BAB 5 REVITALISASI KAWASAN ARJUNA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. yang dibahas dalam tesis ini. 1 Subkawasan Arjuna pada RTRW kota Bandung tahun merupakan kawasan Arjuna

BAB 4 ANALISIS KAWASAN ARJUNA

PEDOMAN PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN (Permen PU 06/2007)

HIRARKI ANTARA PERENCANAAN WILAYAH KAB/KOTA DENGAN PERANCANGAN KOTA

sekitarnya serta ketersediaannya yang belum optimal (pada perbatasan tertentu tidak terdapat elemen gate). d. Elemen nodes dan landmark yang

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI KONSEP PERENCANAAN

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET

PERANCANGAN KOTA BAB IV ANALISA ALUN ALUN KABUPATEN WONOGIRI MENURUT 8 ELEMEN KOTA HAMID SHIRVANI. 4.1 Analisa Tata Guna Lahan Alun alun Wonogiri

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN

ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA

BAB II TINJAUAN KAWASAN SCBD

BAB III DATA DAN ANALISA

BAB VI PENUTUP. karakter arsitektural ruang jalan di koridor Jalan Sudirman dan Jalan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. keberadaan elemen-elemen fisik atau yang disebut juga setting fisik seiring

PENETAPAN LOKASI PENDATAAN ANALISIS KAWASAN DAN WILAYAH PERENCANAAN PENYUSUNAN KONSEP PENYUSUNAN RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pemikiran yang melandasi perancangan dari proyek Mixed-use Building

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB IV : KONSEP. 4.1 Konsep Dasar. Permasalahan & Kebutuhan. Laporan Perancangan Arsitektur Akhir

BAB VI PENUTUP 6.1 KESIMPULAN

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. a. Aksesibilitas d. View g. Vegetasi

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

DAFTAR ISI. Daftar Isi... i

BAB 3 PENDEKATAN CONTEXTUAL HARMONY DALAM REVITALISASI KAWASAN CAGAR BUDAYA

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II STEP BY STEP, UNDERSTANDING THE WHOLE PICTURE

PERENCANAAN BLOK PLAN

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

Terdapat 3 (tiga) metode dalam memarkir kendaraan, diantaranya adalah:

Bab 4 ANALISA & PEMBAHASAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Minggu 5 ANALISA TAPAK CAKUPAN ISI

MATA KULIAH PERENCANAAN TAPAK

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI TABEL V.1 KESESUAIAN JALUR HIJAU

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL

BAB V HASIL RANCANGAN

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

The Via And The Vué Apartment Surabaya. Dyah Tri S

BAB V ARAHAN DAN REKOMENDASI

BAB III TINJAUAN TEMA INSERTION

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema

BAB III : DATA DAN ANALISA

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

BAB I SHARPEN YOUR POINT OF VIEW. Pelaksanaan PA6 ini dimulai dari tema besar arsitektur muka air, Riverfront

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

LEMBAR PENGESAHAN TELAH DISAHKAN ATURAN BERSAMA LKM PRIMA KEADILAN KELURAHAN BANTAN KECAMATAN SIANTAR BARAT KOTA PEMATANGSIANTAR

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2010). Aksesibilitas adalah konsep yang luas dan fleksibel. Kevin Lynch

BAB 6 HASIL PERANCANGAN. konsep Hibridisasi arsitektur candi zaman Isana sampai Rajasa, adalah candi jawa

BAB V HASIL RANCANGAN

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Tata Ruang Kota (TRK) (RTBL-TRK)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada saat ini keterbatasan lahan menjadi salah satu permasalahan di Jakarta

Bab VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kawasan stasiun Pasar Nguter, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. sebelum manusia mengenal makna arsitektur itu sendiri, namun pada saat ini signage

KONSEP dan TEKNIK PENYAJIAN GAMBAR PADA PROYEK ARSITEKTUR KOTA (URBAN DESIGN)

BAB III METODE PERANCANGAN. proses merancang, disertai dengan teori-teori dan data-data yang terkait dengan

V. KONSEP Konsep Dasar Pengembangan Konsep

BAB IV ANALISA TAPAK

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro (Dwihatmojo)

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP DAN RANCANGAN RUANG PUBLIK (RUANG TERBUKA)

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

2. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak (Kamus Tata Ruang, Ditjen Cipta Karya, 1997).

