BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS Virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Virus tersebut dibagi ke dalam dua tipe, yaitu Human Immunodeficiency Virus type 1 (HIV-1) dan Human Immunodeficiency Virus type 2 (HIV-2). Penyakit AIDS di sebagian besar negara-negara di dunia biasanya disebabkan karena infeksi virus HIV-1. Virus HIV-2 menginfeksi sebagian daerah Afrika Barat dan India. Kedua tipe virus tersebut memiliki struktur yang sama tetapi secara antigenik berbeda sebesar 55% (Nester dkk. 2007: 735 & 737). 1. Struktur dan genom Human Immunodeficiency Virus -1 Virus HIV-1 memiliki nukleokapsid berbentuk icosahedral, dikelilingi oleh selubung lipid bilayer dengan tonjolan, sehingga virus dapat melekat pada permukaan sel target. Inti partikel virus tersusun dari protein kapsid p24, mengandung RNA virus dan enzim-enzim (Pavlakis 1997: 46). Genom HIV merupakan RNA untai tunggal dan dikategorikan ke dalam RNA untaipositif. Setiap virion memiliki dua molekul genomik identik, sehingga secara genetik dikatakan diploid (Gambar 2) (Voyles 2002: 155). Virus tersebut 6
7 memiliki enzim reverse transcriptase, sehingga virus mampu menyandikan DNA cetakan dari genom RNAnya (Macpherson dkk. 1999: 498). Genom HIV-1 berukuran 9,8 kilo pasang basa (kb) terdiri atas tiga gen utama yaitu gag, pol, dan env, juga terdapat gen regulator (tat, rev) dan gen aksesori (tev, vpr, nev, vpu dan vif) (Gambar 3) (Macpherson dkk. 1999: 498). Tiga gen utama virus tersebut mengkode protein kapsid (Gag), enzim-enzim untuk replikasi (Pol), dan glikoprotein eksternal untuk menembus keluar dari selubung lipid virus. Gen pol menyandikan enzim-enzim antara lain reverse transcriptase, integrase, dan protease (Pavlakis 1997: 46). Dua gen regulator yaitu tat dan rev disandikan oleh sekuen terpisah di dalam provirus. Gen tat dan rev dibaca dari mrna yang sama menggunakan reading frame berbeda (Voyles 2002: 164). 2. Siklus hidup Human Immunodeficiency Virus-1 Infeksi virus HIV diawali dengan melekatnya virus pada sel kemudian masuk menembus membran plasma. Enzim reverse transcriptase akan mengubah RNA virus menjadi DNA yang kemudian dibawa menuju nukleus dan bergabung dengan DNA sel inang melalui bantuan enzim integrase. Asam nukleat dari retrovirus (DNA provirus) yang telah bergabung dengan DNA sel inang kemudian akan ditranskripsi menggunakan perangkat transkripsi sel inang. Hasil transkripsi tersebut memiliki dua peran, yaitu sebagai RNA genom yang tergabung dalam virion dan sebagai RNA messenger penyandi protein-protein virus. RNA genom dan protein disusun
8 ke dalam partikel virus, kemudian dikeluarkan dari sel dan menginfeksi sel-sel baru dengan melekat pada reseptor spesifik (Gambar 4) (Pavlakis 1997: 47). 3. Regulasi ekspresi gen HIV Transkripsi HIV dilakukan melalui promoter tunggal pada bagian 5 Long Terminal Repeat (LTR). Ekspresi dari 5 LTR menghasilkan mrna primer sekitar 9 kb untuk menyandikan sembilan gen-gen HIV. Hasil transkripsi primer HIV-1 mengandung beberapa daerah donor pemotongan (5 splice sites) dan akseptor pemotongan (3 splice sites) yang dapat diproses untuk menghasilkan lebih dari 30 alternatif mrna. Sebagian besar mrna adalah polycistronic, yaitu memiliki sekuen nukleotida untuk lebih dari satu protein (Hope & Trono 2000: 8). mrna HIV-1 terbagi ke dalam tiga kelompok ukuran, yaitu RNA tidak terpotong (unspliced RNA), RNA terpotong tidak sempurna (incomplete spliced RNA) dan RNA terpotong sepenuhnya (fully spliced RNA) (Gambar 5) (Bohne dkk. 2005: 826). Gen-gen