Amiths, T. M., 2015, MIMS, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, pp. 421-480. Purwanto, W. E., 2007, Evaluasi Keetisan Iklan Obat Tanpa Resep Pada Tayangan Acara untuk Anak Anak di Empat Stasiun Televisi Swasta Nasional, Skripsi, 1, 3, 27, 58, 68, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sarwono, S., 2004, Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, pp. 31 32. Sidik, J. M., 2009, 20 Persen Iklan Obat Salahi Aturan, http://www.antaranews.com/berita/149293/20-persen-iklan-obat-salahiaturan, diakses tanggal 4 Mei. Sufa, F., and Munas, B., 2012, Analisis Pengaruh Daya Tarik Iklan, Kualitas Pesan Iklan, Frekuensi Penayangan Iklan Terhadap Efektivitas Iklan Televisi Mie Sedap (Survei Pemirsa Iklan Mie Sedap Pada Mahasiswa Kost di Sekitar Kampus Undip, Tembalang), Diponegoro Journal of Management, 1(1), 1-5. Sujarweni, V. W., and Endrayanto, P., 2012, Statistika Untuk Penelitian, Graha Ilmu, Yogyakarta, pp. 23. Spillane, J. J., 2010, Ekonomi Farmasi, PT. Grasindo, Jakarta, pp. 113. Supardi, S., 2009, Kajian Peraturan Perundang Undangan Tentang Iklan Obat dan Peran Serta Masyarakat dalam Pengawasan, Jurnal Kefarmasian Indonesia, 1 (3), 112-120. Supardi, S., Handayani, R. S., Herman, M.J., Raharni dan Susyanty, A.L., 2011, Kebijakan Periklanan Obat dan Obat Tradisional di Indonesia, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 14, 60 66.

62 Swarjana, I. K., 2012, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Andi, Yogyakarta, pp. 53, 54,109-112. Turisno, B. E., 2012, Perlindungan Konsumen dalam Iklan Obat, MMH, 41(1), 20 27. Umar, H., 2005, Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, pp. 147. Widanenci, M., I., 2007, Persepsi Konsumen tentang Iklan Jamu Pelangsing di Televisi dan Pengaruhnya terhadap Motivasi Pemilihan Jamu Pelangsing di Kalangan Pengunjung Tetap 5 Pusat Kebugaran di Kota Yogyakarta Periode Maret Juni 2005, Skripsi, 40, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Yunari, K., 2007, Evaluasi Keetisan Iklan Obat Tanpa Resep Pada Tayangan Acara untuk Ibu - Ibu di Empat Stasiun Televisi Swasta Nasional, Skripsi, 86, 120, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

63 LAMPIRAN

64 No. Nama Stasiun Televisi Tanggal 1. SCTV 9 April 9 April Lampiran 1. Hasil Studi Pendahuluan 8 April 8 April 8 April 8 April 8 April 8 April 9 April 9 April 8 April 8 April 8 April Jam Tayang 05.00-06.00 06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 16.00-17.00 17.00-18.00 Frekuensi Iklan Obat Nama Iklan Obat 2 Bodrex, Bodrex 4 Hemaviton Stamina Plus, Bodrex, Bodrex, Panadol Anak 1 Panadol Extra 5 Zevit Grow, Bodrex, Imboost, Procold Flu, Procold Flu & Batuk 4 Bodrexin flu dan batuk, Bodrexin flu dan batuk, Bodrexin, Vidoran Smart 2, Ever E 250, Bodrex Flu & Batuk 2 Oskadon, Bodrex 3 Bodrex, Pharmaton Formula, Pharmaton Formula 2 Dermatix Ultra, Bodrex, 4 Oskadon, Diapet, Laxing, Ever E 250 9 Combantrin, Bodrex, Oskadon, Vidoran Gummy, Cerebrovit X- cel, Neo rheumacyl neuro, Dermatix Ultra, Cerebrovit X-cel, Combantrin 2 Contrexin, Imboost,, 7 Cerebrovit Excel Cerebrovit Excel, Ultraflu, Neo Ultrasiline, Hufagrip, Ultraflu, Ultraflu 8 April 18.00- - -