STUDIO TUGAS AKHIR BAB IV ANALISIS. 4.1 Analisis Fungsional 4.1 Pemintakatan

BAB I PENDAHULUAN. Service), serta media alam sebagai media pembelajaran dan tempat. school melalui penyediaan fasilitas yang mengacu pada aktivitas

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI HASIL PERANCANGAN. apartemen sewa untuk keluarga baru yang merupakan output dari proses analisis

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4 BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN

5 BAB V KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V. KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

International Fash on Institute di Jakarta

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan menjawab sasaran yang ada pada bab pendahuluan. Makam merupakan salah satu elemen penting pembentuk sebuah

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN

TENTANG PEDOMAN DAN STÁNDAR TEKNIS UNTUK PELAYANAN PEMANFAATAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Transkripsi:

BAB 5 REVITALISASI KAWASAN ARJUNA 5.1 Strategi Penataan Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya Kawasan Arjuna terdiri atas bagian-bagian kawasan ( cluster ) yang beragam permasalahan dan potensinya. Oleh karena itu, upaya revitalisasi kawasan tidak memperlakukan keseluruhan kawasan secara seragam, walaupun citra kawasan tetap signifikan sebagai suatu kawasan yang berakar pada nilai historis kota kolonial Bandung. Untuk melestarikan nilai historis dan sekaligus merevitalisasi fungsi dan kualitas lingkungan kawasan, maka dikembangkan strategi revitalisasi yang membagi kawasan menjadi 3 (tiga) cluster. Masing-masing cluster memiliki karakteristik dan citra yang berbeda tanpa mengganggu keselarasan keseluruhan kawasan karena ketiganya dirancang untuk secara bersamaan membentuk keselarasan kontekstual. Ketiga bagian kawasan / cluster adalah sebagai berikut: 1. Cluster A adalah kawasan Cagar Budaya yang homogen dengan pendekatan penanganan pelestarian Contextual Uniformity untuk mewujudkan citra bagian kawasan hunian yang mempunyai nilai historis kota kolonial Bandung. 2. Cluster B adalah kawasan Cagar Budaya dengan pendekatan penanganan pelestarian Contextual Continuity untuk mewujudkan kontinuitas bagian kawasan mixed use dengan fungsi utama hunian dan jasa, yang terdiri dari bangunan-bangunan yang mempunyai nilai historis dan bangunanbangunan baru. 3. Cluster C adalah kawasan Cagar Budaya dengan pendekatan Contextual Juxtaposition untuk mewujudkan heterogenitas bagian kawasan mixed use dengan fungsi dominan komersial dan hunian sewa, terdiri dari bangunanbangunan baru dengan pusat orientasi bangunan Cagar Budaya. Ketiga cluster tersebut dirancang juga untuk merepresentasikan perkembangan kawasan (lihat Gambar 5.1) dalam perjalanan sejarah dan dimensi 86

waktu, cluster A mewakili awal pertumbuhan kawasan, cluster B perkembangan tahap berikut dan cluster C perkembangan paling mutakhir. Cluster A Contextual Uniformity Bangunan cagar budaya yang dipertahankan Cluster B Contextual Continuity Gambar 5.1 Peta Pembagian Cluster pada Kawasan Arjuna, Sumber: Hasil Analisis, 2007 Cluster C Contextual Juxtaposition Untuk meningkatkan kualitas lingkungan ketiga cluster dan mengefisiensikan tata guna lahan yang ada, maka peruntukan lahan secara umum (makro) adalah: 1. Mengefektifkan pengaturan kepemilikan lahan. Lahan yang dimiliki masyarakat perorangan harus mengikuti arahan dan panduan penataan kawasan, apabila terjadi pemindahan kepemilikan maka pemilik baru harus pula mengikuti arahan penataan kawasan. Lahan yang dimiliki Pemerintah Kota dilakukan sistem sewa bagi pemakainya dan pengembangannya harus mengikuti arahan penataan kawasan. 2. Ketentuan bangunan permanen untuk semua bangunan pada kawasan Arjuna, agar terjaga ketertiban penataan kawasan dengan melarang bangunan-bangunan non permanen yang dibangun secara informal pada kawasan. 87

3. Pengaturan ruang terbuka dimaksudkan untuk menjaga keselarasan kontekstual dan kontinuitas antar bagian kawasan, serta diharapkan tidak terdapat ruang sisa di antara bangunan atau di antara bagian kawasan. 4. Peningkatan fungsi komersial dan hunian sewa pada bagian kawasan yang pengembangannya paling fleksibel agar vitalitas kawasan meningkat. Fungsi Hunian Fungsi Hunian dan Jasa Mixed Use komersial Gambar 5.2 Tata Guna Lahan Sumber: Hasil Analisis, 2007 Penerapan tata guna lahan mixed use pada kawasan cluster B dan C memperhatikan hubungan antara kegiatan-kegiatan yang ada dalam kawasan. Kawasan diharapkan akan dapat hidup sepanjang waktu dan fungsi-fungsi yang ada saling berkaitan dalam kawasan begitu pula dengan fungsi sekitar kawasan. Massa bangunan diletakkan berdasarkan hirarki dan besarannya. Massa bangunan berukuran kecil berada di dalam inner pocket kawasan, kemudian dikelilingi massa bangunan berukuran menengah, lalu massa bangunan yang besar dapat ditempatkan pada jarak sisi luar. Sesuai dengan kriteria integrasi kawasan yang harmonis, maka kawasan Arjuna harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. menghargai pola jalan eksisting dan ukuran persil 88