HIV dapat dibagi ke dalam gen-gen yang diekspresikan lebih awal (early genes) dan gen-gen yang diekspresikan akhir (late genes). Gengen awal yaitu tat, rev, dan nef, diekspresikan dalam pola Rev-independent, sebaliknya mrna yang menyandikan gen-gen akhir yaitu gen gag, pol, env, vpr, vpu, dan vif membutuhkan Rev agar dapat dibawa ke sitoplasma dan diekspresikan (Gambar 5) (Hope & Trono 2000: 7). Intron dari mrna harus sepenuhnya dipotong sebelum dapat keluar dari nukleus. Adanya protein Rev yang melekat pada mrna mengandung
9 intron, akan mengarahkan mrna tersebut keluar dari nukleus (Hope & Trono 2000: 8). Protein Rev disandikan oleh dua ekson, dihasilkan dari pemotongan mrna sepenuhnya, dan terkonsentrasi di dalam nukleus sel-sel terinfeksi. Protein Rev dapat melekat pada sekuen spesifik RNA, yaitu Rev response element (RRE). Pelekatan protein Rev pada RRE memfasilitasi transpor RNA viral yang tidak dipotong atau dipotong tidak sempurna dari nukleus ke sitoplasma,sehingga terjadi peralihan ekspresi gen HIV dari gengen awal ke gen-gen akhir (Hope & Trono 2000: 4--5). B. GEN TRANSAKTIVATOR Gen transaktivator atau gen tat merupakan salah satu gen regulator dalam genom Human Immunodeficiency Virus -1 (HIV-1). Gen tersebut menyandikan protein Tat yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan ekspresi gen-gen HIV-1. Protein Tat pada sebagian besar strain HIV-1 wild type tersusun atas 101 asam amino. Coding region untuk protein Tat tersusun atas dua ekson dalam genom HIV-1. Protein Tat dihasilkan melalui mrna yang mengalami pemotongan sepenuhnya (fully spliced mrna), dan diekspresikan lebih awal daripada protein-protein lainnya (Cullen 1991: 2363). Ekson pertama menyandi asam amino 1--72 dan ekson kedua menyandi asam amino 72--101 (Caselli dkk. 1999: 5631). Beberapa strain HIV-1 dapat memiliki protein Tat yang tersusun atas 86 asam amino. Perbedaan ukuran tersebut diakibatkan oleh open reading frame (ORF) dari ekson kedua yang tergantung masing-masing strain HIV-1 (Ruckwardt dkk.
10 2004: 13190). Protein Tat yang tersusun atas 86 asam amino disebut sebagai protein Tat terpotong (truncated Tat) (pada strain HXB2, pnl43, dan LAI) (Henriksen 2003: 20). Protein Tat memiliki beberapa fungsi penting, terutama dalam regulasi peningkatan produksi mrna HIV selama proses transkripsi. Tanpa adanya protein Tat, mrna akan berukuran lebih pendek. Hasil transkripsi pertama dari HIV-1 akan mengalami pemotongan secara sempurna untuk menghasilkan protein-protein HIV-1 yang diekspresikan lebih awal, salah satunya adalah protein Tat. Protein tersebut melekat pada daerah Transactivation Responsive Region (TAR) pada ujung 5 dari genom HIV-1. Adanya protein Tat akan meningkatkan produksi mrna full length sebanyak 200--300 kali lipat. Hal tersebut menyebabkan peningkatan ekspresi protein Tat sendiri dan protein-protein lainnya, sehingga siklus hidup HIV-1 tetap dapat dipertahankan (Henriksen 2003: 15). Moreau dkk. (2003: 3792) menyatakan bahwa protein Tat memiliki aktivitas ekstraseluler yang dapat meningkatkan patogenesis terkait AIDS. Protein Tat ekstraseluler dapat menghambat produksi IL-12, interferon alpha, dan proliferasi sel T. Aktivitas protein Tat tersebut dapat mempercepat laju penyakit AIDS. Ruckwardt dkk. (2004: 13190) menyatakan bahwa efek ekstraseluler Tat tersebut menjadi salah satu alasan pentingnya mendapatkan vaksin terhadap Tat. Salah satu penelitian dengan mengimunisasi hewan percobaan menggunakan protein Tat menunjukkan adanya respons antibodi dan proliferasi limfosit.
