Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem.

dokumen-dokumen yang mirip
ABSTRAK. Suryanto 1, Dodik Ridho Nurrochmat 2, Herry Priyono 3, Ayi Suyana 4 dan Ahmad Budiaman 5. Daftar Isi: -1- Abstrak 1.

PENYEMPURNAAN SISTEM SILVIKULTUR MENJADIKAN HUTAN LEBIH BAIK

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU

Ekonomi Kehutanan (ESL 325)

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN (KULIAH 1)

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)

SILABUS KRITERIA PENILAIAN U KE- YANG DIHARAPKAN. NILAI (%) Mampu menjelaskan jenis dan karakteristik hutan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

Oleh : SOENARNO (Ketua) SUKADARYATI (Wakil Ketua) Prof.Riset DULSALAM (Pembina) HOTEL PERMATA, BOGOR MEI 2015

Herman Alfius Manusawai G

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DANA REBOISASI (DR) SEBAGAI SUMBER DANA PEMBINAAN HUTAN DI AREAL KERJA IUPHHK (HPH) TIDAKKAH BOLEH?

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001)

PROGRAM SIMULASI PERENCANAAN USAHA PADA KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT

STUDI KELAYAKAN USAHA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR PT SUKA JAYA MAKMUR, KALIMANTAN BARAT MUHAMMAD FATHAN AKBAR

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

MK. Biometrika Hutan Hari, tanggal : 16 Desember 2013 Kelas : Kamis ( ) Kelompok : 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa

SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1. Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG

Presiden Republik Indonesia,

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan


MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI

KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS. Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

DAMPAK PENCABUTAN PSAK: AKUNTANSI KEHUTANAN PSAK 32

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.26/Menhut-II/2012

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. METODOLOGI PENELITIAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu jenis kayu keras tropis yang paling berharga di pasar

Menimbang : Mengingat :

KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI OLEH DIREKTUR JENDERAL BUK SEMINAR RESTORASI EKOSISTEM DIPTEROKARPA DL RANGKA PENINGKATAN PRODUKTIFITAS HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA BUDIDAYA IKAN BANDENG (Chanos-chanos) DI TAMBAK, KECAMATAN SEDATI, SIDOARJO, JATIM 1

METODOLOGI PENELITIAN

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MODEL PENDUGA KERUGIAN AKIBAT KECELAKAAN KERJA DALAM OPERASI PEMANENAN HASIL KAYU

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN LATAR BELAKANG. Defisit kemampuan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BOKS 2 PENELITIAN POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA MIKRO KECIL INDUSTRI KECIL BATU BATA DI SULAWESI TENGGARA

Transkripsi:

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Policy ISSN : 2085-787X Volume 4 No. 4 Tahun 2010 Daftar Isi Ringkasan 1 Latar Belakang 2 Tentang Model 2 Jenis Data Input 3 Contoh Penggunaan Model (Simulasi) 3 Pemanfaatan kawasan yang optimal 4 menekan perambahan dan pelepasan kawasan Produksi kayu yang bertambah 5 memecahkan masalah defisit kayu nasional Penyerapan tenaga kerja yang tinggi 6 membantu masalah ketenagakerjaan Keuntungan finansial yang tinggi 6 memacu usaha yang mapan Temuan Kunci 7 Rekomendasi Kebijakan 7 Multisistem Silvikultur Menjadikan Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi Menjadi Lebih Baik Suryanto 1, Dodik Ridho Nurrochmat 2, Herry Prijono 1, Ayi Suyana 1 dan Ahmad Budiaman 2 Ringkasan Hampir 100% IUPHHK memiliki kawasan yang terfragmentasi atau terbagi dalam beberapa bagian (kluster) kawasan dengan kondisi dan tipologi yang berbeda. Memanfaatkan kawasan yang terfragmentasi ini dengan sistem silvikultur yang seragam ternyata menghasilkan nilai manfaat yang rendah, baik dari aspek teknis, produksi, sosial dan ekonomi. Hasil penelitian pemodelan menunjukkan bahwa nilai manfaat dapat meningkat secara signifikan jika masing-masing IUPHHK diarahkan untuk menggunakan multisistem silvikultur dalam memanfaatkan kawasannya. Bukan suatu hal yang mustahil bahwa peningkatan manfaat dapat diperoleh berkali lipat, karena melalui multisistem silvikultur setiap kluster kawasan dalam ijin IUPHHK dimanfaatkan secara optimal dengan sistem silvikultur yang sesuai. Sebagai contoh, jika suatu IUPHHK dengan luas 200.000 ha terfragmentasi dalam lima kluster; yaitu kluster hutan primer dan hutan bekas tebangan (LOA) dengan kondisi baik seluas 75.000 ha, kluster LOA dengan kondisi sedang seluas 50.000 ha, kluster hutan rawang dan areal kosong seluas 25.000 ha serta kluster lindung seluas 50.000 ha, menggunakan tiga sistem silvikultur (TPTI, TPTII dan THPB) diprediksikan dapat diperoleh peningkatan produksi kayu hampir 10 kali lipat, penyerapan tenaga kerja sekitar lima kali lebih banyak dan NPV sekitar 20 kali lebih besar dibandingkan dengan menggunakan satu sistem silvikultur TPTI. Jika dibandingkan dengan penggunaan dua sistem silvikultur TPTI dan TPTII, melalui penggunaan tiga sistem silvikultur ini diprediksi akan meningkatkan produksi kayu dan penyerapan tenaga kerja sekitar dua kali lebih banyak dan NPV lebih dari tiga kali lebih besar. 1) Balai Besar Penelitian Dipterokarpa 2) Staf pengajar pada Fakultas Kehutanan, IPB

Latar Belakang Isu penting yang melatarbelakangi perlunya wacana multisistem silvikultur di terima sebagai kebijakan baru dalam pemanfaatan kawasan hutan produksi adalah : 1. Kawasan hutan produksi telah diusahakan sejak tahun 1970-an dalam kinerja baik, sedang dan buruk. Dengan kinerja ini serta adanya beberapa kejadian kebakaran, pencurian kayu dan perambahan hutan menghasilkan suatu kondisi kawasan yang terfragmentasi dalam beragam kondisi. Sehingga demikian, kawasan dalam satu IUPHHK sesungguhnya telah terfragmentasi dalam lima kluster kawasan dengan kondisi berbeda. Lima kluster kawasan tersebut meliputi : a) kluster hutan primer, b) kluster LoA dalam kondisi baik (LoA A), c) kluster LoA dalam kondisi sedang (LoA B), d) kluster LoA dalam kondisi buruk (LoA C) dan e) kluster kawasan yang rawang atau lahan kosong. 2. Terdapat dua mainstream sistem silvikultur, yaitu tebang pilih (TPTI dan TPTII/TPTJ) serta tebang habis (THPB dan THPA). THPB dalam hal ini lebih familiar dibanding THPA. Karena terminologi dan karakternya yang berbeda, masing-masing sistem ini sesungguhnya hanya dapat berfungsi secara optimal jika digunakan pada masing-masing kondisi kluster kawasan yang sesuai. Tebang pilih, sesuai dengan terminologi dan tahapan kerjanya, dapat berkerja secara optimal jika digunakan pada kluster kawasan yang berhutan, sementara tebang habis pada kluster kawasan yang tidak berhutan atau dalam kondisi yang rawang. 3. Menganut teori kesesuaian dan terminologi dari masing-masing sistem silvikultur ini, maka asumsi paling rasional untuk menerangkan kesesuaian antara sistem silvikultur dan kondisi bagian hutan adalah a) TPTI pada hutan primer dan LoA A, b) TPTII pada LoA B dan c) THPB pada LoA C dan areal kosong. 4. Dengan demikian, menggunakan sistem silvikultur tebang pilih dan tebang habis secara bersamaan dalam satu ijin IUPHHK atau dikenal dengan multisistem silvikultur adalah pilihan yang sangat logis dapat meningkatkan nilai manfaat dalam pengusahaan kawasan hutan produksi. Dengan multisistem silvikultur, semua bagian hutan dapat diusahakan secara optimal dengan sistem silvikultur yang sesuai, sehingga dapat menstimulasi peningkatan nilai manfaat, baik dari aspek teknis, produksi, sosial maupun ekonomi. 5. Beberapa aturan perundangan, diantaranya PP No 6 tahun 2007 jo PP No 3 tahun 2008 telah membuka ruang wacana penerapan multisistem silvikultur, walaupun terkesan ambivalen. Disamping itu, beberapa kajian ilmiah yang tersedia dalam pembuktian efektifitas multisistem silvikultur masih bersifat parsial. Dua kondisi ini menyebabkan wacana multisistem silvikultur masih dalam posisi mengambang. 6. Penelitian yang komprehensif untuk pembuktian efektifitas multisistem silvikultur secara komprehensif perlu disediakan. Penelitian yang berbasis pemodelan ini berhasil menyediakan keperluan tersebut dengan luaran satu model yang aplikatif, mudah digunakan dan memberikan hasil perhitungan kuantitatif yang memadai. Tentang Model Model dinamakan dengan SuperSilvik (Suryanto Permodelan Silvikultur). Model mengolah informasi-informasi detail berkenaan dengan pemanfaatan kawasan melalui tiga jenis sistem/ teknik silvikultur, yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ/ TPTII) dan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Dalam THPB digunakan dua varian, yaitu THPB Kayu Pulp dan THPB Kayu Petukangan. Model dibangun agar secara mudah dapat dioperasikan oleh para pengguna dan menghasilkan output informasi yang matang dan komprehensif, diantaranya tentang optimasi pemanfaatan kawasan, produksi kayu per kelompok jenis, jumlah tenaga kerja per kelompok pekerjaan, jumlah peralatan dan prasarana serta indikator-indikator finansial (BCR, IRR dan NPV). Untuk menggunakan model ini, diperlukan beberapa data input berkenaan dengan kawasan, keputusan pemanfaatan, tegakan, sosial dan pembiayaan-pembiayaan serta harga. 2