65 19.00 8 April 19.00-20.00 8 April 8 April 8 April 8 April 8 April 2. RCTI 18 April 18 April 18 April 18 April 17 April 17 April 17 April 17 April 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 00.00-01.00 05.00-06.00 06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 10 Oskadon, Bodrex, Pharmaton Formula, Protecal Solid, Bodrexin Flu & Batuk, Dulcolax, Bodrexin Flu & Batuk, Ever E 250, Bodrexin Flu & Batuk, Zevit Grow - - 1 Panadol Extra 4 Scots Emulsion, Diapet, Laxing, Neo Rheumacyl 8 Scots Emulsion, Oskadon SP, Vidoran Smart, Zevit Grow, Zevit Grow, Zevit Grow, Oskadon, Scots Emulsion 2 Zevit Grow, Neo Rheumacyl 2 Redoxone, Redoxone 3 Oskadon, Oskadon, Neo Rheumacyl 1 Curcuma Plus - 2 Diabetasol, Imboost 7 Diabetasol, Diabetasol, Dulcolactol, Ever E 250, Nourish E, Nourish E, Nourish E (tidak terdapat data) 2 Imboost, Dermatix Ultra, 2 Zevit Grow, Dermatix Ultra

66 17 April 17 April 17 April 17 April 17 April 17 April 17 April 17 April 17 April 17 April 17 April 3. Trans7 24 April 24 April 14.00-15.00 15.00-16.00 16.00-17.00 17.00-18.00 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 00.00-01.00 05.00-06.00 06.00-07.00 3 Bodrex, Dulcolactol, Koolfever - 2 Stimunoforte, Voltaren Emulgel 1 Koolfever - 1 Vitacimin 3 Procold, Procold, Dulcolactol - 3 Zevit Grow, Oskadon, Bodrex - - - - 2 Renovit, Panadol Extra 11 Vitacimin, Ever E 250, Anakonidin, Konidin, Promag, Promag, Voltaren Emulgel, Inza, Enterostop, Anakonidin, Ever E 250 24 April 07.00-7 Imboost, Enterostop, 08.00 Konidin, Mixagrip Flu & Batuk, Voltaren Emulgel, Anakonidin 24 April 08.00-9 Ever E 250, Konimex, 09.00 Imboost, Mixagrip, Konidin, Bodrex Migra, Bodrex Migra, Bodrex, Bodrex 24 April 09.00-4 Neo Rheumacyl, 10.00 Fungiderm, Bodrex, Zevit Grow 24 April 10.00-2 Panadol, Bodrex

67 11.00 24 April 11.00-12.00 24 April 12.00-13.00 24 April 24 April 24 April 24 April 24 April 25 April 25 April 25 April 25 April 24 April 24 April 24 April 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 16.00-17.00 17.00-18.00 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 00.00-01.00 1 Imboost 9 Inza, OBH, Konidin, Inza, Mixagrip, Konidin, Albothyl, Mixagrip, Ever E 250 - - 3 Ever E 250, Anakonidin, Dulcolax 8 Zevit Grow, Zevit Grow, Zevit Grow, Zevit Grow, Zevit Grow, Bodrex, Zevit Grow, Panadol 3 Fungiderm, Zevit Grow, Vitacimin 2 Diapet, Laxing 2 Bodrex, Laserin, 2 Entrostop, Laserin 2 Vitacimin, Vitacimin, 2 Diabetasol, Promag 2 Promag, Dulcolactol - - - -

68 Lampiran 2. Form untuk Mencatat Profil Iklan Obat

69 Lampiran 3. Form untuk Evaluasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988, Kepmenkes No. 386 Tahun 1994 dan DPI Tahun 2005

70 Lampiran 4. Data Distribusi Frekuensi Iklan Obat Bulan Juni No. Tanggal Stasiun Nama Iklan Frekuensi Televisi 1. 17 Juni Trans7 Oskadon Sp 1 Konidin 1 Fungiderm 2 OBH Combi 2 Dermatix Ultra 2 Counterpain 2 Cooling 5 3 Bisolvon xtra & kids 1 Fungiderm (versi jamur 2 bergoyang) Inzana 2 RCTI Dulcolactol Lactulase 1 Dermatix Ultra 1 SCTV Neo ultrasiline 2 Ultraflu 2 Hufagrip 1 Mylanta 2 2. 18 Juni Trans7 Konidin 2 Fungiderm 1 OBH Combi 1 Sakatonik liver 2 Dermatix Ultra 3 Counterpain 1 Promag 2 Bisolvon 1 Bodrex Extra 1 Bodrex Flu & Batuk 1 Bodrex (versi nelayan dan ibu 1 rumah tangga) Inzana 1 RCTI Dermatix Ultra 1 Bodrex Extra 2 Bodrex Flu & Batuk 2 Oskadon 1 Dulcolactol Lactulase 1 SCTV Mylanta 4 Neo rheumacyl Krim 1 Ultraflu 2 Neo Ultrasiline 1