11 C. SINTESIS FRAGMEN DEOXYRIBO NUCLEID ACID (DNA) MELALUI TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Sintesis dan amplifikasi fragmen DNA untuk digunakan sebagai cetakan dalam ekspresi protein in vitro dapat dilakukan melalui teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) (An dkk. 2007: 1). Sintesis fragmen gen HIV-1 dapat dilakukan menggunakan klona proviral HIV-1 sebagai DNA cetakan. Klona-klona tersebut merupakan contoh genotipe virus di dunia, khususnya di Amerika. Beberapa klona molekular HIV-1 dengan genom lengkap antara lain pwi3, pnl43, dan pnl101. Klona pnl43 berasal dari isolat HIV NY5 dan LAV AIDS RT yang disisipkan ke dalam vektor plasmid puc18 (Adachi dkk. 1986: 284). Teknik PCR merupakan cara lain untuk mendapatkan banyak salinan DNA tanpa menggunakan vektor atau sel inang (Snustad & Simmons 2006: 428). Beberapa teknik PCR telah dikembangkan untuk melakukan sintesis fragmen DNA antara lain PCR one-step, PCR two-step, dan PCR overlapping yang merupakan bagian dari PCR two-step (An dkk. 2007: 1). Teknik PCR overlapping digunakan untuk menggabungkan fragmenfragmen DNA. Proses PCR dilakukan dalam dua tahap, yaitu PCR standar pada tahap pertama dan PCR overlapping pada tahap kedua (Young & Dong 2004: 1). Dua fragmen DNA yang terpisah diamplifikasi masing-masing menggunakan primer spesifik pada tahap PCR pertama. Produk PCR pertama akan bergabung menjadi satu pada tahap PCR yang kedua, karena
12 terdapat pasangan primer overlap yang akan berhibridisasi pada tahap PCR kedua (Gambar 6) (Roche 2002: 4). Sintesis gen menggunakan teknik PCR overlapping membutuhkan pasangan primer overlapping. Primer tersebut harus dirancang agar memiliki dua daerah sekuen, yaitu priming region dan overlap region. Priming region berada pada ujung 3 dari primer dan berfungsi sebagai primer PCR, sedangkan overlap region berada pada ujung 5 primer dan komplementer terhadap sekuen fragmen DNA yang akan digabungkan dengannya dalam reaksi PCR (Vallejo dkk. 1994:124). D. PENGKLONAAN 1. Pengklonaan gen Pengklonaan gen merupakan bagian dari teknologi DNA rekombinan, yaitu teknik pengisolasian dan perbanyakan gen (Snustad & Simmons 2006: 418). Pengklonaan gen melibatkan proses penyisipan DNA sisipan ke dalam vektor sehingga membentuk DNA rekombinan. DNA rekombinan tersebut kemudian diintroduksi ke dalam sel inang. Replikasi vektor di dalam sel inang dan proliferasi sel inang akan diikuti dengan dihasilkannya salinan DNA sisipan dalam jumlah banyak (Brooker 2005: 503).
