BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

yang bervariasi. Dengan demikian penduduk cenderung menggunakan transportasi publik dibandingkan kendaraan pribadi. 2. Pemerintah selayaknya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONSEP COMPACT CITY SEBAGAI SALAH SATU KONSEP INOVATIF PERENCANAAN TATA RUANG DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KOTA DI SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. cukup tinggi mengakibatkan peningkatan jumlah kendaraan yang beroperasi di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 LATAR BELAKANG dan PERUMUSAN PERMASALAHAN

RINGKASAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI SKPD TAHUN ANGGARAN 2013

BAB I PENDAHULUAN. mengalami pertumbuhan pesat. Yogyakarta sebagai Ibukota Provinsi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Gerakan kampug hijau yang semakin berkembang di Indonesia tidak lepas

HUBUNGAN URBAN COMPACTNESS DENGAN POLA PERGERAKAN PENDUDUK KAWASAN KOTA SURAKARTA

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR

KESEHATAN DINAS KESEHATAN Halaman 7

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III TINJAUAN KOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEMARANG. Ngaliyan) Oleh : L2D FAKULTAS

sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan, serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Tak banyak orang yang menyadari

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

REDESAIN TERMINAL TERPADU KOTA DEPOK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENENTUAN INFRASTRUKTUR PRIORITAS DI WILAYAH PINGGIRAN KOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar belakang

BAB 9 SIMPULAN Simpulan Penelitian

BAB III TINJAUAN LOKASI

EVALUASI SISTEM TRANSPORTASI MENUJU KOTA TOMOHON SEBAGAI COMPACT CITY ABSTRAK

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

BAB III TINJAUAN LOKASI Studio Foto Sewa di Kota Yogyakarta

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

PEMILIHAN MODA ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) UNTUK KAWASAN URBAN SPRAWL KOTA SEMARANG (Studi Kasus : Koridor Setiabudi dan Majapahit) TUGAS AKHIR

MODEL RUTE ANGKUTAN UMUM PENUMPANG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan Perumahan bagi Penduduk Jakarta

Bab I PENDAHULUAN. sarana dan prasarana mencakup pada sarana transportasi. Transportasi merupakan

Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek (Tahap II) Laporan Akhir: Ringkasan Laporan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Seiring dengan perkembangan waktu selalu disertai dengan peningkatan

Cadangan Airtanah Berdasarkan Geometri dan Konfigurasi Sistem Akuifer Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan. Hal ini karena beberapa jenis sampah memiliki kandungan material

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya.

BAB I PENDAHULUAN. Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) yang semakin berkembang.

STUDI KINERJA PELAYANAN SISTEM ANGKUTAN KERETA REL LISTRIK JABODETABEK TUGAS AKHIR


BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 74 TAHUN 2008 TENTANG

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia sebagai negara berkembang saat ini sedang giat melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat, di samping berbagai indikator sosial ekonomi lainnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode dasar deskriftif. Metode deskriftif artinya

BAB III TINJAUAN KAWASAN KOTA YOGYAKARTA

Faktor-Faktor Pengaruh Ukuran Urban Compactness di Kota Denpasar, Bali

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengurangan tingkat..., Arini Yunita, FE UI, Universitas Indonesia

ANALISIS BIAYA-MANFAAT SOSIAL PERLINTASAN KERETA API TIDAK SEBIDANG DI JALAN KALIGAWE, SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB III METODE PENELITIAN

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

Kebijakan Perencanaan Tata Ruang dan Transportasi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi masyarakat membentuk sebuah pusat salah satunya yaitu pasar.

BAB III TINJAUAN LOKASI BANGUNAN REHABILITASI ALZHEIMER DI YOGYAKARTA

PENELITIAN MODEL ANGKUTAN MASSAL YANG COCOK DI DAERAH PERKOTAAN. Balitbang bekerjasama dengan PT Karsa Haryamulya Jl.Imam Bonjol 190 Semarang

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

REKAPITULASI USULAN PROGRAM/KEGIATAN TAHUN Fungsi, Urusan, Program dan Kegiatan Indikatif. Pagu Indikatif (Rp) 01 FUNGSI : PELAYANAN UMUM