2. menghargai skyline bangunan dan muka jalan (street frontage) yang ada adalah penting dalam membentuk kontinuitas dan pendefinisian ruang luar. 3. menjaga keseimbangan selubung bangunan secara tiga dimensi. 4. Skala manusia dan dimensinya dihubungkan dengan kondisi setempat. Fasade dan visual interest pada level pedestrian harus memperhatikan skala manusia. 5. Proporsi: hubungan antara bagian-bagian yang berbeda dari bangunan, hubungan antara solid dan void pada fasade bangunan, atau bukaan dan dinding sebagai elemen bangunan, harus menyesuaikan dengan konteks yang sudah ada. 6. Irama yang didapat dari pengulangan ukuran dan perlakuan pada fasade bangunan mengikuti ritme bangunan lama. 7. Material yang memperlihatkan warna dan tekstur bangunan diterapkan secara konsisten untuk memberikan sence of unity and place yang kuat. 5.2 Kriteria Perancangan Kawasan Arjuna Dalam upaya mewujudkan karakter bagian kawasan dan kekhasan masingmasing cluster tersebut, maka dalam masing-masing kelompok bangunan dan rancangan bangunan diarahkan untuk mencapai keselarasan melalui pengaturan massa dan bentuk bangunan dengan kriteria sebagai berikut: 1. Menciptakan keselarasan visual antar bangunan dalam kawasan melalui penetapan KLB maksimum pada masing-masing cluster yang mendukung perbedaan karakter dan periode perkembangan kawasan melalui komponen-komponen: a. KDB (Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Lantai Bangunan) Pada kawasan diperlukan pengaturan intensitas pemanfaatan lahan agar terjadi keseimbangan yang harmonis antara lahan yang tertutup bangunan dan perkerasan dengan lahan berupa ruang terbuka hijau, ketinggian bangunan dan kepadatan bangunan pada tiap-tiap persil. Pengaturan intensitas pemanfaatan lahan dinyatakan dalam ukuran FAR (Floor Area Ratio) atau KLB (Koefisien Lantai Bangunan), BCR (Building Coverage) atau KDB (Koefisien Dasar Bangunan). Sesuai RDTRK WP Bojonagara Kota Bandung untuk kawasan Arjuna ini 89

besar rata-rata intensitas pemanfaatan lahan adalah: KDB 60 %; KLB 1,2. Rincian sesuai peruntukan dapat dilihat pada Bab 3 (Tabel KDB dan KLB pada Kawasan). Pengaturan tentang intensitas pemanfaatan lahan dapat disesuaikan dengan sistem Transfer of Development Right antar persil atau antar cluster di dalam kawasan Arjuna. b. GSB (Garis Sempadan Bangunan) yang diberlakukan pada kawasan mengikuti ketentuan GSB pada tabel 4.4 Bab 4 (Sumber: RDTRK WP.Bojonagara Kota Bandung tahun 2006), karena besarannya masih sesuai dengan kondisi yang diharapkan untuk perkembangan kawasan. c. Setback bangunan dan penggunaan podium pada massa bangunan yang memiliki ketinggian lebih dari 4 lantai, sehingga massa bangunan tetap memiliki skala yang baik terhadap pejalan dan tidak menghalangi akses masuk sinar matahari ke daerah atau ruang terbuka sekitar massa bangunan. d. Batas ketinggian bangunan. Pengaturan perbandingan antara tinggi massa bangunan dan lebar ruang terbuka di sekitarnya, sehingga tercipta satu perbandingan yang nyaman bagi manusia. Skala yang kesannya netral atau harmonis adalah perbandingan jarak antara massa bangunan sama dengan atau dua kali tinggi massa bangunan diterapkan pada cluster B. Pada cluster A dipertahankan ketinggian bangunan yang ada karena kerapatan bangunan yang ada sudah mencukupi bagi bangunan hunian satu atau dua lantai. Untuk cluster C diberi keleluasaan untuk mendirikan bangunan tinggi dengan tetap menghargai skala manusia yaitu memakai podium dan arkad pada lantai dasar bangunan. e. Warna bangunan untuk cluster A lebih ditekankan pada warna alami, sedangkan pada cluster B dan C dapat dipakai warna bangunan yang lebih variatif, tetapi masih menghargai warna alami pada bangunan cagar budaya. f. Langgam Arsitektur. Bangunan cagar budaya dipertahankan langgam arsitekturnya. Bangunan baru pada cluster A harus sama dengan langgam yang ada yaitu langgam hunian kolonial. Bangunan baru 90