13 a. Vektor pengklonaan Vektor merupakan molekul DNA pembawa DNA sisipan ke dalam sel inang dan bereplikasi di dalam sel tersebut. Vektor pengklonaan harus memiliki tiga komponen penting, yaitu situs replikasi (origin of replication), marka gen selektif (gen pengkode resistensi antibiotik pada sel inang), dan situs restriksi untuk minimal satu enzim restriksi endonuklease (Snustad & Simmons 2006: 422). Ukuran dari DNA sisipan dan tujuan penelitian merupakan faktor penting dalam menentukan jenis vektor pengklonaan untuk menghasilkan DNA rekombinan (Cooper & Hausman 2004: 109). Vektor prokariot untuk pengklonaan dapat berupa plasmid atau bakteriofaga. Plasmid merupakan vektor pengklonaan yang paling umum digunakan. Plasmid adalah molekul DNA ekstrakromosomal sirkular yang dapat bereplikasi secara independen. Vektor plasmid berukuran sekitar 2 sampai 4 kilo pasang basa (kb) (Cooper & Hausman 2004: 110). Plasmid dipilih sebagai vektor pengklonaan karena beberapa keuntungan, antara lain ukurannya yang kecil membuat DNA plasmid lebih mudah untuk diisolasi dan dimanipulasi, bentuk DNA plasmid yang sirkular membuat DNA akan lebih stabil selama diisolasi, dan memiliki kemampuan untuk bereplikasi secara independen (Brock dkk. 1994: 288--289). Vektor plasmid pqe-80l merupakan vektor ekspresi yang baik untuk sel prokariot. Plasmid pqe-80l dilengkapi dengan dua sekuen operator lac yang meningkatkan pengikatan represor lac. Vektor pqe80-l juga memiliki
14 situs pengikatan ribosom sintetik, Ribosomal Binding Sites (RBSII), untuk meningkatkan laju translasi. Vektor tersebut memiliki multiple cloning site (MCS), situs Ori ColE1 dan gen β-lactamase (bla) yang memberikan resistensi terhadap ampisilin (Gambar 7) (Qiagen 2003: 15). Vektor prokariot lainnya adalah bakteriofaga. Bakteriofaga adalah virus bakteri, dan memiliki ukuran 30 sampai 45 kb. DNA sisipan yang dapat disisipkan ke dalam vektor bakteriofaga adalah sekitar 15 kb (Snustad & Simmons 2003: 487). Vektor pengklonaan lain yang dapat digunakan untuk DNA sisipan berukuran besar adalah vektor kosmid. Vektor kosmid dapat disisipkan DNA sisipan berukuran 30 sampai 45 kb (Cooper & Hausman 2004: 110). Vektor eukariot untuk pengklonaan dapat berupa vektor yeast, vektor hewan, dan vektor tanaman. Vektor yeast berupa Yeast Artificial Chromosome (YACs) dapat mengklona DNA sisipan berukuran 800 kb. Vektor yang umum digunakan dalam hewan tingkat tinggi adalah SV40. Vektor tersebut digunakan untuk pengklonaan dan ekspresi gen-gen dalam sel mamalia (Tamarin 2002: 370--371). b. Sel inang Molekul DNA rekombinan perlu dimasukkan ke dalam suatu sel inang untuk dapat mengekspresikan produk DNA sisipan. Beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam memilih sel inang yang baik untuk pengklonaan adalah sebaiknya sel inang memiliki tingkat pertumbuhan yang
15 cepat, dapat tumbuh pada medium kultur, tidak bersifat patogen, dapat ditransformasi oleh DNA, dan stabil. Sel inang dalam pengklonaan umumnya berupa mikroorganisme, misalnya Escherichia coli, Bacillus subtilis, dan Saccharomyces cerevisiae (Brock dkk. 1994: 295). 