Jenis Data Input 1. Kawasan Jenis data input yang diperlukan berkenaan dengan kawasan adalah jumlah luas masingmasing kluster kawasan (Hutan Primer, LoA A, LoA B, LoA C dan Lahan Kosong serta kawasan lindung). 2. Keputusan Pengelolaan Beberapa jenis data input yang diperlukan antara lain daur yang digunakan pada masing-masing sistem silvikultur, limit tebangan digunakan pada TPTI, jenis tanaman yang digunakan pada tanaman TPTJ/TPTII, pulp dan pertukangan, luas dan persentase pembangunan hutan tanaman pulp dan petukangan, umur dan persentase pejarangan dan lain-lain 3. Tegakan Beberapa jenis data input yang diperlukan antara lain struktur dan komposisi tegakan pada awal pemanfaatan pada masing-masing kluster kawasan, jarak tanam dan riap tanaman pada TPTJ/TPTII, pulp dan petukangan dan lainnya 4. Sosial Beberapa jenis data input yang diperlukan antara lain prestasi kerja pada masing-masing kelompok pekerjaan dan fraksi pelibatan masyarakat lokal dalam pemanfaatan, prestasi kerja alat dan lain-lainnya. 5. Ekonomi/Finansial Beberapa jenis data input yang diperlukan antara lain satuan gaji dan upah per kelompok pekerjaan; satuan-satuan pembiayaan per kelompok pekerjaan (perencanaan, bina hutan, pemanenan, pengangkutan dan pemasaran); satuan-satuan pembiayaan sarana dan prasarana serta non produksi (misalnya pengamanan, AMDAL dan lain-lain) serta satuan-satuan harga produk per jenis produk (log meranti, rimba campuran, kayu indah, pulp dan petukangan). 6. Data lainnya Beberapa jenis data input lainnya yang diperlukan antara lain faktor eksploitasi dan pengaman, model pendugaan volume pohon, fraksi gangguan hutan dan lain-lain. Contoh Penggunaan Model (Simulasi) Berikut disajikan contoh penggunaan model atau dikenal dengan istilah simulasi. Kondisi fragmentasi dan penggunaan sistem/teknik silvikultur serta daur disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi fragmentasi dan penggunaan sistem/teknik silvikultur serta daur yang digunakan Bagian Hutan Luas (Ha) Sistem/Teknik Silvikultur Daur (Tahun) JT HP 25.000 TPTI 35 LOA A 50.000 TPTI 35 LOA B 50.000 TPTJ/TPTII 25 200 LOA C / LK 10.000 THPB Ptukangan 15 400 KNP 40.000 - TOTAL 200.000 15.000 THPB Pulp 6 1.200 Keterangan: KNP = Kawasan non produksi meliputi kawasan lindung, jalan dan prasarana lainnya JT = Jumlah tanaman yang diitanam per ha 3