cluster B dapat menggunakan langgam yang sama dengan bangunan cagar budaya di sekitarnya yaitu art deco dan hunian kolonial atau perpaduan diantaranya tetapi tetap memperhatikan kesinambungan bentuk dan proporsinya. Pada cluster C bangunan baru dibebaskan langgam arsitekturnya. g. Tengaran. Bangunan Cagar Budaya dijadikan landmark pada kawasan Arjuna. h. Orientasi massa bangunan terutama massa bangunan yang berada di sekitar jalur pejalan harus ke arah jalur pejalan bukan membelakangi jalur pejalan sehingga kegiatan dalam massa bangunan dapat dilihat. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan aktivitas dan kegiatan dalam skala pejalan. i. Selubung bangunan dan desain atap untuk cluster A tipikal bentuk massa bangunan yang beratap miring, pada cluster B tipikal bentuk massa bangunan beratap miring dipadukan dengan atap datar langgam art deco. Sedangkan pada cluster C selubung bangunan lebih dibebaskan dengan massa bangunan berupa podium pada level dasar bangunan dan bangunan tinggi pada bagian tengahnya. j. Signage diterapkan pada cluster B dan C yang mempunyai fungsi campuran jasa, komersial dan hunian. Signage pada cluster B diarahkan untuk menempel pada bangunan, penempatannya tidak mengganggu fasad bangunan, signage dapat menjadi elemen estetis pada bangunan. Pada cluster C signage diberi ruang lebih pada level podium. Gambar 5.3 Ilustrasi signage sepanjang jalan utama kawasan 2. Menciptakan komposisi massa dan bentuk bangunan dengan memperlihatkan identitas fungsi bangunan yang berbeda, citra bagian kawasan dan karakteristik masing-masing bangunan melalui: 91

a. Fasad massa bangunan yang memperhatikan keindahan (elemen arsitektural), namun tetap memberikan perlindungan terhadap cuaca terutama pada massa bangunan yang berada di sekitar jalur pejalan kaki, sehingga massa bangunan dapat berinteraksi dengan pejalan kaki. b. Orientasi massa bangunan, ke arah jalur pejalan kaki bukan membelakangi, sehingga massa bangunan dapat berinteraksi dengan pejalan kaki. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan aktivitas dan kegiatan dalam skala pejalan kaki. c. Massa bangunan dan fasad harus mengakomodasi iklim tropis dan mempertimbangkan faktor ekologis kawasan. d. Pemintakatan kegiatan fungsi publik ( pertokoan ) pada lantai dasar untuk menghidupkan kegiatan pejalan kaki dan agar tidak mengganggu fungsi privat. 3. Menciptakan keterkaitan sistem transportasi dan aksesibilitas pengunjung dan penghuni kawasan untuk integrasi aktivitas dan fasilitas pada bagian kawasan dengan mempertimbangkan keamanan, keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan melalui: a. Kesinambungan aksesibilitas antar fasilitas dan cluster b. Integrasi antar moda kendaraan c. Integrasi sistem transportasi dan sirkulasi pejalan kaki d. Integrasi secara fungsional antara jalur pedestrian dengan titik-titik pergantian moda transportasi. e. Lebar Jalan minimal untuk kendaraan dan pedestrian untuk pejalan kaki f. Pemisahan dan peralihan dari jalan kendaraan dan pejalan kaki 92

Potongan Jalan Komodor Supadio Potongan Jalan Arjuna Potongan Jalan Aruna Gambar 5.4 Pemisahan jalan kendaraan dan pejalan kaki g. Akomodasi kebutuhan penyandang cacat h. Pengalaman ruang yang menyenangkan dan menarik melalui kegiatan temporer yang tidak mengganggu kenyamanan, keamanan dan keselamatan pengguna kawasan. (misalnya: outdoor dining, street performance, street vendor). Gambar 5.5 Ilustrasi aktivitas pada ruang terbuka i. Jalur pedestrian yang dapat menghubungkan antar fungsi pada kawasan dan menjadi elemen pengait kawasan. 93

m. Aksesibilitas ke massa bangunan pada level pedestrian dipermudah dan diperjelas dengan pemberian arkad dan entrance yang nyaman dengan skala pejalan kaki. Gambar 5.6 Penanganan skala pedestrian pada kawasan. Tambahan ruang bagi aktivitas di bagian luar bangunan menambah vitalitas dan kontinuitas aktivitas pada public realm n. Penciptaan ruang-ruang penghubung berupa jalur pejalan yang menghubungkan antar cluster pada kawasan. j. Penataan parkir pada kawasan. Pada cluster B dan C harus disediakan parkir terpadu berupa lapangan parkir atau parkir basement. Sedangkan pada cluster A hanya diperbolehkan parkir pada persil di depan bangunan dan satu lapis parkir on-street. Gambar 5.7 Bangunan parkir dan parkir basement dapat diterapkan pada cluster C. 94