2. Tahap-tahap pengklonaan DNA a. Sintesis dan amplifikasi DNA sisipan Sintesis dan amplifikasi DNA sisipan yang akan diklona dilakukan melalui teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Melalui teknik tersebut fragmen DNA tertentu dapat diamplifikasi secara cepat dan dihasilkan salinan fragmen DNA dalam jumlah banyak (Snustad & Simmons 2006: 428). Proses PCR dilakukan menggunakan materi awal mengandung sampel DNA disebut DNA cetakan (template DNA). Beberapa reagen ditambahkan untuk membantu sintesis DNA. Reagen tersebut antara lain adalah sepasang primer (komplementer terhadap sekuens pada ujung-ujung fragmen DNA yang akan diamplifikasi), deoksiribonukleosida trifosfat (dntp), dan polimerase DNA disebut Taq polymerase (Brooker 2005: 503). Reaksi amplifikasi suatu fragmen DNA diawali dengan denaturasi DNA cetakan sehingga DNA untai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi untai tunggal (single stranded). Tahap selanjutnya adalah annealing pada suhu sekitar 55 C. Primer akan menempel (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi untai tunggal (Yuwono 2006: 2--3. Proses annealing
16 dilakukan selama 1--2 menit, kemudian suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 C selama 90 detik agar terjadi proses polimerisasi untai DNA yang baru berdasarkan informasi dari DNA cetakan. DNA untai ganda yang terbentuk selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95 C (Brown 1999: 20). b. Digesti dan ligasi DNA rekombinan Salah satu tahap penting dalam pengklonaan gen adalah digesti (pemotongan) molekul DNA dan vektor dengan ukuran yang tepat. Molekul DNA vektor didigesti untuk dapat disisipi DNA target. Pemotongan dilakukan pada posisi sama agar molekul DNA vektor dan DNA sumber dapat disatukan (Brown 2006: 61--62). Proses digesti dilakukan menggunakan enzim restriksi endonuklease. Enzim tersebut akan mengenali sekuen nukleotida tertentu (situs restriksi) pada DNA kemudian memotong DNA tersebut pada atau dekat situs restriksi (Cooper & Hausman 2004: 104). Enzim restriksi endonuklease umumnya dalam pengklonaan adalah tipe II karena dapat memotong DNA pada situs spesifik, sehingga dihasilkan pola potongan spesifik. Situs pengenalan restriksi endonuklease tipe II berupa inverted repeats, yaitu sekuen dapat dibaca sama dari arah manapun, atau disebut palindrom (Brooker 2005: 492- -493). Pola potongan dari aktivitas endonuklease restriksi II adalah pola pemotongan ujung tumpul (blunt ends) dan ujung kohesif (cohesive ends)
17 (Tamarin 2002: 360). Pola potongan ujung tumpul dihasilkan jika enzim memotong DNA tepat di tengah situs restriksi. Pola potongan ujung kohesif (cohesive ends) dihasilkan jika enzim memotong situs restriksi tidak pada tempat yang sama (Brooker 2005: 493). DNA vektor dan DNA target yang telah dipotong kemudian digabungkan untuk membentuk DNA rekombinan (Snustad & Simmons 2006: 421). Proses tersebut dinamakan proses ligasi, sebab dilakukan menggunakan enzim DNA ligase (Brooker 2005: 493). Enzim DNA ligase berperan sebagai katalis dalam pembentukan kembali ikatan fosfodiester antar potongan DNA dengan bantuan ATP (Wong 1997: 70--71). c. Transformasi DNA rekombinan Transformasi merupakan perubahan suatu genotip sel bakteri dengan cara mengambil DNA asing dari lingkungan sekitarnya (Campbell dkk. 1999: 354). Bakteri diberi perlakuan dengan campuran kation-kation divalen untuk membuat mereka permeabel terhadap molekul DNA kecil untuk sementara. Identifikasi transforman dilakukan menggunakan penanda selektif yang disandikan oleh plasmid. Penanda tersebut memberikan fenotip baru, sehingga membuat bakteri yang telah ditransformasi dapat diseleksi dengan mudah. Penanda selektif paling umum digunakan adalah gen resistensi terhadap antibiotik seperti ampisilin, tetrasiklin, chloramphenicol, dan kanamisin (Sambrook dkk. 1989: 1.5--1.6).