PENGARUH KEBERADAAN PARKIR DAN PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP BIAYA KEMACETAN DAN POLUSI UDARA DI JALAN KOLONEL SUGIONO MALANG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS POLA MORFOLOGI DAN INTERAKSI SPASIAL PERKOTAAN DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN WAHANA CITRA LANDSAT. NASKAH PUBLIKASI ILMIAH Program Studi Geografi

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan perkotaan saat ini telah menjadi kawasan sangat luas dengan

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi BAB VIII PENUTUP

BAB III DESKRIPSI PROYEK

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Pendapatan yang rendah, terbatasnya sumber daya, khususnya dana, kualitas dan

BAB I PENDAHULUAN. heterogen dan materialistis di bandingkan dengan daerah belakangnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kian meningkat dalam aktivitas sehari-harinya. Pertumbuhan sektor politik,

BAB II GAMBARAN OBYEK PENELITIAN. wilayah kecamatan dan 45 wilayah kelurahan yang sebagian besar tanahnya. formasi geologi batuan sedimen old andesit.

BAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang yang merupakan Ibukota Jawa Tengah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN. Kebijakan Jampersal di Kota Yogyakarta? b. Bagaimana pelaksanaan Jampersal di Kota Yogyakarta tahun 2013?

BAB III METODE PENELITIAN. Mulai. Identifikasi masalah Adanya pencemaran airtanah karena kebocoran tangki timbun di SPBU. Survey Pendahuluan

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH RUMAH SINGGAH PENDERITA KANKER LEUKEMIA DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, umumnya seragam, yaitu kota-kota mengalami tahap pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks dibanding daerah sekitarnya (Bintarto, 1977). perekonomian, atau sebagai pusat pemerintahan (Darmendra, 2011).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertahanan keamanan. Pertumbuhan sektor ini akan mencerminkan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kota tersibuk yang ada di Indonesia adalah Jakarta (Toppa, 2015), ibu

BAB I PENDAHULUAN Bab I. Pendahuluan Hal. 1. Tabel 1.1 Tabel Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk Yogyakarta

KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 363 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota Semarang merupakan ibu kota propinsi Jawa Tengah. Kota

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini pusat kota masih menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi penduduk dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Pusat kota menjadi pusat aktivitas penduduk di daerah hinterland maupun penduduk di pusat kota itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena pusat kota memiliki fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan kawasan lain. Pusat kota diorientasikan sebagai kawasan pusat pelayanan masyarakat dengan berbagai fasilitas pelayanan yang sangat lengkap, sementara kawasan lain yang bukan kawasan pusat pelayanan mengembangkan kawasannya dengan menyediakan berbagai fasilitas yang dapat mendukung perkembangan fungsi kawasannya (Pramudianto dalam Febriyanti, 2006). Arianto (2003) menemukan terkonsentrasinya fungsi-fungsi perdagangan dan pelayanan jasa di kawasan pusat Kota Sukabumi berakibat pada munculnya indikasi ketergantungan penduduk/masyarakat yang cukup tinggi terhadap kawasan pusat kota Sukabumi. Pemusatan kegiatan dan fasilitas di pusat kota berdampak pada peningkatan pergerakan penduduk menuju pusat kota. Sebanyak 87,70% penduduk kota Depok melakukan pergerakan ke pusat kota (DKI Jakarta) untuk bekerja (Sitanala, 2005). Kota Jakarta menampung 62,5% komuter dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi untuk tujuan bekerja setiap harinya (Dinas Penataan Ruang Jakarta, 1999). Hal tersebut juga ditemukan di Kota Surabaya, jumlah pergerakan dari daerah pinggiran yang masuk ke kota Surabaya melalui koridor Jalan Ahmad Yani mencapai 1.481.344 satuan mobil penumpang (SMP). Pergerakan ini jauh lebih banyak jika dibandingkan koridor Jalan Pemuda yang hanya dilalui 79.936 SMP (Mahriyar, 2010). Hal serupa juga ditemukan di Kota Yogyakarta, sebanyak 11,5% penduduk pra-sejahtera di kecamatan Mlati dan Ngaglik melakukan pergerakan tujuan bekerja ke Kota Yogyakarta setiap harinya (Nugrahendika dan Suminar, 2013). 1