Jalan lokal pada kawasan pengembangan Jalan utama pada kawasan pengembangan Jalan kolektor di luar kawasan pengembangan Persimpangan pada kawasan pengembangan Gambar 5.8 Penataan sirkulasi kendaraan pada kawasan Sumber: Hasil Analisis, 2007 4. Menciptakan keterpaduan ruang terbuka dan jalur hijau sebagai unsur pengikat dan pembentuk orientasi kawasan dengan memperhatikan aspek ekologis dan estetika melalui: a. Penggunaan tipe vegetasi yang menjamin permeabilitas visual, penetrasi cahaya, memberi manfaat peneduhan dan buffer polusi dan bising. b. Integrasi ruang terbuka dengan sistem pedestrian dan jalur kendaraan. c. Penggunaan ruang terbuka mengakomodasi beragam aktivitas mixed use, yang dapat mengakomodasi kegiatan warga (rekreasi, olah raga dan aktivitas sosial), mendorong interaksi sosial d. Perbedaan antara ruang terbuka yang bersifat umum dan privat dan menetapkan area-areanya e. Pemetaan bentuk, proporsi dan orientasi ruang terbuka di lokasi yang spesifik f. Penetrasi cahaya pada ruang terbuka melalui proporsi ruang 95

Gambar 5.9 dan 5.10 Peletakan vegetasi di sekitar bangunan pada kawasan Sumber: Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.11 Peletakan pohon pelindung di sepanjang jalan dan sungai pada kawasan membentuk deretan vegetasi yang melindungi jalur pedestrian. Ruang terbuka hijau (open space) pada cluster C berada pada ruang antara bangunan cagar budaya dan bangunan baru, dan pada bagian innercourt Sumber: Hasil Analisis, 2007 5.3 Kriteria Perancangan Masing-Masing Cluster Pada dasarnya pendekatan keselarasan kontekstual untuk kawasan ini adalah: 1. Untuk cluster A melalui pendekatan perancangan yang Rigorous Conformance, yaitu kawasan terdiri dari bangunan-bangunan yang signifikan secara arsitektural, memiliki banyak kemiripan dalam detail dan penampilan, ciri-ciri atau karakteristik yang khas harus dipertahankan. Perancangan bangunan yang baru harus sesuai dengan karakter bangunanbangunan yang telah ada. Selain itu dilakukan pula 96

Replication/pengulangan bentuk apabila terdapat penyisipan massa bangunan di antara bangunan cagar budaya. Gambar 5.12 Cluster A Pendekatan keselarasan kontekstual Contextual Uniformity pada cluster A dapat diuraikan pada kriteria perancangan sebagai berikut: Cluster A, dengan fungsi hunian dilakukan pendekatan berupa pelestarian bangunan asli dengan pengutamakan kaitan visual (massa bangunan). Karakter visual pada cluster A harus mengikuti kriteria sebagai berikut, yaitu: 1. Ekspresi bangunan tidak berubah dari ekspresi bangunan hunian kolonial dengan ciri-ciri : a ketinggian / lapis bangunan : 1-2 lantai b jumlah massa bangunan : tunggal dalam satu persil, berderet dalam pola persil yang teratur c garis sempadan bangunan: pada jalan lingkungan lebar jalan 4-6 m garis sempadan bangunan 3 m, pada jalan lingkungan lebar jalan 10-12 m garis sempadan bangunannya 5 m d koefisien dasar bangunan: perumahan 40-80%; jasa 50-70% e koefisien lantai bangunan: 0,6 1,2 f selubung bangunan: tipikal bentuk massa bangunan yang beratap miring 97

g material, tekstur dan warna bangunan: memakai material lokal, tekstur alami dan sederhana, warna alami. Untuk dinding bagian luar bangunan hunian diseragamkan bagian dasarnya dengan pemakaian batu alam setinggi 80-100 cm. 2. skala ruang: dalam jangkauan pengamatan pedestrian atau mengutamakan skala manusia Gambar 5.13 Massa bangunan dan selubung bangunan yang serupa pada cluster A Perlu pula dilakukan pengaturan peruntukan atau fungsi bangunan sebagai berikut: 1. Fungsi hunian dipertahankan sebesar 80 % dari fungsi bangunan pada cluster A secara keseluruhan 2. Fungsi jasa tidak boleh melebihi 20 % dari fungsi bangunan pada cluster A secara keseluruhan 3. Pada fungsi hunian per-satuan persil dapat dilakukan penambahan fungsi penunjang berupa jasa (praktek keahlian profesi) atau komersial (warung) dengan komposisi maksimal 20 % fungsi tambahan dan minimal 80 % fungsi hunian. Cluster ini tidak didesain lagi tetapi hanya dilestarikan. Apabila pada cluster A ini akan dilakukan perbaikan dan penambahan bangunan, harus mengikuti ciriciri tersebut di atas yaitu mempertahankan ketinggian, selubung, bentuk, langgam, material, warna bangunan. Penambahan massa bangunan diperbolehkan pada bagian belakang persil tetapi masih dalam batas KDB yang ditentukan. 2. Untuk cluster B melalui pendekatan perancangan yang Selective Linkages/kaitan selektif, yaitu pendekatan perancangan yang lebih selektif diperlukan pada lingkungan ini dengan kualitas bangunan yang berbeda-beda, bercampur antara bangunan bagus dengan bangunan yang biasa saja. Polapola yang meningkatkan kualitas lingkungan sebaiknya diperkuat dalam 98