18 Sel bakteri umum digunakan dalam transformasi DNA rekombinan adalah Escerichia coli (Sambrook & Russell 2001a: 1.14). Bakteri E. coli digunakan E. coli karena bersifat non patogenik, dapat mempertahankan stabilitas DNA yang diintroduksi, dan dapat berkembang biak secara cepat (Tamarin 2002: 358 & 369). Strain-strain E.coli umum digunakan untuk transformasi adalah DH1, DH5, dan MM294 (Sambrook & Russell 2001a: 1.25). Escherichia coli TOP10 merupakan salah satu strain E.coli yang dapat digunakan untuk transformasi karena memiliki gen lacz untuk seleksi biruputih terhadap rekombinan, gen enda1 untuk mengurangi rekombinasi nonspesifik pada hasil pengklonaan, dan dapat mempertahankan kestabilan replikasi plasmid high-copy number (Invitrogen 2002: 230). Metode transformasi kejutan panas (heat shock) diawali dengan pemberian CaCl 2 untuk menghasilkan sel bakteri kompeten, bakteri tersebut akan mengambil DNA setelah diberi perlakuan kejutan panas (heat shock). Molekul DNA, misalnya plasmid, dimasukkan ke dalam sel dengan metode tersebut kemudian akan bereplikasi di dalam sel. Sel kemudian diinkubasi dalam medium pertumbuhan non-selektif untuk memulihkan kondisi sel (Zhiming Tu dkk. 2005: 118). Pembuatan sel kompeten yang baik mampu menghasilkan sampai 10 9 koloni transforman/μg DNA (Sambrook dkk. 1989: 1.25). Transformasi juga dapat dilakukan secara elektroporasi, yaitu dengan induksi muatan listrik untuk mengganggu kestabilan membran E. coli sehingga akan terbentuk pori-pori pada membran sel yang dapat dilewati
19 DNA. Elektroporasi merupakan metode transformasi paling cepat, mudah dan efisien. Efisiensi transformasi diperoleh dapat mencapai 10 10 transforman/μg DNA (Sambrook dkk. 1989: 1.25--1.26). d. Identifikasi koloni bakteri pembawa DNA rekombinan Identifikasi koloni bakteri mengandung DNA rekombinan dapat dilakukan melalui empat metode, yaitu analisis digesti terhadap kultur plasmid rekombinan dalam skala kecil, komplementasi α, inaktivasi insersional, dan hibridisasi. Metode analisis digesti dilakukan dengan menumbuhkan sejumlah koloni-koloni bakteri hasil transformasi dalam skala kecil dan diisolasi. Plasmid rekombinan diperoleh dari isolasi kemudian dianalisis dengan pemotongan menggunakan enzim restriksi dan elektroforesis gel (Sambrook dkk. 1989: 1.85). Metode komplementasi α merupakan metode untuk mengidentifikasi koloni bakteri mengandung DNA rekombinan. Melalui metode tersebut, koloni -koloni bakteri mengandung DNA rekombinan akan menghasilkan warna berbeda dengan koloni tanpa DNA rekombinan. Koloni-koloni bakteri mengandung DNA rekombinan akan berwarna putih, sedangkan koloni tanpa DNA rekombinan akan berwarna biru (Brooker 2005: 495). Metode inaktivasi insersional untuk mengidentifikasi koloni bakteri mengandung DNA rekombinan hanya dapat digunakan pada vektor dengan dua atau lebih gen resisten antibiotik dan sejumlah situs restriksi. DNA sisipan dan DNA plasmid dipotong dengan enzim restriksi yang hanya