Berdasarkan input-input data variabel lainnya (tegakan, sosial, ekonomi), berikut ditampilkan sembilan indikator pengusahaan kawasan untuk membandingkan tiga alternatif pola penggunaan sistem silvikultur, sebagai berikut. Tabel 2. Sembilan indikator pengusahaan INDIKATOR SATUAN ALTERN1 ALTERN 2 ALTERN 3 Rerata pemanfaatan kawasan ha/tahun 2.796 4.142 7.422 Total produksi kayu m 3 /du 11,37 juta 48,56 juta 112,27 juta Produktifitas IUPHHK m 3 /ha/thn 58 167 216 Penyerapan Tenaga Keraja org 367 876 1.801 Daya serap tenaga kerja org/ha 0,13 0,21 0,24 Pelibatan masyarakat lokal org/thn 63 166 388 BCR - 1,05 1,20 1,49 NPV Rp 68,4 milyar 375,5 milyar 1.393,8 milyar IRR % 38,13 20,70 22,74 Keterangan: Altern 1 = Alternatif 1, penggunaan satu sistem silvikultur TPTI Altern 2 = Alternatif 2, penggunaan dua sistem silvikultur (TPTI+TPTII/TPTJ) Altern 3 = Alternatif 3, penggunaan tiga sistem silvikultur (TPTI+TPTI/TPTJ+THPBpulp/petukangan) du = daur usaha (70 tahun) Seperti yang tersajikan pada Tabel 1, mendorong penggunaan tiga sistem/teknik silvikultur pada satu IUPHHK menghasilkan suatu pengusahaan yang lebih baik. Dengan menggunakan tiga sistem/teknik silvikultur, hutan bekas tebangan dengan kondisi sedang hingga rawang menjadi lebih produktif dengan mengusahakannya dengan sistem/teknik silvikultur TPTJ/TPTII dan THPB pulp/petukangan. Hal ini menyebabkan produksi kayu dari IUPHHK tersebut menjadi bertambah, baik dalam hal jumlah maupun dalam hal jenis produksinya. Menggunakan tiga sistem/teknik silvikultur berarti juga menjadikan usaha dalam suatu IUPHHK menjadi padat karya yang membawa dampak positif terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan keuntungan. Pemanfaatan kawasan yang optimal menekan perambahan dan pelepasan kawasan Jika suatu IUPHHK menggunakan satu sistem silvikultur, maka sebagian kawasan menjadi tidak dapat diusahakan secara optimal. Dengan kata lain, secara de facto ada sebagian kawasan hutan terbengkalaikan karena sistem silvikultur TPTI tidak dapat bekerja secara optimal pada bagian-bagian hutan yang rusak atau yang berpotensi sedang (Lahan kosong dan LOA B). Pada kenyataan, kondisi ini telah memicu munculnya aktifitas perambahan kawasan atau bahkan mendorong terjadinya permohonan pelepasan kawasan. Melalui konsep multisistem silvikultur, kluster hutan tersebut menjadi dapat diusahakan dengan usaha yang padat karya melalui sistem/teknik silvikultur TPTJ/TPTII dan THPB (hutan tanaman). Aktifitas yang padat karya ini setidaknya mengeliminasikan persepsi adanya kawasan yang terbengkalai, sehingga dapat membantu menekan terjadinya perambahan dan pelepasan kawasan (Gambar 1). 4