Pergerakan penduduk ke pusat kota dinilai sebagai bentuk pergerakan yang kurang efisien dan seringkali menimbulkan kemacetan. Penduduk yang melakukan pergerakan dengan jarak tempuh yang jauh cenderung menggunakan kendaraan pribadi dalam perjalanannya. Sebanyak 51% komuter di Depok melakukan pergerakan ke Jakarta menggunakan kendaraan pribadi (Sitanala, 2005). Kota Jakarta menampung 19,2 juta perjalanan komuter dengan menggunakan kendaraan pribadi setiap harinya (republika.co.id, 14 desember 2012). Hal ini juga terjadi di Kota Yogyakarta, tingginya angka komuter menyebabkan sering terjadinya kemacetan pada pagi hari (07.00-08.00 WIB) dan sore hari (16.00-17.00 WIB) (Irawan, 2013). Konsep compact city hadir untuk mereduksi permasalahan ketidak efisienan pergerakan penduduk perkotaan. Compact city merupakan konsep pengembangan wilayah dengan memberikan fasilitas yang lengkap dan mudah untuk diakses oleh penduduk. Compact city mampu mengurangi kecenderungan penduduk terhadap penggunaan kendaraan pribadi dan pada akhirnya tercapainya kondisi lingkungan yang berkelanjutan (Roo,2003). Curtis dan Perkins (2006) menambahkan kawasan kompak dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan penggunaan lahan yang beragam memiliki pergerakan penduduk yang lebih efisien dan penggunaan moda transportasi yang berkelanjutan. Sistem transportasi umum merupakan kunci utama untuk menekan angka penggunaan kendaraan bermotor serta membatasi jumlah perjalanan komuter (Marcotullio, 2001). Kawasan-kawasan yang paling padat memiliki jumlah pergerakan yang mencapai 37,37% lebih sedikit dari jumlah pergerakan penduduk di Inggris (Barret dalam Jenks, 2000). Hal serupa juga ditemukan di Surabaya, kawasan dengan pola yang compact telah menunjukan kondisi pola pergerakan yang lebih baik dibandingkan kawasan sprawl. Rata-rata jarak perjalanan yang relatif lebih pendek dan penggunaan moda transportasi umum lebih banyak ditemukan pada kawasan dengan pola kompak (Mahriyar,2010). Dengan adanya penerapan kebijakan peningkatan sebaran fasilitas dan kualitas transportasi umum di Kota Melbourne mampu mereduksi 43% perjalanan individu (Kulash dkk, 1990) dan 2

berdampak pada penurunan produksi gas CO 2 sebanyak 57% (Victoria Department of Planning and Development, 1993). Sebaliknya Kustiwan (2006) menuliskan bahwa konsep compact city tidak selamanya dapat menyelesaikan permasalahan ketidakefisienan ruang kawasan perkotaan, khususnya di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan kawasan perkotaan di Indonesia cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala sprawl. Urban sprawl terjadi karena adanya pencampuran kegiatan ruang perkotaan yang tidak terkontrol dan interaksi yang semakin kuat antara kota dan desa yang mengakibatkan batas antara kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi tidak jelas lagi (Kurniadi, 2007). Fenomena ini mengakibatkan berbagai dampak negatif, salah satunya adalah meningkatnya mobilitas penduduk, terutama pekerja ulangalik (Rachmadita, 2009). Kondisi inilah yang memicu keadaan perkotaan yang tidak terkendali dan meningkatkan kebergantungan pada kendaraan bermotor. Kota Semarang merupakan kawasan perkotaan yang memiliki tingkat kekompakan ruang yang paling tinggi bila dibandingkan beberapa kawasan lainnya yang ada di Metropolitan Semarang, namun sayangnya kekompakan ruang tersebut tidak mampu menekan tingginya angka pergerakan penduduk dan penggunaan kendaraan bermotor di Kota Semarang (Nuryanto, 2008). Salah satu kunci utama penerapan konsep kota kompak adalah urban compactness yang harus didukung dengan penyebaran fasilitas umum dan permukiman yang merata. Urban compactness harus didukung dengan penyebaran fasilitas umum dan permukiman yang merata sehingga bisa mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan pribadi dan mengurangi potensi kemacetan karena volume lalu lintas berkurang (Nuryanto, 2008). Penerapan urban compactness akan memberikan pengaruh terhadap pergerakan penduduk yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenkan: (1) karakteristik fisik dan demografis yang berbeda, (2) keragaman penggunaan lahan dan distribusi spasialnya yang berbeda; dan (3) isu bahwa pembangunan dapat dikendalikan dalam rangka mendukung sasaran keberlanjutan (Kustiawan, 2010). Beberapa penelitian terkait konsep urban compactness telah dilakukan di di wilayah Metropolitan Bandung, Semarang, dan Kota Surabaya. Berdasarkan 3

