VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

dokumen-dokumen yang mirip
VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA

IV. METODOLOGI PENELITIAN

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

BERITA RESMI STATISTIK

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI. satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah saat ini

DAMPAK PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP PENDAPATAN FAKTOR PRODUKSI INTRA DAN INTER REGIONAL KBI-KTI

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BERITA RESMI STATISTIK

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

BAB 3 METODE PENELITIAN


BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

Produk Domestik Bruto (PDB)

ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN. Biro Riset LMFEUI

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

Keterangan * 2011 ** 2012 ***

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2)

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Statistik KATA PENGANTAR

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

V. METODE PENELITIAN

V. MEMBANGUN DATA DASAR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

GROWTH (%) SHARE (%) JENIS PENGELUARAN 2011** 2012*** Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

VIII. MULTIPLIER SEKTOR INFRASTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

(1.42) (1.45) I II III IV I II III IV I II III IV I II * 2012** 2013***

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BERITA RESMI STATISTIK

BAB 1 PENDAHULUAN. dikaitkan dengan proses industrialisasi. Industrialisasi di era globalisasi

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I-2012

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TAHUN 2010

BERITA RESMI STATISTIK

VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun

ANALISIS INPUT-OUTPUT ATAS DAMPAK SEKTOR PARIWISATA TERHADAP PEREKONOMIAN MALUKU

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I-2011

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN III TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan beberapa tahapan yang dimulai dari masa persiapan, kontruksi hingga pemeliharaan. Setiap tahapan pembangunan yang di kerjakan dipastikan akan menyerap lapangan kerja. Hal ini karena pembangunan infrastruktur jalan umumnya merupakan padat karya, yang banyak menyerap lapangan kerja bagi tenaga profesional, operator, produksi, buruh kasar, hingga administrasi. Oleh sebab itu, dengan semakin tingginya stimulus fiskal yang diinjeksi oleh pemerintah ke sektor infrastruktur jalan, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi signifikan pertambahan pendapatan tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memberi pengaruh juga terhadap pertambahan pendapatan rumahtangga sebagai pemilik faktor tenaga kerja. Pertambahan pendapatan rumahtangga sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur jalan, bukan saja berasal dari faktor produksi tenaga kerja, namun juga dapat bersumber dari kepemilikan lahan dan modal. Dengan kata lain, stimulus fiskal untuk pembangunan infrastruktur jalan akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan faktor produksi tenaga kerja, lahan dan modal. Seluruh fenomena ini dapat dipotret dengan komprehensif melalui analisis multiplier IRSAM, khususnya multiplier sektor infrastruktur jalan terhadap faktor-faktor produksi sebagaimana yang dipaparkan dalam Tabel 30.

200 Berdasarkan status pekerjaannya, tenaga kerja yang dibahas dalam analisis multiplier SNSE kali ini terdiri atas beberapa golongan, wilayah dan kawasan. Tabel 30. Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Aktifitas Intraregional Interregional Total KBI KTI KBI KTI KTI KBI KBI KTI Pertanian Produksi, Opera tor Alat Angkutan, Manual dan Buruh Kasar Tata Usaha, Penjualan, Jasa-Jasa Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi Desa 0.0397 0.0075 0.0060 0.0119 0.0457 0.0194 Kota 0.0124 0.0043 0.0035 0.0037 0.0159 0.008 Desa 0.1280 0.0747 0.0058 0.0156 0.1338 0.0903 Kota 0.1685 0.1042 0.0108 0.0308 0.1793 0.135 Desa 0.0341 0.0095 0.0030 0.0091 0.0371 0.0186 Kota 0.1439 0.0494 0.0132 0.0363 0.1571 0.0857 Desa 0.0191 0.0039 0.0030 0.0048 0.0221 0.0087 Kota 0.0722 0.0302 0.0087 0.0147 0.0809 0.0449 Tenaga Kerja di Desa 0.2209 0.0955 0.0179 0.0414 0.2388 0.1369 Tenaga Kerja di Kota 0.3969 0.1882 0.0361 0.0855 0.433 0.2737 Tenaga Kerja 0.6178 0.2837 0.0540 0.1269 0.6718 0.4106 Kapital 0.9706 0.5125 0.1238 0.2450 1.0944 0.7575 Lahan 0.0548 0.0213 0.0139 0.0157 0.0687 0.037 Total Multiplier 1.6433 0.8174 0.1916 0.3875 1.8349 1.2049 Golongan yang ada dibagi atas dua yakni pertanian dan non pertanian, kemudian untuk wilayah adalah desa dan kota, dan terakhir untuk kawasan terdiri atas Kawasan Indonesia Barat (KBI) dan Kawasan Indonesia Timur (KTI). 6.1.1. Efek Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Intraregional Merujuk kepada angka multiplier faktor produksi yang disajikan dalam Tabel 26, apabila diperhatikan pada multiplier intraregional (wilayah sendiri), dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap faktor produksi tenaga kerja lebih besar terlihat di KBI dibandingkan KTI. Wilayah KBI multiplier intraregional tenaga kerja adalah sebesar 0.6178, sedangkan di KTI