71 3. 19 Juni Hufagrip 1 Trans7 Promag 2 Konidin 2 Fungiderm 1 OBH Combi 2 Counterpain 1 Cooling 5 2 Dermatix Ultra 1 Bisolvon 1 OBH Combi 1 Paramex 2 Inzana 1 RCTI Dulcolactol Lactulase 1 Bodrex 1 Oskadon Sp 1 Vital Ear E Oil 1 SCTV Neo Rheumacyl Tablet 2 Mylanta 2 Ultraflu 2 Neo Ultrasiline 1 Hufagrip 1 Dulcolactol Lactulase 1

72 Lampiran 5. Data Distribusi Frekuensi Iklan Obat Bulan Juli No. Tanggal Stasiun Televisi Nama Iklan Frekuensi 1. 22 Juli Trans7 Bodrexin Flu & Batuk 2 RCTI Abothyl 2 Oskadon 1 Sangobion 1 Bodrexin 1 SCTV Neu Rheumacyl Tablet 1 Mylanta 1 Procold 3 Mextril 3 Kalpanax K 3 Mixagrip Rhema 3 Promag 3 Enterostop 3 Ultraflu 2 Hufagrip 1 Neo Ultrasiline 1 Vicks Vaporub 1 2. 23 Juli Trans7 Paramex Flu & Batuk 3 Bodrexin Flu & Batuk 1 Oskadon 2 Insto 2 RCTI Praxion 2 Sangobion 2 SCTV Mylanta 1 Neo Rheumacyl Tablet 1 Paramex 2 Ultraflu 3 Neo Ultrasiline 1 Hufagrip 1 3. 24 Juli Trans7 Paramex Flu & Batuk 2 Neurobion 1 Bodrexin Flu & Batuk 1 RCTI Praxion 1 Neurobion 1 Sangobion 1 SCTV Mylanta 3 Oskadon 1 Oskadon Sp 1 Neo Rheumacyl Tablet 1 Fatigon 1

73 Lampiran 6. Data Distribusi Frekuensi Iklan Obat Bulan Agustus No. Tanggal Stasiun Nama Iklan Frekuensi Televisi 1. 13 Agustus Trans7 Siladex 1 Konidin 2 Dermatix Ultra 2 OBH Combi 1 Neo Rheumacyl Neuro 1 RCTI Bisolvon 2 Dulcolax 2 Bodrex 2 Neo Napacin 1 Dermatix Ultra 1 Neo Rheumacyl Neuro 1 SCTV (tidak terdapat iklan - 2. 14 Agustus 3. 15 Agustus obat) Trans7 Siladex 1 Konidin 1 Dermatix Ultra 3 Vicks Vaporub 1 Hansaplast Koyo 1 RCTI Neo Rheumacyl Neuro 2 Combantrin 1 Bisolvon 1 Dulcolax 1 Bodrex 2 Dermatix Ultra 1 SCTV Vicks Vaporub 1 Combantrin 2 Dermatix Ultra 1 Trans7 Siladex 1 Konidin 1 OBH Combi 1 Dermatix Ultra 1 Hansaplast Koyo 1 RCTI Bodrex 1 Bisolvon 2 Dulcolax 2 Neo Napacin 1 Neo Rheumacyl Neuro 1 SCTV (tidak terdapat iklan obat)