hasil analisis indeks urban compactness Kota Yogyakarta diketahui bahwa kecamatan Danurejan memiliki indeks urban compactness paling tinggi dan kecamatan Umbulharjo paling rendah (Roychansyah, 2013). Sayangnya penelitian tersebut hanya sampai penentuan tingkat kekompakan ruang, belum ada analisis yang secara mendalam terkait pola pergerakan penduduk didalamnya. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah urban compactness berpengaruh terhadap pola pergerakan penduduk di Kota Yogyakarta. Dengan demikian permasalahan ketidakefisienan pergerakan penduduk Kota Yogyakarta dapat diatasi dengan penerapan konsep compactness. Dengan demikian konsep kota kompak dapat dijadikan salah satu alternatif pengembangan wilayah kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah dan Hipotesis Penelitian 1.2.1 Pertanyaan Penelitian a. Apakah urban compactness berpengaruh terhadap pola pergerakan penduduk di Kota Yogyakarta? b. Faktor apa yang paling berpengaruh dalam mereduksi pergerakan penduduk di Kota Yogyakarta? 1.2.2 Hipotesis penelitian a. Rata-rata jarak tempuh pergerakan penduduk kecamatan dengan urban compactness tinggi berbeda dengan rata-rata jarak tempuh pergerakan penduduk kecamatan dengan urban compactness yang rendah b. Urban compactness berpengaruh terhadap jarak tempuh pergerakan penduduk Kota Yogyakarta c. Urban compactness berpengaruh terhadap kencenderungan penduduk dalam menggunakan kendaraan tidak ramah lingkungan d. Urban compactness berpengaruh terhadap kecenderungan penduduk untuk melakukan pergerakan keluar kawasan 4

1.3 Tujuan Penelitian a. Menemukan keterkaitan antara urban compactness dan pola pergerakan penduduk di kota Yogyakarta b. Menghitung prosentase pergerakan yang dapat direduksi oleh urban compactness di Kota Yogykarta c. Mengidentifikasi faktor yang paling berpengaruh dalam mereduksi pergerakan penduduk Kota Yogyakarta 1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritik yaitu berkontribusi terhadap pengembangan bidang ilmu Perencanaan Kota dan Perencanaan Transportasi. Penelitian ini dapat dijadikan referensi dan wacana bagi peneliti lain yang tertarik dalam melakukan analisis urban compactness dan pengaruhnya terhadap jarak tempuh maupun aspek lainnya yang berkaitan di beberapa kota besar di Indonesia. b. Manfaat bagi pemerintah Kota Yogyakarta yaitu Penelitian ini dapat dijadikan pengembangan kebijakan terkait rekayasa pengembangan wilayah yang bersinergi dengan sistem transportasi perkotaan, sehingga nantinya pemerintah mampu mewujudkan sistem transportasi dan penyediaan fasilitas wilayah yang efisien dan berkelanjutan. c. Manfaat bagi masyarakat memperkaya pengetahuan umum masyarakat terkait pengaruh perkembangan kota kompak terhadap sistem transportasi. Penerapan kota kompak yang tepat akan memberikan kemudahan akses fasilitas bagi masyarakat sehingga dapat mengurangi tingkat penggunaan kendaraan bermotor dan berdampak pada peningkatan kualitas lingkungan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Kota Yogyakarta. 1.5 Batasan Penelitian 1.5.1 Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah analisis pengaruh urban compactness terhadap karakteristik pergerakan penduduk. Karakteristik pergerakan yang diamati yaitu lokasi fasilitas, jarak tempuh pergerakan, moda transportasi yang digunakan dan 5