201 sebesar 0.2387. Multiplier sebesar 0.6178 menandakan bahwa setiap ada injeksi sebesar 1 rupiah pada neraca eksogen sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, maka pendapatan tenaga kerja di KBI akan bertambah sebesar 0.6178. Sebaliknya, secara terpisah jika neraca eskogen sektor infrastruktur jalan dan jembatan KTI yang diberi injeksi 1 rupiah akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja KTI sendiri sebesar 0.2837. Dengan kata lain, seandainya pemerintah memberi stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah untuk sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, maka pendapatan tenaga kerja KBI secara total akan meningkat sebesar Rp. 617.80 juta. Sedangkan pendapatan tenaga kerja di KTI untuk injeksi yang sama akan bertambah sebesar Rp. 283.70 juta. Sebagai ilustrasi Pemerintah pada tahun 2009 melalui Departemen Pekerjaan Umum memberikan dana stimulus sebesar Rp. 6.6 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Alasan pemerintah mengalokasikan dana stimulus yang besar untuk sektor infrastruktur ialah agar dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di tengah krisis keuangan global yang terjadi saat ini dan tahun depan, serta mampu menyerap lapangan kerja yang lebih besar (Dirjen Anggaran, 2009). Dengan asumsi sekitar 48% dari total dana stimulus tersebut diperuntukan bagi pembangunan jalan dan jembatan, yang berarti sekitar Rp. 3.17 triliun, maka dapat diperkirakan bahwa dengan dana stimulus sebesar itu jumlah tenaga kerja yang terserap di KBI akan bertambah sebesar 1.68 juta orang, dan KTI bertambah sebesar 727 ribu orang. Hal ini berarti pengalokasian stimulus fiskal pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan sebanyak Rp. 3.17 triliun diperkirakan dapat menambah penyerapan tenaga kerja secara keseluruhan dalam perekonomian Indonesia tahun 2009 ini sebesar 2.41 juta orang.

202 Sesuai dengan bidang dan wilayah pekerjaannya, baik di KBI maupun KTI, tenaga kerja yang paling banyak menyerap tambahan pendapatan dari setiap injeksi dana pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan adalah tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar di wilayah perkotaan. Golongan tenaga kerja ini menyerap tambahan pendapatan kurang lebih sebesar 27.27% dari multiplier tenaga kerja sebesar 0.6178 di KBI, dan 25.08% dari multiplier tenaga kerja sebesar 0.2837 di KTI. Kondisi eksisting juga menggambarkan bahwa secara menyeluruh pertambahan pendapatan tenaga kerja sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan akan lebih banyak diserap oleh tenaga kerja yang berada di wilayah kota dibandingkan desa. Seperti yang tergambarkan pada nilai multiplier tenaga kerja menurut wilayahnya, di KBI multiplier tenaga kerja di kota adalah sebesar 0.3969 dan di desa sebesar 0.2209. Sedangkan di KTI untuk kota sebesar 0.1882, dan desa sebesar 0.0955. Kedua fakta ini sudah merupakan kondisi logis yang sering ditemukan pada setiap pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih terfokus selama ini pada wilayah kota dibandingkan desa, dan lebih banyak menyerap tenaga kerja operator, produksi, buruh kasar dan profesional ketimbang tenaga administrasi dan tata usaha. 6.1.2. Efek Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Interregional Adanya keterkaitan antara wilayah KBI dan KTI yang sangat kuat membuat keterikatan ekonomi antara dua kawasan tersebut tidak dapat saling dilepaskan begitu saja. Segala aktifitas ekonomi yang dilakukan di KBI akan mempunyai pengaruh secara tidak langsung ke KTI begitu sebaliknya. Fenomena semacam ini dapat diungkap dengan jelas melalui multiplier interregional dalam

203 analisis SNSE kali ini. Seperti yang disajikan pada Tabel 26, khususnya dalam kolom multiplier interregional, pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KBI dapat memberi dampak terhadap total pertambahan pendapatan tenaga kerja di KTI sebesar nilai multiplier yakni 0.0540. Sebaliknya pembangunan infrastruktur jalan di KTI akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan tenaga kerja di KBI sebesar 0.1269. Dua nilai multiplier interregional yang cukup berbeda jauh ini menandakan adanya hubungan antarkawasan yang asimetris. Dimana dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KTI terlihat lebih tinggi terhadap pertambahan pendapatan tenaga kerja di KBI, dibandingkan KBI ke KTI. Wilayah KTI, berdasarkan nilai multiplier interregional, jika ada dana stimulus pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan sebesar 1 rupiah, maka dampak yang diberikan terhadap pertambahan pendapatan tenaga kerja di KBI adalah sebesar 0.1269 rupiah. Akan tetapi sebaliknya, jika dana stimulus sebesar 1 rupiah tersebut diinjeksi pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, hanya memberi dampak pertambahan pendapatan bagi tenaga kerja di KTI sebesar 0.0540 rupiah. Tampak jelas ada ketidakseimbangan efek multiplier interregional yang cukup mencolok diantara dua kawasan tersebut. Dengan kata lain terjadi ketidakseimbangan spill over effect dalam pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Ketersediaan tenaga profesional, operator hingga buruh kasar untuk pembangunan jalan dan jembatan di negara Indonesia memang selama ini lebih banyak disuplai dari wilayah KBI. Kualitas dan kuantitas yang tinggi untuk tenaga kerja semacam itu lebih banyak tersedia di KBI di bandingkan KTI. Akibatnya