74 Lampiran 7. Data Kean Informasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988 No. Nama Produk / Iklan Kean Informasi Iklan Hasil Obat Evaluasi 1. Albothyl Nama dagang, indikasi. 2. Bisolvon Zat aktif, nama dagang, indikasi. 3. Bodrex Nama dagang, indikasi. 4. Bodrex (versi nelayan Nama dagang, indikasi. dan ibu rumah tangga) 5. Bodrex Extra Zat aktif, nama dagang, indikasi. 6. Bodrex Flu & Batuk Zat aktif, nama dagang, indikasi. 7. Bodrexin Flu dan Batuk Nama dagang, indikasi. 8. Combantrin Nama dagang, indikasi. 9. Cooling 5 Nama dagang, indikasi. 10. Counterpain Nama dagang, indikasi. 11. Dermatix Ultra Zat aktif, nama dagang, indikasi. 12. Dulcolactol Lactulase Zat aktif, nama dagang, indikasi. 13. Dulcolax Nama dagang, indikasi. 14. Entrostop Zat aktif, nama dagang, indikasi. 15. Fatigon Zat aktif, nama dagang, indikasi. 16. Fungiderm (versi jamur Nama dagang, indikasi. bergoyang) 17. Fungiderm Nama dagang, indikasi. 18. Hansaplast Koyo Nama dagang, indikasi. 19. Hufagrip Nama dagang, indikasi. 20. Insto Nama dagang, indikasi.

75 21. Inzana Nama dagang, indikasi. 22. Kalpanax K Nama dagang, indikasi. 23. Konidin Nama dagang, indikasi, peringatan perhatian (precaution). 24. Mextril Nama dagang, indikasi. 25. Mixagrip Rhema Nama dagang, indikasi. 26. Mylanta Nama dagang, indikasi. 27. Neo Napacin Nama dagang, indikasi, peringatan perhatian (precaution). 28. Neo Rheumacyl Krim Nama dagang, indikasi. 29. Neo Rheumacyl Neuro Zat aktif, nama dagang, indikasi. 30. Neo Rheumacyl Tablet Zat aktif, nama dagang, indikasi. 31. Neo Ultrasiline Nama dagang, indikasi. 32. Neurobion Zat aktif, nama dagang, indikasi. 33. OBH Combi Zat aktif, nama dagang, indikasi. 34. Oskadon Nama dagang, indikasi. 35. Oskadon Sp Nama dagang, indikasi. 36. Paramex Nama dagang, indikasi, peringatan perhatian (precaution). 37. Paramex Flu dan Batuk Nama dagang, indikasi, peringatan perhatian (precaution). 38. Praxion Nama dagang, indikasi. 39. Procold Flu Procold Flu & Batuk Nama dagang, indikasi. 40. Promag Zat aktif, nama dagang. 41. Sakatonik Liver Nama dagang, indikasi.

76 42. Sangobion Zat aktif, nama dagang, indikasi. 43. Siladex Nama dagang, indikasi. 44. Ultraflu Nama dagang, indikasi, peringatan perhatian. 45. Vicks Vaporub Nama dagang, indikasi. 46. Vital Ear Oil Nama dagang, indikasi.

77 Lampiran 8. Data Kean Informasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994 No. Nama Produk / Iklan Kean Informasi Iklan Obat 1. Albothyl Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 2. Bisolvon Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 3. Bodrex Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 4. Bodrex (versi Nama dagang, indikasi, nama nelayan dan ibu industri farmasi, tidak diperankan tenaga rumah tangga) kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 5. Bodrex Extra Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 6. Bodrex Flu & Batuk 7. Bodrexin Flu dan Batuk Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 8. Combantrin Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. Hasil Evaluasi 9. Cooling 5 Nama dagang, indikasi, tidak diperankan

78 tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 10. Counterpain Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 11. Dermatix Ultra Zat aktif, nama dagang, indikasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 12. Dulcolactol Lactulase Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratoriu, kesesuaian klaim indikasi. 13. Dulcolax Nama dagang, indikasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 14. Entrostop Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi.. 15. Fatigon Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. 16. Fungiderm (versi jamur bergoyang) Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 17. Fungiderm Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 18. Hansaplast Koyo Nama dagang, indikasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau

79 setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. 19. Hufagrip Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 20. Insto Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 21. Inzana Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 22. Kalpanax K Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, kesesuaian klaim indikasi. 23. Konidin Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 24. Mextril Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 25. Mixagrip Rhema Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 26. Mylanta Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 27. Neo Napacin Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 28. Neo Rheumacyl Krim Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan

80 29. Neo Rheumacyl Neuro 30. Neo Rheumacyl Tablet atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 31. Neo Ultrasiline Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 32. Neurobion Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. 33. OBH Combi Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 34. Oskadon Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 35. Oskadon Sp Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 36. Paramex Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 37. Paramex Flu dan Batuk Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut

81 profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 38. Praxion Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 39. Procold Flu Nama dagang, indikasi, nama industri Procold Flu & farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan Batuk atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 40. Promag Zat aktif, nama dagang, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. 41. Sakatonik Liver Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. 42. Sangobion Zat aktif, nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. 43. Siladex Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 44. Ultraflu Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 45. Vicks Vaporub Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi. 46. Vital Ear Oil Nama dagang, indikasi, nama industri farmasi, tidak diperankan tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium, kesesuaian klaim indikasi.