Pemanfaatan Kawasan % 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 10 20 30 40 50 60 70 Tahun ke Gambar 1. Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan pada berbagai alternatif sistem TPTI TPTI + TPTJ/TPTII TPTI + TPTJ/TPTII + THPB Produksi kayu yang bertambah memecahkan masalah defisit kayu nasional Produksi Kayu (m 3 /tahun) 2500000 2000000 1500000 TPTI TPTI + TPTJ/TPTII TPTI + TPTJ/TPTII + THPB 1000000 500000 0 0 10 20 30 40 50 60 70 Tahun ke Gambar 2. Produksi Kayu pada berbagai alternatif sistem Melalui penggunaan tiga sistem silvikultur, terjadi pertambah-an produksi kayu. Pertambahan tersebut berasal dari panen kayu pulp pada tahun ke-6 (jika menggunakan daur 6 tahun), kemudian dari panen kayu pertukangan pada tahun ke-15 (jika menggunakan daur 15 tahun), panen penjarangan tanaman TPTJ/TPTII pada tahun ke-20 dan panen kayu tanaman TPTJ/ TPTII pada tahun ke-25 (jika menggunakan daur 25 tahun). Jika di akumulasikan selama 70 tahun daur usaha dari suatu luasan 200.000 ha IUPHHK dan kondisi fragmentasi seperti yang diasumsikan di atas, maka dengan multisistem silvikultur (TPTI+TPTJ/TPTII+THPB), terjadi pertambahan produksi kayu hampir 10 kali jika dibandingkan suatu IUPHHK hanya menggunakan satu sistem silvikultur (TPTI) atau sebesar dua kali lebih tinggi jika suatu IUPHHK hanya menggunakan dua sistem/ teknik silvikultur TPTI dan TPTJ/TPTII. Dengan demikian, jika semua IUPHHK di Indonesia menggunakan multi-sistem silvikultur, maka pertambahan produksi ini terakumulasi menjadi besar, sehingga dapat membantu memecahkan masalah defisit kayu secara nasional. 5

Penyerapan tenaga kerja yang tinggi membantu masalah ketenagakerjaan Tenaga Kerja (org) 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 0 10 20 30 40 50 60 70 Tahun ke TPTI TPTI + TPTJ/TPTII TPTI + TPTJ/TPTII + THPB Gambar 3. Penyerapan Tenaga Kerja pada berbagai alternatif sistem Melalui multisistem silvikultur, terjadi pertambahan volume pekerjaan yang menyebabkan adanya peningkatan kebutuhan dan penyerapan tenaga kerja (Gambar 3). Dengan multisistem silvikultur, terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sekitar lima kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan hanya menggunakan satu sistem silvikultur. Jika kondisi ini terjadi di semua IUPHHK di Indonesia, maka akan dapat meningkatkan kinerja sektor kehutanan dalam hal membantu mengurangi masalah ketenagakerjaan. Keuntungan finansial yang tinggi memacu usaha yang mapan Melalui multisistem silvikultur, secara finansial masing-masing IUPHHK mendapatkan keuntungan yang signifikan bertambah berkali lipat. Dengan kondisi fragmentasi dan penggunaan multisistem silvikultur di atas, maka diprediksi akan terjadi peningkatan NPV (Gambar 4) sebesar 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan satu sistem silvikultur dan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan dua sistem silvikultur. Melalui multisistem silvikultur, secara finansial IUPHHK memiliki suatu usaha yang menguntungkan dengan nilai BCR yang tinggi (1,49) dan usaha yang aman dengan IRR sebesar 22,74%. 1.6E+12 1.4E+12 1.2E+12 1E+12 8E+11 6E+11 4E+11 2E+11* 2E+11 4E+11 NPV (Rp) 0 0 10 20 30 40 50 60 70 Tahun ke Gambar 4. Net Present Value pada berbagai alternatif sistem TPTI TPTI + TPTJ/TPTII TPTI + TPTJ/TPTII + THPB *= 2 x 10 11 = 200 Milyar 6