faktor pendorong pergerakan. Pergerakan penduduk yang diamati hanya terbatas pada tujuan bekerja, sosial, sekolah dan belanja. a. Pergerakan tujuan bekerja yaitu pergerakan yang dilakukan oleh penduduk kecamatan Danurejan dan Umbulharjo menuju tempat kerja (kantor, pabrik, gedung pemerintahan dan lain sebagainya) b. Pergerakan tujuan sekolah yaitu pergerakan yang dilakukan oleh penduduk menuju sekolah, universitas, atau lembaga belajar lainnya. Dalam penelitian ini tujuan pergerakan sekolah hanya terbatas pada pergerakan penduduk pada tingkat sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas/kejuruan (SMA/K). c. Pergerakan tujuan sosial yaitu pergerakan yang dilakukan oleh penduduk untuk mengakses fasilitas kesehatan yang ada disetiap kecamatan. Fasilitas kesehatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain apotek, puskesmas, dokter praktek, bidan, rumah sakit. d. Pergerakan tujuan belanja yaitu pergerakan yang dilakukan oleh penduduk menuju fasilitas perbelanjaan yang ada di setiap kecamatan. Fasilitas belanja yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pasar, warung kelontong, supermarket, dan tukang sayur keliling. 1.5.2 Lokus Penelitian Tabel 1.1 Indeks Urban Compactness Kota Yogyakarta Tahun 2013 Kecamatan Popdens Actcons Soswel Tingkat Kekompakan Umbulharjo 61.17 27.24 68.78 52.39 Kotagede 59.74 27.90 71.75 53.13 Tegalrejo 61.79 34.55 69.54 55.29 Gondokusuman 61.08 38.08 70.87 56.68 Ngampilan 71.25 28.89 71.84 57.33 Mergangsan 60.53 43.33 69.00 57.62 Pakualaman 67.14 38.75 69.06 58.31 Gondomanan 63.61 40.75 71.56 58.64 Mantrijeron 63.16 41.80 72.24 59.07 Wirobrajan 64.85 41.86 72.06 59.59 Jetis 66.32 50.65 71.81 62.93 Gedongtengen 72.58 50.42 70.08 64.36 Danurejan 78.81 44.11 71.54 64.82 sumber: Roychansyah, 2013 (tidak dipublikasikan) 6

Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan indeks urban compactness Kota Yogyakarta tahun 2013. Penentuan tingkat urban compactness berdasarkan indikator-indikator kota kompak yang didapatkan dari studi literatur dan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Indikator tersebut antara lain kepadatan, kesejahteraan penduduk dan konsentrasi aktivitas. Berdasarkan hasil penelitian Roychansyah (2013) didapatkan bahwa kecamatan Danurejan memiliki indeks urban compactness yang paling tinggi (64,82) dan kecamatan Umbulharjo memiliki indeks urban compactness yang paling rendah (52,39). Dengan demikian kecamatan Danurejan dan kecamatan Umbulharjo menjadi lokus dari penelitian ini. 1.6 Keaslian Penelitian Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, terdapat beberapa penelitian terkait urban compactness dan pola pergerakan penduduk. Penelitian tersebut pernah dilakukan di kota Surabaya, Semarang dan Bandung. Fokus dan lokus penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Fokus penelitian ini adalah pengaruh urban compactness terhadap pola pergerakan penduduk yang ditinjau disetiap tujuan pergerakannya (tujuan sekolah, belanja, sosial dan bekerja). Lokus penelitian adalah kecamatan dengan tingkat kekompakan yang paling tinggi dan paling rendah yang ada di Kota Yogyakarta. Pemilihan lokasi atas dasar hasil analisis indeks urban compactness yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Analisis data dilakukan dengan cara membandingkan pola pergerakan penduduk di kawasan yang kompak dan kurang kompak di Kota Yogyakarta. Dengan demikian dapat diketauhi keterkaitan antara tingkat kekompakan kawasan dengan pola pergerakan penduduk di Kota Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait urban compactness: 1. Identifikasi Urban Compactness di Wilayah Metropolitan Semarang (Aristiyono Devri Nuryanto - Skripsi ITB Tahun 2008) Fokus penelitian ini adalah identifikasi urban compactness dan pengaruhnya terhadap transportasi di Wilayah Metropolitan Semarang. Indikator 7