82 Lampiran 9. Data Evaluasi Klaim Indikasi Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994 Nama Produk / Indikasi yang Seharusnya No. Iklan Ditampilkan 1. Albothyl terdapat batasan indikasi. 2. Bisolvon Meredakan batuk yang berdahak 3. Bodrex Meringankan rasa sakit kepala. 4. Bodrex (versi nelayan dan ibu rumah tangga) Meringankan rasa sakit kepala. 5. Bodrex Extra Meringankan rasa sakit kepala. 6. Bodrex Flu & Batuk 7. Bodrexin Flu dan Batuk Meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat dan pilek. a. Meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepada, hidung tersumbat dan pilek. b. Meredakan batuk berdahak 8. Combantrin Untuk pengobatan infeksi kecacingan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui oleh Departemen Kesehatan. 9. Cooling 5 Melegakan sakit tenggorokan dan membantu menjaga higiene mulut. 10. Counterpain Meringankan gejala-gejala otot kaku dan nyeri. 11. Dermatix Ultra terdapat batasan indikasi. Klaim Indikasi dan Kesesuaian Menuntaskan sariawan dan bau mulut ( ). Efektif mengencerkan dahak dan meredakan batuk ( ). Untuk solusi sakit kepala, sakit kepala dan pusing, sakit kepala mencegkram di belakang dan sakit kepala sebelah ( ). Mengobati sakit kepala ( ). Meringankan sakit kepala mencengkram bagian belakang ( ). Efektif meredakan flu dan batuk dengan gejala flu seperti demam, pilek dan batuk ( ). Meredakan gejala flu dan batuk ( ). Untuk cacingan ( ). Meredakan sakit tenggorokan dan bau mulut dalam 5 detik ( ). Meredakan nyeri otot ( ) Meratakan, menghaluskan dan memudarkan bekas luka

83 12. Dulcolactol Lactulase Mengatasi susah buang air besar. 13. Dulcolax Mengatasi susah buang air besar. 14. Entrostop terdapat batasan indikasi. 15. Fatigon Mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan serta lansia. 16. Fungiderm Mengatasi infeksi karena (versi jamur jamur bergoyang) 17. Fungiderm Mengatasi infeksi karena jamur ( ). Mengatasi susah Buang Air Besar pada anak ( ) Mengatasai dan melancarkan buang air besar ( ) Menyetop gejala diare yang berupa mules dan diare ( ). Mengatasi pegal, cape, kram dan kesemutan (X) Aktif tuntaskan jamur ( ) Membasmi panu kadas kurap kutu air. Aktif tuntaskan jamur ( ) Untuk pijatan yang lebih mantap (X) Meredakan flu sesuai gejala ( ). 18. Hansaplast Koyo Meringankan gejala-gejala otot kaku dan nyeri. 19. Hufagrip Meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepada, hidung tersumbat dan pilek. 20. Insto Meredakan iritasi mata yang Menyegarkan mata ( ). ringan. 21. Inzana Menurunkan panas. Pertolongan pertama saat anak panas demam ( ). 22. Kalpanax K Mengatasi infeksi karena jamur. Untuk gatal karena jamur ( ). 23. Konidin Meredakan batuk yang berdahak dan tidak berdahak. Efektif meredakan batuk ( ) 24. Mextril Meredakan batuk berdahak yang disertai pilek. Mengatasi batuk pilek sampai tuntas ( ). 25. Mixagrip Rhema Meringankan rasa sakit misalnya: nyeri otot. Mengatasi pegal linu ( ). 26. Mylanta Mengatasi gejala sakit maag seperti: perih, kembung, mual Meredakan sakit maag mulai dari pusat sakit perut sampe rasa mual yang mengganggu ( ). 27. Neo Napacin Meringankan gejala sesak Meredakan sesak napas