20 mengenali situs restriksi pada salah satu gen resisten antibiotik (Sambrook dkk. 1989: 1.87). e. Analisis dan pengukuran konsentrasi DNA Teknik elektroforesis gel merupakan suatu teknik untuk memisahkan dan visualisasi molekul DNA atau RNA. Dua jenis gel umum digunakan dalam elektroforesis adalah agarosa dan poliakrilamid. Gel agarosa memiliki pori yang cukup besar sehingga digunakan untuk memisahkan dan visualisasi fragmen DNA berukuran > 500 pb. Molekul DNA dengan ukuran lebih kecil (< 500 pb) dapat dipisahkan dan divisualisasikan dengan baik melalui gel poliakrilamid (Ausubel dkk. 2002: 2.0.1--2.0.2). Keberhasilan proses elektroforesis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi dan jenis gel, ukuran dan berat molekul besarnya arus listrik dan jenis buffer elektroforesis yang digunakan (Ausubel dkk. 2002: 2.5A.5--2.5A.7). Hasil elektroforesis positif ditunjukkan dengan terbentuknya pola pita-pita. Pita-pita tersebut hanya dapat terlihat di bawah sinar ultra violet melalui pewarnaan dengan etidium bromida (Klug & Cummings 1994: 397). Etidium bromida merupakan zat warna yang umum digunakan dalam visualisasi DNA pada gel elektroforesis. Zat warna tersebut akan mewarnai DNA dengan cara menyisip di antara basa-basa DNA (Ausubel dkk. 2002: 2.5A.7). Konsentrasi dan kemurnian dari fragmen DNA merupakan salah satu hal yang penting diketahui. Teknik yang dapat digunakan untuk mengukur
21 konsentrasi dan kemurnian asam nukleat adalah spektrofotometri (Seidman & Mowery 2006:5). Spektrofotometri merupakan suatu teknik untuk mengetahui konsentrasi suatu molekul yang terdapat di dalam larutan (Brown 2006: 37). Prinsip dasar dari spektrofotometri adalah bahwa suatu zat dapat menyerap energi dari suatu panjang gelombang tertentu dari radiasi elektromagnetik. Spektrum cahaya dengan panjang gelombang tertentu akan menembus kuvet yang berisi larutan uji. Cahaya tersebut akan diserap ataupun dilewatkan oleh larutan. Spektrofotometer akan membandingkan jumlah cahaya yang melewati dan diserap oleh larutan uji (Absorbansi/ OD) (Vodopich & Moore 2005: 67). Kemurnian asam nukleat dihitung dengan melibatkan absorbansi larutan pada dua panjang gelombang, biasanya 260 nm dan 280 nm. Penghitungan rasio absorbansi tersebut adalah: nilai A 260 / A 280 = 2,0 merupakan karakteristik dari RNA murni, dan nilai A 260 / A 280 = 1,8 merupakan karakteristik dari DNA murni (Seidman & Mowery 2006: 5). Nilai rasio absorbansi di bawah 1,8 menunjukkan terdapatnya pengotor berupa protein di dalam larutan uji, sedangkan nilai absorbansi lebih tinggi dari 1,8 menunjukkan terdapatnya pengotor berupa asam nukleat lain (Sambrook & Russell 2001a: 6.11). E. SISTEM PENGKLONAAN DI DALAM VEKTOR PLASMID Salah satu cara untuk mendeteksi hasil klona gen spesifik adalah melalui deteksi terhadap produk protein yang diekspresikan pada sel bakteri
22 (Griffiths dkk. 2000: 375). Supaya gen yang disisipkan dapat terekspresi, maka gen tersebut harus berada downstream dari sinyal transkripsi vektor. Oleh karena itu, pengklonaan fragmen DNA perlu memerhatikan susunan basa dari vektor plasmid yang akan digunakan dan rancangan primer pada fragmen tersebut. Pengklonaan dengan tujuan untuk memperoleh protein rekombinan harus dilakukan secara in frame atau sebingkai dengan vektor pengklonaan. Pengklonaan in frame adalah proses pengklonaan dengan tujuan menghasilkan protein yang terfusi dengan penanda pada vektor, sehingga start dan stop codon translasi harus diawali dan diakhiri oleh vektor (Zacchi dkk 2003: 980). Pengklonaan tidak sebingkai atau out-of-frame akan mengubah kerangka baca dari fragmen yang disisipkan di dalam vektor. Hal tersebut berakibat pada kemungkinan tidak dihasilkannya protein rekombinan yang diinginkan (Gray dkk.1982: 6599). Pengklonaan tidak sebingkai dapat terjadi akibat kesalahan dalam rancangan primer pada DNA sisipan sehingga tidak sesuai dengan vektor yang digunakan (Stevanova 2004: 48).