Multisistem silvikultur memiliki daya tarik investasi yang lebih memadai dibandingkan dengan menggunakan dua sistem silvikultur TPTI+TPTJ/TPTII), dimana pada tahun ke 15 nilai NPV sudah berada dalam kisaran positif dan kemudian bergerak naik dengan sangat signifikan. Temuan Kunci Berdasarkan pemodelan dengan menggunakan perangkat lunak Stella 9 dan dengan mempertimbangkan aspek pemanfaatan kawasan, produksi, sosial dan ekonomi serta pemanfaatan berbagai input informasi berkenaan pemanfaatan kawasan dengan sistem silvikultur tebang pilih dan tebang habis; melalui simulasi dengan berbagai kondisi fragmentasi, dapat disimpulkan bahwa: 1. Pola penggunaan satu sistem silvikultur TPTI tidak direkomendasikan. Menggunakan satu sistem silvikultur TPTI dalam mengusahakan satu kawasan yang terfragmentasi menghasilkan nilai manfaat yang rendah. 2. Pola penggunaan dua sistem silvikultur TPTI dantptii adalah baik, tetapi bukan yang terbaik. Menggunakan kombinasi sistem silvikultur TPTI dan TPTII ini menghasilkan nilai manfaat yang lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan satu sistem silvikultur TPTI. Produksi kayu, penyerapan tenaga kerja dan NPV meningkat pada pola penggunaan dua sistem silvikultur ini. Namun demikian, pola ini membutuhkan investasi yang besar dan memerlukan jangka waktu yang cukup panjang untuk memperoleh pengembalian modal yang memadai, yaitu antara 15-25 tahun. Insentif pembiayaan menjadi kunci keberhasilan dalam pola penggunaan dua sistem silvikultur ini. Setelah wacana insentif dari DR tidak bisa disediakan, pada prakteknya, insentif pembiayaan ini diambilkan dari tegakan hutan dengan praktek pemanenan yang ekstra ekploitatif. Contohnya, beberapa penerapan TPTJ/TPTII diantaranya dilakukan pada bagian hutan primer atau bekas tebangan yang masih memiliki potensi kayu tinggi. 3. Penggunaan tiga sistem silvikultur TPTI, TPTII dan THPB adalah pilihan terbaik saat sekarang. Pola penggunaan tiga sistem ini mengakomodir berbagai permasalahan, baik dari aspek teknis, sosial dan ekonomi akibat kondisi kawasan hutan produksi yang saat ini telah terfragmentasi. Melalui pola ini secara optimal semua kawasan termanfaatkan sehingga mengurangi ancaman perambahan hutan. Penggunaan tiga sistem ini dapat menghasilkan produk yang lebih variatif, meliputi kayu pertukangan dan kayu pulp; sehingga secara akumulasi dihasilkan total produksi dalam jumlah yang besar. Demikian juga dari aspek sosial, pola ini mampu menyediakan jenis pekerjaan yang lebih memadai sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja sekaligus dapat menyediakan ruang-ruang usaha dalam pola kemitraan bagi masyarakat di sekitar. Dalam hal ini, tekanan sosial terhadap hutan menjadi dapat diminimalkan. Dari aspek finansial, nilai BCR, NPV dan IRR yang diperoleh juga jauh lebih tinggi. Adanya input usaha berdaur pendek dengan sistem silvikultur THPB pada kluster hutan yang rusak mampu menciptakan suatu mekanisme subsidi silang yang mandiri untuk membiayai kegiatan pembangunan kluster tanaman pada kluster yang menggunakan sistem silvikultur TPTJ/TPTII. Dengan demikian, jangka waktu untuk memperoleh pengembalian modal dapat diperpendek menjadi antara 10-15 tahun. Rekomendasi Kebijakan Teori multisistem silvikultur mengusungkan ide fleksibilitas dalam penggunaan sistem silvikultur dan mengambil keputusan dalam pemanfaatan kawasan yang terfragmentasi. Selain memberi dampak positif, bagaimanapun fleksibilitas ini mengandung resiko, yaitu jika tidak tepat dalam menempatkan sistem silvi-kultur pada kluster kawasan yang sesuai karena tidak dilatarbelakangi dengan data yang akurat tentang kondisi kawasan-nya. Untuk itu, dua kebijakan yang diperlukan sebagai prasyarat agar implementasi multisistem silvikultur berjalan baik adalah: 7