84 28. Neo Rheumacyl Krim 29. Neo Rheumacyl Neuro 30. Neo Rheumacyl Tablet napas karena asma Meringankan rasa sakit misalnya: nyeri otot. Meringankan rasa sakit misalnya: nyeri otot. Meringankan rasa sakit misalnya: nyeri otot. 31. Neo Ultrasiline Mengatasi infeksi karena jamur. 32. Neurobion Mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan serta lansia. 33. OBH Combi Meredakan batuk berdahak yang disertai flu. 34. Oskadon Meringankan rasa sakit misalnya: sakit kepala. 35. Oskadon Sp Meringankan rasa sakit misalnya: nyeri otot. 36. Paramex Meringankan rasa sakit misalnya: sakit kepala. 37. Paramex Flu dan Batuk a. Meredakan batuk tidak berdahak. b. Meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepada, hidung tersumbat dan pilek karena gejala asma ( ). Meredakan nyeri otot, nyeri sendi, pegal pegal ( ) Untuk nyeri, pegal, kram dan kesemutan ( ) Efektif mengatasi nyeri otot, nyeri sendi dan pegal linu ( ). Untuk gatal gatal karena jamur ( ). Memperbaiki sel saraf tepi sehingga kebas dan kesemutan dapat dicegah (X). Efektif meredakan batuk flu ( ). Membereskan sakit kepala ( ). Bebaskan pegal linu ( ). Mengobati sakit kepala ( ). Efektif meredakan flu dan batuk sekaligus ( ). 38. Praxion Menurunkan panas Meredakan demam anak ( ). 39. Procold Flu Meredakan gejala flu Untuk flu dan flu yang Procold Flu & disertai batuk ( ). Batuk 40. Promag Mengatasi gejala sakit maag seperti: perih, kembung, mual. terdapat klaim indikasi (X). 41. Sakatonik Liver Mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil Mencegah anemia (X).

85 dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan serta lansia. 42. Sangobion Mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan serta lansia. 43. Siladex Meredakan batuk yang berdahak dan tidak berdahak. 44. Ultraflu Meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepada, hidung tersumbat dan pilek. 45. Vicks Vaporub Meringankan gejala-gejala flu, otot kaku dan nyeri. 46. Vital Ear Oil terdapat batasan indikasi. Keterangan : Mengatasi anemia (X) Aktif menuntaskan batuk ( ). Meredakan sakit kepala dan flu ( ). Meringankan gejala flu seperti hidung tersumbat, pilek, batuk dan badan pegal-pegal ( ). Sebagai obat tetes antiseptik rongga telinga yang gatal dan sakit ( ). = Sesuai, X = Sesuai

86 Lampiran 10. Data Evaluasi Iklan Obat Menurut DPI Tahun 2005 No. Nama Produk / Jenis Pelanggaran Iklan 1. Albothyl Menjanjikan penyembuhan Keterangan Terdapat kalimat menuntaskan sariawan dan bau mulut. Hal ini menunjukkan bahwa Albothyl dapat menyelesaikan masalah dan menyembuhkan sariawan dan bau mulut. 2. Bisolvon - - 3. Bodrex Menjanjikan penyembuhan Bodrex dapat menyembuhkan sakit kepala pada masyarakat 4. Bodrex (versi - - nelayan dan ibu rumah tangga) 5. Bodrex Extra - - 6. Bodrex Flu & Batuk - - 7. Bodrexin Flu - - dan Batuk 8. Combantrin - - 9. Cooling 5 - - 10. Counterpain - - 11. Dermatix Ultra 12. Dulcolactol Lactulase Menjanjikan penyembuhan - - Terdapat kalimat mengatasi susah buang air besar pada anak. Perlu diketahui bahwa kata mengatasi sinonim dengan menyembuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa Dulcolactol menjanjikan penyembuhan. 13. Dulcolax - - 14. Entrostop Menjanjikan penyembuhan 15. Fatigon Menjanjikan penyembuhan Terdapat kalimat menyetop gejala diare yang berupa mules dan diare. Kata menyetop sinonim dengan menyembuhkan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Entrostop menjanjikan penyembuhan terhadap penyakit diare. Terdapat kalimat mengatasi pegal, cape, kram dan