perancangan, sebaliknya yang kurang baik harus ditata dan dirancang ulang; selain itu dilakukan pula Moderate Conformance/penyesuaian karena terdapat berbagai langgam. Ciri-ciri dari berbagai bangunan yang membentuk kesatuan dan keselarasan menjadi pokok/inti dari rancangan-rancangan yang harmonis. Elemen-elemen baru dapat diperkenalkan, diiringi dengan kaitan perancangan yang kuat. Gambar 5.14 Cluster B Cluster B, dengan fungsi campuran hunian, jasa dan komersial dilakukan pendekatan Alteration yaitu adaptasi bangunan lama untuk fungsi baru dengan perubahan, Addition yaitu penyisipan bangunan pada lahan kosong dalam lingkungan, dan Rehabilitasi yaitu perbaikan bangunan lama. Ketiga pendekatan di atas karakter visualnya harus mengikuti kriteria sebagai berikut, yaitu: 1. Ekspresi bangunan mempunyai ciri-ciri : a. ketinggian bangunan: 1-3 lantai b. jumlah massa bangunan: tunggal c. garis sempadan bangunan: 10 meter d. koefisien dasar bangunan: 40-70 % e. selubung bangunan: bentuk massa bangunan yang geometris, atap miring, atau perpaduan diantaranya. f. material, tekstur dan warna bangunan: material lokal, tekstur sederhana, warna alami. 2. skala ruang: mengutamakan skala manusia pada level lantai dasar 99

Perlu dilakukan pengaturan peruntukan atau fungsi bangunan sebagai berikut: 1. fungsi hunian: 40 % - 60 % dari fungsi bangunan pada cluster B secara keseluruhan 2. fungsi jasa : 40 % - 50 % dari fungsi bangunan pada cluster B secara keseluruhan 3. fungsi komersial : 20 % - 30 % dari fungsi bangunan pada cluster B secara keseluruhan 4. fungsi industri yang masih ada pada cluster B dialihfungsikan menjadi fungsi jasa. Pada cluster B ini bangunan bukan cagar budaya yang memerlukan perbaikan, penambahan atau pembangunan kembali dapat mengikuti ciri-ciri bangunan cagar budaya tersebut di atas dengan menjaga kontinuitas pada ketinggian, proporsi dari fasad, skala bangunan, GSB dan KDB nya. Langgam, jumlah dan bentuk massa, material, tekstur dan warna bangunan dapat dilakukan perbedaan yang memberikan kesempatan bagi penyesuaian dengan budaya setempat. Cluster A Cluster B sebagai peralihan Cluster C Gambar 5.15 Ilustrasi kontinuitas dan peralihan ketinggian massa bangunan Cluster B merupakan bagian kawasan yang berperan sebagai peralihan dari cluster A yang massa bangunannya relatif rendah ke cluster C yang massa bangunannya lebih tinggi (podium pada level dasar, bangunan tinggi pada level berikutnya) 3. Untuk cluster C melalui pendekatan perancangan Optional/pilihan, yaitu pilihan yang relatif bebas. Rancangan bangunan baru dapat dibuat kontras tapi 100

masih kontekstual dengan bangunan Cagar Budaya. Harus diberi ruang antara bangunan yang baru dengan bangunan Cagar Budaya, sehingga bangunan Cagar Budaya terlihat menonjol pada bagian kawasan yang baru. Gambar 5.16 Cluster C Pada cluster C terdapat bangunan cagar budaya yaitu rumah potong hewan yang dialihfungsikan menjadi fungsi komersial berupa country club atau galeri yang menjadi fungsi pelengkap bagi fungsi hunian sewa dan perdagangan di sekitarnya. Karakter visual pada cluster A harus mengikuti kriteria sebagai berikut, yaitu: 1. Ekspresi bangunan mempunyai ciri-ciri: a ketinggian bangunan: 8 15 lantai dengan podium setinggi 2-3 lantai b jumlah massa bangunan: majemuk, beberapa massa yang saling berhubungan pada level podium. c garis sempadan bangunan: 10 meter d koefisien dasar bangunan: 60 % - 80 % e selubung bangunan: bentuk massa bangunan yang geometris 101