compact city berdasarkan konsep dan prinsip keberlanjutan kota. Indikatorindikator urban compactness yang digunakan meliputi kepadatan penduduk, kepadatan terbangun, kepadatan sub-pusat, penyediaan fasilitas, perubahan guna lahan terbangun, pertumbuhan penduduk, dan perubahan kepadatan. Selanjutnya analisis keterkaitan urban compactness dengan transportasi di Wilayah Metropolitan Semarang. Untuk melihat keterkaitan urban compactness wilayah metropolitan Semarang dengan transportasi, menggunakan rasio kepemilikan kendaraan pribadi, tingkat VCR, dan LHR. 2. Perumusan Konsep Peningkatan Efektivitas Urban Compactness di Kota Surabaya (Muhd.Zia Mahriyar Skripsi ITS Tahun 2010) Fokus penelitian ini adalah identifikasi tingkat urban compactness pola ruang Kota Surabaya, kajian efektivitas tingkat urban compactness terhadap perilaku perjalanan masyarakat di Kota Surabaya dan perumusan konsep kebijakan pengembangan transportasi Kota Surabaya berdasarkan efektivitas urban compactness. Metode yang digunakan adalah metode deduktif kuantitatif. Analisis yang digunakan adalah statistik deskriptif. Analisisi urban compactness dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator compact city yang didapatkan melalui studi literature dan penelitian sebelumnya. Setelah mendapatkan indikator akan dilakukan analisis untuk menentukan indek urban compactness di kota Surabaya yang selanjutnya akan dituangkan dalam bentuk peta. Untuk mengetahui keterkaitan antara urban compactness dengan transportasi dilakukan overlay antara peta urban compactness dan VCR di kota Surabaya. 3. Pengaruh Urban Compaction Terhadap Pola Pergerakan Berkelanjutan Di Kota Surabaya (Dhea Permatasari, Agus Dwi Wicaksono, Fauzul Rizal Sutikno Jurnal Universitas Brawijaya 2012) Fokus penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat keberlanjutan struktur ruang kota berdasarkan konsep compact city serta pengaruhnya terhadap pola pergerakan berkelanjutan di Kota Surabaya. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif meliputi kuantifikasi kepadatan, keragaman fasilitas umum, tingkat penggunaan lahan campuran, koefisien gini, tetangga terdekat, kuantifikasi jaringan jalan, serta indeks mobilitas pergerakan. Hasil 8

penelitian yaitu perencanaan pola jaringan jalan yang tepat dengan memperbanyak simpul yang terhubung, maka akan meningkatkan pula mobilitas pergerakan serta dapat mempermudah akses dan pergerakan seseorang tersebut. 4. Bentuk dan Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan - Kajian Potensi Kompaksi di Kawasan Perkotaan Bandung (Iwan Kustiwan Disertasi UI Tahun 2006) Fokus penelitian adalah mengidentifikasi keterkaitan antara bentuk perkotaan dan keberlanjutan perkotaan yang dilihat dari aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Penelitian ini dilakukan sebagai landasan untuk menentukan arahan struktur dan pola ruang kawasan perkotaan dan pengembangan kawasan perkotaan untuk mewujudkan struktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang berkelanjutan dan sesuai dengan karakteristik kota di Kawasan Perkotaan Bandung. Data dan analisis data dengan pendekatan deduktif untuk menemukan hubungan dan pengujian teori. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan ditemukan adanya keterkaitan antara bentuk perkotaan dengan pola perilaku perjalanan penduduk pada skala kawasan perumahan (neighborhood). Unsur-unsur bentuk perkotaan mempunyai kaitan yang lebih besar daripada karakteristik sosialekonomi terhadap pola/perilaku perjalanan yang dilakukan oleh penduduk. Bentuk perkotaan yang dilihat melalui unsur-unsurnya (denstitas, diversitas penggunaan lahan, desain, dan aksesibilitas) dapat mempengaruhi pola/perilaku perjalanan, terutama panjang perjalanan dan konsekuensinya terhadap konsumsi energi, emisi yang dihasilkan dan kualitas udara perkotaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kompaksi perkotaan dapat menjadi strategi alternatif untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang lebih berkelanjutan. 9