87 kesemutan. Hal ini menunjukkan bahwa fatigon menjanjikan penyembuhan karena pengertian dari mengatasi sama dengan menyembuhkan. 16. Fungiderm - - (versi jamur bergoyang) 17. Fungiderm - - 18. Hansaplast - - Koyo 19. Hufagrip - - 20. Insto - - 21. Inzana - - 22. Kalpanax K Menggunakan kata Terdapat kalimat aman di kulit aman, tidak pada iklan ini. berbahaya, bebas efek samping dan bebas risiko. 23. Konidin - - 24. Mextril Menjanjikan penyembuhan Terdapat kalimat mengatasi batuk pilek sampai tuntas. Hal ini menujukkan bahwa Mextril dapat menjanjikan 25. Mixagrip Rhema a. Menjanjikan penyembuhan penyembuhan. a. Terdapat kalimat mengatasi pegal linu. Hal ini menunjukkan bahwa Mixagrip Rhema menjanjikan penyembuhan sebab pengertian dari mengatasi sama dengan menyembuhkan. b. Menggunakan kata aman, tidak berbahaya, bebas efek samping dan bebas risiko 26. Mylanta - - 27. Neo Napacin - - 28. Neo - - Rheumacyl Krim b. Terdapat penggunaan kata aman dalam kalimat Solusi aman untuk atasi pegal linu. 29. Neo Rheumacyl - -

88 Neuro 30. Neo Rheumacyl Tablet Menjanjikan penyembuhan Terdapat kalimat mengatasi nyeri otot, nyeri sendi dan pegal linu. Kalimat tersebut menggambarkan kesembuhan akan diperoleh konsumen begitu mengkonsumsi obat Neo Rheumacyl. - - 31. Neo Ultrasiline 32. Neurobion - - 33. OBH Combi - - 34. Oskadon Menjanjikan penyembuhan 35. Oskadon Sp Menjanjikan penyembuhan 36. Paramex Menjanjikan penyembuhan Terdapat kalimat sakit kepala beres pada iklan ini. Hal tersebut menggambarkan menjanjikan penyembuhan setelah mengkonsumsi Oskadon. Dalam iklan ini terdapat kalimat bebaskan pegal linu yang mengambarkan kesembuhan dan bebas dari penyakit akan diperoleh konsumen jika mengkonsumsi Oskadon SP. Terdapat kalimat mengobati sakit kepala. Hal ini menunjukkan bahwa Paramex menjanjikan penyembuhan karena pengertian dari mengobati sama dengan pengertian menyembuhkan - - 37. Paramex Flu dan Batuk 38. Praxion - - 39. Procold Flu Procold Flu & Batuk 40. Promag menganjurkan obat menurut indikasi yang diajukan - - terdapat indikasi. 41. Sakatonik Liver - - 42. Sangobion Menjanjikan penyembuhan Terdapat kalimat mengatasi anemia pada iklan ini. Hal tersebut menunjukkan anemia dapat disembuhkan dengan

89 Sangobion. 43. Siladex Menjanjikan penyembuhan Terdapat kalimat aktif menuntaskan batuk. Hal tersebut sama saja dengan menjanjikan konsumen agar sembuh dari penyakit batuk. Pengertian dari kata menuntaskan, sama dengan menyembuhkan. 44. Ultraflu - - 45. Vicks - - Vaporub 46. Vital Ear Oil menganjurkan obat menurut indikasi yang diajukan terdapat indikasi

90 BIOGRAFI PENULIS Penulis skripsi dengan judul Evaluasi Iklan Obat Di Stasun Televisi Swasta Nasional Pada Bulan Juni, Juli dan Agustus Tahun memiliki nama Sherly Mecillia. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Andre Rijanto dan Yohana Yayuk yang dilahirkan di Jombang tanggal 12 Mei 1993. Penulis menjalani pendidikannya di TK Marsudirini Bekasi (1997-1999), SD Marsudirini Bekasi (1999-2005), SMP Marsudirini Bekasi (2005-2008), SMA Regina Pacis Ursulin Surakarta (2008-2011). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2011. Semasa menempuh kuliah, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi. Penulis pernah menjadi sekretaris di Desa Mitra 2 (2012), anggota divisi konsumsi Donor Darah JMKI (2012), anggota divisi Dana dan Usaha pada Seminar Nasional dan Longmarch HIV/AIDS (2012), anggota divisi Dekorasi dalam acara Pengambilan Sumpah/Janji Apoteker () dan peserta PKMM yang lolos didanai DIKTI pada tahun (). Penulis juga aktif berperan sebagai Komisaris organisasi Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) pada tahun 2013. Penulis merupakan Asisten Praktikum Anatomi Fisiologi Fakultas Farmasi pada tahun 2012.