f material, tekstur dan warna bangunan: material dan tekstur bebas, disarankan memakai bahan yang dapat merefleksikan bangunan cagar budaya. Warna bangunan bebas tetapi masih memberikan keselarasan dengan warna bangunan cagar budaya. 2. skala ruang: mengutamakan skala manusia pada level lantai dasar / podium Perlu dilakukan pengaturan peruntukan atau fungsi bangunan sebagai berikut: 1. fungsi hunian: 40 % - 60 % dari fungsi bangunan pada cluster C secara keseluruhan 2. fungsi komersial : 40 % - 60 % dari fungsi bangunan pada cluster C secara keseluruhan Perbaikan bangunan cagar budaya harus mempertahankan ciri-ciri tersebut di atas, dan bangunan ini dijadikan sebagai landmark pada cluster C. Sedangkan bagian lain dari cluster ini didesain ulang, penambahan bangunan harus membuat jarak dengan bangunan cagar budaya agar terdapat ruang antara bangunan lama dan bangunan baru (lihat Gambar 5.18). Bangunan baru tidak perlu mengikuti ciri-ciri bangunan cagar budaya tersebut di atas tetapi lebih ditekankan kepada sesuatu yang kontras tetapi masih terdapat konteks integritas yang harmonis. Ketinggian bangunan baru dapat melebihi bangunan lama tetapi disesuaikan dengan besaran ruang yang terbentuk di antaranya, dengan massa bangunan yang ukurannya relatif besar akan dipakai sistem podium dan tower di beberapa tempat yaitu pada lokasi di seberang jalan dari bangunan Rumah Potong Hewan (RPH). Hunian Privat Public Supporting Service Komersial & Jasa Publik Gambar 5.17 Ilustrasi fungsi pada cluster C secara vertikal Sumber: Hasil Analisis, 2007 102

Bangunan Baru sumbu Bangunan RPH Gambar 5.18 Bangunan baru diberi set back dengan bangunan RPH. Sumber: Hasil Analisis, 2007 Bangunan Baru Gambar 5.19 Transfer of Development Right pada cluster C Pada cluster C dapat dilakukan Transfer of Development Right dengan pengelolaan bagian kawasan oleh pihak yang sama. Yaitu pengalihan hak membangun lantai dasar (KDB) atau lantai bangunan pada semua level (KLB) pada bagian persil yang terdapat bangunan Cagar Budaya kepada bagian persil lain dalam pengelolaan pihak yang sama. 5.4 Skenario Pengembangan Perencanaan dan perancangan pada Penataan Kawasan Arjuna Bandung dilakukan dengan skenario pengembangan sebagai berikut: 1. Pemerintah Daerah mengembangkan kawasan dengan alih fungsi industri dan pergudangan menjadi fungsi komersial dan jasa dengan tetap mempertahankan konteks kawasan cagar budaya. Pemerintah Daerah menyediakan lahan untuk dikembangkan oleh pihak swasta. 103

2. Penerapan kerjasama pemerintah-swasta (Public Private Partnership) melalui mekanisme BOT (Built, Operate and Transfer) yaitu bentuk kerjasama antara pihak pemerintah selaku pemilik lahan pengembangan dan pihak swasta yang menangani mulai dari pengembangan, pembangunan, pengelolaan dan pemeliharaan (maintenance) dengan penyediaan dana investasi. Peran masingmasing selama proses pembangunan adalah sebagai berikut: a. Tahap pembangunan: pihak swasta / investor membangun instalasi baru dan fasilitas baru b. Tahap operasi: pihak swasta mengoperasikan/mengelola instalasi dan fasilitas tersebut dalam jangka waktu tertentu c. Pasca operasi: pihak swasta menyerahkan fasilitas tersebut kepada pihak pemerintah setelah masa pengoperasian selesai. 3. Masyarakat penghuni liar pemukiman kumuh pada daerah aliran sungai Citepus bersedia direlokasi ke rumah susun pada kawasan Arjuna. 4. Fungsi Rumah Potong Hewan pada kawasan direlokasi oleh Pemerintah Kota ke pengembangan wilayah Timur Kota Bandung yaitu di wilayah Gedebage Bandung. Relokasi dilakukan pada tahapan persiapan pengembangan kawasan sehingga pada saat pembangunan dimulai langsung melakukan alih fungsi bangunan cagar budaya tersebut. 5. Semua produk atau bangunan yang dapat dikaitkan dengan citra historis harus dilestarikan oleh semua pihak. Untuk pemilik perorangan mendapatkan kompensasi yang layak dari Pemerintah Kota berkaitan dengan keterbatasan pengembangan pembangunan pada persil dan bangunan miliknya. Pada pengembangan Kawasan Arjuna, skenario pengembangan yang digunakan dipengaruhi oleh aktor yang terlibat. Untuk pengembangan lahan milik Pemerintah Kota Bandung skenario pengembangan yang digunakan adalah BOT(Built, Operate and Transfer). Dimana pihak investor dapat menggunakan lahan tersebut untuk dibangun fasilitas baru dan dikelola untuk mendapatkan keuntungan. Kemudian fasilitas tersebut akan diserahkan kepada pihak pemerintah dalam jangka waktu tertentu. Keuntungan yang diperoleh pihak pemerintah adalah mendapatkan aset berupa fasilitas baru dan penataan kawasan. 104