204 ketika daerah-daerah di KTI ingin melaksanakan pembangunan jalan dan jembatan, mereka lebih banyak meminta dari wilayah KBI. Hal ini pada akhirnya memberi dampak transfer pendapatan lebih besar terlihat mengalir dari KTI ke KBI dibandingkan dari KBI ke KTI, sebagaimana yang tergambarkan pada angka spillover effect saat ini. Seperti halnya dengan dampak yang bersifat intraregional, spillover efect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan juga lebih diserap oleh tenaga kerja di kota dibandingkan desa, khususnya bagi tenaga profesional, operator dan buruh kasar. Baik itu spillover effect yang dihasilkan oleh KBI ke KTI maupun dari KTI ke KBI semuanya lebih besar mengarah kepada tenaga kerja di kota. Efek lainnya yang dapat ditangkap dengan multiplier faktor produksi ini adalah dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan dari kepemilikan modal dan lahan. Jika dilihat menurut besaran multiplier, efek pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan tersebut lebih banyak dipancarkan ke modal, baik itu di KBI maupun KTI. Pemilik modal akan memperoleh pendapatan yang paling besar dibandingkan faktor produksi lainnya. Seperti yang disajikan pada nilai multiplier intraregional, faktor modal mempunyai multiplier sebesar 0.9706 untuk KBI, dan sebesar 0.5125 di KTI. Dengan kata lain, untuk setiap injeksi sebesar 1 rupiah pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, akan memberi efek terhadap pertambahan pendapatan modal sebesar 0.9706 rupiah. Sedangkan untuk wilayah KTI dengan besaran injeksi yang sama akan memberi dampak pertambahan modal sebesar 0.5152 rupiah.

205 Seperti pada ulasan sebelumnya, spillover effect ke faktor modal dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan juga berlangsung asimetris, dimana KBI akan lebih banyak menerima efek yang lebih besar dibandingkan KTI. Artinya para pemilik modal di KBI memperoleh tambahan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan KTI ketika pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dilaksanakan. Hal yang sama juga terlihat untuk pendapatan yang di peroleh dari kepemilikan lahan. Pemilik lahan yang berdomisili di KBI tampak lebih banyak menerima tambahan pendapatan meskipun pelaksanaan pembangunan jalan dan jembatan tersebut di KTI. 6.1.3. Efek Terhadap Nilai Tambah Berdasarkan pendekatan pendapatan, nilai tambah atau value added tersebut adalah merupakan penjumlahan dari pendapatan upah, modal, dan sewa lahan. Dengan demikian, total multiplier faktor produksi (penjumlahan dari multiplier tenaga kerja, modal dan lahan) dapat dikatakan sebagai multiplier nilai tambah. Menggunakan multiplier ini dapat dilihat seberapa besar dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap kenaikan nilai tambah bruto di suatu kawasan. Multiplier nilai tambah intraregional sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI adalah sebesar 1.6433, sedangkan di KTI sebesar 0.8174. Ini berarti bila sektor infrastruktur jalan dan jembatan diberi dana stimulus sebesar 1 rupiah, maka nilai tambah di KBI itu sendiri akan meningkat sebesar 1.6433 rupiah. Sedangkan untuk KTI, dengan stimulus fiskal yang sama besar hanya meningkatkan nilai tambah di wilayahnya sendiri sebesar 0.8174 rupiah. Terlihat disini bahwa pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan memberi

206 dampak yang lebih besar terhadap kenaikan nilai tambah di KBI dibandingkan KTI. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa ada ketimpangan hasil pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di Indonesia, dimana KBI akan selalu memperoleh efek multiplier yang lebih tinggi dibandingkan KTI. Hal tersebut semakin diperjelas dengan melihat spillover effect antara dua kawasan tersebut, yang mana spillover effect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KTI lebih besar ke KBI, dibandingkan KBI ke KTI. Seperti yang ditunjukkan oleh multiplier interregional nilai tambah KTI ke KBI yakni sebesar 0.3875, sementara dari KBI ke KTI sebesar 0.1916. Terjadi ketimpangan spillover effect yang cukup mencolok diantara kedua kawasan tersebut. Angka multiplier sebesar 0.3875 mengindikasikan bahwa jika dana stimulus sebesar 1 rupiah diinjeksi pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI, akan memberi efek terhadap kenaikan nilai tambah di KBI sebesar 0.3875 rupiah. Sebaliknya, jika dana stimulus tersebut hanya disalurkan ke sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI saja, hanya memberi efek kenaikan terhadap nilai tambah KTI sebesar 0.1916. 6.1.4. Rangkuman 1. Kondisi eksisting nilai multiplier intraregional KBI dan KTI menggambarkan bahwa pertambahan pendapatan tenaga kerja sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan akan lebih banyak diserap oleh tenaga kerja yang berada di wilayah kota dibandingkan desa. Kedua fakta ini sudah merupakan kondisi logis yang sering ditemukan pada setiap pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih terfokus selama ini