1. Tersedianya suatu peraturan pelaksana yang menjelaskan kriteria dan prasyarat kondisi suatu bagian kawasan dapat digunakan sistem silvikultur tertentu. Suatu kriteria diperlukan untuk mendefinisikan secara detail kriteria dan prasyarat kondisi suatu kluster kawasan dapat digunakan sistem silvikultur TPTI, TPTII atau THPB. Sampai sejauh ini belum tersedia definisi yang secara detail menjelaskan kriteria dan prasyarat ini. Permenhut No. P 11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur tidak dapat digunakan sebagai aturan yang mendukung penetapan kriteria dan arah penggunaan dalam konsep multisistem silvikultur ini. Permenhut ini hanya membagi tiga kelompok kondisi hutan, yaitu hutan primer, hutan bekas tebangan (LoA) dan areal kosong serta dan hanya menjelaskan secara umum bahwa TPTI, TPTII dan THPB adalah sistem silvikultur yang dapat digunakan pada LoA, tanpa menjelaskan lebih detail kondisi LoA bagaimana TPTI, TPTII/TPTJ dan THPB tersebut dapat digunakan. Sehingga demikian, Permenhut ini tidak dapat diimplementasikan secara efektif jika tidak ada peraturan pelaksana lainnya sebagai acuan dalam penerapan multisistem. Jika aturan ini tidak ada maka dapat menyebabkan benturan penggunaan sistem silvikultur TPTI, TPTII dan THPB dalam pemanfaatan hutan bekas tebangan. 2. Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB). PP No 6 tahun 2007 jo PP No 3 tahun 2008 serta Permenhut No. P. 34/Menhut-II/2007 telah mewajibkan masing-masing IUPHHK melaksanakan IHMB. Direkomendasikan agar IHMB juga menjadi prasyarat dalam penerapan multisistem silvikulutur. Kesiapan dan kekuataan data IHMB yang menjelaskan kondisi kawasan secara menyeluruh ini akan dapat menjamin ketepatan dalam penetapan lokasi dan perhitungan luas penggunaan masing-masing sistem silvikultur TPTI, TPTII dan THPB dalam sebuah IUPHHK. 3. Peraturan per-undangan yang mendesak adalah ketentuan yang menjelaskan kriteria dan prasyarat suatu kluster kawasan dapat digunakan sistem/teknik silvikultur tertentu. Jika diasumsikan arah penggunaannya seperti Gambar 5, diperlukan suatu kriteria yang dapat menjelaskan suatu kluster hutan ditetapkan sebagai kluster hutan primer, LoA A, LoA B, LoA C dan lahan kosong (LK). Kriteria ini bisa disediakan dalam bentuk pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan. SISTEM/TEKNIK SILVIKULTUR TPTI TPTII THPB HP LoA A LoA B LoA C LK Gambar 5. Sistem/teknik silvikultur dan saran untuk arah penggunaannya Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email: forestpolicy@puslitsosekhut.web.id Website: http://www.puslitsosekhut.web.id