Pengembangan infrastruktur pada kawasan berupa pelebaran jalan, pengadaan pedestrian, saluran drainase dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung. Pihak swasta yang diizinkan berpartisipasi dalam pengembangan kawasan adalah: 1. Pihak swasta / investor yang berminat dalam pengembangan Kawasan Arjuna harus mengikuti kriteria perancangan yang disusun pada studi ini, dan mempunyai atensi dan apresiasi terhadap pelestarian kawasan dan bangunan cagar budaya yang sekaligus menyadari bahwa keberadaan cagar budaya tersebut dapat menjadi daya tarik investasi. 2. Pemilik swasta/perorangan bangunan cagar budaya mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap pelestarian bangunan miliknya sehingga mereka dapat menerima upaya penanganan pelestarian dari Pemerintah Kota melalui pendekatan Contextual Harmony. Alternatif lainnya adalah menjual kepemilikan bangunan cagar budaya tersebut kepada Pemerintah Kota agar dapat dilestarikan secara optimal. Pentahapan penanganan kawasan dapat dilakukan dengan beberapa skenario, yaitu: 1. Peningkatan dan revitalisasi infrastruktur kota dilakukan terlebih dahulu oleh Pemerintah Kota. 2. Penanganan penataan dan pelestarian kawasan dapat dilakukan pada masing-masing cluster secara paralel maupun bertahap. 3. Untuk cluster A (Contextual Uniformity) penanganannya dilakukan oleh masyarakat penghuni dengan melakukan pemeliharaan dan pembangunan sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk cluster tersebut. 4. Cluster B dan C dapat dilakukan oleh satu investor dengan prioritas pembangunan fungsi komersial (mixed use dengan fungsi jasa) sebagai daya tarik utama dalam investasi dan fungsi hunian vertikal sederhana (Rumah Susun) sebagai tempat relokasi hunian kumuh sehingga kemudian 105

dapat dilakukan penataan sepanjang bantaran sungai, lalu diikuti oleh pembangunan fungsi hunian mewah (Apartemen dan Kondominium) yang merupakan properti yang sedang diminati di kota Bandung. 5. Cluster B dan C dapat dilakukan pengembangannya oleh investor yang berbeda, dengan memprioritaskan penanganan pelestarian bangunan cagar budaya yang terdapat pada masing-masing cluster. b a Gambar 5.20 Alternatif pengelolaan cluster C oleh investor/ developer. Strategi pengembangan: a Persil cagar budaya dan persil mixed use hunian komersial dapat dikembangkan oleh satu investor/developer b Persil mixed use jasa komersial dapat dikembangkan oleh investor/developer yang berbeda 5.5 Strategi Partisipasi Pengembangan Kawasan Arjuna ini akan berhasil dengan baik apabila semua stakeholder turut berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi harus dilakukan secara terkoordinasi dan dalam kerjasama para stakeholder ini dapat dilihat kedudukan atau peran masing-masing sebagai berikut: 1. Pemerintah Kota sebagai fasilitator dan mediator antara para stakeholder, memberi kemudahan kepada investor serta mengatur sistem sirkulasi dan penempatan sementara para pedagang selama pelaksanaan pengembangan. Pemkot dapat membentuk suatu lembaga atau tim penataan terpadu kawasan Arjuna untuk fungsi tersebut di atas yang terdiri dari perwakilan para pihak yang terlibat langsung pada pengembangan kawasan maupun pihak lain sebagai pemerhati masalah pelestarian kawasan cagar budaya ataupun para profesional dan akademisi, yang mempunyai satu kepentingan yaitu kelancaran dan keberhasilan penataan kawasan. 106

2. Pihak swasta / investor sebagai pelaku usaha yang menanamkan investasinya pada pengembangan kawasan. 3. Masyarakat, mendapatkan keuntungan langsung maupun tidak langsung melalui kegiatan yang muncul berupa lapangan kerja dan usaha baru, selain itu menjadi pihak yang ikut serta secara langsung dalam penataan kawasan baik dalam pengawasan, pelestarian bangunan cagar budaya fungsi hunian, maupun pemeliharaan fasilitas umum pada kawasan. 5.6 Simulasi Visual Desain Kawasan ( pada halaman berikutnya) 107