207 pada wilayah kota dibandingkan desa, dan lebih banyak menyerap tenaga kerja operator, produksi, buruh kasar dan profesional. 2. Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KTI dampaknya terlihat lebih tinggi terhadap pertambahan pendapatan tenaga kerja di KBI, dibandingkan KBI ke KTI. Ada ketidakseimbangan efek multiplier interregional yang cukup mencolok diantara dua kawasan tersebut, dengan kata lain terjadi ketidakseimbangan spill over effect dalam pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Ketersediaan tenaga profesional, operator hingga buruh kasar untuk pembangunan jalan dan jembatan di negara Indonesia memang selama ini lebih banyak disuplai dari wilayah KBI. Kualitas dan kuantitas yang tinggi untuk tenaga kerja semacam itu lebih banyak tersedia di KBI di bandingkan KTI (Ditjen PU, 2002). 3. Seperti halnya dengan dampak yang bersifat intraregional, spillover efect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan juga lebih diserap oleh tenaga kerja di kota dibandingkan desa, khususnya bagi tenaga profesional, operator dan buruh kasar. Baik itu spillover effect yang dihasilkan oleh KBI ke KTI maupun dari KTI ke KBI semuanya lebih besar mengarah kepada tenaga kerja di kota. 4. Efek lainnya yang dapat ditangkap dengan multiplier faktor produksi ini adalah dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan dari kepemilikan modal dan lahan. Para pemilik modal dan lahan di KBI memperoleh tambahan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan KTI ketika pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dilaksanakan.

208 5. Berdasarkan pendekatan pendapatan, nilai tambah atau value added yang merupakan penjumlahan dari pendapatan upah, modal, dan sewa lahan. Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih terfokus ke KBI tidak akan menyelesaikan masalah ketimpangan pembangunan yang terjadi selama ini. Sehingga sampai kapanpun bila pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan masih selalu tercurah ke KBI maka kesenjangan nilai tambah diantara KBI dan KTI tidak akan semakin mengecil, bahkan dikhawatirkan semakin besar. Namun, pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih terfokus ke KTI sepertinya kurang banyak juga mengatasi ketimpangan nilai tambah antara KBI dan KTI. Ini terjadi karena selain efek multiplier intraregional nilai tambah yang relatif sangat rendah diterima oleh KTI, spillover effect KTI terhadap KBI juga terlihat relatif tinggi sehingga dari total efek multiplier nilai tambah yang seharusnya diserap oleh KTI sebesar 1.2049, sekitar 32.16% diberikan kepada KBI. 6.2. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Rumahtangga Faktor-faktor produksi berupa tenaga kerja, lahan dan modal seluruhnya dimiliki oleh rumahtangga. Oleh karenanya, segala perolehan pendapatan dari pemanfaatan tenaga kerja, modal dan lahan oleh suatu sektor pembangunan akan ditransfer langsung ke rumahtangga. Dalam hal ini rumahtangga yang menerima transfer tersebut dapat distratakan menjadi rumahtangga berpendapatan rendah, sedang dan tinggi, serta dapat dipisahkan menurut wilayah kota dan desa sebagaimana yang dilakukan dalam studi kali ini (Tabel 31).

209 Tabel 31. Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Rumahtangga Wilayah Golongan Intraregional Interregional Total Pendapatan KBI KTI KBI KTI KTI KBI KBI KTI Rendah 0.0542 0.0077 0.0017 0.0120 0.0560 0.0197 Desa Sedang 0.1535 0.0308 0.0079 0.0348 0.1615 0.0656 Tinggi 0.3174 0.0940 0.0195 0.0723 0.3369 0.1663 Rendah 0.0765 0.0144 0.0034 0.0179 0.0800 0.0323 Kota Sedang 0.2340 0.0607 0.0152 0.0561 0.2493 0.1168 Tinggi 0.5168 0.1700 0.0375 0.1249 0.5543 0.2949 Total Rumahtangga Desa 0.5251 0.1325 0.0291 0.1191 0.5544 0.2516 Total Rumahtangga Kota 0.8273 0.2451 0.0561 0.1989 0.8836 0.444 Total Rumahtangga 1.3526 0.3777 0.0854 0.3179 1.4379 0.6956 6.2.1. Efek Terhadap Pendapatan Rumahtangga Intraregional Pada Tabel 32. dapat dilihat jelas bahwa efek multiplier sektor infrastruktur jalan dan jembatan untuk rumahtangga KBI lebih tinggi dibandingkan rumahtangga di KTI. Dimana sesuai dengan besaran nilai multiplier rumahtangga intraregional, setiap ada dana stimulus sebesar 1 rupiah pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan rumahtangga secara keseluruhan di KBI sebesar 1.3526 rupiah. Sedangkan di KTI, besaran dana stimulus yang sama mempunyai dampak terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga di KTI sebanyak 0.3777 rupiah. Wilayah KBI maupun KTI, rumahtangga yang paling banyak menyerap efek multiplier dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan adalah rumahtangga di kota. Untuk rumahtangga kota di KBI, efek multiplier yang diterima adalah sebesar 0.8273, sedangkan di KTI adalah sebesar 0.2451. Adapun golongan rumahtangga yang paling banyak menerima efek multiplier tersebut selama ini adalah rumahtangga yang berpendapatan tinggi di kota yakni sebesar 0.5168 di KBI dan sebesar 0.1700 di KTI.

210 Serangkaian angka multiplier di atas, dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan sekarang ini masih lebih menguntungkan golongan rumahtangga yang berpendapatan tinggi, dan rumahtangga yang berada di kota. Hal ini berarti sulit sekali mengharapkan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dalam kondisi saat ini mampu mengurangi ketimpangan antargolongan pendapatan rumahtangga, dan ketimpangan spasial antarwilayah kota dan desa baik itu di KBI maupun KTI. 6.2.2. Efek Terhadap Pendapatan Rumahtangga Interregional Fakta lainnya juga menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan saat ini terlihat tidak mampu mengurangi kesenjangan pendapatan rumahtangga antarkawasan KBI dan KTI. Hal ini karena spillover effect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan berlangsung asimetris antara KBI dan KTI. Seperti yang dipaparkan dalam Tabel 26, spillover effect dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI ke KBI lebih tinggi dibandingkan spillover effect KTI ke KBI. Dimana dari KTI ke KBI adalah sebesar 0.3179, sedangkan KBI ke KTI sebesar 0.0854. Kedua angka multiplier ini mempunyai makna masing-masing bahwa jika ada dana stimulus sebesar 1 rupiah diinjeksi ke sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan rumahtangga secara keseluruhan di KBI sebesar 0.3179 rupiah. Sebaliknya, jika dana stimulus tersebut diberikan di KBI hanya membawa efek interregional pendapatan rumahtangga di KTI sebesar 0.0854 rupiah. Terjadi kesenjangan efek multiplier sebesar 0.2325 rupiah, dimana rumahtangga di KBI akan selalu diuntungkan dibandingkan KTI atas pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan.

211 Kondisi eksisting menunjukkan bahwa selama ini aksesbilitas di KBI selalu lebih tinggi dibandingkan KTI. Di KBI rasio aksesbilitasnya dapat mencapai 0.0622 km per km 2. Dengan kata lain untuk setiap luas wilayah 100 km 2 di KBI akan terdapat akses jalan sepanjang 6.2 km. Sedangkan aksesbilitas di KTI hanya sebesar 0.0355, atau per 100 km 2 hanya terdapat jalan sepanjang 3.5 km. Meskipun angka rasio-rasio aksesbilitas jalan ini sebenarnya masih jauh dari ideal, namun paling tidak berdasarkan kedua rasio tersebut sudah terlihat adanya kesenjangan pembangunan jalan yang cukup mencolok diantara keduanya. Faktor inilah yang menyebabkan mengapa efek multiplier dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan tersebut selalu lebih menguntungkan rumahtangga yang menetap di KBI dibandingkan KTI. Selama pelaksanaan pembangunan jalan dan jembatan masih terus terkonsentrasi di KBI, maka upaya untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antara rumahtangga di KBI dengan KTI tidak akan dapat dilakukan secara optimal. Akan tetapi, bila konsentrasi pembangunan jalan dan jembatan sekarang seluruhnya diarahkan ke KTI, tidak berarti otomatis langsung mengurangi ketimpangan pendapatan antarkawasan. Kondisi ini diakibatkan efek multiplier yang dihasilkan oleh sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI ternyata hampir sebagian besar diserap oleh rumahtangga di KBI. Sebagaimana yang terungkap pada nilai multiplier sektor infrastruktur jalan dan jembatan terhadap rumahtangga KTI yakni sebesar 0.6956 (lihat Tabel 27), sekitar 45.70% efeknya mengalir ke luar untuk rumahtangga KBI dan 54.30% diserap oleh rumahtangga KTI. Ini berarti pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan yang difokuskan di KTI akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan

212 rumahtangga di KTI dan KBI dengan kenaikan yang hampir seimbang. Hal tersebut akhirnya menyebabkan dampak stimulus yang diinjeksi ke sektor infrastruktur ini tidak mampu menciptakan pendapatan rumahtangga KTI menyamai atau paling tidak mendekati pendapatan rumahtangga di KBI, sehingga kesenjangan pendapatan rumahtangga antarkawasan terus terjadi, bahkan bisa semakin melebar. Terjadinya kesenjangan penguasaan teknologi pembangunan jalan dan jembatan antara pekerja (profesional, operator, buruh kasar) KBI dengan KTI menjadi salah satu penyebab mengapa upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan rumahtangga antarkawasan tersebut sangat sulit dilakukan. Jika diamati secara total, sebenarnya efek multiplier sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di Indonesia masih lebih besar dibandingkan sektor-sektor ekonomi lainnya, perhatikan Tabel 32. Dibandingkan dengan sektor perdagangan, industri makanan minuman, industri pulp dan kertas, serta pertambangan minyak, gas dan panas bumi. Total nilai multiplier sektor infrastruktur jalan dan jembatan adalah sebesar 2.1336, sedangkan sektor perdagangan sebesar 2.1108, industri makanan dan minuman sebesar 2.1028, industri pulp dan kertas sebesar 2.0991, dan pertambangan minyak, gas dan panas bumi sebesar 1.8427. Meskipun secara kuantitas dampaknya cukup tinggi, namun secara kualitas efek pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan rumahtangga masih terlihat rendah karena belum mampu mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi selama ini, baik itu ketimpangan antargolongan pendapatan dan spasial maupun ketimpangan regional. Perlu dilakukan suatu reformulasi Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) yang lebih berpihak kepada masyarakat pendapatan rendah

213 dan wilayah yang berkembang, guna mengoptimalkan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dalam mengatasi kesenjangan pembangunan. Tabel 32. Total Multiplier Sektor-Sektor Ekonomi Terhadap Pendapatan Rumahtangga No. Sektor KBI KTI Total 1. Pemerintahan umum dan pertahanan 2.0941 1.3327 3.4268 2. Perikanan 1.6768 0.6882 2.3650 3. Jasa-jasa lainnya 1.6035 0.7110 2.3145 4. Tanaman perkebunan 1.6560 0.6356 2.2916 5. Peternakan dan hasil-hasilnya 1.6094 0.6534 2.2628 6. Industri tekstil dan produk tekstil 1.4499 0.8016 2.2514 7. Padi 1.7174 0.5263 2.2436 8. Komunikasi 1.6594 0.5682 2.2277 9. Lembaga keuangan 1.6994 0.5246 2.2240 10. Pertamb. bt bara, biji logam & penggalian lainnya 1.6316 0.5887 2.2203 11. Tanaman bahan makanan lainnya 1.7262 0.4903 2.2164 12. Industri mesin listrik dan peralatan listrik 1.3720 0.8441 2.2162 13. Kehutanan 1.6278 0.5793 2.2071 14. Industri kelapa sawit 1.5825 0.6058 2.1883 15. Hotel dan Restoran 1.5149 0.6454 2.1602 16. Industri karet dan barang dari karet 1.4773 0.6776 2.1549 17. Bangunan jalan dan jembatan 1.4379 0.6956 2.1336 18. Bangunan lainnya 1.4233 0.6951 2.1184 19. Perdagangan 1.5372 0.5736 2.1108 20. Industri barang kayu, rotan dan bambu 1.4847 0.6214 2.1061 21. Industri makanan minuman 1.4962 0.6066 2.1028 22. Industri pulp dan kertas 1.5266 0.5726 2.0991 23. Angkutan Air 1.3131 0.7606 2.0737 24. Industri pengolahan hasil laut 1.5016 0.5673 2.0688 25. Angkutan darat 1.3970 0.6673 2.0643 26. Industri semen 1.4677 0.5942 2.0620 27. Angkutan Udara 1.3002 0.7485 2.0487 28. Industri lainnya 1.3298 0.6747 2.0046 29. Listrik, gas dan air bersih 1.3456 0.6497 1.9953 30. Industri alat angkutan dan perbaikiannya 1.2504 0.7130 1.9634 31. Industri barang dari logam 1.1829 0.7690 1.9519 32. Industri dsr besi & baja dan lgm dsr bukan besi 1.3303 0.5531 1.8834 33. Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 1.5502 0.2925 1.8427 34. Industri petrokimia 1.2885 0.4750 1.7636 35. Pengilangan minyak bumi 1.2235 0.2917 1.5152 36. Industri alas kaki 1.4870 0.0000 1.4870

214 Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan sekarang ini masih lebih menguntungkan golongan rumahtangga yang berpendapatan tinggi, dan rumahtangga yang berada di kota. Ini berarti sulit sekali mengharapkan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dalam kondisi saat ini mampu mengurangi ketimpangan antargolongan pendapatan rumahtangga, dan ketimpangan spasial antarwilayah kota dan desa baik itu di KBI maupun KTI. Meskipun secara kuantitas dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan rumahtangga cukup tinggi, namun secara kualitas efek terhadap pendapatan rumahtangga masih terlihat rendah oleh karena masih belum mampu mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi selama ini, baik itu ketimpangan antargolongan pendapatan, ketimpangan spasial maupun ketimpangan regional. 6.2.3. Rangkuman 1. Efek multiplier sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan untuk rumahtangga KBI lebih tinggi dibandingkan rumahtangga di KTI, besaran nilai multiplier rumahtangga intraregional di KBI sebesar 1.3526 rupiah dan di KTI sebanyak 0.3777 rupiah. 2. Baik wilayah KBI maupun KTI, rumahtangga yang paling banyak menyerap efek multiplier dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan adalah rumahtangga di kota. rumahtangga kota di KBI sebesar 0.8273, sedangkan di KTI adalah sebesar 0.2451. Adapun golongan rumahtangga yang paling banyak menerima efek multiplier tersebut selama ini adalah rumahtangga yang berpendapatan tinggi di kota yakni sebesar 0.5168 di KBI dan sebesar 0.1700 di KTI.

215 3. Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan sekarang ini masih lebih menguntungkan golongan rumahtangga yang berpendapatan tinggi, dan rumahtangga yang berada di kota. Hal ini berarti sulit sekali mengharapkan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dalam kondisi saat ini mampu mengurangi ketimpangan antargolongan pendapatan rumahtangga, dan ketimpangan spasial antarwilayah kota dan desa baik itu di KBI maupun KTI. 6.3. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Sektor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan diyakini mampu menggerakkan sektor riil dan memicu kegiatan produksi, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sektor ini telah dipahami secara luas sebagai enabler terjadinya kegiatan ekonomi produktif di sektor-sektor lain. Ibaratnya, infrastruktur jalan dan jembatan tersebut merupakan sebuah roda yang akan membantu perputaran produksi dari sektor-sektor lain, sehingga secara langsung mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan dengan sektor riil. Untuk mengungkap fenomena ini dapat diperhatikan dari besarnya nilai multiplier sektor infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan sektor-sektor ekonomi sebagaimana yang dipaparkan dalam Tabel 33. 6.3.1. Efek Terhadap Pendapatan Sektor Produksi Intraregional Efek multiplier produksi sektor infrastruktur jalan dan jembatan terlihat lebih besar di wilayah KBI dibandingkan KTI. Di KBI multiplier produksinya mencapai 3.6063, sedangkan di KTI sebesar 1.8598. Jika sektor infrastruktur jalan dan jembatan diberi injeksi dana stimulus sebesar 1 rupiah, maka pendapatan

216 produksi dari seluruh sektor perekonomian KBI akan meningkat sebesar 3.6063 rupiah. Sedangkan di KTI sebesar 1.8598 rupiah untuk besaran injeksi yang sama. Sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI paling tinggi memiliki keterkaitan ke belakang dengan sektor industri. Sekitar 30.77% dari dampak multiplier produksi sebesar 3.6063 tersebut diserap oleh sektor industri. Berikutnya menyusul sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10.64%, serta sektor-sektor jasa lainnya sebesar 12.38%. Keterkaitan ke belakang di KTI dengan sektor lainnya dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan lebih besar dengan sektor pertambangan yang menyerap dampak multiplier sebesar 11.37%, industri sebesar 11.13%,perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10.05%. Tabel 33. Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Sektor-Sektor Ekonomi Sektor Produksi Intraregional Interregional Total KBI KTI KBI KTI KTI KBI KBI KTI Pertanian 0.1167 0.01763 0.0231 0.0338 0.1398 0.0515 Perkebunan 0.0451 0.01339 0.0133 0.0171 0.0584 0.0305 Peternakan 0.0483 0.00793 0.0099 0.0128 0.0582 0.0208 Perikanan 0.0262 0.01512 0.0135 0.0068 0.0397 0.0219 Kehutanan 0.0156 0.03407 0.0060 0.0027 0.0216 0.0367 Pertambangan 0.1820 0.2115 0.0840 0.0679 0.2660 0.2794 Industri Mkn&Min 0.3381 0.04558 0.0532 0.1080 0.3913 0.1536 Industri Lainnya 0.7716 0.16148 0.0244 0.3063 0.7960 0.4678 Bangunan jalan dan jembatan 1.0517 1.00496 0.0013 0.0020 1.0530 1.0070 Bangunan lainnya 0.0325 0.02392 0.0031 0.0090 0.0356 0.0329 Angkutan 0.1483 0.08447 0.0258 0.0405 0.1741 0.1250 Perdg, Hotel & Rest 0.3836 0.18686 0.0396 0.1023 0.4232 0.2892 Jasa Lain 0.4465 0.0529 0.0374 0.1181 0.4840 0.1710 Total Multiplier 3.6063 1.8598 0.3346 0.8276 3.9410 2.6874

217 6.3.2. Efek Terhadap Pendapatan Sektor Produksi Interregional Makna multiplier interregional sebagaimana diungkapkan dalam Tabel 34 sejalan dengan logika ekonomi, yaitu apabila suatu sektor produksi tertentu di suatu wilayah mengalami peningkatan output karena sesuatu sebab tertentu (injeksi) maka sektor tersebut membutuhkan tambahan input (input primer dan antara) baik yang berasal dari wilayah sendiri maupun dari wilayah lain. Akibatnya output sektor-sektor produksi lain (sebagai pemasok input antara) mengalami peningkatan, yang kemudian membutuhkan juga tambahan input primer dan input antara, baik dari wilayah sendiri maupun dari wilayah lain. Demikian seterusnya. Efek berantai dari injeksi ini (langsung dan tidak langsung) terjadi tidak hanya di dalam wilayah sendiri tetapi melimpah ke wilayah lain. Efek multiplier dari suatu injeksi ekonomi yang melimpah ke wilayah lain disebut spillover effects (Alim, 2007). Sektor-sektor ekonomi seperti pertanian, perkebunan, peternakan, industri makanan dan minuman, industri lainnya, serta bangunan jalan dan jembatan di KBI mendapat keuntungan yang lebih besar di bandingkan di KTI dalam kaitannya dengan hubungan interregional antarkawasan dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan. Sebagai misal, jika ada dana stimulus sebesar 1 rupiah diinjeksi ke sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI, akan memberi spillover effect terhadap sektor pertanian di KBI sebesar 0.0338 rupiah. Akan tetapi sebaliknya, jika dana stimulus tersebut diinjeksi ke KBI, sektor pertanian KTI hanya memperoleh manfaat sebesar 0.0231 rupiah. Berarti ada hubungan yang asimetris antara KBI dengan KTI dalam mengamati efek dari pembangunan jalan dan jembatan yang lintas kawasan.

218 Berbeda dengan sektor-sektor perikanan, kehutanan, pertambangan, bangunan lainnya, dan angkutan. Spillover effect dari KBI ke KTI terlihat lebih besar dibandingkan dari KTI ke KBI. Misalkan untuk sektor perikanan. Jika dana stimulus sebesar 1 rupiah diinjeksi ke sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, akan memberi dampak terhadap sektor perikanan KTI sebesar 0.0135. Sebaliknya jika sektor infrastruktur jalan dan jembatan KTI yang diinjeksi, hanya memberi dampak pertambahan pendapatan sektor perikanan KBI sebesar 0.0068, sehingga terdapat hubungan yang asimetris juga. Secara keseluruhan, KBI tetap memperoleh spillover effect sektor infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih tinggi dibandingkan KTI. Hal ini tercermin pada nilai total multiplier interregional sektor infrastruktur jalan dan jembatan pada masing-masing kawasan tersebut. Multiplier interregional di KTI ke KBI adalah sebesar 0.8276, sedangkan KBI ke KTI adalah sebesar 0.3346. Dengan kata lain, apabila sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI diberi dana stimulus sebesar 1 rupiah, akan memberi dampak pertambahan pendapatan sektor-sektor perekonomian di KBI sebesar 0.8276. Sebaliknya jika dana stimulus tersebut difokuskan ke KBI, hanya memberi efek multiplier terhadap pertambahan pendapatan sektor-sektor perekonomian KTI sebesar 0.3346. Ini berarti terdapat kesenjangan efek multiplier sebanyak 0.4930 yang lebih tinggi diterima oleh KBI. Angka-angka multiplier di atas merupakan indikasi awal bahwa sektor infrastruktur jalan dan jembatan untuk saat ini tidak dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan sektoral yang dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan antarsektor dan antarwilayah. Ketimpangan penguasaan teknologi dan aksesibilitas jalan antara KBI dan KTI sepertinya merupakan faktor penyebab

219 utama mengapa sektor infrastruktur jalan dan jembatan kurang begitu signifikan menurunkan ketimpangan pendapatan wilayah antara KBI dan KTI. 6.3.3. Rangkuman 1. Dampak multiplier produksi sektor infrastruktur jalan dan jembatan terlihat lebih besar di wilayah KBI dibandingkan KTI. KBI multiplier produksinya mencapai 3.6063, sedangkan di KTI sebesar 1.8598. 2. Sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan paling tinggi memiliki keterkaitan ke belakang dengan sektor industri di wilayah KBI. Sekitar 1.1097 atau 30.77% dari dampak multiplier produksi sebesar 3.6063 tersebut diserap oleh sektor industri. Sedangkan di KTI, keterkaitan ke belakang dengan sektor lainnya dari sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan lebih besar dengan sektor pertambangan yang menyerap dampak multiplier sebesar 11.37%, kemudian industri sebesar 11.13%, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10.05%. 3. Secara keseluruhan, KBI tetap memperoleh spillover effect sektor infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih tinggi dibandingkan KTI (multiplier interregional di KTI ke KBI adalah sebesar 0.8276, sedangkan KBI ke KTI adalah sebesar 0.3346). 4. Dari angka-angka multiplier intraregional dan interregional mengindikasikan bahwa sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan untuk saat ini belum atau tidak dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan sektoral yang dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan antarsektor dan antarwilayah KBI dan KTI.